Mempercepat Pengakuan Hak MAsyarakat Hukum Adat atas Hutan Adat

4.4. Mempercepat Pengakuan Hak MAsyarakat Hukum Adat atas Hutan Adat

4.4.1 Pengantar

Setelah melihat persoalan-persoalan yang terdapat pada hukum nasional (bab 2), kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dinamika kebijakan di daerah (bab 3), maka pada bab ini kita sampai pada pertanyaan: Apa yang semestinya dilakukan Pemerintah untuk mempercepat penetapan hutan adat? Perangkat hukum Setelah melihat persoalan-persoalan yang terdapat pada hukum nasional (bab 2), kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dinamika kebijakan di daerah (bab 3), maka pada bab ini kita sampai pada pertanyaan: Apa yang semestinya dilakukan Pemerintah untuk mempercepat penetapan hutan adat? Perangkat hukum

penetapan hutan adat. Bagaimana membangun interpretasi hukum yang tepat terhadap peraturan perundang-undangan yang ada adalah tantangan yang harus

dijawab oleh Pemerintah. Selain itu, dalam situasi ketidakjelasan peraturan, termasuk ketidaksinkronan yang menyebabkan hambatan dalam penetapan hutan adat, diskresi menjadi pilihan yang penting dipertimbangkan. Pembahasan pada bab

ini difokuskan pada berbagai bentuk interpretasi hukum dan dasar-dasar melakukan diskresi untuk penetapan hutan adat.

4.4.2 Kewenangan Menetapkan Hutan Adat

Menurut Putusan MK 35, hutan adat adalah salah satu bentuk hutan hak. Dengan demikian maka pembahasan mengenai kewenangan terhadap hutan adat juga harus dikaitkan dengan hutan hak. UU 41 menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan

status hutan. 50 Dengan demikian maka Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan menetapkan hutan hak ataupun hutan negara. Penetapan status hutan merupakan bagian dari pengukuhan kawasan hutan. Hal ini jelas tertera dalam Pasal 15 ayat (1) UU 41. Dengan demikian, hutan hak yang di dalamnya terdapat hutan adat itu juga perlu dikukuhkan. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan ada pada Pemerintah Pusat. Karenanya maka pengukuhan kawasan hutan hak semestinya juga menjadi bagian dari kewenangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini KLHK.

Selama ini beredar pandangan bahwa urusan hutan hak adalah urusan pemerintah daerah. Oleh sebab itu dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut- II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak, kewenangan penunjukan hutan hak dibebankan kepada pemerintah daerah. Peraturan ini bertentangan dengan UU

41. Koreksi terhadapnya baru dilakukan sepuluh tahun kemudian, tepatnya tanggal

7 Juli 2015. Permen LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak mencabut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2005. Permen LHK mengenai hutan hak menyebutkan bahwa hutan hak ditetapkan oleh Menteri yang kemudian mendelegasikannya kepada Direktur Jenderal yang membidangi urusan Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (lihat kembali bagian 2.3.16 mengenai pokok-pokok pengaturan hutan hak dalam Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk- Setjen/2015).

50 Pasal 5 ayat (3) UU 41.

4.4.3 Menetapkan Hutan Adat yang telah diakui Pemerintah Daerah

Langkah pertama yang dapat dilakukan Pemerintah, dalam hal ini KLHK, adalah mengakui Keputusan-keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat yang telah ada, untuk menjadi dasar penetapan hutan adat. Dasar hukum untuk ini adalah ketentuan Pasal 15 Permen LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Pasal tersebut menyatakan bahwa hutan adat yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah dinyatakan tetap berlaku dan ditetapkan sebagai hutan hak sesuai dengan Peraturan Menteri No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015.

Apakah penetapan hutan adat dengan dasar Keputusan Kepala Daerah itu tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41? Pasal

5 ayat (3) menyebutkan bahwa hutan adat diakui sepanjang MHA masih ada dan diakui keberadaannya. Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Kami mempunyai dua pilihan argumentasi hukum mengenai hal ini. Pertama, sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU 41, hutan hak adalah hutan yang terdapat di atas tanah yang dibebani hak atas tanah. Oleh karena itu maka pembuktian yang utama adalah terkait dengan penguasaan atas objek hak. Sementara itu, Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) lebih menekankan pembuktian subjek hak. Alih-alih menyatakan Pasal 1 angka 5 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2), kami berpendapat lebih baik kita menyimpulkan bahwa dengan Putusan MK 35 terbuka dua jalur penetapan hutan adat. Yang pertama adalah sejalan dengan Pasal 5 (3) dan Pasal 67 (2) yaitu penetapan berbasis pengakuan pada subjek MHA. Yang kedua, adalah penetapan berbasis pada pengakuan atas objek hutan adat.

Keputusan-keputusan kepala daerah terkait dengan hutan adat adalah pengakuan berbasis objek. Karena UU 41 tidak menyebutkan bahwa pengakuan berbasis objek ini harus berdasarkan Peraturan Daerah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pengakuan objek hutan adat dengan Keputusan Kepala Daerah dapat diterima.

Argumentasi kedua terkait dengan keberadaan Pasal 15 Permen Hutan Hak. Pasal ini diletakkan pada bagian ketentuan peralihan. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya kita perlu mengetahui fungsi ketentuan peralihan dalam peraturan perundang-undangan.

Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 51 menyebutkan bahwa Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang

51 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lampiran I-nya membahas Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mengenai fungsi ketentuan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mengenai fungsi ketentuan

menghindari terjadinya kekosongan hukum; (ii) menjamin kepastian hukum; (iii) memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan (iv) mengatur hal-hal yang bersifat transisiona l atau bersifat sementara.

Dengan mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat maka Permen Hutan Hak sedang menjalankan upaya menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum pada masyarakat yang hutan adatnya telah mendapat pengakuan dari Kepala Daerah.

Penetapan hutan adat berbasis pada pengakuan yang telah dilakukan oleh Kepala Daerah juga merupakan kebijakan transisional. Oleh sebab itu maka pengakuan dengan model ini hanya dapat diberikan sekali untuk semua Keputusan Kepala Daerah yang menetapkan hutan adat sebelum adanya Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Untuk selanjutnya, penetapan hutan adat dilakukan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Peraturan Menteri ini.

KLHK dapat memilih diantara dua argumentasi ini. Keduanya telah memberikan alasan hukum yang kuat untuk mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat sebagai dasar penetapan hutan adat oleh Menteri.

4.4.4. Menetapkan Hutan Adat dimana MHA telah dikukuhkan Pemerintah Daerah

Saat ini di sejumlah daerah terdapat Peraturan Daerah ataupun Keputusan Kepala Daerah yang telah menetapkan MHA. Sebagai contoh adalah Peraturan Daerah di Morowali, Keputusan Bupati di Jayapura dan Halmahera Utara.

Peraturan Daerah di Morowali yang telah menetapkan masyarakat Suku Wana sebagai MHA, misalnya, memberikan dasar yang kuat bagi penetapan hutan adat. Ketiadaan peta wilayah adat dapat disiapkan selanjutnya. Untuk ini diperlukan Keputusan Bupati yang menetapkan wilayah MHA itu dengan lampiran petanya. Setelah terbitnya Keputusan Bupati tersebut maka Masyarakat mengajukan permohonan penetapan hutan adat kepada Menteri LHK, sesuai dengan Permen Hutan Hak. Keputusan Menteri ini menandai perubahan status kawasan hutan dari hutan negara menjadi hutan hak, tanpa mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan.

peralihan lihat angka 127 dari Lampiran ini.

Bagaimana halnya dengan penetapan MHA berdasarkan Keputusan Kepala Daerah? Penyelesaian terhadap hal ini harus dibedakan antara Keputusan Kepala

Daerah yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang tidak berdasarkan Peraturan Daerah. Keputusan Kepala Daerah yang

dibuat berdasarkan Peraturan Daerah mempunyai kekuatan hukum yang lebih daripada Keputusan Kepala Daerah yang tidak berdasarkan Peraturan Daerah.

Dengan pendapat di atas maka untuk Kabupaten Jayapura dimana terdapat Keputusan Bupati baik untuk mengakui wilayah MHA (Keputusan No. 319 Tahun 2014) atau Keputusan yang mengakui kampung adat (Keputusan No. 320 Tahun 2014), dapat dijadikan dasar untuk penetapan hutan adat.

Keputusan No. 319 Tahun 2014 didasarkan atas Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum Adat 52 . Selain itu juga dirujuk Peraturan Daerah Khusus Papua tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. 53 Adapun Keputusan Bupati No. 320 Tahun 2014 tentang Kampung Adat didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No. 8 Tahun 2014 tentang Kampung.

Persoalan yang masih tersisa adalah ketiadaan peta wilayah adat/kampung adat yang disahkan oleh Bupati. Untuk menjawab masalah ini maka Bupati dapat segera menetapkan Keputusan untuk mengesahkan peta-peta tersebut. Setelah itu Menteri dapat menetapkan hutan adat setelah proses validasi dan verifikasi. Dalam kaitan ini, Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 menyebutkan bahwa Menteri dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi MHA untuk memetakan wilayah adatnya, sekiranya produk hukum daerah yang ada belum dilampiri dengan

peta. 54 Sementara itu bagi daerah dimana Keputusan Bupati yang menetapkan MHA

belum didasarkan pada Peraturan Daerah (lihat contohnya Kabupaten Lebak untuk MHA Kasepuhan dan Kabupaten Halmahera Utara untuk MHA Hibualomo), KLHK

perlu mendorong Pemerintah Daerah segera menerbitkan Peraturan Daerah sebagai payung hukum bagi Keputusan-keputusan Bupati itu.

4.4.5. Mendorong diterbitkannya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan MHA dan Wilayah Adat

Di daerah-daerah tertentu, Peraturan Daerah mengenai MHA bersifat umum. Untuk menjadikannya efektif mendorong penetapan hutan adat, para Kepala Daerah perlu

52 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008. 53 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008. 54 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015.

segera menerbitkan keputusan untuk menetapkan MHA tertentu dan wilayah adatnya. Penetapan ini disertai dengan peta wilayah adat sebagai lampiran.

Keberadaan Keputusan Kepala Daerah ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah yang ada. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk menetapkan tanah ulayat. Dengan bahasa yang lain maka Bupati/Walikota berwenang menetapkan subjek MHA maupun objek wilayah adatnya. Peraturan Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 adalah dasar hukum bagi penerbitan Keputusan tersebut.

Dengan pertimbangan di atas maka di daerah-daerah dimana Peraturan Daerah telah tersedia, seperti halnya di Kabupaten Malinau atau di Kabupaten Sigi, Bupati dapat menerbitkan keputusan penetapan MHA dan wilayah adat. Keputusan ini bersama dengan Peraturan Daerah-nya menjadi dasar permohonan penetapan hutan adat.

5.4.6. Memfasilitasi Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah

Dalam hal daerah belum memiliki Peraturan Daerah untuk mengakui dan menetapkan MHA dan wilayah adatnya, KLHK perlu memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Daerah. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri LHK mengenai hutan hak (Pasal 12). KLHK juga dapat memfasilitasi MHA memetakan wilayah adat.

Tindakan proaktif KLHK bertujuan agar penetapan hutan adat dapat dilakukan segera dengan prosedur yang sesuai dengan hukum. Untuk menjalankan

tugas ini maka bimbingan teknis kepada pemerintah daerah diperlukan.

4.4.7. Koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tata cara sebagaimana yang diatur oleh Permendagri No. 52 Tahun 2014 berbeda dengan tata cara yang diatur oleh UU 41 terkait dengan bentuk produk hukum daerah untuk penetapan MHA. Permendagri mensyaratkan Keputusan Kepala Daerah, sedangkan UU 41 meminta Peraturan Daerah. Analisis legistik akan dengan mudah menyatakan bahwa Permendagri No. 52 Tahun 2014 bertentangan dengan UU 41. Namun, ketika pertimbangan keadilan dikemukakan maka simpulan demikian tidak dapat serta-merta diterima. KLHK dan Kementerian Dalam Negeri perlu membahas

masalah ini dengan seksama. Untuk mengatasi masalah ini perlu dibuat Surat Edaran Bersama antara Menteri LHK dan Menteri Dalam Negeri yang memuat: masalah ini dengan seksama. Untuk mengatasi masalah ini perlu dibuat Surat Edaran Bersama antara Menteri LHK dan Menteri Dalam Negeri yang memuat:

berikut: ƒ Keputusan Kepala Daerah dapat diterima sepanjang telah ada

Peraturan Daerah; ƒ Keputusan Kepala Daerah dapat diterima jika Peraturan Daerah

sedang diproses; dan/atau ƒ Keputusan Kepala Daerah dapat dijadikan dasar untuk

pencadangan hutan adat, sementara penetapan definitif menunggu disahkannya Peraturan Daerah

x Arahan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang tepat dalam pengukuhan MHA dan wilayah adat

x Bentuk-bentuk fasilitasi yang dapat disediakan kepada pemerintah daerah Selain itu, koordinasi antara KLHK dengan Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional diperlukan untuk memperjelas status pengakuan hak komunal bagi MHA di dalam kawasan hutan. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa pengakuan hak komunal tersebut mensyaratkan pelepasan kawasan hutan (Pasal 10 ayat 1). Jika hal tersebut dijalankan maka luas kawasan hutan akan berkurang dan pengakuan hutan adat akan kontraproduktif pada tujuan melestarikan hutan. Oleh sebab itu maka perlu disepakati agar penetapan hak komunal di dalam kawasan hutan tidak selalu berujung pada pelepasan kawasan hutan. Untuk ini ada tiga cara yang dapat dilakukan:

x Memasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah 55 perihal ketentuan pendaftaran tanah ulayat. Dalam PP No. 24 Tahun 2007, tanah ulayat tidak menjadi objek pendaftaran tanah.

x Menegaskan dalam revisi PP No. 24 Tahun 2007 bahwa pendaftaran tanah di dalam kawasan hutan dapat dilakukan dengan tidak mengubah peruntukan kawasan. Dengan demikian maka akan terdapat dasar hukum yang lebih kuat untuk hutan hak.

x Setelah ada revisi PP No. 24 Tahun 2007, ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa

55 Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2015, PP 24 Tahun 2007 adalah salah satu peraturan yang akan diubah.

pemberian hak atas tanah dikecualikan untuk kawasan hutan, harus diubah dengan makna baru bahwa pengecualian pemberian hak atas tanah hanya

berlaku pada kawasan hutan negara saja, bukan pada kawasan hutan hak. x Penyempurnaan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 setelah ada revisi pada PP No. 24 Tahun 2007

4.4.8. Mensiasati Kebijakan yang ada

Dari uraian di atas terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada halangan secara hukum bagi KLHK untuk segera menetapkan hutan adat. Kewenangan penetapan hutan adat ada pada Kementerian ini. Sementara itu, ketidaksempurnaan produk hukum daerah yang menjadi landasan bagi pengukuhan subjek ataupun objek hutan adat dapat diatasi dengan mengembangkan sejumlah interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal. Ruang-ruang penemuan hukum terbuka dengan kemampuan kita melakukan interpretasi tersebut. Dengan demikian maka norma-norma hukum yang ada akan efektif mencapai tujuannya. Bagaimanapun norma hukum memerlukan validitas atau daya berlaku dan efektifitas

atau daya guna. 56 Keputusan untuk penetapan hutan adat juga dapat menjadi ranah diskresi

bagi Menteri LHK. Dalam hal ini, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan jaminan hukum yang kuat bagi diskresi dimaksud (lihat tabel 3). Peraturan perundang-undangan nasional yang tidak sinkron dan produk hukum daerah yang tidak sempurna sebaiknya tidak menyebabkan penundaan penetapan hutan adat.

Argumentasi dan pilihan-pilihan hukum untuk memberikan dasar yang kuat bagi penetapan hutan adat telah dibahas secara mendalam dalam bab ini. Setidaknya ada lima upaya yang dapat dilakukan KLHK. Pertama adalah memprioritaskan penetapan hutan adat untuk daerah yang telah mempunyai Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat. Yang kedua adalah membantu mempersiapkan peta wilayah adat dan pengakuannya oleh Kepala Daerah. Hal ini berlaku bagi daerah yang sudah mempunyai Peraturan Daerah yang bersifat spesifik namun belum dilengkapi dengan peta wilayah adat. Yang ketiga adalah mendorong terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA dan wilayah adat di daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum. Keempat adalah memfasilitasi proses pembentukan Peraturan Daerah dan yang

56 Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta: Kanisius, hlm.19.

terakhir adalah melakukan koordinasi antar kementerian untuk menyelesaikan ketidaksinkronan kebijakan. Dengan upaya-upaya ini maka penetapan hutan adat

akan semakin mudah dilakukan.