Beberapa kendala pengakuan hutan adat

4.2. Beberapa kendala pengakuan hutan adat

Menurut Arizona (2015) 32 mengemukakan bahwa rendahnya kinerja capaian pembaruan hukum pengakuan hak-hak masyarakat adat, jika dapat dikatakan begitu, salah satu penyebabnya adalah karena, di satu sisi, agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terjebak pada kerumitan keragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen hukum yang tersedia; dan di sisi lain, seringkali produk hukum daerah itu hanya bersifat deklaratif semata.

Sementara itu Safitri, Berliani, dan Suwito (2015) 33 menyatakan bahwa ketidaksinkronan norma hukum nasional ditengarahi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhinya. Terdapat perbedaan pengaturan mengenai bentuk produk hukum daerah yang valid untuk pengakuan masyarakat hukum adat. Peraturan kebijaksanaan yang telah diterbitkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahu 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2015 tentang Penetapan Hutan Hak, termasuk di dalamnya Penetapan Hutan Adat. Selain itu, terdapat distorsi antara janji politik pemerintah untuk mengakui masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya dengan program pembangunan nasional yang dicanangkan untuk lima tahun ke depan. Kewenangan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat ada pada pemerintah daerah. Namun, hal ini tidak juga mampu mempercepat pengakuan hutan adat. Tidak sesuainya jenis dan materi muatan produk hukum daerah dengan persyaratan penetapan hutan adat oleh Kementerian LHK menjadi penyebab utama. Selain itu pemerintah daerah menganggap tidak memiliki kewenangan mengatur masyarakat hukum adat dan wilayah adat, terutama ketika wilayah itu berada di dalam kawasan hutan. Ada pula keengganan pemerintah daerah memberikan pengakuan itu karena khawatir menghambat investasi di daerahnya. Pokok argumentasinya adalah bahwa ketidaksempurnaan norma hukum di tingkat nasional atau daerah dapat diatasi dengan interpretasi hukum yang

32 Yance Arzona, 2015. Trend Produk (ukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat . Bahan presentasi yang disampaikan pada

Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015.

33 Myrna A. Safitri, Hasbi Berliani, dan Suwito, 2015. Penetapan Hutan Adat. Interpretasi Hukum dan Diskresi. Partnership Policy Paper, No. 7/2015. Jakarta: Kemitraan.

bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal. Atas dasar itu maka kewenangan penetapan hutan adat yang ada pada Kementerian LHK seyogianya

menjadi arena diskresi yang efektif.34 Dalam pada itu Zakaria (2016)35 berpandangan bahwa lemahnya daya ungkit

yang dapat digerakkan oleh kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat itu terjadi tidak bisa dilepaskan dari karena logika hukum yang keliru yang terkandung dalam berbagai kebijakan sebagaimana telah dijelaskan di atas.36 Di samping tidak cocok dengan relitas politik sebagaimana yang dijelaskan Arizona (2015) dan Safitri, Berliani, dan Suwito (2015) terdahulu, logika hukum yang digunakan dan dikukuhkan oleh Putusan MK 35 Tahun 2012 itu sama sekali tidak cocok dengan realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan. Selain itu, para pelaksana maupun pengguna kebijakan itu juga masih gagal melepaskan diri dari gejala generikisasi, sebagaimana dengan mudah dapat dilihat dalam konteks kebijakan turunan di tingkat daerah.37

Perdefenisi masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya, yang keberadaanya ditetapkan melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, wilayah adat dan/atau tanah ulayat didefinisikan sebagai suatu wilayah tertentu yang penguasaannya diatur oleh suatu hak persekutuan yang dipunyai oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang menjadikan wilayah adat dan/atau tanah adanya itu sebagai lingkungan hidup warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.38

34 Lebih lajut lihat Safitri, Berliani, dan Suwito, 2015, ibid. 35 R. Yando Zakaria,

. Strategi Pengakuan dan Perlindungan (ak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi- antropologis , in Jurnal Bhumi, Volume No. , November

, sebagaimana dapat dikakss pada tautan berikut: https://www.academia.edu/30778953/Strategi_Pengakuan_dan_Perlindungan_Hak-

hak_Masyarakat_Hukum_Adat_Sebuah_pendekatan_sosiologi-antropologis_- _Jurnal_Bhumi_Vol_2_No_2_Nov_2016.pdf

36 Zakaria, 2016, ibid. 37 Zakaria, 2016, ibid. 38 Disarikan dari definisi yang dimuat dalam berbagai UU dan Rancangan Undang-Undang

Pertanahan. Setidaknya ada … peraturan perundang-undangan yang telah mengatur pengakuan hak masyarakat adat ini. Masing-masing adalah Masing-masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; (4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (9) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (10) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (11) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Pertanyaannya kemudian adalah, dalam konteks masyarakat (adat) Batak Toba dan atau Minangkabau misalnya, susunan masayarakat seperti saja yang dapat

disebut sebagai suatu susunan dan/atau kesatuan masyarakat hukum adat itu? Dan bentang alam yang mana pula yang dapat disebut sebagai wilayah adat dan/atau

tanah adat itu? Di Ranah Minang susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada

yang disebut kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan tertentu); suku (keluarga luas berdasarkan garis keturanan nenek moyang tertentu), dan juga nagari (suatu kesatuan pemukiman/desa teritorial sekaligus bersifat genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang berasal dari 4 suku yang ada (urang ampek jinih). Masing-masing susunan itu memiliki tanah ulayat yang disebut sako/pusako tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu andiko yang berbeda pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu memiliki kewenangan yang penuh atas sako/pusako, dan tidak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain Franz von Benda-Beckmann, 1979; 39 dan Keebet von Benda- Beckmann, 2000; 40 Franz and Keebet von Benda-Beckman, 2012; 41 Warman, 2010).42

Sementara itu, hasil kajian etnografi yang dilakukan oleh Sjahrir-Pandjaitan dan Zakaria (2017)43 menemukan bahwa entitas sosial di dalam masyarakat Batak Toba yang dapat disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah bius, partolian, golat, dan huta atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Marga raja


 Kecil; (12) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; (13)UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (14)UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (15) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang 
 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 16) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 
 Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-undang otonomi khusus sebagai berikut: (1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan (3) 
 UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat (ukum Adat .

39 Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague:

Martinus Nijhoff.

40 Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.

41 Franz and Kebeet von Benda-Beckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University

Press.

42 Kurnia Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV – Jakarta.

43 Kartni Sjahrir – Pandjaitan dan R. Yando Zakaria. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Laporan Penelitian. Jakarta: Yayasan Sjarir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak

Komunitas Adat (PUSAKA), tidak diterbitkan.

dan marga boru (atau penyebutan lain yang setara dengan sebutan ini) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan marga raja itu sendiri adalah

pemangku hak utamanya. Dengan demikian, kesatuan wilayah di mana bius, partolian, golat, dan huta itu berada dapat pula disebut sebagai wilayah adat

dan/atau (tanah) ulayat dari masing-masing satuan entitas sosial itu. Adapun obyek hak dari masing-masing hak-hak pertuanan/ulayat dari masing-masing subyek hak itu (baca: bius, partolian, golat, dan huta, baik dalam arti berkelompok ataupun

perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru dimaksud) dapat berupa (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan harangan; hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat sudutnya ditandai dengan pagopago berupa biasanya batu besar atau pohon besar, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah disebut saoa atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang berbeda-beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru dimaksud) dapat berupa (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan harangan; hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat sudutnya ditandai dengan pagopago berupa biasanya batu besar atau pohon besar, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah disebut saoa atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang berbeda-beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan,

sholat khusus untuk menyembuhkan orang sakit dengan meditasi disebut tano langlang atau parlanglanga, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan

ini. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah

untuk setiap kaum/buah gadang, suku, atau pun nagari, atau pun bius, partolian, golat, huta, marga raja dan marga boru perlu ditetapka dulu dengan peraturan daerah agar agar masing-masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang berupa tanah ulayat) di Ranah Minang ataupun yang disebut tano rimba dan harangan; parhutaan; saoa atau hauma dan lain penggunaan secara tradisional dikenal dalam masyarakat Batak Toba itu, dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK

/ itu? Jika jawabannya ya , maka bisa dibayangkan betapa sibuknya masyarakat hukum adat dan Pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat

konstitusi!44 Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nilai-nilai positifnya, implementasi Putusan

35/2012, Zakaria (2016) 45 menyarankan pelaksanaan kebijakan ini perlu dilengkapi dan/atau didekati dengan perspektif sosio-antropologis. Hal ini diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud justru menjadi sumber malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat di negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, pada saat yang bersamaan Putusan MK 35/2012 itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan yang telah memberatkan masyarakat adat.