Aplikasi Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam Kehidupan Sehari-Hari
28
makanan tersebut dan juga salat dengan menggunakan pakaian di tempat- tempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakmungkinan kita untuk
menghindari dan mengetahui apakah lalat-lalat yang berterbangan di sekitar kita membawa najis atau tidak.
34
8. Fenomena yang terjadi di daerah-daerah yang banyak terdapat anjing
berkeliaran seperti daerah pegunungan dan pesisir pantai. Jika anjing-anjing tersebut tidak sengaja bersentuhan dengan tubuh kita, maka menurut sebagian
ula ma Bani Jam„ân najis tersebut di ma‘fû dan salat yang kita laksanakan tetap
sah. Dalam kondisi seperti ini, hukum persentuhan dengan anjing tersebut adalah sebagaimana hukum persentuhan dengan hewan-hewan lain yang tidak
najis. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya anjing yang berkeliaran sehingga sulit untuk menghindari persentuhan tersebut.
35
Beberapa contoh aplikasi kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” yang telah
disebutkan di atas adalah bersumber dari furû ‘-furû‘ kaidah yang penulis temukan
dari beberapa kitab yang membahas tentang kaidah ini yang mana penulis menilai bahwa furû
‘-furû‘ tersebut masih relavan dengan kondisi yang dihadapi oleh umat Muslim pada saat ini. Adapun selain contoh-contoh di atas, pada dasarnya kita
masih mungkin
menghadapi permasalahan-permasalahan
lain yang
memperbolehkan kita untuk mengaplikasikan kaidah “عستا رمأا اض ا إ” ini karena
dalam kehidupan kita pasti tidak akan luput dari masyaqqah. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan dan keluesan aturan hukum dalam bentuk rukh
ṣah bagi tiap-tiap mukallaf. Meskipun demikian, mukallaf tidak diperbolehkan untuk
34
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115
35
Al-Fadani, Al- Fawâ’id al-Janiyyah, h. 244
29
menyalahgunakan fleksibilitas hukum tersebut seenakanya sendiri, karena hal tersebut secara tidak langsung dapat menghilangkan esensi ibadah dan mu
‘âmalah kita kepada Allah SWT. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita diciptakan
oleh Allah SWT sebagai hamba tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan Aku Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku Allah SWT. ” QS. Al-Dzâriyaat: 56
I. Korelasi antara Kaidah F ikih “عستا رمأا قاض اذإ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah
Islam adalah agama yang memberikan pedoman kehidupan kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju pencapaian
kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan induvidu maupun bermasyarakat. Secara umum, tujuan Syâ
ri‘ dalam mentapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta seluruh kebahagiaan manusia,
baik kebahagiaan dunia yang sementara maupun kebahagiaan di akhirat yang kekal. Tujuan hukum Islam ini dapat kita ketahui dari firman-firman Allah SWT
sebagai berikut:
36
36
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 66
30
Artinya: “Dan tiadalah Kami Allah SWT mengutus kamu Nabi Muhammad
SAW melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. ” QS. Al-Anbiyâ‟:
107
Artinya: “Dan di antara mereka ada orang berdoa, Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Mereka adalah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang
mereka usahakan. Dan Allah SWT sangatlah cepat perhitungan- Nya.” QS. Al-
Baqarah: 201-202 Tujuan hukum Islam dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut Al-
Maqâ ṣid al-Khamsah atau Al-Kulliyyah al-Khamsah. Kelima tujuan tersebut
adalah if ẕ al-Dîn menjaga agama, ifẕ al-Nafs menjaga jiwa, ifẕ al-‘Aql
menjaga akal, if
ẕ al-Nasl menjaga keturunan dan ifẕ al-Mâl menjaga harta. Al-Syaukânî w. 1250 H kemudian menambahkan satu term lagi yaitu
if ẕ al-‘Irdl menjaga kehormatan sebagai bagian dari tujuan hukum Islam
sehingga menjadi enam macam.
37
Keseluruhan bagian dari Maqâ ṣid al-Syarî‘ah di atas adalah bersumber dari
sumber premier hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah memberikan pedoman bagi manusia untuk mewujudkan Maqâ
ṣid al-
Syarî‘ah. Adapun dalam segi praktek, Maqâṣid al-Syarî‘ah tidak harus dilaksanakan secara berurutan dari
if ẕ al-Dîn sebagai bagian yang pertama
sampai if
ẕ al-‘Irdl sebagai bagian yang terakhir. Akan tetapi, prioritas pelaksanaan Maqâ
ṣid al-Syarî‘ah di atas adalah berdasarkan pada tingkat
37
Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fu ḫûl, Riyad: Dâr al-Fadlîlah, 2000, Juz II, h. 901
31
kebutuhan manusia, apakah berada dalam taraf Dlarûriyyah primer, âjjiyyah sekunder atau Ta
ḫsiniyyah tersier.
