Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan
56
Pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, ucapan qabûl nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan ia telah memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah tersebut adalah untuk mempelai pria. Apabila mempelai pria berhalangan
hadir pada majelis akad nikahnya dikarenakan suatu sebab yang sangat mendesak, sedangkan majelis tersebut juga tidak memungkinkan untuk
dirubah waktu pelaksanaannya, maka ia diperbolehkan mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada orang lain yang dipercayainya. Kuasa tersebut harus
berupa kuasa tertulis dan disertai saksi atas perwakilan tersebut. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kebolehan bagi mempelai pria
untuk mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada laki-laki lain atas kuasa darinya sehingga majelis pernikahan tersebut dapat tetap dilangsungkan
dengan tanpa perubahan waktu yang mungkin malah akan menimbulkan kesulitan bagi kedua belah pihak mempelai yang hendak menikah.
6. Penggantian mahar yang hilang dengan barang jenis lain ketika mahar belum
diserahkan kepada mempelai wanita Pasal 36 menyatakan bahwa apabila mahar telah hilang sebelum diserahkan
pada mempelai wanita, maka mahar tersebut dapat diganti dengan barang lain yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli
yang telah hilang. Meskipun mahar bukan termasuk salah satu dari rukun pernikahan, pemberian mahar tetap harus dilakukan oleh mempelai pria,
walaupun hanya berupa barang yang remeh dan kecil. Hal ini dikarenakan mahar merupakan simbol penghargaan bagi mempelai wanita untuk dimiliki
57
oleh laki-laki. Sebelum pernikahan dilangsungkan, biasanya kedua belah pihak telah berdiskusi untuk menentukan bentuk mahar yang akan diberikan.
Apabila mahar yang telah disepakati hilang sebelum diserahkan kepada mempelai wanita, maka pasal ini memberikan keluasan hukum berupa
kebolehan menggantikan mahar dengan barang lain yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli.
7. Ketidakperluan persetujuan istri untuk memberikan izin bagi suami yang
hendak menikah lagi ketika istri berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk diminta persetujuan
Pasal 58 ayat 3 menyatakan bahwa seorang suami tidak memerlukan persetujuan istrinya untuk menikah lagi ketika istrinya berada dalam keadaan
yang tidak mungkin untuk diminta persetujuannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak memberikan kabar minimal selama dua tahun atau
karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Kerelaan pihak istri adalah salah satu syarat yang harus didapatkan oleh suami sebelum
ia memutuskan untuk menikah lagi. Namun, adakalanya persetujuan dari istri untuk suami menjadi hal yang sulit untuk didapatkan dikarenakan sebab-
sebab tertentu, misalnya istri meninggalkan suami selama lebih dari dua tahun tanpa memberikan kabar sama sekali. Oleh karena itu, dalam kondisi
ini, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan bagi suami untuk menikah lagi meskipun tanpa persetujuan dari istrinya.
8. Pengajuan pembatalan pernikahan dikarenakan adanya unsur perbuatan
melanggar hukum dalam pernikahan
58
Perihal ini diatur dalam pasal 72. Ayat 1 pasal ini menyatakan bahwa salah satu pihak suami atau istri boleh mengajukan pembatalan pernikahan apabila
pernikahan yang dilangsungkan berada di bawah ancaman yang melanggar hukum. Selanjutnya, ayat 2 pasal ini menyatakan bahwa pengajuan
pembatalan pernikahan dapat dilakukan apabila pada saat pernikahan berlangsung, terdapat penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
istri. Pasal ini memberikan keluasan hukum bagi salah satu pihak yang dirugikan, baik suami atau istri, untuk mengajukan pembatalan atas
pernikahan yang mengandung unsur zalim. Apabila pernikahan tersebut tetap dilanjutkan maka malah akan meyebabkan kesengsaraan bagi pihak yang
merasa dizalimi. Hal ini tentu tidak akan dapat mewujudkan tujuan pernikahan, yaitu untuk membina rumah tangga sâkinah yang di dalamnya
terdapat mawaddah dan ra ḫmah sebagaimana yang diharapkan oleh pasal 3.
9. Pembebanan pembayaran hutang keluarga kepada harta pribadi suami atau
istri Perihal ini diatur dalam pasal 93. Ayat 3 pasal ini menyatakan bahwa
pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga bisa dibebankan kepada harta pribadi milik suami apabila harta
bersama tidak mencukupi pembayaran hutang tersebut. Begitu juga dengan ayat 4 pasal ini, pertanggungjawaban bisa dibebankan kepada harta pribadi
milik istri. Pada dasarnya, pertanggungjawaban hutang untuk kepentingan keluarga seharusnya dibebankan kepada harta bersama. Akan tetapi, apabila
harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri tidak dapat mencukupi
59
pembayaran hutang tersebut, maka situasi ini menghendaki agar suami atau istri merelakan harta milik pribadinya untuk menutupi kekurangan
pembayaran hutang.