Kesimpulan Umum dan Rekomendasi Kebijakan

4.5. Kesimpulan Umum dan Rekomendasi Kebijakan

Hambatan utama percepatan pengakuan hutan adat ada pada ketidaksinkronan peraturan di tingkat nasional. Pemerintah Pusat belum menunjukkan arahan yang jelas manakah yang harus diikuti: Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan juga tidak mampu diatasi oleh instrumen peraturan kebijaksanaan seperti surat-surat edaran Menteri.

Ketika kewenangan pengakuan MHA dan wilayah adat diberikan kepada daerah, hal ini tidak juga mampu mempercepat pengakuan hutan adat. Tidak sesuainya jenis dan materi muatan produk hukum daerah dengan persyaratan penetapan hutan adat oleh KLHK menjadi penyebab utama. Hal lain terkait dengan ketidaktahuan pemerintah daerah. Banyak pemerintah daerah menganggap mereka tidak punya kewenangan mengatur MHA dan wilayah adat, terlebih ketika wilayah itu berada di dalam kawasan hutan. Faktor lain adalah keengganan pemerintah daerah mengakui MHA dan wilayah adat karena khawatir menghambat investasi di daerah.

Ketidaksempurnaan produk hukum daerah dapat diatasi dengan mengembangkan sejumlah interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal. Kewenangan penetapan hutan adat ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian ini perlu menjalankan diskresi untuk penetapan hutan adat.

Dengan seluruh temuan dan analisis yang telah dibahas pada bagian-bagian terdahulu maka direkomendasikan hal-hal sebagaiberikut:

Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk: x Memprioritaskan penetapan hutan adat untuk daerah yang telah mempunyai

Keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat x Bersama pemerintah daerah membantu mempersiapkan peta wilayah adat,

bagi daerah yang sudah mempunyai Peraturan Daerah namun belum dilengkapi dengan peta wilayah adat

x Mendorong terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA dan wilayah adat di daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum x Mendorong terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA dan wilayah adat di daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum

x Melakukan pembahasan kembali Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan hutan adat

x Bersama Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Bersama untuk percepatan penetapan hutan adat. Surat edaran itu hendaknya menegaskan:

o Bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan hutan adat;

o Arahan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang tepat dalam pengukuhan MHA dan wilayah adat;

o Bentuk-bentuk fasilitasi yang dapat disediakan kepada pemerintah daerah.

Kepada Kementerian Dalam Negeri untuk: x Bersama KLHK memfasilitasi pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah guna penetapan MHA dan wilayah adat;

x Memfasilitasi pemerintah daerah melakukan pemetaan sosial untuk inventarisasi dan verifikasi MHA.

Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional: x Memasukkan ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2007

tentang Pendaftaran Tanah ketentuan tanah ulayat sebagai objek pendaftaran tanah;

x Mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah dikecualikan untuk kawasan hutan;

x Menyempurnakan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 setelah ada revisi pada PP No. 24 Tahun 2007.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk:

x Mempercepat pembahasan Peraturan Presiden untuk mengatur penanganan klaim penguasaan tanah di dalam kawasan hutan, dengan melibatkan Komisi

Pemberantasan Korupsi sebagai bagian dari pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.

Dewan Perwakilan Rakyat R.I. untuk: x Memasukkan pengaturan hak ulayat sebagai sumber hak atas tanah,

pendaftaran tanah ulayat dan kesatuan administrasi pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan serta penyelesaian konflik secara menyeluruh dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan;

x Membahas kembali dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

Presiden R.I. untuk: x Memastikan terlaksananya janji-janji dalam Nawa Cita dalam kebijakan dan

program pembangunan nasional; x Membentuk Satuan Tugas terkait dengan percepatan pengakuan MHA

Di samping beberapa langkah stretegis di atas, dalam jangka panjang, sebagaimana direkomendasaikan dalam Konferensi Internasional tentang Sistem Tenurial yang baru-baru ini berlangsung di Jakarta, perlu dipikirkan suatu terobosan untuk melakukan perombakan logika hukum yang akan digunakan dalam proses

pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. 57 Terobosan itu berupa pengakuan atas masyarakat hukum adat yang sejatinya di tingkat lapangan begitu beragam (Zakaria 2016 dan 2017) sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni,

2016), 58 di mana pengakuan hak-hak yang melekat padanya, terutama ha katas tanah, cukup dilakukan dengan model registrasi adminitrasi biasa saja, tanpa harus melalui proses-proses politik seperti keharusan penetapan melalui peraturan daerah ataupun Surat Keputusan Bupati itu.***

57 Lebih lanjut lihat HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017, "Mewujudkan Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia", Jakarta, 25-27 Oktober 2017.

58 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik. Jakarta:

Samdhana Institute & Pustaka Sempu.