38
Sendi dan asas syariat Islam adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam sepenuhnya mengandung keadilan, rahmat
kasih sayang, kemaslahatan dan kebijaksanaan. Setiap persoalan yang mengandung kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kesia-siaan bukanlah termasuk
syariat Islam. Syariat Islam merupakan wujud dari keadilan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya serta kasih sayang-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya.
39
Dengan demikian, maka telah nampak jelas bahwa tujuan pembentukan syariat Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan
keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Manusia yang melaksanakan ajaran agama dengan benar akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.
Sebaliknya, apabila manusia tidak melaksanakan petunjuk Allah SWT sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-Nya, maka ia tidak akan merasakan
kebahagiaan.
40
Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan kebaikan yang menyebabkannya menjadi hukum yang paling kaya, memenuhi segala kebutuhan
masyarakat serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Apabila keistimewaan dan kebaikan tersebut dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran-
38
Al-Syâ ṯibî, Al-Muwâfaqât, Juz II, h. 17
39
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘in, Kairo: Maktabah al-Kulliyyât
al-Azhâriyyah, 1968, Juz III, h. 3
40
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 68-69
32
ajaran Islam yang lain maka akan dapat menciptakan suatu umat yang ideal dan kehidupan yang adil.
41
Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah bersifat mempermudah taysîr. Dalil-dalil na
ṣ yang menujukkan hal ini berjumlah sangat banyak, di antaranya yang berasal dari Al-Quran dan Hadis:
Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagi kalian semua dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kalian semua.” QS. Al-Baqarah: 185 :م ه سر اق ، مامأ يبأ نع
حمسلا ي ينحلاب تثعب
42
Artinya: Dari Abû Umâ mah, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus dengan
membawa ketauhidan yang longgar mudah. ” HR. A mad
: اق م ي نلا نع ريره يبأ نع ه لغ اإ حأ ني لا اشي نل
43
Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan
tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya semakin berat dan sulit.
” HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î
Untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Islam tidak membebani para mukallaf terkecuali dengan hal-hal yang sanggup mereka kerjakan secara
terus-menerus. Oleh karena itu, Allah SWT menghilangkan masyaqqah agar mukallaf dapat terus-menerus mengerjakan sagala sesuatu yang telah diatur oleh
Allah SWT bagi mereka. Syariat Islam menghendaki mukallaf untuk
41
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 119
42
Ibn Ḫanbal, Musnad Aḫmad, Kairo: Muassasah Qurṯubah, Tth , Juz V, h. 266
43
Al-Bukhârî, a ḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16
33
mengerjakan hal yang mudah dan menjauhi hal yang sukar,
44
sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
تلاق شئاع نع :
امثإ ن ي مل ام امهرسيأ راتخا اإ نيرمأ نيب ريخ ام
45
Artinya: Dari ‘Âisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah dibingungkan
oleh dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya selama hal tersebut tidak mengandung dosa.
” HR. Abû Ya„lâ Dalam pandangan penulis, konsep taysîr tersebut sangatlah relevan dengan
prinsip ‘Adam al- arj meniadakan kesusahan dan prinsip Taqlîl al-Takâlîf
meminimalisir pembebanan yang sangat dipegang teguh oleh syariat Islam. Prinsip
‘Adam al- arj berarti bahwa syariat Islam sama sekali tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya dalam menjalankannya.
46
Sedangkan prinsip Taqlîl al- Takâlîf berarti bahwa syariat Islam merupakan syariat yang mudah untuk
dijalankan dan tidak terlalu membebani mukallaf sebagai subjeknya.
47
Ketika syariat Islam telah terlaksana dan memberikan mafaat bagi kehidupan mukallaf,
maka hal ini telah mengindikasikan bahwa Maqâ ṣid al-Syarî‘ah
telah terwujud. Taysîr merupakan metode yang digunakan oleh Al-Quran dan para rasul.
Rasulullah SAW telah mengajarkan para sahabat agar berlaku mudah.
