Aplikasi Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam Kehidupan Sehari-Hari

28 makanan tersebut dan juga salat dengan menggunakan pakaian di tempat- tempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakmungkinan kita untuk menghindari dan mengetahui apakah lalat-lalat yang berterbangan di sekitar kita membawa najis atau tidak. 34 8. Fenomena yang terjadi di daerah-daerah yang banyak terdapat anjing berkeliaran seperti daerah pegunungan dan pesisir pantai. Jika anjing-anjing tersebut tidak sengaja bersentuhan dengan tubuh kita, maka menurut sebagian ula ma Bani Jam„ân najis tersebut di ma‘fû dan salat yang kita laksanakan tetap sah. Dalam kondisi seperti ini, hukum persentuhan dengan anjing tersebut adalah sebagaimana hukum persentuhan dengan hewan-hewan lain yang tidak najis. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya anjing yang berkeliaran sehingga sulit untuk menghindari persentuhan tersebut. 35 Beberapa contoh aplikasi kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” yang telah disebutkan di atas adalah bersumber dari furû ‘-furû‘ kaidah yang penulis temukan dari beberapa kitab yang membahas tentang kaidah ini yang mana penulis menilai bahwa furû ‘-furû‘ tersebut masih relavan dengan kondisi yang dihadapi oleh umat Muslim pada saat ini. Adapun selain contoh-contoh di atas, pada dasarnya kita masih mungkin menghadapi permasalahan-permasalahan lain yang memperbolehkan kita untuk mengaplikasikan kaidah “عستا رمأا اض ا إ” ini karena dalam kehidupan kita pasti tidak akan luput dari masyaqqah. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan dan keluesan aturan hukum dalam bentuk rukh ṣah bagi tiap-tiap mukallaf. Meskipun demikian, mukallaf tidak diperbolehkan untuk 34 Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115 35 Al-Fadani, Al- Fawâ’id al-Janiyyah, h. 244 29 menyalahgunakan fleksibilitas hukum tersebut seenakanya sendiri, karena hal tersebut secara tidak langsung dapat menghilangkan esensi ibadah dan mu ‘âmalah kita kepada Allah SWT. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai hamba tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya, sebagaimana firman-Nya:        Artinya: “Dan Aku Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku Allah SWT. ” QS. Al-Dzâriyaat: 56 I. Korelasi antara Kaidah F ikih “عستا رمأا قاض اذإ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah Islam adalah agama yang memberikan pedoman kehidupan kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju pencapaian kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan induvidu maupun bermasyarakat. Secara umum, tujuan Syâ ri‘ dalam mentapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta seluruh kebahagiaan manusia, baik kebahagiaan dunia yang sementara maupun kebahagiaan di akhirat yang kekal. Tujuan hukum Islam ini dapat kita ketahui dari firman-firman Allah SWT sebagai berikut: 36       36 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 66 30 Artinya: “Dan tiadalah Kami Allah SWT mengutus kamu Nabi Muhammad SAW melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. ” QS. Al-Anbiyâ‟: 107                          Artinya: “Dan di antara mereka ada orang berdoa, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Mereka adalah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah SWT sangatlah cepat perhitungan- Nya.” QS. Al- Baqarah: 201-202 Tujuan hukum Islam dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut Al- Maqâ ṣid al-Khamsah atau Al-Kulliyyah al-Khamsah. Kelima tujuan tersebut adalah if ẕ al-Dîn menjaga agama, ifẕ al-Nafs menjaga jiwa, ifẕ al-‘Aql menjaga akal, if ẕ al-Nasl menjaga keturunan dan ifẕ al-Mâl menjaga harta. Al-Syaukânî w. 1250 H kemudian menambahkan satu term lagi yaitu if ẕ al-‘Irdl menjaga kehormatan sebagai bagian dari tujuan hukum Islam sehingga menjadi enam macam. 37 Keseluruhan bagian dari Maqâ ṣid al-Syarî‘ah di atas adalah bersumber dari sumber premier hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah memberikan pedoman bagi manusia untuk mewujudkan Maqâ ṣid al- Syarî‘ah. Adapun dalam segi praktek, Maqâṣid al-Syarî‘ah tidak harus dilaksanakan secara berurutan dari if ẕ al-Dîn sebagai bagian yang pertama sampai if ẕ al-‘Irdl sebagai bagian yang terakhir. Akan tetapi, prioritas pelaksanaan Maqâ ṣid al-Syarî‘ah di atas adalah berdasarkan pada tingkat 37 Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fu ḫûl, Riyad: Dâr al-Fadlîlah, 2000, Juz II, h. 901 31 kebutuhan manusia, apakah berada dalam taraf Dlarûriyyah primer, âjjiyyah sekunder atau Ta ḫsiniyyah tersier. 38 Sendi dan asas syariat Islam adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam sepenuhnya mengandung keadilan, rahmat kasih sayang, kemaslahatan dan kebijaksanaan. Setiap persoalan yang mengandung kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kesia-siaan bukanlah termasuk syariat Islam. Syariat Islam merupakan wujud dari keadilan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya serta kasih sayang-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya. 39 Dengan demikian, maka telah nampak jelas bahwa tujuan pembentukan syariat Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Manusia yang melaksanakan ajaran agama dengan benar akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Sebaliknya, apabila manusia tidak melaksanakan petunjuk Allah SWT sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-Nya, maka ia tidak akan merasakan kebahagiaan. 40 Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan kebaikan yang menyebabkannya menjadi hukum yang paling kaya, memenuhi segala kebutuhan masyarakat serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Apabila keistimewaan dan kebaikan tersebut dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran- 38 Al-Syâ ṯibî, Al-Muwâfaqât, Juz II, h. 17 39 Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘in, Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah, 1968, Juz III, h. 3 40 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 68-69 32 ajaran Islam yang lain maka akan dapat menciptakan suatu umat yang ideal dan kehidupan yang adil. 41 Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah bersifat mempermudah taysîr. Dalil-dalil na ṣ yang menujukkan hal ini berjumlah sangat banyak, di antaranya yang berasal dari Al-Quran dan Hadis:         Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagi kalian semua dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian semua.” QS. Al-Baqarah: 185 :م ه سر اق ، مامأ يبأ نع حمسلا ي ينحلاب تثعب 42 Artinya: Dari Abû Umâ mah, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus dengan membawa ketauhidan yang longgar mudah. ” HR. A mad : اق م ي نلا نع ريره يبأ نع ه لغ اإ حأ ني لا اشي نل 43 Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya semakin berat dan sulit. ” HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î Untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Islam tidak membebani para mukallaf terkecuali dengan hal-hal yang sanggup mereka kerjakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, Allah SWT menghilangkan masyaqqah agar mukallaf dapat terus-menerus mengerjakan sagala sesuatu yang telah diatur oleh Allah SWT bagi mereka. Syariat Islam menghendaki mukallaf untuk 41 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 119 42 Ibn Ḫanbal, Musnad Aḫmad, Kairo: Muassasah Qurṯubah, Tth , Juz V, h. 266 43 Al-Bukhârî, a ḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16 33 mengerjakan hal yang mudah dan menjauhi hal yang sukar, 44 sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: تلاق شئاع نع : امثإ ن ي مل ام امهرسيأ راتخا اإ نيرمأ نيب ريخ ام 45 Artinya: Dari ‘Âisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah dibingungkan oleh dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya selama hal tersebut tidak mengandung dosa. ” HR. Abû Ya„lâ Dalam pandangan penulis, konsep taysîr tersebut sangatlah relevan dengan prinsip ‘Adam al- arj meniadakan kesusahan dan prinsip Taqlîl al-Takâlîf meminimalisir pembebanan yang sangat dipegang teguh oleh syariat Islam. Prinsip ‘Adam al- arj berarti bahwa syariat Islam sama sekali tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya dalam menjalankannya. 46 Sedangkan prinsip Taqlîl al- Takâlîf berarti bahwa syariat Islam merupakan syariat yang mudah untuk dijalankan dan tidak terlalu membebani mukallaf sebagai subjeknya. 47 Ketika syariat Islam telah terlaksana dan memberikan mafaat bagi kehidupan mukallaf, maka hal ini telah mengindikasikan bahwa Maqâ ṣid al-Syarî‘ah telah terwujud. Taysîr merupakan metode yang digunakan oleh Al-Quran dan para rasul. Rasulullah SAW telah mengajarkan para sahabat agar berlaku mudah. 48 Hal ini terbukti dengan adanya sabda beliau yang berbunyi: ا لت ت ا اع اطت ار نت ا ارشب ارسعت ا ارسي :م ه سر اق ،سيق نب ه ع نع 49 44 Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 197 45 Abû Ya„lâ al-Mû ilî, Musnad Abî Ya‘lâ, Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts, 1984, Juz VII, h. 345 46 Mu ammad Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî, Jakarta: Dâr al-Kutub al- Islâmiyyah, 2007, h. 18 47 Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî, h. 18 48 Yûsuf al-Qaradlâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâ ṣid al-Syarî‘ah, cet. III, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2008, h. 151 34 Artinya: Dari ‘Abdullah bin Qais, Rasulullah SAW besabda: “Mudahkanlah urusan dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari tidak tertarik dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan berselisih ”. HR. Al-Bukhârî dan Muslim Dari konsep taysîr ini, para ulama ahli fikih kemudian merumuskan beberapa kaidah fikih. Kaidah fikih berperan membantu kita untuk memahami tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang ada di balik syariah. 