Fragmentasi Anggaran Perhutanan Sosial dan Ketimpangan Estimasi

6.3. Fragmentasi Anggaran Perhutanan Sosial dan Ketimpangan Estimasi

Belanja penyiapan kawasan hanya sebesar 18 persen dari total anggaran perhutanan sosial pada tahun 2015-2017. Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial dialokasikan melalui pos satuan kerja (Satker) Direktorat PKPS dan UPT/Balai Perhutanan Sosial. Pada tahun anggaran 2015-2017 jumlah pagu anggaran untuk membiayai kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial tidak pasti dengan rata-rata berkisar pada angka Rp38,76 miliar per/tahun atau setara 18 persen dari anggaran perhutanan social. Secara terperinci alokasi anggaran untuk kegiatan penyiapan kawasan pada tahun 2015 adalah sebesar Rp41,49 miliar, yang mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi Rp32,56 miliar, lalu kembali meningkat menjadi sebesar Rp42,24 miliar pada tahun anggaran 2017.

Sebesar 63 persen anggaran PKPS dikelola oleh Satker Balai/UPT Perhutanan Sosial dan 37 persen lainnya diatur penggunaannya oleh Direktorat PKPS. Pada

tahun 2015 distribusi anggaran ke UPT masih menggunakan balai pengelola daerah aliran sungai (BP DAS), karena balai perhutanan sosial sendiri baru terbentuk tahun

2016 dan mulai aktif dilakukan penyesuaian dipertengahan tahun yang sama.

Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di APBN TA 2015-2017

2017 Anggaran Penyiapan Areal Perhutanan Sosial

Ratio Pertumbuhan Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah

Penggunaan anggaran kegiatan penyiapan kawasan juga dipergunakan untuk kegiatan yang tidak sepenuhnya relevan. Berdasarkan perencanaan, anggaran penyiapan areal kawasan perhutanan sosial tidak seluruhnya dibelanjakan yang terkait langsung aktivitas pemberian akses ijin perhutanan sosial. Namun masih terbagi lagi untuk anggaran kegiatan pembuatan regulasi, anggaran pemanfaatan di bawah tegakan hutan dalam bentuk agroforestry pada areal HD, HKm, HTR, HR melalui pemberdayaan masyarakat serta untuk mendanai biaya operasional perkantoran. Padahal dibutuhkan anggaran yang besar untuk tahapan penyiapan areal perhutanan sosial.

Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial yang dikelola oleh Direktorat PKPS dan 5 (lima) Balai PSKL (Balai Sumatera, Balai Jawa, Bali dab Nusra, Balai Kalimantan, Balai Sulawesi dan Balai Maluku-Papua) juga mencakup tiga output yaitu: (1) luas hutan yang dikelola masyarakat menjadi 12,7 juta Ha dalam bentuk HKm, HD, HTR, HR, Hutan Adat dan Kemitraan; (2) tersedianya regulasi hak dan akses masyarakat atas hutan; dan (3) luas pemanfaatan di bawah tegakan hutan dalam bentuk agroforestry. Sehingga anggaran yang tersedia tetap harus dibagi Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial yang dikelola oleh Direktorat PKPS dan 5 (lima) Balai PSKL (Balai Sumatera, Balai Jawa, Bali dab Nusra, Balai Kalimantan, Balai Sulawesi dan Balai Maluku-Papua) juga mencakup tiga output yaitu: (1) luas hutan yang dikelola masyarakat menjadi 12,7 juta Ha dalam bentuk HKm, HD, HTR, HR, Hutan Adat dan Kemitraan; (2) tersedianya regulasi hak dan akses masyarakat atas hutan; dan (3) luas pemanfaatan di bawah tegakan hutan dalam bentuk agroforestry. Sehingga anggaran yang tersedia tetap harus dibagi

Seluruh anggaran proses bisnis penyiapan areal perhutanan sosial pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL, 42% dibelanjakan untuk kegiatan sosialisasi, koordinasi pelaksanaan dan updating PIAPS. Sedangkan kegiatan fasilitasi usulan HD, HKm, HTR dan Kemitraan dialokasikan 22%, kegiatan verifikasi dan legalisasi usulan sebesar 19% dan kegiatan monitoring dan evaluasi sebesar 5% serta kegiatan pelaksanaan ketatausahaan dan umum administrasi sebesar 9%.

Ketimpangan satuan biaya untuk merealisasikan perhutanan sosial disebabkan oleh tidak adanya ketegasan untuk menetapkan benchmark secara

nasional. Selain terbatasnya dukungan APBN setiap tahun, masalah lain yang penting menjadi perhatian pemerintah adalah masih timpangnya antara jumlah anggaran yang dialokasikan dengan target kinerja yang dibebankan kepada Direktorat PKPS dan Balai PSKL di lima wilayah untuk menghasilkan ijin kelola HD, HKm, HTR dan Kemitraan Kehutanan setiap tahun. Gambaran ketimpangan anggaran setiap tahun terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan yang Dikelola Masyaralat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017.

23.912.400.000 32.667.438.000 output luas hutan yang dikelola masyarakat (Rp)

Jumlah belanja untuk

Target kinerja (ha)

2.500.000 330.000 Jumlah anggaran per

9,600 99.000 hektarnya (Rp/ha)

Sumber: Data Kementerian Keuangan dan Ditjen PSKL, diolah Dari table 6.1 diatas dapat dilihat bahwa terdapat ketimpangan penganggaran

per hektar ditahun 2016 dan 2017 dibandingkan dengan tahun 2015. Pada tahun anggaran 2015, untuk menghasilkan target kinerja areal kerja HD, HKm, HTR dan Kemitraan seluas 200 ribu ha, mendapat alokasi anggaran sebesar Rp194 ribu/ha. Sementara tahun anggaran 2016 dengan target kinerja seluas 2,5 juta ha, hanya memperoleh anggaran sebesar Rp9.600/ha. Sedangkan tahun 2017 dengan target kinerja seluas 330 ribu ha, hanya mendapat anggaran sebesar Rp99 ribu/ha.

Tampak jelas bahwa pemerintah tidak konsisten menghitung satuan biaya per/hektar sebagai dasar menetapkan kebutuhan anggaran, sehingga target kinerja Tampak jelas bahwa pemerintah tidak konsisten menghitung satuan biaya per/hektar sebagai dasar menetapkan kebutuhan anggaran, sehingga target kinerja

areal kerja perhutanan sosial (berdasarkan hitungan per/hektar) berdasarkan baseline tahun-tahun sebelumnya, sehingga anggaran ditetapkan tidak mampu

menopang capaian target kinerja setiap tahun. Apabila menggunakan baseline realisasi belanja dan hasil kinerja ditahun

2015 sebesar Rp217 ribu/ha, maka seharusnya jumlah anggaran yang realistis untuk tahun 2016 adalah sebesar Rp542,5 miliar dan jumlah anggaran untuk tahun 2017 adalah sebesar Rp. 71,60 miliar. Meskipun nilai dari keseluruhan anggaran ini cukup signifikan, tetapi belum dianggap proporsional sebab belum didukung alokasi untuk biaya pendampingan masyarakat.

Pendampingan masyarakat melalui kelembagaan Pokja Percepatan Perhutanan Sosial belum mendapatkan dukungan anggaran secara memadai

dari pemerintah. Pendampingan merupakan salahsatu kunci keberhasilan perhutanan sosial. Kegiatan pendampingan diperlukan untuk melakukan sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi permohonan ijin dan bimbingan teknis pasca ijin perhutanan sosial. Sejak Mei 2016 Ditjen PSKL mulai menginisiasi kegiatan pendampingan melalui pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial atau yang disingkat

sebagai Pokja PPS melalui Keputusan Ditjen PSKL No: SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016, dan telah diubah terakhir kali dengan Keputusan Ditjen PSKL No. SK.7/PSKL/SET/PSL.0/4/2017.

Grafik 6.6. Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Pada APBN 2017

Pembentukan dan

Sosialisasi,

Operasional Pokja

Koordinasi dan

PPS

Updating PIAPS

Fasilitasi Usulan HD, HKm, HTR

dan Kemitraan 22%

Administrasi Umum 9% Monitoring dan

Verifikasi dan Evaluasi

Legalisasi HD, HKm, HTR dan Kemitraan

Sumber: Data Rincian Kertas Kerja Dit. PKPS dan Balai PSK Tahun 2017, diolah.

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk menunjang kinerja Pokja PPS dalam menyelenggarakan

pendampingan masih sangat kecil yaitu hanya sebesar 3 persen dari total belanja penyiapan areal perhutanan sosial. Di sisi lain Pokja PPS tingkat daerah yang

terbentuk melalui keputusan Gubernur baru berjumlah 13 yang tersebar di provinsi Sumut, Lampung, Jambi, Bengkulu, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Kaltara, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar. Pokja PPS provinsi tersebut sebagian besar juga belum

mendapatkan alokasi anggaran secara memadai oleh pemerintah daerah. Minimnya anggaran dari pemerintah memicu inisatif pendampingan

masyarakat kebanyakan dilakukan oleh LSM yang didukung oleh lembaga donor. Biaya pendampingan yang dilakukan LSM jumlahnya bervariasi di setiap wilayah kerja dampingan umumnya dipengaruhi oleh faktor keterjangkauan wilayah dan kondisi tumpang tindih lahan/hutan yang akan diusulkan. Berdasarkan praktik pendampingan pengusulan areal kerja/ijin HD, HKm dan Kemitraan oleh Karsa Sulteng dan KBCF Kaltim, serta pengusulan areal kerja/ijin HKm oleh LSM KpSHK, rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendampingan sekitar Rp110 ribu/ha.

Biaya tersebut digunakan untuk biaya tenaga pendamping lokal dan tenaga pendamping terlatih serta biaya tahapan fasilitasi pengusulan ijin HD, HKm, HTR dan Kemitraan kepada menteri, meliputi tahap: (1) sosialisasi; (2) pembentukan kelompok dan kelembagaan; (3) survey dan pemetaan; (4) penyusunan draft usulan; (5) pendampingan proses verifikasi; dan (6) pengawalan untuk penerbitan keputusan ijin oleh Menteri.

Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan

Ijin Perhutanan Sosial Oleh LSM.

Wilayah Kerja

Kegiatan Pendampingan

Biaya per Hektar

LSM Karsa di Propinsi Pengusulan areal kerja (PAK) Hutan Rp.86.000,- Sulawesi Tengah

Desa seluas 866 Ha di Desa Lonca, Kabupaten Sigi tahun 2013 kepada Menteri Kehutanan.

LSM Kawal Borneo Pendampingan pengusulan ijin skema Rp.107.000,- Community Foundation

HD, HKm dan Kemitraan sebelum dan (KBCF) Provinsi

sesudah P.83 dengan total luas 12.190 Kalimantan Timur

Ha ditahun 2015.

LSM KpSHK di Provinsi Pendampingan pengusulan ijin HKm Rp.140.000,- NTB dan Sultra

(tidak termasuk inventory hutan dan tataguna hutan/lahan)

Sumber: hasil wawancara dalam riset IBC