62
yang mendapatkan hak perwalian atas anak tersebut tidak mampu, lalai atau bertabiat buruk, maka keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah
kebolehan bagi kerabat anak untuk mengajukan permohonan pencabutan dan pemindahan hak perwalian dari pihak penerima wasiat perwalian. Hal ini juga
ditujukan untuk melindungi kepentingan anak yang berada di bawah perwalian.
6. Pemindahan hak ḫadlânah
Pasal 156 huruf c menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
ḫadlânah kepada kerabat lain atas permintaan kerabat anak apabila pemegang
ḫadlânah yang sebenarnya tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan
ḫadlânah tercukupi. Ibu kandung dari anak adalah orang yang paling berhak atas
ḫadlânah. Apabila ibu telah meninggal maka kedudukannya digantikan oleh ayah atau wanita-wanita yang memiliki hubungan kerabat dekat dengan ibu
atau ayahnya. Pada dasarnya, hal yang paling diutamakan dalam ḫadlânah
adalah keselamatan jasmani dan rohani anak, bukan kecukupan biaya nafkah dan
ḫadlânah. Oleh karena itu, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan pengajuan permohonan untuk memindahkan hak hadlânah pada
pihak kerabat lain yang lebih dapat dipercaya menjaga kemaslahatan anak.
C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian
1. Permintaan dan permohonan salinan akta cerai yang hilang
Perihal ini diatur dalam pasal 9. Ayat 1 pasal ini menyatakan bahwa akta cerai yang hilang dapat dapat dimintakan salinannya ke Pengadilan Agama.
63
Selanjutnya, ayat 2 pasal ini menyatakan jika pengadilan tidak memberikan salinan akta cerai yang diminta, maka pihak mantan suami atau istri dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan. Akta cerai adalah sama pentingnya dengan akta nikah karena akta cerai adalah bukti otentik bahwa seseorang
tidak berada dalam suatu ikatan pernikahan dengan orang lain. Apabila seseorang yang telah bercerai dari mantan pasangannya dengan perceraian
yang sah atau legal, kehilangan akta cerainya, sedangkan ia membutuhkannya untuk menikah lagi misalnya, maka ia bisa meminta salinan akta tersebut ke
Pengadilan Agama. Apabila pengadilan tidak mau memberikan salinan akta tersebut, maka ia bisa menggunakan cara lain yaitu dengan mengajukan
permohonan ke pengadilan. Pasal ini memberikan solusi keluasan hukum berupa pemberian salinan akta bagi seseorang yang kehilangan akta asli.
2. Penerimaaan gugatan cerai oleh pengadilan tanpa kehadiran tergugat
Pasal 138 ayat 4 menyatakan bahwa pengadilan dapat menerima gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suami atau kuasanya yang tidak pernah
hadir ke pengadilan dan tidak diketahui tempat tinggalnya serta telah diumumkan oleh pihak pengadilan melalui surat kabar sebanyak dua kali
dalam jangka waktu dua bulan. Gugatan cerai jenis ini mungkin saja terjadi dikarenakan suami telah pergi meninggalkan istri tanpa kabar dalam waktu
yang lama. Alasan ini memperbolehkan istri untuk menggugat cerai suaminya. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah penerimaan
gugatan cerai oleh pengadilan. Apabila gugatan telah diterima oleh pengadilan maka proses perceraian dapat segera dilaksanakan. Dalam kondisi
64
ini, hal yang diutamakan adalah kejelasan status wanita tersebut dan kesejahteraan hidupnya ketika suaminya pergi meninggalkannya. Apabila
pengadilan telah memutuskan hubungan di antara keduanya sebagai suami istri, maka mantan istri telah mendapatkan kejelasan atas status hukumnya
dan diperbolehkan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. 3.
Permintaan salinan akta rujuk yang hilang atau rusak Pasal 166 menyatakan bahwa akta rujuk yang hilang atau rusak sehingga
tidak dapat dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan salinannya kepada instansi semula yang mengeluarkan akta tersebut. Akta rujuk adalah salah
satu berkas penting yang akan digunakan untuk mengambil Kutipan Akta Nikah di Pengadilan Agama tempat pasangan suami istri melangsungkan
perceraian sebelumnya. Pasangan rujuk yang belum mengambil Kutipan Akta Nikah maka pasangan ini belum diakui oleh hukum sebagai pasangan rujuk
yang legal. Oleh karena itu, pasal ini memberikan solusi keluasan hukum berupa pemberian kesempatan bagi pasangan yang kehilangan akta untuk
meminta salinannya.
D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat
1. Pengalihan bentuk harta warisan
Pasal 189 ayat 2 menyatakan bahwa harta warisan yang pada awalnya berupa lahan dapat dialihkan menjadi uang jika memang ada salah satu ahli
waris yang memerlukan uang tersebut. Pasal ini merupakan bentuk keluasan hukum dari pasal sebelumnya, yaitu pasal 189 ayat 1 yang menyatakan
bahwa harta warisan yang berupa lahan agar tetap dipertahankan kesatuan
65
bentuknya sebagaimana semula dan dimanfaatkan tuntuk kepentingan bersama. Pasal ini juga mengandung asas tolong-menolong antar sesama
Muslim, terutama antar saudara sesama penerima harta waris. 2.
Menyampaikan wasiat di hadapan selain pejabat Pasal 206 menyatakan bahwa orang yang hendak berwasiat sedangkan ia
berada dalam perjalanan laut, maka wasiatnya dapat disampaikan pada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan disertai dua orang
saksi. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah bahwa wasiat tidak selalu harus disampaikan kepada pejabat berwenang seperti Notaris.
Kondisi orang yang hendak berwasiat yang sedang berada dalam perjalanan laut, belum tentu ia dapat menemukan pejabat Notaris di kapal yang
ditumpanginya tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusi yang diberikan oleh pasal ini, ia diperkenankan untuk menyampaikan wasiatnya kepada nahkoda
kapal atau orang yang menggantikannya dengan dua orang saksi yang dapat dipercaya akan menyampaikan wasiatnya kelak.
Setelah penulis menyebutkan dan menjelaskan satu-persatu pasal KHI yang dipandang sebagai aplikasi dari kaidah kaidah fikih
“ قاض اذإ
عستا رمأا ” di atas,
penulis menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pasal-pasal tersebut menghendaki kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia.