Hukum Pernikahan Sirri Secara Online
Artinya: “wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali”
Keberadaan wali nikah merupakan salah satu syarat yang mesti dipenuhi
oleh pihak perempuan. Sebagian cara pandang yang berkembang di masyarakat bahwa keharusan wali nikah bagi perempuan berdasarkan argumentasi;
perempuan tidak memiliki hak bebas sebagaimana laki-laki.
12
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa wali. Syarat-syarat wali adalah: Islam orang kafir tidak sah
menjadi wali, Baligh anak-anak tiak sah menjadi wali, Berakal orang gila tidak sah menjadi wali, Laki-laki perempuan tidak sah menjadi wali, Adil orang
fasik tidak sah menjadi wali, Tidak sedang ihrom atau umroh.
13
Wali dalam pernikahan secara umum ada tiga macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam. Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai hal
ini:
Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah: Bapak, kakek
bapak dari bapak dan seterusnya ke atas, Saudara laki-laki kandung seibu sebapak, Saudara laki-laki sebapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke
12
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: El-Kahfi, 2008, hlm.228.
13
Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang- undang dan Hukum Perdata BW, Jakarta:PT. Hidakarya Agung, 1981, hlm.28
bawah, Paman saudara dari bapak sebapak, Anak laki-laki paman kandung, Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah
14
Urutan yang telah dipaparkan harus terlaksana secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak
memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh
kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas. Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.
Wali nasab terbagi menjadi dua, yang pertama adalah wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan
itu harus kawin. Wali nasab yang berhak memaksa disebut dengan wali mujbir.
Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab
apabila: Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali, Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaanya, Wali sendiri yang akan
menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai, wali sedang
melakukan ibadah haji atau umroh, anak zina dia hanya bernasab dengan ibunya, walinya gila atau fasik
15
14
M. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, Cet. Ke-15, hlm.53
15
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Bandung: Al-Bayan, 1994, Cet. Ke-1, hlm.62
Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan
kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.
Sebagaimana sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami- istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa
diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandang luas, adil, Islam dan
laki-laki.
16
Pembatasan tentang wali nikah dijelaskan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19, 20,21, 22, dan 23. Diantara pasal-pasal tersebut,
yang cenderung bias gender terdapat pada pasal 19, 20 ayat 1 dan 21 ayat 1. Pasal 19 yang menyatakan “ Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi
calon mempelai
perempuan yang
bertindak untuk
menikahkannya”. Selanjutnya dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim „akil dan baligh‟. Sementara dalam pasal 21 ayat 1 diuraikan bahwa „Wali nasab‟ terdiri dari empat kelompok yang satu didahulukan dari
16
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, Cet.ke-2, hlm.25
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan dengan urutan sebagai berikut:
Pertama, kelompok kerabat garis laki-laki, yaitu garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dan pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara
laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki.
Konsep perwalian yang biasa digunakan di Indonesia, agaknya didasarkan kepada empat mahzab fiqh yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali.
Dalam pandangan keempat mahzab fiqh ini, terdapat kesepakatan bahwa sebuh perkawinan dipandang sah menurut agama apabila disertai dengan wali.
Menurut Wahbah Zuhaily, syarat wali sesuai dengan ijma Fuqoha ada lima. Pertama, kamal al-Ahliyah, artinya orang tersebut dewasa dan berakal.
Kedua, adanya kesamaan agama antar wali dan orang yang dibawah perwaliannya. Ketiga, seorang wali harus laki-laki. Pendapat ini dianut oleh
hampir seluruh ahli fiqh di kalangan empat mahzab, kecuali mahzab Hanafi. Keempat, adil artinya istiqomah dalam menjalankan agama. Kelima, al-rusydu
atau cerdas. Dalam perspektif hukum positif di Indonesia perkawinan atau pernikahan
bagi umat Islam di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah menurut
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun tidak.
17
Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat
Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya dilindungi oleh hukum negara. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan
ketentuan tersebut tidak mempunyai ketentuan hukum. Pada dasarnya pernikahan sirri itu sah menurut hukum Islam apabila sudah
terpenuhinya syarat serta rukun dan pencatatan pernikahan itu hanya sebuah tindakan administratif yang sama halnya pencatatan-pencatatan peristiwa lainnya
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka sebagai warga negara Indonesia yang Negaranya berasas legalitas
18
maka setiap warga negara Indonesia yang baik harus mengikuti aturan pemerintah dimana adanya peraturan yang
berlaku di Negara dan pengharusan pencatatan perkawinan di KUA itu akan terbentuk dengan mendapatkan kepastian hukum serta kekuatan hukum. Maka
bagi warga negara yang tidak mencatatkan pernikahannya di depan Pegawai Pencatat Nikah, maka kan menanggung resiko yuridis, yaitu perkawinannya
dianggap sebagai perkawinan liar dalam bentuk kumpul kebo.
