Latar Belakang Masalah Aplikasi Kaidah Fikih Idza Daqa Al-Amr Ittasa Dalam Sumber Hukum Matenal Keluarga ISlam Indonesia
                                                                                4
disepakati  oleh  para  ulama  dari  berbagai  aliran  dan  mazhab  serta,  yaitu  sebagai berikut:
1 .
اه صاقمب رومأا Segala urusan tergantung pada niat
2 .
لازي ررضلا Kesulitan harus dihilangkan
3 .
ةم حم ةداعلا Adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum
4 .
كشلاب لازي ا نيقيلا Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5 .
ريسيتلا ب جت ةقشملا Kesulitan menghendaki kemudahan
10
Kehidupan  masyarakat  semakin  berkembang  dari  zaman  ke  zaman  karena dipengaruhi oleh kemajuan peradaban dan teknologi. Keadaan yang dihadapi oleh
masyarakat pada masa sekarang ini, sangat berbeda kontras dengan keadaan yang dihadapi  oleh  masyarakat
„Abbâsiyyah,  Umayyah,  apalagi  masa  sebelum  kedua dinasti ini sampai pada masa Rasulullah SAW. Meskipun Rasulullah SAW telah
memerintahkan  kita  untuk  senantiasa  berpegang  teguh  pada  dua  sumber  utama hukum  Islam,  yaitu  Al-Quran  dan  Al-Sunnah,  bukan  berarti  permasalahan  yang
dihadapi  oleh  masyarakat  langsung  dapat  ditemukan  dan  disampaikan  secara eksplisit  dalam  kedua  sumber  tersebut.  Oleh  karena  itu,  agar  masyarakat  tidak
10
Kelima kaidah pokok tersebut adalah kaidah-kaidah yang dikumpulkan oleh Ab û
â hir  al-Dabbâs,  seorang  ulama  fikih  yang  hidup  pada  abad  IV  H.  Lihat  Sudirman
Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, h. 14
5
salah melangkah dan senantiasa taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya, masyarakat dituntut  untuk  berijtihad  menggali  hukum  untuk  mengatasi  permasalahan  yang
sedang dihadapi. Apabila ternyata tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk  berijtihad,  maka  mereka  harus  berusaha  untuk  bertanya  dan  meminta
petunjuk pada orang yang ahli agar mereka tidak tersesat pada jalan yang salah. Pada era yang semakin modern inilah, peran Qawâ
‘id Fiqhiyyah sebagai alat bantu  ijtihad  masih  sangat  dibutuhkan  untuk  mengatasi  permasalahan-
permaslahan  baru  yang  tidak  diatur  oleh  na ṣ  secara  eksplisit.  Usaha  untuk
menggali  hukum  yang  benar  adalah  tidak  lain  untuk  mewujudkan  Maqâ ṣid  al-
Syarî ‘ah  yang  menjadi  tujuan  utama  dari  pensyariatan  hukum  Islam  oleh  Allah
SWT  dan  Rasul-Nya.  Keberadaan  Qawâ ‘id  Fiqhiyyah  sebagai  salah  satu
perangkat  ijtihad  sangat  berperan  dalam  proses  penetapan  hukum,  baik  bagi individu perorangan maupun pihak-pihak yang memiliki wewenang, seperti muftî,
hakim, bahkan Pemerintah. Salah satu kaidah turunan dari Qawâ
‘id Fiqhiyyah lima yang telah disebutkan sebelumnya adalah kaidah “
اذإ عستا رمأا قاض ” apabila suatu kondisi yang dihadapi
menjadi  sempit,  maka  cara  pelaksanaanya  menjadi  lebih  leluasa.  Kaidah  ini merupakan  salah  satu  kaidah  turunan  dari  kaidah  pokok  “ريسيتلا  ب جت  ةقشملا”.
11
Sesuai dengan kaidah pokoknya, kaidah ini dapat dipakai ketika seseorang sedang berada  dalam  keadaan  masyaqqah  kesulitan  atau  kepepet.  Keadaan  masyaqqah
pasti  pernah  dialami  oleh  setiap  orang.  Namun  demikian,  yang  menjadi permaslahan  di  sini  adalah  bahwasanya  orang-orang  awam  belum  benar-benar
11
„Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121
6
memahami  apa  sebenarnya  yang  dimaksud  dengan  keadaan  masyaqqah  dalam kaidah hukum Islam. Mereka cenderung menganggap bahwa setiap keadaan sulit
yang  menyebabkan  aturan  syariat  tidak  dapat  dilaksanakan    adalah  masyaqqah, misalnya menjamak salat karena macet. Jika fenomena seperti ini dibiarkan saja,
maka akan terjadi pergeseran makna  masyaqqah dan menyebabkan hukum Islam terlalu  diremehkan  oleh  orang-orang  awam  yang  tidak  benar-benar  memahamai
kaidah “عستا رمأا قاض اذإ” ini.
Salah satu contoh yang diungkapkan oleh para ulama untuk kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita dalam keadaan berpergian jauh tanpa wali maka ketika
ia hendak menikah, posisi walinya boleh digantikan oleh laki-laki lain,
12
misalnya wali  hakim.  Ketentuan  fikih  ini  juga  telah  diadopsi  oleh  salah  satu  peraturan
perundang-perundangan di Indonesia, yaitu sebagaimana yang dapat kita temukan dalam Pasal 23 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam KHI, yang berbunyi:
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada  atau  tidak  mungkin  menghadirkannya  atau  tidak  diketahui  tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Contoh  tersebut  telah  benar-benar  terjadi  di  kehidupan  kita.  Akan  tetapi,
selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak lagi situasi-situasi atau kejadian- kejadian  yang  menempatkan  manusia  pada  keadaan  sulit,  sehingga  tidak  bisa
menjalankan  aturan  syariat  dengan  sempurna  atau  dengan  benar  sesuai  dengan aturan  yang  telah  ditetapkan.  Kesulitan  yang  menyebabkan  aturan  syariat  tidak
12
Jalâl  al-Dîn  al-Suyû ṯî,  Al-Asybâh  wa  al-Naẕâ’ir  fî  Qawâ‘id  wa  Furû‘  Fiqh  al-
Syâfi‘î, Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts, 2009, h. 115
7
terlaksana maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan Maqâ ṣid al-Syarî‘ah
tidak dapat tercapai. Dari  permasalahan  di  atas,  maka  penulis  ingin  melakukan  penelitian  dengan
judul “APLIKASI  KAIDAH  FIKIH  IDZÂ  ÂQA  AL-AMR  ITTASA‘A  DALAM
SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA ”.
                