Kerangka hukum perhutanan sosial yang berlaku saat ini

8.2. Kerangka hukum perhutanan sosial yang berlaku saat ini

Beralih ke pokok permasalahan, sebelum membuat diagnosis apakah kerangka hukum perhutanan sosial belum sistematis, maka mula-mula perlu mendeskripsikan peraturan-perundang-undangan, peraturan kebijakan ataupun keputusan yang eksisting terkait perhutanan sosial. Berikut beberapa contohnya:

Kerangka Hukum Perhutanan Sosial Peraturan Per-

x UU Kehutanan No.41 Tahun 1999

UU-an x UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem No.5 Tahun

1990 x UU PPLH No.32 Tahun 2009 1990 x UU PPLH No.32 Tahun 2009

dan Pemanfaatan Hutan x Permen LHK Nomor 28 Tahun 2015

Tentang Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi.

x Permen LHK Nomor 29 Tahun 2015

Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat

x Permen LHK Nomor 30 Tahun 2015

Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Peralatan Pengembangan Usha Ekonomi Produktif Ramah Lingkungan

x Permen LHK Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Hutan

Hak x Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 Tentang

Perhutanan Sosial x Permen LHK Nomor 84 Tahun 2016

Tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan

Peraturan x Perdirjen PSKL Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Tata Kebijakan

Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak x Perdirjen PSKL Nomor 2 Tahun 2017 Tentang

Pedoman Pembinaan, Pengendalian dan Evaluasi Perhutanan Sosial

x Perdirjen PSKL Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial

x Perdirjen PSKL Nomor 4 Tahun 2016

Tentang Pedoman Mediasi Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan

x Perdirjen PSKL Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan

x Perdirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Akses Kelola Perhutanan Sosial x Perdirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Akses Kelola Perhutanan Sosial

2016 Tentang Standar Pengukuran Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) dan Indikator Kinerja Program (IKP) Dtrjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

x Perdirjen PSKL Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Perubahan Peraturan Dirjen Perhutanan

Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor P.3/PSKL/SET/KUM.1/4/2016 tentang Pedoman Pengembangan Usaha Pertanian Sosial

x Perdirjen PSKL Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pedoman Verifikasi Hak Pengelolaan Hutan Desa

x Perdirjen PSKL Nomor 12 Tahun 2016

Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan

x Perdirjen PSKL Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

x Perdirjen PSKL Nomor 14 Tahun

2016 Tentang Pedoman Fasilitasi Pembentukan dan Tata Cara Kerja Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial

x Perdirjen PSKL Nomor 15 Tahun 2016

Tentang Pelayanan Online/Daring Perhutanan Sosial x Perdirjen PSKL Nomor 16 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Desa, Rencana Kerja Usaha, Izin Usaha Pemanfaatan

Hutan Kemasyarakatan dan rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman

Rakyat x Perdirjen PSKL Nomor 17 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat

x Perdirjen PSKL Nomor 18 Tahun 2016 Tentang

Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama

x Peraturan Direktur Jenderal PSKL Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman, pembinaan, pengendalian dan Evaluasi

Keputusan x SK MenLHK Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Peta

Indikatif Areal Perhutanan Sosial x SK Dirjen PSKL Nomor 33 Tahun 2016 Tentang

Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial

x SK Dirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Perubahan lampiran POKJA PS

Kerangka hukum perhutanan sosial yang bersifat peraturan pelaksana pada tingkat praktis yang berlaku saat ini, tentu perlu diperiksa hormani dan disharmoni nya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk melakukannya perlu waktu yang lebih memadai. Peraturan perundang-undangan apa yang perlu dirujuk antara lain:

a. UU Kehutanan No.41/1999

b. UU KSDAHE No.5/1990

c. UU PPHA No.18/2013

d. UU PPLH No.32/2009

e. PP Tata Hutan No.6/2007

8.2.1. Terkait Kewenangan

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 (UU 23/2014) telah mengubah politik desentralisasi kewenangan kepada resentralisasi kewenangan. Pembagian urusan pemerintah berdasarkan UU 23/2014 adalah seperti pada gambar dibawah ini:

Wujud politik resentralisasi terlihat pada beberapa kewenangan pemda kabupaten yang ditarik ke pusat/provinsi khususnya terkait urusan dibidang

kehutanan. Lihat gambar dibawah ini:

Praktis dengan pembagian kewenangan berdasarkan urusan pemerintah, khususnya terkait perhutanan sosial berada pemerintah pusat dan provinsi. KECUALI, urusan yang menyangkut pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat, berada di tingkat kabupaten. Hal ini memiliki sangkut paut yang kuat dengan proses pengukuhan hutan adat yang menjadi kewenangan Menteri LHK.

