dari konflik sosial adalah disfungsi sosial. Disfungsi sosial disini bermakna nilai dan norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi
ditaati, pranata sosial sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam
masyarakat dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pandangan lain dikemukakan oleh para penganut teori konflik dimana penyebab utama konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan
dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi proses kepentingan. Menurut Turner ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik sosial
Setiadi dan Kolip, 2011:363, diantaranya yakni: 1. Ketidakmerataan distribusi pembagian sumber daya yang sangat
terbatas di dalam masyarakat. 2. Ditariknya kembali legitimasi pengesahan penguasa politik oleh
masyarakat kelas bawah. 3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara mewujudkan
kepentingan. 4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas
bawah serta lambatnya mobilitassosial ke atas. 5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi
perpindahan masyarakat bawah oleh elite. 6. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal
perubahan.
3. Tahapan Konflik
Ditinjau dari tahapan, konflik sosial secara sederhana dapat dibagi menjadi dua, yaitu konflik latent dan menifest. Konflik latent sering dimaknai sebagai
konflik terpendam atau konflik potensial. Konflik pada tahap ini masih berada di bawah permukaan, tetapi gejala-gejala permusuhan sudah tampak.
Sikap dan perilakunya mengekspresikan perasaan-perasaan yang bersifat kontra produktif, seperti kesal, dengki, benci, tidak puas, tidak setuju, dan
sebagainya. Sedangkan konflik manifest sering disebut dengan konflik terbuka, yang diekspresikan dalam perilaku nyata dalam bentuk protes,
perlawanan, penyerangan, penentangan, dan sejenisnya. Pada konflik terbuka ini dilihat dari tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya,
secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu tanpa kekerasan dan dengan kekerasan. Konflik tanpa kekerasan termasuk konflik terbuka yang tidak
menimbulkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, harta benda, serta mengganggu keamanan dan merusak tatanan sosial dalam masyarakat.
Sedangkan konflik kekerasan adalah yang menimbulkan kerugian semua itu. Konflik sosial menurut UURI No.7 Tahun 2012 adalah yang termasuk
kategori konflik kekerasan. Fisher et al. 2000 menjelaskan tentang tahapan konflik lebih rinci yang
diurutkan menjadi empat tahapan, yaitu: 1.
Prakonflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian sasaran di antara pihak-pihak yang berkonflik, misalnya memunculkan
sikap tidak senang dan emosi.
2. Konfrontasi: konflik semakin terbuka disertai aksi-aksi kekerasan tingkat rendah, misalnya menyusun kekuatan.
3. Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat menyerupai periode perang, misal menyandera.
4. Akibat: aksi kekerasan menurun, ditandai oleh adanya negosiasi atau usaha untuk mengentikan konflik, misal satu pihak mundur akibat
perlawanan yang tidak seimbang, tidak ada negosiasi. Pascakonflik upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi
kekerasan. Jika tidak ada upaya penyelesaian dengan baik, maka akan kembali pada tahap prakonflik. Gambar di bawah ini merupakan visualisasi
“Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.
Gambar 1. Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.
Sumber: Mason Rychard, 2005
Pohon konflik adalah sarana visualisasi, menggambarkan interaksi antara faktor-faktor struktural, manifest dan dinamis. Akar sebagai pondasi
melambangkan faktor struktural penyebab konflik yang terdiri dari; cultural discrimination atau diskriminasi perbedaan budaya, weak states atau negara
yang lemah, elite politics atau pemegang kekuasaan politik dan group histories atau sejarah kelompok masyarakat. Batang merupakan masalah
nyata, yang menghubungkan faktor struktural dengan faktor dinamis terdapat land alienation keterasingan lahan, dan refugee camp tempat pengungsi.
Daun yang bergerak dengan angin tersebut, merupakan faktor dinamis, terdiri dari; miscommunication atau salah paham, strike atau pemogokan, coups
d’etat atau kudeta perebutan kekuasaan, religion agama, fear rasa takut. Faktor dinamis meliputi bentuk komunikasi, tingkat eskalasi kenaikan,
aspek hubungan dan lain-lain. Bekerja dengan faktor dinamis melibatkan waktu yang singkat; reaksi terhadap intervensi campur tangan yang cepat
dan pada waktu yang tak terduga. Contoh: intervensi diplomatik, atau transformasi perubahan multi-konflik berhadapan langsung dengan bentuk
interaksi antara pihak-pihak konflik. Lebih lanjut, pakar lainnya mengemukakan terdapat lima tahapan konflik
yang dapat disajikan secara berurutan, yaitu: latent conflict, perceived conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath Husman,
1985. 1. Latet conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya
terdapat kondisi-kondisi persaingan di dalam memperoleh sumberdaya
langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan dalam mencapai tujuan.
2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak
memahami posisinya masing-masing secara benar. 3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota
kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan
kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka. 1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana ketegangan-
ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan diungkapkan melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara
tersembunyi covert means. 2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada
tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan.
Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power,
balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana masing- masing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa
potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation inisiasi terjadi ketika terdapat
“pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi dasar terjadinya interaksi. Balancing power kekuatan penyeimbang terjadi