48
Hal ini terbukti dengan adanya sabda beliau yang berbunyi:
ا لت ت ا اع اطت ار نت ا ارشب ارسعت ا ارسي :م ه سر اق ،سيق نب ه ع نع
49
44
Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 197
45
Abû Ya„lâ al-Mû ilî, Musnad Abî Ya‘lâ, Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts, 1984, Juz VII, h. 345
46
Mu ammad Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî, Jakarta: Dâr al-Kutub al-
Islâmiyyah, 2007, h. 18
47
Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî, h. 18
48
Yûsuf al-Qaradlâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâ ṣid al-Syarî‘ah, cet. III, Kairo: Dâr
al-Syurûq, 2008, h. 151
34
Artinya: Dari ‘Abdullah bin Qais, Rasulullah SAW besabda: “Mudahkanlah
urusan dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari tidak tertarik dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan
berselisih ”. HR. Al-Bukhârî dan Muslim
Dari konsep taysîr ini, para ulama ahli fikih kemudian merumuskan beberapa kaidah fikih. Kaidah fikih berperan membantu kita untuk memahami
tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang ada di balik syariah.
50
Menurut Hasbi ash- Shiddieqy, salah satu kaidah yang berhubungan dengan konsep taysîr dalam
syariat Islam adalah kaidah “عستا رمأا اض ا إ”.
51
Adapun di antara hal yang menunjukkan bahwa konsep taysîr sebagai esensi dari kaidah ini adalah landasan
hukum dari kaidah ini sendiri. Dalil-dalil yang menjadi landasan dari kaidah ini, baik dari Al-Quran maupun Hadis, merupakan dalil-dalil yang menjelaskan
bahwa syariat tidak menghendaki kesusahan dan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya, berdasarkan keterangan para ulama fikih terkait kaidah ini,
kaidah ini adalah sebagai salah satu solusi bagi mukallaf yang sedang menghadapi suatu kondisi sempit atau sulit untuk menjalankan suatu aturan hukum yang
berlaku. Kondisi sempit atau sulit dalam hal ini bisa disebut dengan masyaqqah. Pada taraf-taraf tertentu, masyaqqah yang dirasakan mukallaf menghendaki
kemudahan hukum rukh ṣah.
52
49
Sabda Rasululullah SAW tersebut adalah wasiatnya kepada Mu„âdz Ibn Jabal w. 18 H dan Abû Mûsâ al-
Asy„ârî w. 44 H ketika mereka ditugaskan untuk menjadi kepala daerah di Yaman. Meskipun wasiat tersebut disampaikan kepada dua orang
sahabat tersebut saja, wasiat tersebut sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam. Lihat Al-Bukhârî, a
ḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 136
50
„Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 68
51
Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 120
52
Na r Fârid Mu ammad Wâ il, Qawaid Fiqhiyyah, h. 58
35
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara kaidah fikih
“عستا رمأا اض ا إ” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah. Esensi yang terkandung dalam kaidah ini adalah untuk menghindarkan manusia dari kesulitan dan
kesusahan dalam menjalankan syariat. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan syariat yaitu menghilangkan kesulitan, kesusahan
ḫaraj dan kesempitan serta memilih dan mengutamakan rukh
ṣah keringanan jika sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan.
53
Kemaslahatan kehidupan manusia sebagai Maqâ ṣid al-Syarî‘ah yang paling
utama dapat terwujud ketika manusia telah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan syariat. Peran
kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” dalam hal ini adalah sebagai salah satu
pertimbangan bagi manusia untuk mengatasi masyaqqah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan kaidah ini, manusia tidak akan lagi merasa terjebak
dalam suatu aturan hukum yang kaku. Karena pada hakikatnya, syariat Islam adalah syariat yang lentur, fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan
kondisi yang dihadapi manusia. Meskipun kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” ini memberikan kesempatan bagi
kita untuk mendapatkan keringanan hukum, keluasan hukum yang dikehendaki oleh kaidah ini bukanlah tanpa pembatasan. Bagaimanapun juga, syariat Islam
yang telah dirumuskan oleh Syâri‘ memiliki standarisasi tersendiri yang harus kita
penuhi. Kita tidak diperbolehkan untuk terlalu menganggap mudah syariah Islam, apalagi sampai meremehkannya.
53
Nûr al-Dîn Al-Khâdamî, Al-Ijtihâd al-Maqâ ṣidî, Qatar: Kitâb al-Ummah, 1998,
Juz I, h. 50
36
BAB III POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA