OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL

BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL

7.1. Pengantar

Penataan ulang atas keberadaan sumber-sumber agraria di Indonesia sudah merupakan keharusan. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah membuat satu kebijakan untuk melakukan penataan tersebut. Ada dua skema yang sedang dijalankan untuk penataan ulang tersebut. Skema pertama adalah legalisasi dan redistribusi asset (tanah-tanah yang tidak digarap dengan baik) dalam bentuk pemberian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada rakyat miskin seluas 9 juta hektar. Sedangkan skema kedua adalah penglolaan akses hutan oleh masyarakat miskin di sekitarnya, berupa pemberian izin-izin Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7 juta hektar.

Alasan untuk dilaksanakan program ini adalah: (i) ketimpangan kepemilikan tanah; (ii) ketidakpastian asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iii) ketidakpastian usaha dalam penataan dan pengelolaan asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iv) konflik agraria yang terus berkelanjutan.

Selama setahun terakhir skema pengelolaan akses atas hutan oleh masyarakat paling menonjol dibicarakan pelaksanaannya dalam bentuk perhutanan sosial. Sementara itu, untuk skema distribusi dalam bentuk distribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) belum terlihat menonjol gerakannya.

Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS). Menurut dokumen peta indikatif tersebut terdapat 11,2 juta hektar untuk skema perhutanan sosial, 6,5 juta hektar untuk skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Keberadaan tanah tersebut di seluruh Indonesia dan mencakup 17.448 Desa.

Untuk mempercepat pelaksanaan kedua skema tersebut setidaknya selama ini ada dua langkah utama yang telah diambil. Untuk skema yang pertama, melalui Kantor Staf Presiden (KSP) mendorong hadirnya tim percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang dibentuk melalui SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017, salah satunya adalah Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).

Kemendesa PDTT ini merupakan pokja III yang bertugas untuk pelaksanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca redistribusi (pokja I, yakni KLHK), dan mendapat legalitas dari pokja II, yakni Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Adapun tugas dari Kemenko Perekonomian adalah untuk mengoordinasi, mensinkronisasi dan mengendalikan pelaksanaan secara Kemendesa PDTT ini merupakan pokja III yang bertugas untuk pelaksanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca redistribusi (pokja I, yakni KLHK), dan mendapat legalitas dari pokja II, yakni Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Adapun tugas dari Kemenko Perekonomian adalah untuk mengoordinasi, mensinkronisasi dan mengendalikan pelaksanaan secara

penetapan areal PS dan lokasi TORA di desa-desa melalui pengecekan dan penyesuaiannya dengan keadaan lapangan.

Sementara itu untuk skema kedua adalah menjadikan desa sebagai subyek hukum penerima TORA dan sebagai pemegang perizinan untuk perhutanan sosial. Ini merupakan strategi baru dengan jalan menurunkan informasi pembangunan langsung pada desa. Pemerintah pusat tidak boleh lagi pasif menunggu kehadiran pemerintah daerah untuk aktif meneliti pembangunan daerahnya oleh pusat. Pemerintah pusat aktif mendorong pemerintah daerah dengan cara memberikan informasi pembangunan seluas-luasnya, khususnya pemanfaat TORA dan PS.

Pertanyaannya adalah mengapa desa menjadi subyek hukum dari penerima TORA dan pemegang perizinan PS? Selanjutnya, bagaimana implementasi dari desa

menjadi subyek hukum? Terakhir apa yang harus dilakukan oleh desa? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya dijelaskan terlebih

dahulu mengapa hutan perlu membuka akses untuk masyarakat miskin baik yang berlahan sempit/tidak berlahan di desa di pinggir/dalam hutan. Pada dasarnya ruang pengelolaan hutan oleh masyarakat sebagai pelaku utamanya sudah lama berlaku, terlebih lagi untuk masyarakat adat. Semua bentuk perlindungan hutan sebagai penyangga kehidupan oleh masyarakat setempat.

Selama ini skema yang dikembangkan oleh pemerintah tidak mengakomodasi inisiatif dari bawah tersebut. Skema yang mengemuka selama ini adalah pemberian izin hak atas penguasaan hutan pada modal swasta. Model skema tersebut menyebabkan degradasi fungsi hutan dan memperbanyak kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian perlulah adanya skema perizinan kepada masyarakat dalam bentuk Perhutanan Sosial baik melalui skema Hutan Kemasyarakatan (IUPHK), Hutan Tanaman Rakyat (IUPKKH-HTR), Kemitraan Kehutanan (Kulin KK, IPHPS), Hutan Adat (Kulin HA) dan Hutan Desa (HPHD). Basis dari skema perizinan perhutanan sosial ini dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik (salah satu nawacita).

Hutan Desa suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan Desa dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang

dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,

memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi Merujuk pada P.39/2017.

7.2. Mengapa Desa Menjadi Subyek Hukum?

Pada dasarnya desa merupakan instrumen bernegara level yang paling rendah di Republik Indonesia. Negara Indonesia adalah kumpulan dari warga negara yang tinggal di desa. Oleh sebab itu pelaksana dari penyelenggaraan negara yang paling dekat dengan masyarakat adalah pemerintahan desa. Berdasar UU No. 6 tahun 2014, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan desa (Permendagri 114/2014).

Kendati dalam konteks pengelolaan sumber-sumber agraria sangat minim dilekatkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 (Shohibuddin, 2016), namun permasalah desa dan agraria merupakan dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Secara terminologi dasar saja, desa itu terdiri dari warga desa, pemerintah desa, aturan desa dan teritori (pengusaan sumber-sumber agraria). Dengan demikian, membicarakan desa pada dasarnya membicarakan kesemuanya tanpa terkecuali.

Tantangan terberat dalam desa membangun (tema utama pemerintahan Jokowi-JK dalam pembangunan desa) adalah memajukan perekonomian pedesaan, mengingat ketimpangan pendapatan dan penguasaan sumber-sumber agraria yang semakin lebar terjadi di desa. Menurut data BPS (2016) kondisi perekonomian pedesaan bergerak ke arah yang mengkuatirkan, karena lebih dari separuh Tantangan terberat dalam desa membangun (tema utama pemerintahan Jokowi-JK dalam pembangunan desa) adalah memajukan perekonomian pedesaan, mengingat ketimpangan pendapatan dan penguasaan sumber-sumber agraria yang semakin lebar terjadi di desa. Menurut data BPS (2016) kondisi perekonomian pedesaan bergerak ke arah yang mengkuatirkan, karena lebih dari separuh

tidak lagi memberikan harapan bagi penduduknya. Akibatnya, pada satu sisi semakin menurunnya sumbangan sektor pertanian pedesaan terhadap pendapatan nasional.

Sementara, pada sisi yang lain masyarakat desa lebih tersedot energi kerjanya ke luar desa, baik itu yang secara sementara maupun permanen.

Ditambah lagi dalam peta besar penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia, potret pedesaan di Indonesia berada pada situasi krisis agraria dan krisis pedesaan itu sendiri. Pertama, berlangsung ketimpangan struktur agraria baik itu kepemilikan, penguasaan, distribusi dan pemanfaatannya, serta minimnya akses atas sumber-sumber agraria. Kedua, konflik agraria struktural akibat perebutan klaim atas satu wilayah penguasaan sumber agraria. Selama ini negara lebih memberikan izin dan konsesi pada pemilik modal dalam rangka ekstraksi, eksploitasi dan industrialisasi sumber dalam agraria. Ketiga, kerusakan ekologis akibat dari perilaku ekstraksi tanah oleh kapital besar.

Penjelasan sekilas di atas inilah yang menjadi alasan utama desa sebagai subyek hukum pengelola sumber-sumber agraria di wilayahnya. UU Desa adalah sarana mengembalikan keseluruhan otoritas, fungsi dan peran kelembagaan, serta pengelolaan wilayahnya. Lebih dari itu desa di Indonesia memiliki warna kembali karena keragaman sejarahnya, kekhasan karakter budayanya, spesifikasi tipologi ekolologis, serta lokal wisdom yang menyertainya merupakan kekayaan yang hilang. Setidaknya secara jumlah saja, menurut data BPS Indonesia memiliki 72 ribu desa, yang akan bertambah pada tahun-tahun berikutnya akibat pemekaran desa.

Penjelasan lain yang memperkuat posisi desa sebagai sebagai subyek hukum atas pengelolaan sumber-sumber agraria adalah adanya 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan (Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial 21September 2016). Angka tersebut menunjukkan peningkatan, mengingat sebelumnya menurut data potensi desa dari tahun 2011 ke tahun 2014 terdapat peningkatan jumlah desa hutan di Indonesia, dari 9.937 desa menjadi 21.284 desa. Setidaknya terdapat peningkatan jumlah desa berkisar angka 11.347 desa hanya dalam durasi tiga tahun.

Selain itu masih menurut hasil Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (21September 2016) terdapat angka 71.06% masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan. Ada 48 juta jiwa penduduk tinggal di pinggir/dalam kawasan hutan. Ada 10,2 juta orang miskin di dalam kawasan hutan dan tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum terhadap milik dan aksesnya pada sumberdaya hutan. Sampai dengan tahun 2014, (hanya) terdapat 1 juta jiwa yang sudah masuk dalam program Perhutanan Sosial. Selain itu selama tahun 2015-

2019 terdapat sebanyak 9.800 desa masuk PIAPS, yang tersebar mulai dari ekosistem pegunungan tinggi, dataran rendah, rawa gambut dan bakau. Sehingga nantinya

dibutuhkan proses identifikasi tipologi Perhutanan Sosial. Kendati telah mendapatkan argumentasi yang layak, akan tetapi tetap perlu

diperiksa terlebih dahulu pemaknaan desa sebagai subyek hukum dalam proses pembangunan pedesaan, khususnya dalam konteks penguasaan sumber-sumber agraria. Mengingat dalam perjalanan politik UU Desa dibarengi dengan adanya perdebatan pemikiran antara membangun desa dan desa membangun. Secara aspek struktural membangun desa dalam praktek kewenangan pembangunannya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota, meskipun dalam prakteknya masih harus melibatkan partisipasi masyarakat desa. Sementara itu untuk desa membangun, berdasar pada asas rekognisi dan subsidiaritas telah meletakan masyarakat desa sebagai subyek utama dalam partisipasi pembangunan. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk kelompok-kelompok perempuan, masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme musyawarah desa, atau musyawarah antar desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Akan tetapi dalam konteks pengelolaan akses terhadap program perhutanan sosial keberadaan pemangku hutan tidak bisa ditinggalkan. Desa merupakan subyek hukumnya, namun keberadaan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) sebagai pemangku hutan merupakan wakil dari negara untuk tetap memastikan keberlangsungan konservasi hutan. Keberadaan KPH hanya memastikan keberlangsungan konservasi ekosistem hutan, bukan kepemilikan tanah seperti selama ini terjadi.

Hal lain yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan adalah keberadaan Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang selama ini telah mengakses hutan. Setidaknya terdapat peningkatan jumlah MDH dari tahun ke tahun berdasar kenaikan jumlah desa hutan yang telah disebutkkkan di atas. Peningkatan tersebut tidak hanya sebagai penanda bagi keberadaan desa hutan di Indonesia, akan tetapi juga pesatnya perkembangan masyarakat di lingkungan hutan. Dengan demikian keberadaan MDH perlu mendapat porsi tersendiri dalam skema pengelolaan Perhutanan sosial ke depan. MDH adalah subyek pelaksana atas pengelolaan akses sumber-sumber agraria.

Praktek yang berlangsung selama ini MDH berjalan sendiri dengan pihak kehutanan tanpa bersinggungan dengan desa. Dengan adanya UU No 6 tahun 2014 tentang desa memberi peluang MDH menjadi salah institusi resmi di desa dengan menjadi Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). LKD adalah satu organ resmi yang Praktek yang berlangsung selama ini MDH berjalan sendiri dengan pihak kehutanan tanpa bersinggungan dengan desa. Dengan adanya UU No 6 tahun 2014 tentang desa memberi peluang MDH menjadi salah institusi resmi di desa dengan menjadi Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). LKD adalah satu organ resmi yang

ini mengakses hutan bisa terlibat dalam musyawarah desa. MDH bisa terlibat dalam proses perencanaan dan penentuan arah pembangunan desa berbasis Perhutanan

Sosial dalam musyawarah desa. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk kelompok-kelompok perempuan, masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme

musyawarah desa, atau musyawarah antar desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Dengan demikian berdasar alur penjelasan di atas, perlunya proses kerja sama diantara ketiga kelompok dalam pengelolaan perhutanan sosial sangat dibutuhkan: (i) pemerintah desa; (ii) masyarakat desa hutan; dan (iii) pemangku hutan. Ketiga kelompok ini merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pengelolan perhutanan sosial. Setidaknya gambar di bawah ini menunjukkan saling keterkaitan satu sama lain dalam pengelolaan perhutanan sosial.

Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial

Desa Hutan

Hutan

Ketiganya dapat melakukan fungsi koordinasi dan konsolidasi kegiatan pengelolaan hutan. Setidaknya berdasar atas fungsi kerja masing-masing mereka melakukan perencanaan bersama dalam rangka penentuan dan pembuatan peta definitif areal hutan desa yang disusun secara partisipatif dengan melakukan penetapan dan penegasan Batas Desa (sesuai Permendagri 45/2016). Kegitan tersebut secara praktis melibatkan para pihak dan disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi atas nama Gubernur. Dinamika lapangan ini merupakan tantangan kongrit atas praktek demokrasi langsung yang berbasis pada penataan ulang atas sumber-sumber agraria yang lebih adil.

Begitu juga dengan perencanaan pengelolaan hutan desa yang disusun bersama-sama, mengenai rencana-rencana (i) detail tata kelola hutan; (ii) pemanfaatan dan pelestarian; (iii) pengalaman dan perlindungan; dan (iv) rehabilitasi. Ini merupakan satu keniscayaan kerja-kerja yang membutuhkan Begitu juga dengan perencanaan pengelolaan hutan desa yang disusun bersama-sama, mengenai rencana-rencana (i) detail tata kelola hutan; (ii) pemanfaatan dan pelestarian; (iii) pengalaman dan perlindungan; dan (iv) rehabilitasi. Ini merupakan satu keniscayaan kerja-kerja yang membutuhkan

harusnya berbasis pada kerangka penelitian yang jelas. Sehingga keberadaan dokumen dan kebijakan yang dihasilkan mampu menjawab persoalan dengan tepat.

Semua pemangku kepentingan duduk bersama merumuskan tentang perencanaan dan kebijakan yang akan dilahirkan. Sehingga dapat dipastikan hadir satu rumusan baru dan cara baru dalam mengelolaan sumber-sumber agraria di masa mendatang.

Hadirnya satu metodologi riset bersama itu sekaligus merupakan satu sarana untuk melakukan verifikasi berbagai pemikiran yang berkembang tentang pengelolaan ekonomi desa. Basis dari argumentasinya adalah mempertimbangkan upaya untuk meminimalisasi permasalahan ketimpangan ekonomi di desa. Program reforma agraria dan perhutanan sosial secara teori salah satunya adalah menjawab permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi di desa. Dengan demikian metodologi riset lapangannya juga pada level tertentu harus mampu menjadi sarana verifikasi tentang debat untuk mewujudkan pengelolaan atas sumber-sumber agraria pasca redistribusi (peningkatan usaha tani) semata-mata diletakkan pada industri pertanian atau industri pedesaan.

Pentingnya verifikasi ini untuk melihat dimana kewenangan peningkatan usaha tani diletakkan. Konsepsi industri pertanian mengarah pada kebutuan industri untuk mendukung peningkatan usaha tani di wilayah desa hutan oleh pihak swasta. Dukungan akan peralatan, pembibitan serta dukungan pupuk dan pestisida menjadi basis konsepsi industri pertanian ini. Sementara industri pedesaan menyerahkan kewenangan pengelolaan kepada masyarakat desa untuk pengelolaan dan penataannya.

dalam pengembangan perekonomiannya berlangsung proses transformasi sosial, tanpa menafikan berkembangan industri.

Dengan demikian dalam membicarakan tema Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial jika diletakkan di desa sebagai subyek hukumnya tidak bisa hanya berhenti pada proses redistribusi asset dan aksesnya, serta legalisasi asset dan aksesnya dengan subyek penerimanya. Lebih jauh dari itu, pembicaraannya sudah harus menyertakan konsepsi proses produksi, distribusi dan konsumsi.

Artinya harus hadir pula dalam bentuk struktur administrasi pemerintahan, yaitu harus diikuti dengan program-program lanjutan untuk memperkuat

kemampuan warga di sekitar kawasan hutan, mulai dari penyiapan sarana dan prasarana produksi, pelatihan dan penyuluhan, akses pada informasi pasar, teknologi, akses pembiayaan dan penyiapan pasca panen. Hingga akhirnya terdapat pengembangan aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agro-forestry, tapi kemampuan warga di sekitar kawasan hutan, mulai dari penyiapan sarana dan prasarana produksi, pelatihan dan penyuluhan, akses pada informasi pasar, teknologi, akses pembiayaan dan penyiapan pasca panen. Hingga akhirnya terdapat pengembangan aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agro-forestry, tapi

Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditi Perhutanan Sosial

Non Kayu Jasa Kayu

Pada level yang lain metodologi riset bersama tersebut juga sekaligus dapat menjadi sarana verifikasi atas pentingnya lembaga ekonomi bersama sebagai perantara dari produsen ke konsumen. Kelembagaan ekonomi ini dalam rangka memangkas mata rantai ekonomi yang dianggap memperkecil keuntungan masyarakat desa sebagai produsen. Sehingga dibutuhkan satu proses menuju penguatan ekonomi lokal yang bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa. Konsepsi tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi atau usaha bersama lainnya harus diarahkan pada penguatan ekonomi lokal dan transformasi sosial di pedesaan.

Setidaknya prinsip dari BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Desa PDTT No. 4 tahun 2015. Dalam peraturan tersebut mengatur kehadiran kelembagaan Bumdes melalui mekanisme musyawarah desa, sekaligus penentuan jenis usaha dan langkah-langkahnya. Berdasar Peraturan Menteri Desa PDTT No. 19 tahun 2017, pengembangan usaha BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: untuk huruf (a) pengelolaan hutan Desa, huruf (b) pengelolaan hutan Adat. Bahkan juga difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: huruf (a) hutan kemasyarakatan, (b) hutan tanaman rakyat, sementara untuk huruf (c) kemitraan kehutanan. Artinya keberadaan kelembagaan ekonomi perantara ini juga sudah diarahkan pada pemanfaat hasil-hasil kehutanan pasca redistribusi kepada masyarakat. Artinya berdasar atas peraturan tersebut bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas Setidaknya prinsip dari BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Desa PDTT No. 4 tahun 2015. Dalam peraturan tersebut mengatur kehadiran kelembagaan Bumdes melalui mekanisme musyawarah desa, sekaligus penentuan jenis usaha dan langkah-langkahnya. Berdasar Peraturan Menteri Desa PDTT No. 19 tahun 2017, pengembangan usaha BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: untuk huruf (a) pengelolaan hutan Desa, huruf (b) pengelolaan hutan Adat. Bahkan juga difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: huruf (a) hutan kemasyarakatan, (b) hutan tanaman rakyat, sementara untuk huruf (c) kemitraan kehutanan. Artinya keberadaan kelembagaan ekonomi perantara ini juga sudah diarahkan pada pemanfaat hasil-hasil kehutanan pasca redistribusi kepada masyarakat. Artinya berdasar atas peraturan tersebut bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas

Desa PDTT, namun perjalanan sejarah studi tentang desa telah mencatat keberadan kelembagaan ekonomi perantara ini. Pada tahun 1971 pemerintah telah melahirkan lembaga ekonomi perantara dalam bentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Mengingat strategi pembangunan pedesaan pemerintah adalah peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, dianggap tidak memerlukan perubahan yang bermakna dalam struktur sosial dan sistem kepemilikan tanah (land tenure system). Persepsi pemerintahan di masa lalu (Orde Baru) bahwa kemiskinan masyarakat desa disebabkan karena kelangkaan penguasaan teknologi sehingga produktifitas menurun, di samping karena adalnya kebodohan masyarakat desa (Winarno, 2003:12). Sehingga untuk mendukung kegiatan program pedesaan lebih terkoordinasi alam penyediaan input-input pertanian belaka (Mohoney, 1981: 191-2).

Akibatnya meskipun terjadi peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, program tersebut malah mendongkrak jumlah masyarakat miskin dan memperbanyak petani guram dan tidak bertanah (landless). Adanya kerangka metodologi yang memverifikasi setiap kehadiran konsepsi dan kebijakan di desa sehingga semua yang berlangsung di desa dapat diukur perkembangan dan arahnya.

7.3. Bagaimana Implementasinya?

Pembangunan pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru melahirkan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan itu merugikan petani kecil. Selama proses pembangunan pertanian, praktek usaha tani hanya ditekankan pada aspek produksi semata. Akibatnya posisi tawar petani berada pada titik terendah dalam proses keseluruhan praktek usaha tani. Energi masyarakat pertanian desa dihabiskan pada proses berproduksi, sementara proses distribusi dan pengelolaan konsumsi berada di tangan orang lain. Terdapat beberapa permasalahan kompleks yang merugikan petani kecil yang itu pada dasarnya bisa diurai melalui program desa membangun.

Pertama, permasalahan kepastian hak asset ataupun akses. Program redistribusi dan legalisasi tanah merupakan upaya untuk menjawab permasalahan ketidakpastian yang selama ini menyelimuti petani kecil. Melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial sebagaimana dijelaskan di atas merupakan jawaban atas kebutuhan lahan masyarakat desa yang miskin.

Kedua, masalah permodalan. Selama ini saluran permodalan atau kredit usaha tani hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses terhadap institusi kredit dan perbankan. Prakteknya melalui rekayasa sedemikian rupa, sehingga dengan Kedua, masalah permodalan. Selama ini saluran permodalan atau kredit usaha tani hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses terhadap institusi kredit dan perbankan. Prakteknya melalui rekayasa sedemikian rupa, sehingga dengan

Lemahnya hasil feasibility studi dan persyaratan agunan tidak mampu disediakan oleh masyarakat petani gurem dan tidak bertanah. Hingga saat ini belum ada

kelembagaan permodalan yang bekerja memberi keringanan pada masyarakat petani gurem dan tidak bertanah.

Ketiga, permasalahan saprodi (sarana usaha produksi) pertanian selalu menghantui petani gurem dan petani tidak bertanah. Biaya produksi tidak sesuai dengan nilai hasil panenan. Hal ini merupakan ketidakpastian bagi proses produksi

petani (off farm). Setidaknya ada tiga permasalahan dalam saprodi ini: (i) pupuk yang harganya sering tidak terjangkau oleh masyarakat petani di pedesaan; (ii) benih selalu bermasalah pada produktifitas yang rendah dan tidak tahan terhadap hama penyakit dan iklim. Selain itu juga ketersediaan bibit tidak merata mulai dari pabrik, kemudian pada pedagang sementas, hingga perantara. Hal itu akibat adanya monopoli pihak tertentu. Begitu juga dengan obat-obatan mengalami hal yang sema. (iii) harga pestisidah selalu melonjak sehingga menyebabkan petani mengalami kesulitan untuk proses produksinya.

Keempat, aspek terhadap IPTEK selama ini tidak terjangkau dan sangat terbatas. Sehingga petani penggarap memiliki ketidakmampuan untuk menjangkah. Seringkali hasil panen masyakarat masih sering untuk membimbing petani tak bertanah dan gurem.

Kelima, mental petani yang selama ini kuat untuk proses produksi petani untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi sehari-hari. Tidak berani mengambil usaha tani secara komersial untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa. Dengan demikian peningkatan mental petani sendiri membutuhkan dukungan dari luar dirinya. Dengan mental usaha bertani yang baik akan mempermudah pemasukan.

Keenam, memperpedek pemasaran dan distribusi, seligus mata rantai selama ini. Salah satu caya untuk memperpendak pemasaran dan distribusi yang menyabkan

kerugian pada setiap sektornya. Ketujuh, mitra usaha. Proses kemitraan usaha selama ini lebih

menguntungkan pada pengusaha besar, ketimbang petani tidak bertanah. Sementara usaha petani guram dan tidak bertanah sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari mitra usaha.

7.4. Apa yang harus dilakukan desa

Penataan ulang atas sumber-sumber agraria saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan pembangunan desa. Terlebih lagi dalam upaya untuk penataan ulang Penataan ulang atas sumber-sumber agraria saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan pembangunan desa. Terlebih lagi dalam upaya untuk penataan ulang

Setidaknya terdapat dua pendekatan klasik yang saling bertentangan antara pendekatan kesejahteraan dari atas dan partisipasi dari bawah. Pendekatan pertama, dahulu sangat kental dijalankan oleh rezim politik orde baru bahwa masyarakat desa dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan organisasi yang berguna untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi rakyat dan desa. Sehingga corak yang negara dahulu terhadap desa adalah dominan, menguasai dan memaksa. Pembangunan desa harus mendapat sponsor dan digerakkan oleh negara pusat. Pola pembangunan dari energi negara pusat sebagai suatu strategi yang tepat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan desa. Sementara pendekatan yang kedua adalah partisipasi menyatakan bahwa masyarakat desa pada dasarnya mampu untuk terlibat dalam proses perubahan, tidak pasif. Masyarakat desa bisa memperbaiki diri tanpa adanya intervensi dari negara pusat.

Model yang berhadap-hadapan itu sekarang sudah tidak menemukan jalan lagi untuk dilanjutkan. Menemukan jalan buntunya. Model yang sekarang bermuka dua (hybrid model) sekilas seperti campuran dari model yang berhadap-hadapan tersebut. Pada satu sisi masyarakat desa berpemerinatahan (self government community) dan pada sisi lain pemerintahan lokal (local self government) (lihat pada Zamroni, 2017). Model hibrida ini mepersilahkan desa untuk mengatur dan mengurus lokalitasnya sendiri, namun tetap berada dalam konsepsi Negara Republik Indonesia. Model ini dianggap memberi ruang bagi terbukanya struktur dan aktor desa untuk mengembangkan diri.

Dalam konteks pelaksanaan percepatan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia memungkinkan semua pendekatan digunakan. Pertama-tama perlunya pendekatan grass roots participation melalui berbagai organisasi masyarakat desa sebagai penunjang utama dari pelaksanaan program tersebut. Anggapan bahwa masyarakat desalah yang paling mengetahui kondisi- kondisi hidup mereka, jika birokrasi dan politik tidak melakukan intervensi.

Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, setidaknya membutuhkan pendekatan kedua yang bersifat mempercayakan pada bureaucracy reliant strategy. Pendekatan ini dibutuhkan untuk praktek pengurusan administrasi pemerintahan desa dan interaksi antar struktur pemerintahan lainnya. Birokrasi tetap memiliki peran besar dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat dan desa. Setidaknya birokrasi merupakan salran formal dan berfungsi sebagai kelanjutan instrument dari negara pusat dalam urusan daerah dan lokal (Hansen, 1979: 22).

Sedangkan pendekatan ketiga adalah strategi memusatkan pada tujuan Sedangkan pendekatan ketiga adalah strategi memusatkan pada tujuan

jawab secara otoritatif untuk menjaga stabilitas hubungan dan keseimbangan antara institusi desa (Zamroni, 2017) dan struktur administrasi pemerintahan yang lain.

Dengan demikian peranan pemerintah negara pusat tidak bisa netral sebagaimana diasumsikan oleh pendukung ekonomi neoliberal. Sehingga mau tidak mau ketiga pendekatan harus berkelindan satu sama lain untuk terwujudnya pembangunan

desa. Dalam rangka memperbesar peluang berusaha di wilayah pedesaan, dan

program reforma agraria dan perhutanan sosial adalah pilihannya. Pemerintah negara pusat justru perlu mendorong hadirnya cara baru satu kelembagaan dalam usaha tani pedesaan yang diarahkan tidak saja sekedar guna peningkatan produksi pertanian, lebih jauh dari itu berupa peningkatan skala usaha tani itu sendiri. Program reforma agraria dan perhutanan sosial menemukan jalannya di desa. Dengan demikian pemerintah bisa mendorong terjadinya transformasi agraria di desa. Pada akhirnya dapat menghantarkan satu proses evolusi usaha tani keluarga desa ke usaha tani badan usaha bersama desa yang memenuhi skala ekonomi yang lebih luas dan manajerial yang lebih baik. Tentu saja aktifitas ini haruslah ditujukan pada kelompok masyarakat desa yang berapa dalam lapisan paling tidak diuntungkan oleh sistem dan struktur sosial (Luthfi dan Shohibuddin, 2012: 361-2).

Dengan demikian dukungan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial diletakkan di desa merupakan keniscayaan. Penggunaan dana desa untuk percepatan pelaksanaan, proses pelaksanaan dan perencanaan daya dukungnya tidak saja berhenti pada proses redistribusi dan legalisasi saja. Hal ini jika masih membutuhkan keberlanjutan antara peningkatan produktifitas, daya dukung lingkungan serta jaminan kesejahteraan rakyat dan desa, maka dana desa bisa berperan lebih jauh dan diletakkan hingga diujung program.