ANALISA PERNIKAHAN SIRRI SECARA ONLINE MENURUT

jawab bersama antara pemerintah yang posisikan dirinya sebagai Negara hukum dan keseluruhan bagsa Indonesia sebagai masyarakat hukum. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran dan pemahaman hukum yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itusendiri melainkan kurang maksimalnya peran dan upaya lembaga pemrintahan yang terkai dalam memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.

B. Hukum Pernikahan Sirri Secara Online

Dalam pernikahan perlu terpenuhi syarat serta rukun di dalamnya, menurut Jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing memiliki syarat- syarat tertentu, 4 diantaranya: 1. Calon Suami, dengan syarat: Beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan. 2. Calon Isteri, dengan syarat: Beragama Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat diminta persetujuan. 3. Wali Nikah, dengan syarat: Laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian, tidak terdapat halangan perwalian. 4. Saksi Nikah, dengan syarat: Minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab- qabul dapat mengerti maksud akad, Islam, dewasa. 5. Ijab Qabul, dengan syarat: Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikah tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara ijab dan qabul 4 Kama Rusdiana, Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, hlm. 5-6 bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, serta majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau walinya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi. Syarat sahnya pernikahan adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya seluruh hukum akad pernikahan. Syarat pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan menjadi pendampingnya, tidak ada yang mengharamkan pernikahan diantara kedua belah pihak. Kemudian syarat yang kedua adalah saksi yang mencakup hukum kesaksian dalam pernikahan, syarat-syarat kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan. 5 Salah satu rukun nikah adalah wali. karena wali termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Jumhur Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah, tanpa keberadaan wali 6 . Berdasarkan nash al- Qur‟an disebutkan dalam Surat al-Baqarah, yaitu: نُهَجاَوْزَأ َنْحِكنَي نَأ نُوُلُضْعَ ت َلَف Artinya: “Dan janganlah kalian para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”Qs. Al-Baqarah: 232. Ayat diatas menunjukkan bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan dan dinafikan. Seharusnya para wali merestuinya, bila telah ada keserasian antara kedua calon mempelai, terutama bagi wanita yang gadis perawan. 5 Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fikih Wanita, Terjemah. M. Abdul Ghoffar. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998. Hlm.405 6 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraj, 2003, hlm. 70 Hal ini diperkuat oleh hadis, yaitu; ة أ رما ة أ رما ج و زت َ َ و اهسفن ةأ رما جو زت 7 Artinya: “Janganlah seorang wanita menikahkan wanita yang lain, dan janganlah seorang wanita menikahkan dirinya” Juga berdasarkan hadis, sebagaimana dinyatakan berikut ini: لَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِِنلا نَأ ،َةَشِئاَع ْنَع : َلاَق َم « ٍَِِو َِْْغِب ْتَحِكُن ٍةَأَرْما اََُأَو ،ٍَِِوِب َِإ َحاَكِن ََ َُل َِِو ََ ْنَم َِِو ُناَطْلسلاَف َِِو اَََ ْنُكَي ََْ ْنِإَف ،ٌلِطاَب ٌلِطاَب ٌلِطاَب اَهُحاَكِنَف » 8 Artinya: “ Dari Aisyah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan setiap perempuan yang dinikahkan tanpa wali maka nikahnya batal, batal, batal.” Maksud dari hadis di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang wanita tidak punya kapasitas untuk menikahkan dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahinya 9 , dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. sebagaimana sabda Rasulullah: لط اب اهح اكنف اهيل و ن ل إ ْغب تحكن ةأ رما اُا 10 Artinya: “Barang wanita siapa saja yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya tidak sah” Abdurrahman Al-Jarizy mengatakan tentang wali dalam kitab Al- Fiqh „ala Mazaahib Al- Arba‟ah: اكنلا ى َ ولا ن ودب ّحصي لف دقءلا ةّحص يلء فق وتي ام و ح 11 7 Sunan Ibnu Majjah, Kitab an-Nikah, Bab La Nikah Illa Biwalli, hadis no.1882, jilid 1, hlm.605 8 Abu Daud at-T{ayalis, Musnad Abu Daud at-T{ayalis Mesir: Dar Hajr,1419 H1999 M. Juz III. Hlm. 72 9 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta: ELSAS, 2008, hlm.18 10 Syamsu al-Haq, Kitab Nikah, hadis no.2083, jilid 6, hlm. 70 11 Abdurrahman A-l Jarizi, Al- Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah Beirut: Daar Al-Fikr, t.t Juz 4, hlm. 29 Artinya: “wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali” Keberadaan wali nikah merupakan salah satu syarat yang mesti dipenuhi oleh pihak perempuan. Sebagian cara pandang yang berkembang di masyarakat bahwa keharusan wali nikah bagi perempuan berdasarkan argumentasi; perempuan tidak memiliki hak bebas sebagaimana laki-laki. 12 Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa wali. Syarat-syarat wali adalah: Islam orang kafir tidak sah menjadi wali, Baligh anak-anak tiak sah menjadi wali, Berakal orang gila tidak sah menjadi wali, Laki-laki perempuan tidak sah menjadi wali, Adil orang fasik tidak sah menjadi wali, Tidak sedang ihrom atau umroh. 13 Wali dalam pernikahan secara umum ada tiga macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam. Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai hal ini: Wali Nasab Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah: Bapak, kakek bapak dari bapak dan seterusnya ke atas, Saudara laki-laki kandung seibu sebapak, Saudara laki-laki sebapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke 12 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: El-Kahfi, 2008, hlm.228. 13 Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang- undang dan Hukum Perdata BW, Jakarta:PT. Hidakarya Agung, 1981, hlm.28