Tinjauan tentang Masyarakat Rural dan Urban

kehidupannya cendrung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang sering kali menimbulkan pertentangan atau konflik. Munculnya sebuah asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat kota itu pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan mudah menerima perubahan, itu tidak selamanya benar, karena secara implisit dibalik semua itu masih ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial. Karakteristik masyarakat desa pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis pedesaan dan anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong erat, penduduknya sedikit perbeda an penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat perkotaan yaiitu hubungan suasana yang saling memepengaruhi, keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan, masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata, hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks. Menurut Max Weber mengenai “kota”, para ahli kemasyarakatan telah menekankan perbedaan-perbedaan antara masyarakat kota dan desa Weber,1977. Pandangan yang berlaku dahulu bahwa kota adalah “modernt”, bahwa wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat perubahan sosial, sedangkan masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi berlaku. Begitu banyak telah memperlihatkan bukti empiris, bahwa istilah tradisional atau modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah pedesaan atau perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu system kapitalis dunia, sedangkan wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem prakapitalis, tetap diragukan. Hans-Dieter Evers, 1979. Perbedaan masyarakat pedesaan rural da masyarakat perkotaan urban yaitu: 1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam. 2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha. 3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan. 4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri. 5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dengan macam-macam perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen. 6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi Sosial. 7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrim dari masyarakat. Masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki kesamaan yaitu, sama-sama mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, adil dimata hukum, sama rata tidak ada diskriminasi perbedaan perlakuan secara tidak adil, sama- sama wajib membela dan mempertahankan negara, sama-sama wajib bahu- membahu dalam membuat Indonesia menjadi lebih makmur. Dalam hal keburukan suatu komunitas, kota menempati urutan pertama dalam tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakatnya yang beragam dan kondisi sosial dari lingkungan kota itu sendiri, dengan berbagai pengaruh yang berasal dari berbagai sumber serta bidang yang menyertainya. Sisi negative dari kota dapat dilihat dari kebersamaan masyarakatnya yang kurang dan biasanya akan tercipta kelompok-kelompok tertentu yang memiliki perbedaan pandangan, kepedulian yang makin berkurang diantara sesama juga merupakan salah satu hal yang seharusnya perlu dihindari. Hal-hal tersebutlah yang biasanya akan menyebabkan pertikaian diantara kelompok tertentu dengan mengrsampingkan norma- norma yang ada. Sedangkan di pedesaan hal negative yang dapat terlihat adalah masyarakat desa yang kurang dalam mendapat informasi aktual dan disusul dengan keterlambatan mereka dalam menerima informasi karena kondisi wilayah atau geografis desa mereka, serta pemahaman mereka mengenai hal baru yang ada di dunia. Pada kenyataannya tidak semua masyarakat membentuk sebuah harmonisasi. Pada kondisi-kondisi tertentu hubungan antara masyarakat diwarnai berbagai persamaan. Namun sering juga didapati perbedaan-perbedaan, bahkan pertentangan dalam masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Pertentangan sosial dan integritas masyarakat. Ada pun di bawah ini yang merupakan bagian dari faktor penyebab konflik : 1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi- pribadi yang berbeda. 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. 4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarak

D. Kerangka Pemikiran

Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian awal, banyak wilayah di Kabupaten Tanggamus yang memiliki potensi konflik sosial. Menariknyaa, potensi konflik sosial yang ada ditiap wilayah tersebut, memiliki ciri yang khas. Gambaran ini menujukkan bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya pencegahan konflik. Wilayah rural pedesaan dan urban perkotaan, dengan segala karakteristiknya, juga harus mampu dipetakan dengan baik sebagai upaya deteksi dini konflik, sebagaimana yang telah dikemukakan Rudito Famiola, 2008. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Husman 1985 tentang tahapan konflik, latent conflict konflik laten, perceived conflict konflik yang dirasakan, felt conflict merasa konflik, manifest conflict konflik manifest, dan conflict aftermath setelah konflik. Nantiya dengan teori tersebut akan coba digambarkan potensi konflik sosial yang mengacu pada kategori wilayah rural dan urban di Kabupaten Tanggamus. Gambar 3. Kerangka Pemikiran Potensi Konflik Sosial latent conflict, perceived conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath Rural Urban Kajian Komparatif

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh, mendalam dan lengkap, maka tipe penelitian yang sangat memungkinkan untuk mendukung hal tersebut di atas adalah tipe penelitian deskriptif. Penggunaan tipe penelitian deskriptif ini, juga diharapkan mampu untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural pedesaan dan urban perkotaan. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif. Data yang digunakan ialah data intensitas frekuensi baik yang sifatnya masih berupa potensi konflik ataupun konflik yang telah terjadi di Kabupaten Tanggamus Tahun 2014. Kajian komparatif dalam penelitian ini berupa komparatif deskriptif descriptive comparative sebagaimana yang dikemukakan Ulber 2009, yakni membandingkan dua gejala atau lebih. Penggunaan komparatif deskriptif bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural pedesaan dan urban perkotaan. Untuk selanjutnya, kajian komparasi yang dilakukan akan menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus pada wilayah rural pedesaan dan urban perkotaan.

B. Definisi Konseptual

Guna memudahkan dalam penafsiran berbagai teori yang ada dalam penelitian ini, maka ditentukan beberapa definisi konsep yang berhubungan dengan apa yang akan diteliti. Untuk konteks ini definisi konseptual yang dikaji dalam penelitian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Husman 1985 tentang pentahapan konflik, diantaranya yakni: 1. Latent conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya terdapat kondisi-kondisi persaingan di dalam memperoleh sumberdaya. 2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap adanya kondisi-kondisi konflik. 3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi konflik. 4. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana ketegangan-ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan diungkapkan melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara tersembunyi covert means. 5. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik.