Nawacita dan Ketimpangan Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

2.3. Nawacita dan Ketimpangan Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

Dokumen Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan berkepribadian, Visi, Misi, dan Program Aksi Joko Widodo – M. Jusuf Kalla yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) memuat sembilan agenda prioritas yang dinamakan Nawacita. Dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden (2014-2019), dokumen itu meningkat statusnya sebagai Janji Politik dan sekaligus amanat rakyat kepada Presiden terpilih untuk melaksanakannya.

Nawacita yang secara esensial diterjemahkan dari semangat dan ajaran Trisakti, yakni: berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, melandasi jiwa dan pelaksanaan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan Nawacita yang secara esensial diterjemahkan dari semangat dan ajaran Trisakti, yakni: berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, melandasi jiwa dan pelaksanaan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan diturunkan menjadi program yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga

pemerintah pusat melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Secara esensial, Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi

membangun Indonesia dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-1019 memuat pula komponen- komponen program Reforma Agraria secara terpisah-pisah.

Program reforma agraria muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap pemasalahan yang paling mendasar dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini, yang dapat dikelompokkan dalam lima hal yaitu kemiskinan pengangguran, ketimpangan sosial, tanah-tanah terlantar, dan sengketa serta konflik pertanahan. Data kependudukan, jumlah orang miskin mencapai 11,22% dari total populasi Indonesia, berada di Pedesaan dan pada umumnya adalah petani dan ternyata sekitar 90% adalah pekerja. Kemiskinan terjadi akibat tidak adanya akses mereka kepada faktor-faktor Produksi, termasuk tanah. Berdasarakaan data terakhir diperoleh informasi bahwa jumlah Petani Gurem (menguasai tanah kurang dari 0,5 Hektar) rnencapai 56% dari total jumlah petani. Disamping ketersediaan tanah yang dimiliki sangat terbatas, kondisi tanah yang berada dalam sengketa/konflik/perkara semakin menutup kesempatan bagi rakyat untuk memanfaatkan tanah secara optimal. Hal ini juga terjadi pada pada kawasan hutan yang menyimpan potensi tetapi tidak termanfaatkan. Berdasarkan data luas areal Hutan Produksi yang dapat di konversi mencapai 13,8 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa potensi sumber daya tanah yang dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat cukup tersedia dan patut dikelola secara professional.

Persoalan lain yang dihadapi bangsa yaitu pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa yang setengahnya berada di pedesaan. Kedua hal tersebut diatas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial.

Kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang paling mendesak karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya berpengaruh kepada aspek

ekonomi semata, namun juga aspek-aspek lainnya termasuk sosial kemanusiaan, rasa keadilan, keamanan dan lainnya. Kedua masalah mendesak tersebut berada pada tataran mikro, sehingga langkah kebijakannya haruslah ekonomi semata, namun juga aspek-aspek lainnya termasuk sosial kemanusiaan, rasa keadilan, keamanan dan lainnya. Kedua masalah mendesak tersebut berada pada tataran mikro, sehingga langkah kebijakannya haruslah

menurunkan kemiskinan dan pengangguran, yang pada tataran makro sekaligus dapat memperkuat stabilitas perekonomian. Kebijakan yang dipandang mampu

mewujudkan semua itu adalah kebijakan Reforma Agraria yang sejalan dengan Nawacita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan rujukan pokok bagi kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang digariskan UUPA dimaksudkan untuk memastikan tanah tidak dimonopoli oleh segelintir penguasa tanah, dengan mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya tergantung pada tanah, terutama para petani produsen makanan.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi landasan sektoral bagi pengaturan jurisdiksi baru bagi keberadaan kawasan hutan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pengakuan hak-hak tenurial masyarakat memperoleh momentum dengan Putusan MK 45/ PUU-IX/2011 dan Putusan MK 35/PUU-X/2012. Selanjutnya, momentum itu berada pada babak yang

sama ketika komitmen hutan untuk rakyat forest for people) di Kementerian Kehutanan hingga 2014, dan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (LHK) semakin menguat dengan mengakselerasi pemberian izin perhutanan sosial untuk kelompok masyarakat dan desa

Reforma Agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses, dan penggunaan lahan. Reforma agraria dilakukan melalui 2 program utama, yaitu alokasi kepemilikan lahan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan pemberian legalitas akses Perhutanan Sosial kepada masyarakat bawah. Kedua program ini sebagai bentuk reformas agrarian telah menjadi target nasional yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.

Dalam RPJMN 2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 2 Tahun 2015, disebutkan target yang harus dicapai dalam program TORA dan Perhutanan Sosial. Target yang ditetapkan untuk program TORA adalah sedikitnya 9 juta ha, yang terdiri dari legalisasi asset 4,5 juta ha dan redistribusi lahan seluas 4,5 juta ha, dimana berasal dari kawasan hutan (hutan negara) yang akan dilepaskan sedikitnya 4,1 juta ha (sisanya dari HGU dan tanah terlantar seluas 0,4 juta ha). Sedangkan untuk Perhutanan Sosial, dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa target perhutanan sosial sampai 2019 adalah 12,7 juta ha dalam bentuk HTR (Hutan

Tanaman Rakyat), HKm (Hutan Kemasyarakatan), HD (Hutan Desa), Hutan Adat, dan Hutan Rakyat.