Konseptualisasi Hiperealitas LANDASAN TEORI

peristiwa positif dihadapan khalayak. Sehingga persepsi masyarakat dalam proses stimulus akan pandangan seorang elit politik menjadi kabur. Baudrillard dalam simulations, menjelaskan bahwa penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau referensi realitas. Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata sebagai referensinya, sehingga realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri, yang disebut simulacrum simulacrum. 7 Secara sederhana dinyatakan, bahwa sebuah simulasi seakan-akan nyata, sedangkan realitas seakan- akan hanya sebuah representasi atau simulasi semata. Dalam pembentukan sebuah citra dihadapan khlayak, biasanya para elit politik mempergunakan tiga cara, yaitu 8 : 1. Pemilihan Biner Pemilihan Biner merupakan tahap awal yang digunakan oleh elit politik menekankan penggunaan bahasa dalam menghantarkan makna untuk menstrukturkan sebuah realitas. 2. Simulasi Realitas Simulasi realitas merupakan sebuah tindakan yang bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu. Pada simulasi realitas, pembentukan citra hiperealitas memiliki dua sifat dominan, yaitu : a. Reality by proxy Sebuah keadaan dimana seseorang secara sadar tidak mampu membedakan antara realitas dan fantasi. Biasanya elit politik 7 Yasraf Amir Piliang, Post Realitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika, h. 76 8 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, Jakarta: PT Lasswell Visitama,2010, h. 49-53 membentuk citra mengkaburkan realitas dihadapan khlayak, seperti mengklamufase kasus korupsi sebelumnya, dengan sikap membela aksi memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. b. Solusi imajiner Proses menjadikan sesuatu yang non-empiris, serta menyampaikan kesan melalui kecanggihan teknologi, sehingga menjadi fakta yang dapat dirasakan oleh publik. Seperti, iklan, publisitas di media. 3. Logosentrisme Dalam logosentrisme, Jean Baudlliard menemukakan empat tahap dalam proses pencitraan elit politik, diantaranya 9 ; Pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas. Kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas. Ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun. Dalam hal ini dapat terlihat bagaimana sebuah media membentuk sebuah citra. Sebuah informasi yang riil dapat tergantikan oleh sebuah simulasi semata. Hal ini menimbulkan sebuah efek bagi khalayak yaitu mereka tidak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas. Oleh karena itu, hal terpenting dalam melakukan sebuah hiperealitas biasanya media melakukan permainan bahasa dan teknologi. Sehingga dapat membentuk sebuah kekuatan kebenaran pada pesan tersebut. 9 Haryatmoko, Etika Komunikasi, Yogyakarta, Kanisius, 2007, h. 33 Pesan yang dihadirkan oleh seorang komunikator pejabat politik dengan menggunakan media, memberikan sebuah efek dalam pembentuk opini publik. Sebuah pesan tersebut, diberikan secara terus menerus kepada khalayak, sehingga pesan tersebut secara sadar mengendap pada khalayak. Hal ini dijelaskan oleh Gebner yang menyatakan bahwa posisi media massa dan realitas sesungguhnya menghasilkan koherensi yang powerfull dimana pesan media mengkultivasi secara signifikan. Perisitiwa tersebut disebut konsep resonansi. 10

C. Konseptualisasi Citra

Citra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti gambar. Kemudian dikembangkan menjadi gambaran sebagai padanan kata image dalam bahasa Inggris. Pada hakikatnya citra didefinisikan sebagai kontruksi atas representasi dan persepsi khalayak terhadap individu, kelompok, atau lembaga yang terkait dengan kiprahnya dalam masyarakat. Citra pun diartikan sebagai cara anggota organisasi dengan melihat kesan atau persepsi yang ada dibenak orang. 11 Sehingga dapat disimpulkan bahwa citra merupakan gambaran seseorang terhadap seorang individu atau kelompok. Dalam membentuk sebuah citra, tak terlepas dari sebuah proses yang sering disebut pencitraan. Pencitraan ialah proses pembentukan citra melalui informasi yang diterima oleh khalayak secara langsung atau melalui media sosial atau media massa. Jika berbicara mengenai politik, sebuah citra dapat dikaitkan dengan pembentukan persepsi khalayak terhadap seorang figur atau kelompok tertentu dengan menanamkan sebuah nilai dan kepercayaan melalui media massa sehingga 10 Gun Gun Heryanto, Dinamika Komunikasi Politik, h. 169 11 Anwar Arifin, Komunikasi Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, h. 178 dapat membentuk opini publik. Dalam pembentukan sebuah citra politik tak terlepas dari peran media dan para komunikator politikus. Media merupakan alat yang digunakan untuk menyebarluaskan pesan politik yang disampaikan oleh komunikator. Sementara peran dari komunikator politikus ialah berusaha menciptakan citra melalui komunikasi politik dengan tujuan memperoleh dukungan publik. Penggunaan media merupakan alat yang terpenting. Kecanggihan peralatan yang dimiliki oleh media memberikan kemudahan dalam pencitraan. Mohammad Sobary menyatakan bahwa IPTEK dapat membuat seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Dalam hal ini media sebagai alat komunikasi mampu memanipulasi jiwa dan perilaku manusia sesuai kehendak pemesan. Ilmu manipulatif ini dapat membuat seorang tokoh yang otoriter menjadi seolah-olah begitu demokrasi dan peduli terhadap kemanusiaan. 12 Dalam kacamata ilmu komunikasi modern, media tidak saja berfungsi sebagai mediator penyampaian berita, tetapi sebagai sarana pembentukan citra politik. 13 Media massa membangun citra publik tentang figur-figur politik. Hal ini terlihat dari pemilahan isu-isu yang ditampilkan pada khalayak. Media massa memasukkan perhatian terhadap isu-isu tertentu. Seluruh hal tersebut tak terlepas dari peran pemilik dan orang yang berpengaruh dalam pembentukan berita pada sebuah media. 12 Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 274-275 13 Alfan, Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, h. 278