Untuk lebih jelas, mari kita lihat pembagian urusan pemerintahan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, dibawah ini:

Untuk urusan pemerintahan terkait masyarakat hukum adat yang ada kaitan erat dengan hutan adat, kita perlu melihat urusan pemerintahan pada bidang lingkungan hidup dan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa.

Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU Pemerintahan Daerah No.23 Tahun 2014 diatas harus menjadi rujukan, termasuk bagaimana mengharmonikan UU sektoral seperti UU Kehutanan dan UU PPLH terhadap UU Pemerintahan Daerah. Prinsipnya, pembagian urusan pemerintahan harus merujuk kepada UU Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kewenangan dilakukan dengan 3 cara yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Ada dua hal kunci yang umumnya menjadi faktor efektifnya pelaksanaan kewenangan dan tugas dari pemerintahan, yaitu adanya dasar kewenangan dan dukungan anggaran. Asas desentralisasi didasari oleh sejumlah kewenangan yang telah ditetapkan di dalam UU 23/2014 khsusunya bersumber dari pembagian urusan bersifat konkuren. Kewenangan berdasar asas desentralisasi didanai oleh APBD masing-masing daerah. Kewenangan berdasar asas dekonsentrasi didasarkan pada pelimpahan sebagian kewenangan (kepada Gubernur atau Instansi Vertikal) dan diberikan anggaran dari yang melimpahkan. Sementara tugas pembantuan dijalankan secara bertingkat dari Pusat kepada Gubernur/Bupati/Walikota, dari Gubernur kepada Kabupaten/Kota/Desa dan dari Bupati kepada Desa.

Dalam rangka percepatan PS, dengan komposisi kewenangan dan peluang pelimpahan/ pendelegasian kewenangan berdasar asas desentralisasi, dekonsetrasi dan tugas pembantuan tersebut, peluangnya dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran UPT (BPSKL), KPH sebagai UPTD Provinsi, Bupati dan Desa.

Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan

Keterangan Pemerintahan

Unit

Asas Pembagian Kewenangan

Desentraslisasi Dekonsentrasi

Tugas Pembantuan

UPT

Sudah

Dari sisi anggaran perlu

dijalankan

dinaikkan

melalui pembentukan

BPSKL di 5 wilayah

UPTD (cq. KPH) atau CDK)

KPH atau CDK

KPH dan CDK yang berada di bawah Gubernur, dapat diberikan kewenangan oleh Gubernur melalui Peraturan Gubernur. Gubernur berhak menetapkan kebijakan terkait pelimpahan kewenangan, yang disesuaikan per-uu-an. Oleh krn itu, pada kebijakan tingkat pusat, perlu ada perubahan mengenai kewenangan KPH yang mana memungkinkan KPH memiliki kewenangan untuk pemberian Izin PS. Misal revisi PP.6/2007 dan peraturan pelaksanaanya misal PermenLHK mengenai KPH.

BUPATI / WALIKOTA

Bupati/wali kota

Bupati / walikota

Dalam urusan Pengakuan MHA sudah jelas kewenangan Pemda Kabupaten untuk pengesahan legalnya. Hal ini untuk mendukung percepatan Hutan Adat. Untuk Percepatan skema PS lainnya, bisa digunakan penugasan oleh Gubernur kepada Bupati untuk percepatan skema PS dengan penerbitan Pergub. Penugasan ini harus diikuti oleh pemberian anggaran dari APBD provinsi kepada pemda Kabupaten/kota. Dalam menjalankan tugasnya, Bupati dalam menugaskan OPD nya misalnya Dinas LH atau Dinas Pertanian atau Dinas PMD. Atau jika mau dibentuk khusus, maka dapat membentuk tim Percepatan PS di tingkat kabupaten yang di SK kan oleh Bupati.