19
Kepentingan pencatatan pernikahan bagi umat Islam itu sebenarnya memiliki dasar hukum Islam yang sangat kuat mengingat perkawinan adalah suatu
ikatan atau perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi,
17
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.26
18
Substansi dari asas legalitas adalah mengendaki agar setiap tindakan badanpejabat administrasi berdasarkan undang-undang.
19
Abd. Somad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm.294
artinya Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar perjanjian-perjanjian yang biasa. Dengan kata lain akad nikah bukanlah sebuah muamalah yang biasa
kan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al- Qur‟an surat
an- Nisa‟ ayat 21:
اًظيلغ اًقا يم م م ْذخأ ضْعب ىلإ ْم ْعب ى ْفأ ْدق ه ذخْأت فْيك Artinya:
“bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami isteri
dan mereka isteri-isterimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. ”
Disamping itu, Allah SWT berfirman pula di dalam surat an-Nisa ayat 59
yaitu: ْم م رْمأْا ىلْ أ سرلا ا عي أ ه ا عي أ ا ماء يذلا ا يأاي
Artinya: “wahai orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian. ”
Adanya keterkaitan dalam memaknai „Ulil Amri‟ yang terdapat di penggalan ayat surat an-Nisa: 59 yaitu adanya kewajiban pencatatan perkawinan
bagi umat Islam, yaitu dapat ditelaah bahwa Undang-undang Negara Inonesia No.11974 tentang Perkawinan dan peraturan Perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan itu adalah merupakan produk legislasi. Maka dari itu, Undang- undang telah memerintahkan setiap perkwinan itu harus dicatat, maka wajib
hukumnya bagi Umat Islam di Indonesia mengikuti ketentuan Undang-undang tersebut, sebagaimana bukti taat warga Negara Indonesia terkait kepatuhan dalam
pencatatan perkawinan yang telah diatur. Praktik pernikahan online yang sedang marak terjadi dibagi menjadi dua
kategori. Praktik pertama yaitu akadnya secara online, promosinya juga melalui
online dalam arti tidak dalam ittihadul majelis dan tidak dihadirkan pula wali sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam syariat Islam. Dalam Kitab Fiqih 4
madhzab terkait iitihadul majlis, mereka menyatakan:
ضفنا و ينبا تجوز ِ ولا ل اق ولف دقعلا سلج د احا ة ر و رض ىلع اعيم ا وقفتا حصي َ رخا ن اكم ل اق م تلبق ج و زلاا ول وقي نا لبق سلجا
Para ulama madzhab sepakat bahwa ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis akad. Sehingga andaikan wali mengatakan „saya nikahkan kamu
dengan puteriku‟ lalu mereka berpisah sebelum suami mengatakan „Aku Terima‟. Kemudian di majlis yang lain atau di tempat lain, dia baru menyatakan
menerima, ijab qabul ini tidak sah.
Pada praktik pernikahan online yang kedua, yaitu dimana online itu hanya
sebagai promosi, untuk menjaring konsumen dan tetap ada akad. Sementara nikahnya tetap datang berhadapan dengan wali yang sah, ada calon suami-istri,
ada wali, saksi, ijab-qabul, intinya terpenuhi semua rukun dan syarat maka hukumnya sah. Tetapi praktiknya yang sekarang ini tengah marak adalah
pernikahan yang digunakan bukan wali yang sah bukan wali nasab melainkan wali yang telah disediakan oleh si jasa penghulu nikah sirri online maka tidak
sah pernikahannya, hal itu sama saja seperti perzinaan. Dari data-data yang penulis telah sebutkan pada pembahasan-pembahasan
sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa dalam hal ini, pernikahan sirri online merupakan praktik pernikahan yang tidak terpenuhi syarat dan rukun, tidak ada
wali, dalam artian wali yang dihadirkan bukanlah wali yang sah sesuai aturan syariat. Pernikahan tersebut jelas tidak bisa disebut sebagai pernikahan yang sah,
melainkan termasuk dalam kategori perzinaan. Meskipun pernikahan yang menggunakan jasa online telah melengkapi rukun dan syarat pernikahan,
pernikahan tersebut tidak dapat dikatakan sah, karena motif yang dimiliki oleh para pihak adalah untuk menghalalkan perbuatan yang haram, yaitu perzinaan
berkedok pernikahan.