50 Menurut Hasbi ash- Shiddieqy, salah satu kaidah yang berhubungan dengan konsep taysîr dalam syariat Islam adalah kaidah “عستا رمأا اض ا إ”. 51 Adapun di antara hal yang menunjukkan bahwa konsep taysîr sebagai esensi dari kaidah ini adalah landasan hukum dari kaidah ini sendiri. Dalil-dalil yang menjadi landasan dari kaidah ini, baik dari Al-Quran maupun Hadis, merupakan dalil-dalil yang menjelaskan bahwa syariat tidak menghendaki kesusahan dan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya, berdasarkan keterangan para ulama fikih terkait kaidah ini, kaidah ini adalah sebagai salah satu solusi bagi mukallaf yang sedang menghadapi suatu kondisi sempit atau sulit untuk menjalankan suatu aturan hukum yang berlaku. Kondisi sempit atau sulit dalam hal ini bisa disebut dengan masyaqqah. Pada taraf-taraf tertentu, masyaqqah yang dirasakan mukallaf menghendaki kemudahan hukum rukh ṣah. 52 49 Sabda Rasululullah SAW tersebut adalah wasiatnya kepada Mu„âdz Ibn Jabal w. 18 H dan Abû Mûsâ al- Asy„ârî w. 44 H ketika mereka ditugaskan untuk menjadi kepala daerah di Yaman. Meskipun wasiat tersebut disampaikan kepada dua orang sahabat tersebut saja, wasiat tersebut sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam. Lihat Al-Bukhârî, a ḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 136 50 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 68 51 Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 120 52 Na r Fârid Mu ammad Wâ il, Qawaid Fiqhiyyah, h. 58 35 Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah. Esensi yang terkandung dalam kaidah ini adalah untuk menghindarkan manusia dari kesulitan dan kesusahan dalam menjalankan syariat. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan syariat yaitu menghilangkan kesulitan, kesusahan ḫaraj dan kesempitan serta memilih dan mengutamakan rukh ṣah keringanan jika sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan. 53 Kemaslahatan kehidupan manusia sebagai Maqâ ṣid al-Syarî‘ah yang paling utama dapat terwujud ketika manusia telah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan syariat. Peran kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” dalam hal ini adalah sebagai salah satu pertimbangan bagi manusia untuk mengatasi masyaqqah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan kaidah ini, manusia tidak akan lagi merasa terjebak dalam suatu aturan hukum yang kaku. Karena pada hakikatnya, syariat Islam adalah syariat yang lentur, fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi yang dihadapi manusia. Meskipun kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” ini memberikan kesempatan bagi kita untuk mendapatkan keringanan hukum, keluasan hukum yang dikehendaki oleh kaidah ini bukanlah tanpa pembatasan. Bagaimanapun juga, syariat Islam yang telah dirumuskan oleh Syâri‘ memiliki standarisasi tersendiri yang harus kita penuhi. Kita tidak diperbolehkan untuk terlalu menganggap mudah syariah Islam, apalagi sampai meremehkannya. 53 Nûr al-Dîn Al-Khâdamî, Al-Ijtihâd al-Maqâ ṣidî, Qatar: Kitâb al-Ummah, 1998, Juz I, h. 50 36 BAB III POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA

A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia

Hukum keluarga adalah “hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan” atau “hukum yang mengatur perihal hubungan- hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan”. 1 Dalam terminologi fikih, hukum keluarga Islam dikenal dengan berbagai istilah, seperti al-a ḫwâl al-syakhṣiyyah hal-hal yang berhubungan dengan persoalan pribadi, ḫuqûq al-usrah hak-hak keluarga, ḫuqûq al-‘â’ilah hak-hak keluarga, a ḫkam al-usrah aturan-aturan keluarga dan qanûn al-usrah undang- undang keluarga. Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita menemukan istilah-istilah seperti personal statute, Islamic family law dan Moslem family law, untuk menunjuk hukum keluarga Islam. 2 Wahbah Zuhailî w. 1436 H mendefinisikan al-a ḫwâl al-syakhṣiyyah sebagai hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak, nasab, nafkah dan kewarisan. 