DESA

desa

Gubernur dan Bupati dapat menugasi Desa dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Penugasan ini diberikan dengan penerbitan pergub atau perbup. Anggaran dibebankan kepada APBD provinsi atau kabupaten/kota

8.2.2. Pelayanan terpadu satu pintu

Referensi hukum lain terkait dengan pelaksanaan kewenangan adalah dengan melihat sejumlah peraturan perundangan yang terkait dengan perizinan terpadu. Pemerintah Pusat telah menerbitkan peraturan yang mendorong terwujudnya dan Referensi hukum lain terkait dengan pelaksanaan kewenangan adalah dengan melihat sejumlah peraturan perundangan yang terkait dengan perizinan terpadu. Pemerintah Pusat telah menerbitkan peraturan yang mendorong terwujudnya dan

peraturan Menteri yang mendelegasikan kewenangan kepada BKPM-PTSP. Misalnya Kementerian LHK telah

kementerian/Lembaga

dengan

menerbitkan

menerbitkan PermenLHK No.P.97/2014 sebagaimana telah diubah dengan PermenLHK No.P.1/2015 tentang Pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non perizinan dibidang lingkungan hidup dan kehutanan dalam rangka

pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kepada kepala BKPM. Pelaksanaan pendelegasian wewenang perizinan dan non perizinan juga dilakukan pada tingkat provinsi dan kebupaten/kota. Gubernur dan Bupati/Walikota mendelegasikan wewenang kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) melalui Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

8.2.2. Prosedur PS yang sedang berjalan

Peraturan mengenai prosedur pengajuan PS diatur dalam PermenLHK No.83 Tahun 2016 dan sejumlah Perdirjen PSKL. Pengaturan yang bisa kita baca salah satunya adalah mengenai masa waktu pengajuan dan proses permohonan seluruh skema PS. Berikut pengaturannya: (lihat lampiran bagan alir 5 skema PS).

Waktu Proses Permohonan KATEGORI

BENTUK HAK/IZIN

Via Menteri LHK

Via Gubernur

37 hari Hutan

Hutan Desa

HPHD

24 hari

37 hari Kemasyarakatan Hutan Tanaman

IUPHKm

24 hari

37 hari Rakyat Kemitraan

Kehutanan Hutan Adat

Hutan hak/hutan adat 18 Hari

Di dalam PermenLHK 83/2016 tersebut dinyatakan waktu maksimal dalam setiap tahap proses perizinan. Namun demikian, tidak ada ketegasan berupa sanksi apabila jangka waktu tersebut dilewati atau tidak terpenuhi.

Bisa jadi, penentuan batas waktu tersebut sudah tidak relevan lagi jika dibandingkan dengan pengalaman prakteknya. Oleh karena itu batas waktu tersebut perlu diperiksa lagi sesuai dengan kemampuan organisasi LHK yang menangani permohonan PS. Jika pengalaman saat ini, waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada penerbitan izin PS misalnya 3-6 bulan, maka pengaturan batas waktu yang ada di PermenLHK 83/2016 perlu disesuaikan, dengan diberikan sanksi. Sanksi yang dimaksud dapat menggunakan analogi hukum administrative yaitu, jika dalam waktu

90 hari tidak ada kejelasan proses penerbitan izin yang dimohonkan maka permohonan tersebut dianggap telah diterima.

Tabel 8.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS.

Status Peran Pihak

Kewenangan / Tugas

Utama

Pendukung

Menteri Menerbitkan Izin PS

Utama

Gubernur Menerbitkan Izin PS setelah

Utama

mendapat pendelegasian Bupati

Dalam skema PS (selain Hutan Pendukung Adat), hanya mendapat tembusan.

DPRD Prov / Mengesahkan Perda (dalam

Utama

Kab / Kota skema Hutan Adat) Kepala Dinas

Menjalankan verifikasi dan Pendukung Prov

penyiapan konsep izin UPTD Prov

Menjalankan verifikasi Pendukung KPH

Mendapat tembusan Pendukung Pokja PPS

Membantu pemohon dalam pendukung menyiapan syarat-syarat permohonan

Perubahan status peran dari dari pendukung menjadi peran utama, dapat dilakukan jika ada pelimpahan kewenangan baik berdasar asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Misalnya KPH menjadi memiliki peran utama, Pokja PPS dibentuk di Kabupaten sebagai tim percepatan PS melalui SK Bupati.