Konseptualisasi Pemilu LANDASAN TEORI
Setiap negara di dunia memiliki pola pemerintahan yang berebeda-beda. Hal ini memberi pengaruh pada sistem Pemilu yang digunakan. Secara garis besar,
sistem Pemilu yang digunakan di dunia terbagi menjadi dua bagian, yaitu
36
: 1.
Sistem proposional adalah bentuk penerapan prinsip multi-member constituency atau satu daerah peilihan memilih beberapa orang wakil.
Gambaran umum sistem ini ialah partai politik mencalonkan banyak kandidat pada daerah pemilih. Kemudian masyarakat tidak harus memilih
nama kandidat partai tersebut, melainkan cukup memilih gambar partai politiknya saja.
2. Sistem non-proposional ialah penerapan sistem single-member
constituency atau satu daerah pemilihan, memilih satu wakil saja. gambaran umum sistem ini ialah seorang kandidat yang dicalonkan oleh
partai politik, dan masyarakat yang sudah memenuhi syarat untuk memberikan hak pilihnya dapat memilih foto kandidat partai. Kandidat
dengan perolehan suara terbanyak, dialah pemenangnya. Berdasarkan penjelasan diatas, adapula negara-negara yang menggabungkan
kedua sistem tersebut. Dalam hal tersebut, sistem pemilihannya ialah setiap pemilih memiliki dua suara, yaitu pemilih memilih calon atas dasar distrik dan
pemilih memilih partai atas dasar sistem proposional. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi efek distorsi. Selain hal tersebut, negara-negara yang memiliki multi
partai biasanya membuat peraturan terbaru yaitu electoral threshold. Sistem proposional merupakan sistem Pemilu yang digunakan oleh Indonesia.
Sistem ini merupakan warisan dari kolonial Belanda yang sempat menjajah
36
Anwar Arifin, Komunikasi Politik, h. 220
Indonesia. Sistem ini digunakan oleh Indonesia mulai dari masa demokrasi parlementer 1945-1959 hingga massa demokrasi Pancasila 1965-1998. Di
massa demokrasi parlementer, sistem proporsional mengalami beberapa pembaharuan. Pembaharuan ini terlihat dari sistem pembatasan jumlah partai yang
mengikuti Pemilu. Pada massa demokrasi parlementer, partai yang mengikuti sebanyak 27 partai. Pada massa demokrasi Pancasila memberlakukan fusi bagi
partai. Pemberlakuan sistem fusi ini menghadirkan tiga golongan partai besar yaitu Golongan Spiritual PPP, Golongan Nasionalis PDI, dan Golongan Karya
Golkar. Sistem Pemilu yang dilakukan di Indonesia selama ini mulai diperdabatkan
pada massa reformasi 1998-1999. Hal ini dapat terlihat dari beragam tulisan, artikel yang mulai mempertanyakan sistem Pemilu yang berimbas pada lemahnya
peran legislatif dibandingkan eksekutif, serta ketidakmampuan sistem politik dalam membangun demokrasi selama ini. Hal ini didasari dari sistem kepartaian
pola recruitment legislatif yang tidak efektif. Oleh karena itu sistem Pemilu di massa ini diubah. Pada massa reformasi dibuka kesempatan kembali untuk
mendirikan partai baru. Sehingga pada tahun 1999 diikuti 48 partai. Dampak dari Pemilu 1999 ini dapat dirasakan pada Pemilu 2004. Di tahun
2004 telah diberlakukan pemilihan Presiden dan Wakil presiden secara langsung oleh Rakyat, yang sebelumnya dipilih oleh MPR. Selain hal itu, pembentukan
suatu badan baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah DPD, yang berfungsi mewakili kepentingan daerah khusus. Kemudian adanya peraturan “electoral
threshold ”, yakni ketentuan bahwa untuk pemilihan legislatif, setiap partai harus
meraih jumlah 3 kursi. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden partai
harus meraih minimal 3 jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5 suara sah nasional.
37
Oleh karena itu, Pemilu di massa reformasi dan Pemilu tahun 2004 merupakan Pemilu yang dikatakan memiliki keistimewaan dibandingkan Pemilu-pemilu
sebelumnya. Sistem yang diberlakukan pada Pemilu di tahun 2004 dapat dikatakan sebagai sistem penggabungan antara sistem distrik dan sistem
proposional. Hal ini dapat terlihat bahwa masyarakat tak hanya diberi hak untuk memilih melalui partai nya saja, melainkan masyarakat dapat memilih sosok yang
akan dipilih melaui pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
37
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Prima Grafika, 2008, h. 484
42