Tahapan Konflik Tinjauan tentang Konflik Sosial 1. Pengertian Konflik Sosial

langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan dalam mencapai tujuan. 2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak memahami posisinya masing-masing secara benar. 3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka. 1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana ketegangan- ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan diungkapkan melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara tersembunyi covert means. 2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan. Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power, balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana masing- masing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation inisiasi terjadi ketika terdapat “pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi dasar terjadinya interaksi. Balancing power kekuatan penyeimbang terjadi di mana masing-masing pihak saling menilai kapabilitas pihak lain dan berkehendak untuk menggunakan kekuatan, ancaman, dan sebagainya, dan mereka secara nyata mengkonfrontasikan isu ketika mereka sampai pada penyelesaian. Balance of power keseimbangan kekuasaan terjadi ketika masing-masing pihak sampai pada suatu pemahaman konsekuensi pendirian dari resolusi sesuatu yang hendak dicapai dan belajar untuk menyesuaikan diri dengan hasil yang dicapai. Disruption gangguan terjadi ketika masing- masing pihak menyadari bahwa keadaan seperti itu dapat memunculkan konflik potensial dan pada akhirnya terjadi konfrontasi permusuhan. Kondisi ini mengalami siklus menjadi inisiation sampai akhirnya konflik tersebut terselesaikan.

4. Penyelesaian dan Penanganan Pasca Konflik

John Galtung melihat konflik dari sisi subyektif dan obyektif yang dapat dikelola melalui ketiga strategi yang saling berhubungan, yaitu peace- keeping, peace making, dan peace building Ryan, 1990. Pada dasarnya gagasan Galtung yang berhubungan dengan konflik ada tiga yaitu perbedaan antara kekerasan langsung pembunuhan, kekerasan struktural kemiskinan dan mati kelaparan, dan kekerasan budaya apapun yang membutakan atau yang membenarkan kekerasan. Kekerasan langsung dapat diselesaikan dengan perubahan perilaku politik, kekerasan struktural dengan memindahkan kontradiksi pertentangan struktural dan ketidakadilan, dan kekerasan budaya dengan mengubah sikap. Sedangkan pada pengelolaan konflik, para pakar mengajukan beberapa alternatif, yaitu bertanding contending, mengalah yielding, pemecahan masalah problem solving, menarik diri withdrawing, dan diam inaction. Hal ini juga dapat dilakukan dengan melalui intervensi campur tangan pihak ketiga. Pendapat lain menyatakan bahwa pihak ketiga tersebut bisa menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan. Model penyelesaian konflik yang paling banyak dilakukan dimasyarakat adalah berbentuk intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud tersebut menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan. Bercovitch mengajukan model kombinasi antara sumber konflik, intensitas konflik dan keterlibatan pihak luar dalam menanganan konflik. Terlibat atau tidaknya pihak luar dalam proses konflik ini diklasifikasikan sebagai bentuk endogenous variabel yang mempunyai anak panah menuju kearah variabel tersebut dan exogenous semua variabel yang tidak ada penyebab-penyebab eskplisitnya atau dalam diagram tidak ada anak panah yang menuju kearahnya. Keduanya merupakan penyelesaian konflik baik pada tingkat konflik terpendam maupun terbuka, dengan menggunakan cara- cara tersendiri sesuai dengan jenis keterlibatan dan intensitasnya. Di bawah ini merupakan kerangka acuan resolusi konflik sosial. Tabel 2.1 Kerangka Acuan Resolusi Konflik Masalah Dituju Strategi Penyelesaian Kelompok Sasaran Perilaku Kekerasan Peace-keeping aktivitas militer Armed groups ‘warriors’ kelompok bersenjata Kepentingan dirasa tidak berkesesuaian Peace-making aktivitas politik Para pengambil keputusan pemimpin Sikap negatif dan struktur sosio- ekonomi Peace-building aktivitas sosio- ekonomi Warga masyarakat biasa ‘pengikut’ Sumber: Ryan, 1990. Di dalam kondisinya yang berkelanjutan itu ada tiga mekanisme pengelolaan konflik, yaitu model kultural, tradisional dan rasional. Semakin terbuka wujud konflik maka semakin mengarah pada model pengelolaan rasional. Pengelolaan konflik model kultural dilakukan untuk mencegah munculnya konflik terpendam agar tidak muncul ke permukaan. Mekanisme cara kerja pengelolaan konflik model tradisional agar tidak berkelanjutan, dilakukan dengan melalui kelembagaan lokal atau lembaga adat setempat. Mekanismenya dilakukan dalam bentuk upacara, mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, musyawarah kekeluargaan atau melalui pengadilan adat setempat. Kelemahan utama model ini adalah cenderung tidak dapat mengakomodasikan memenuhi kebutuhan masalah yang timbul sebagai akses dari kehidupan moderen yang majemuk, dan secara resmi tidak mempunyai kekuatan hukum atau dianggap bertentangan dengan hukum resmi. Pada model rasional, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara melalui jalur lembaga peradilan atau lewat jalur lain yang memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu, negara yang mempunyai kekuatan memaksa yang memang dibentuk untuk tujuan penjagaan keamanan negara. Ada dua kemungkinan menggunakan model ini, yaitu atas kesadaran rakyat sendiri yang berkonflik atau atas keputusan pemerintah setempat. Pendekatan sensitif konflik melibatkan pemahaman yang baik dari interaksi dua arah antara kegiatan dan konteks serta bertindak untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari intervensi campur tangan konflik, dalam memberikan prioritas organisasi. Ada tiga komponen utama sensitivitas konflik: 1. Konflik, untuk memastikan pemahaman yang baik tentang konteks konflik; 2. Analisis interaksi potensial antara program dan konflik; 3. Aksi untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif terhadap konflik. Pendekatan tersebut dirangkum dalam gambar di bawah ini. Gambar 2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik Sumber: Conflict Sensitivity Consortium, n.d.