3 Dengan kata lain, hukum keluarga Islam adalah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota 1 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 13-14 2 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, Jakarta: Kencana, 2013, h. 10 3 Wahbah Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989, h. 19 37 keluarga dalam konteksnya yang khususspesifik dalam hubungan hukum suatu keluarga Muslim. 4 Agar tidak terjadi kerancuan dengan definisi hukum perdata biasa, kita harus mengetahui bahwa hukum keluarga bukanlah hukum yang mengatur hubungan antara keluarga dengan keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang mengatur hubungan di luar hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum keluarga, meskipun hubungan hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan masih dalam satu keluarga. Hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam satu keluarga Muslim yang berkenaan dengan masalah-masalah tertentu. 5 Ruang lingkup hukum keluarga adalah mencakup perkawinan, perwalian, wasiat dan kewarisan. 6

B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia

1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan

Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Pada masa kesultanan Islam, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara, misalnya pada masa pemerintahan Sultan Agung di Aceh dan pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Hukum adat setempat dinilai sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. 7 4 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 13 5 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 11 6 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 30 7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 12-13 38 Sejak awal kehadiran Islam pada abad VII Masehi, tata hukum Islam sudah diterapkan dan dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Setelah Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat kota perdagangan pesisir pantai, terjadi peralihan peran dari kaum saudagar ke tangan para ulama. Para ulama bertindak sebagai fungsionaris dalam penyelesaian sengketa antara sesama pemeluk Islam. Pada masa ini, peradilan informal Tahkim lahir sebagai wadah dan sarana masyarakat kota dalam menyelesaikan persengketaan di bidang perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan yang berorientasi pada sistem mazhab fikih Syâ fi„î. 8 Pada masa-masa kesultanan Islam, rujukan hukum yang bersifat abstrak yang berorientasi pada mazhab Syâ fi„î masih terus digunakan. Salah satu kitab fikih yang berotoritas luas pada masa itu adalah kitab irâ ṯ al-Mustaqîm yang ditulis oleh ulama besar Nuruddin al-Raniri pada abad XVII Masehi. Uraian dan syarah kitab tersebut diperluas dan dijakdikan sebagai standar bahan rujukan penyelesaian sengketa di beberapa daerah kesultanan Islam seperti Palembang, Banten, Demak, Jepara, Ngampel dan Mataram. 9 Beberapa kesultanan Islam pada masa tersebut juga telah mendirikan Peradilan Agama secara formal. Di antara macam-macam peradilan yang ada adalah Pengadilan Penghulu di Jawa, Mahkamah Syar‟iyyah di kesultanan Sumatera Deli, Langkat, Asahan dan Indragiri dan Peradilan Qadli di Banjar 8 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 24 9 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 25 39 dan Pontianak. Para ulama memegang peran sebagai penasihat dan hakim di peradilan-peradilan tersebut. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah peradilan-peradilan tersebut belum memiliki suatu buku hukum yang sistematis. Aturan hukum yang diterapkan masih berupa doktrin fikih yang abstrak sebagaimana masa-masa sebelumnya. 10 Dalam menyikapi situasi tersebut, VOC yang sedang berkuasa saat itu mencoba menerapkan hukum Belanda pada masyarakat. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan kesadaran hukum yang hidup di masyarakat. Kecenderungan kesadaran hukum yang hidup di bidang perkawinan, wakaf dan kewarisan pada saat itu adalah hukum Islam. 11 Kagagalan penerapan hukum Belanda menjadi faktor VOC mengeluarkan Statuta Batavia pada tahun 1642. Isi terpenting dari statuta tersebut adalah penegasan bahwa penyelesaian sengketa waris yang dihadapi oleh orang pribumi yang beragama Islam adalah menggunakan hukum Islam yang dipakai sehari-hari. Selanjutnya, kolonial VOC juga menyusun kitab hukum yang dikenal dengan Compendium Freijer pada tahun 1760. Buku ringkasan ini mengatur tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam. Setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, buku tersebut diberlakukan dan dijadikan rujukan hukum oleh pengadilan dalam 10 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 25-26 11 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 26