Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI

47 kredibilitas karena pengetahuan mereka tentang hukum Islam dipandang sangat akrab dengan aturan-aturan hukum yang telah diterapkan dalam masyarakat Muslim. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mendapatkan aspirasi luas dari masyarakat yang nantinya akan menghadirkan hukum- hukum yang mapan dan sesuai bagi masyarakat Muslim Indonesia. 28 c. Penelitian terhadap yurisprudensi Pengadilan Agama dengan cara menganalisis keputusan-keputusan yudisial Pengadilan Agama sepanjang abad-abad sebelumnya yang telah terhimpun. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan argumen paling kuat untuk mendukung penetapan hukum-hukum terkait masalah- masalah tertentu. 29 d. Pengumpulan data melalui perbandingan dengan hukum-hukum yang berlaku di beberapa negara Islam seperti Maroko, Turki dan Mesir. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan studi banding dengan beberapa negara yang Islam yang telah berhasil melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam. Studi ini dilakukan untuk melihat bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana prosedur yudisial dipersiapkan dalam praktek peradilan negara-negara tersebut. Beberapa informasi penting yang diperoleh dari langkah ini adalah tentang sistem peradilan, penyerapan syariah ke dalam hukum nasional dan sumber- 28 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18-19 29 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 19-20 48 sumber yang menjadi hukum terapan dari permasalahan-permasalahan keluarga yang sedang berkembang di negara-negara tersebut. 30 Setelah data-data tersebut dihimpun, tim penyusun kompilasi mengolahnya menjadi konsep KHI. Hasil konsep tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan cendekiawan Muslim melalui lokakarya yang diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1988 di Jakarta. Hasil lokakarya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Pada akhirnya, KHI secara resmi ditetapkan sebagai salah satu sumber hukum materiil untuk perkara-perkara yang diselesaikan di Pengadilan Agama melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun I991 yang diproklamirkan pada tanggal 10 Juni 1991. 31 KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. 32 Pasal-pasal yang dirumuskan dalam KHI adalah bersumber dari produk-produk fikih hasil pemikiran para ulama mazhab yang telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam Indonesia. Di antara kitab-kitab fikih dan usul fikih yang menjadi sumber rujukan materi KHI adalah Al-Bâjûrî, Fat ḫ al-Mu‘în, Qalyûbî, Fat ḫ al-Wahhâb, Targhîb al-Musytâq, Bughyat al-Mustarsyidîn, Al- 30 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 20 31 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Komilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 37 32 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 101 49 Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Mughnî al-Muḫtâj, Al-Muḫallâ, Bidâyat al-Mujtahid, Al-Umm, Al-Mughnî, Al-Muwa ṯṯa’, Fiqh al-Sunnah, Al-Wajîz, I‘ânat al- âlibîn, Al-Qawânîn al-Syar‘iyyah, Fatḫ al-Qadîr dan lain-lain. 33

2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI

Landasan atau dasar hukum keberadaan KHI di Indonesia terdiri dari tiga tahapan, yaitu: a. Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang sudah disepakati oleh para ulama Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan pada 5 Februari 1988. 34 Konsideran Instruksi ini meyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang-bidang tertentu yang diaturnya, yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan. 35 b. Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. 36 Keputusan Menteri Agama ini menyatakan bahwa KHI dapat digunakan untuk meyelesaikan permasalahan hukum di samping peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kesederajatan KHI dengan peraturan perundang-undangan lain yang sedang berlaku. 37 33 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 52 34 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Jakarta: Akademika Pressindo, 2001, h. 53 35 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55 36 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55 37 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57 50 c. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694EVHK.003AZ91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. 38 Dari beberapa landasan hukum yang menjadi dasar KHI di atas, maka kita dapat meyimpulkan bahwa KHI memiliki kedudukan yang sederajat dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Di samping itu, KHI juga bersifat mengikat bagi para pihak yang terkait permasalahan, yaitu pihak yang bersengketa dan para hakim. Kedua belah pihak ini terikat dan berkewajiban sepenuhnya untuk melaksanakan isi dari KHI. Meskipun demikian, kewajiban pelaksanaan KHI ini tidak menutup kemungkinan bagi para hakim Pengadilan Agama untuk melakukan penemuan Hukum. 39

3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia

Materi pokok yang diatur oleh KHI terdiri dari tiga bidang hukum, yaitu sebagai berikut: 40 a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, terdiri atas 19 Bab meliputi 170 pasal pasal 1 sampai dengan pasal 170 38 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57-58 39 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 62 40 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 49 51 b. Buku II tentang Hukum Kewarisan, terdiri atas 6 Bab meliputi 43 pasal pasal 171 sampai dengan pasal 214 c. Buku III tentang Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 Bab meliputi 12 pasal pasal 215 sampai dengan pasal 228 Penyusunan KHI di Indonesia dapat kita pandang sebagai suatu proses transformasi hukum Islam dari bentuk yang tidak tertulis menjadi suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis. 41 Keberhasilan bangsa Indonesia melahirkan KHI merupakan salah satu prestasi besar dalam upaya mewujudkan kesatuan hukum Islam dalam bentuk tertulis. Setelah KHI disahkan menjadi sebuah sumber hukum, semua hakim di lingkungan Peradilan Agama diarahkan kepada persepsi penegakan hukum yang sama. Para hakim Peradilan agama tidak lagi diperkenankan untuk menjatuhkan putusan-putusan hukum yang berdisparitas. 42 Sebagai perangkat hukum, KHI telah menampung bagian dari kebutuhan masyarakat di bidang hukum yang digali dari sumber nilai-nilai hukum yang diyakini kebenarannya. KHI dapat memberikan perlindungan hukum dan ketentraman batin masyarakat, karena ia menawarkan simbol- simbol keagamaan yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral. KHI juga megakomodasi berbagai pandangan dan aliran pemikiran di bidang fikih yang secara sosiologis memiliki daya peran dan daya ikat di 41 Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 8 42 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 150 52 dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, KHI layak untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat yang memerlukannya. 43 KHI disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa untuk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak masing-masing pemeluk Islam, tetapi ditunjuk oleh seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksana penerapan KHI. Sejak KHI dirumuskan, derajat penerapan hukum Islam telah terangkat sebagai hukum perdata resmi yang bersifat publik yang penerapannya dapat dipaksakan oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. 44 43 Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 15 44 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 34-35