Perhutanan Sosial Dari Slogan Menjadi Pr

Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial

Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Jakarta, January 2018

Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program

Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial

Tim Penulis: R. Yando Zakaria (Koordinator)

Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator) Asep Yunan Firdaus (Anggota) Didik Suharjito (Anggota) Muayat Ali Muhsi (Anggota) Suwito (Anggota) Roy Salam (Anggota) Tri Candra Aprianto (Anggota) Luluk Uliyah (Anggota)

Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Jakarta, Januari 2018

Kata Pengantar

Dokumen ini dengan sengaja disusun karena adanya keprihatinan berbagai pihak dalam menghadapi kenyataan rendahnya capai program Perhutanan Sosial yang telah dicanangkan Pemerintah yang dimaksudkan sebagai program prioritas pembangunan di perdesaan dalam kurun waktu 2014 – 2019. Berbagai eleman yang dianggap menghambat kelancaran program itu telah diurai satu per satu, lengkap dengan solusinya. Bahkan pihak Pemerintah sendiri mengakui adanya hambatan- hambatan itu, sebagaimana yang disampaikan dalam beberapa kesempatan, seperti Pekan Perhutanan Sosial 2017 dan Konferesi Internasional tentang Tenurial Sistem di penghujung Oktober 2017 lalu.

Dengan maksud membantu Pemerintah membenahi berbagai aspek yang diperlukan untuk memperlancar pencapaian target program perhutanan sosial, perlu penyatuan berbagai analisis, gagasan, dan solusi pembenahan program Perhutanan Sosial ke depan. Ide penyatuan gagasan yang disampaikan oleh Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ini, suatu unit kerja independen yang dibentuk oleh Kantor Staf Presiden untuk membantu tugas-tugas Kantor Staf Presiden dalam dalam mengendalikan penyelenggaraan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, kemudian mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan dari USAID-BIJAK.

Atas dukungan teknis dan dana dari USAID-BIJAK itu, kemudian sejumlah penulis, yang pada dasarnya telah menuliskan analisisnya untuk berbagai kesempatan, dikumpulkan dalam sebuah kegiatan lokatulis selama 3 hari. Berdasarkan diskusi dan penulisan draf yang dihasilkan dari kegiatan lokatulis itu para penulis itu selanjutnya diminta untuk menuliskan bagian-bagian dari dokumen yang dibutuhkan secara mandiri.

Dengan kata lain, dokumen ini dapat tersusun atas dasar partisipasi beberapa orang kontribusi penulis. Dalam pelaksanaannya, agar berbagai ide-ide cerdas yang berseliweran dalam forum FGD tidak menguap begitu saja, beberapa orang note taker pun dikerahkan. Hasil kerja mandiri para penulis ini kemudian disunting oleh Koordinator dan wakil coordinator kegiatan. Dalam proses lokatulis Koordinator juga bertindak sebagai fasilitator proses diskusi. Hasil akhir proses penulisan ini adalah sebagaimana yang kemudian tersaji dalam dokumen ini.

Sebagaimana yang dapat terbaca dalam dokumen ini, banyak hal telah dikupas dengan tuntas. Termasuk rincian sejumlah langkah stategis untuk mempercepat pencapaian target program Perhutanan Sosial. Meski begitu, tentu saja dokumen ini masih jauh dari sempurna. Misalnya, dokumen ini belum mengandung argumen manfaat ekonomi dan ekologis yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan program

Perhutanan Sosial ini. Padahal publik boleh jadi ingan tahu apa artinya secara ekonomi dan ekologi jika lahan Perhutanan Sosial yang discadangkan seluas 12,7 ha itu benar- benar jadi Apa pengaruhnya terhadap masalah struktur agraria yang timpang? Karena

50% juga harus berisi kayu, apa dampak program ini pada masalah lingkungan cq. deforestasi?

Lebih dari itu, sebagai suatu program yang utuh, Perhutanan Sosial ini boleh jadi mengandung 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahap pernyelengaraan. Laiknya sebagai suatu program penataan ulang sistem penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria, tentu saja program perhutanan sosial tidak saja menyangkut urusan redistribusi akses dan penguasaan lahan, melainkan juga meliputi tahap penataan usaha perekonomian rakyat serta implementasi dan pengembangan usaha. Setiap tahapan tentunya membutuhkan sejumlah persyaratan dan serangkian kegiatan, dan karenanya membutuhkan waktu pelembagaan yang boleh jadi membutuhkan waktu sekitar 10 hingga 15 tahun.

Bahasan tentang siklus program perhutanan sosial yang lebih utuh ini juga absen dalam hiruk-pikuk wacana Perhutan Sosial dalam tiga tahun terkahir ini. Padahal, pada masing-masing tahap itu punya aspek technicalities dan tantangan yang berbeda-beda yang perlu mendapatkan perhatian pula. Ulasan yang lebih lengkap itu diperlukan agar khalayak tidak mengalami misleading, yang ditandai oleh hadirnya anggapan bahwa

program Perhutanan Sosial ini akan jadi cukup dalam waktu tahun saja! Padahal, boleh jadi masing-masing tahap itu butuh waktu 5 tahun, karena sebagaimana yang

telah kita alami dalam tahap percepatan pemberian izin ini, dalam aspek kebijakan saja ada begitu banyak kebijakan yang perlu dibenahi. Permen LHK 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang menjadi payung hukum penyelenggaraan program Perhutan Sosial saat ini saja baru muncul pada tahun ketiga setelah program dicanangkan. Padahal, untuk penyelenggaraan Tahap Penataan Produksi misalnya, kebijakan- kebiajakan menyangkut permodalan, baik dari sisi Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun perbankan jauh dari kondusif.

Dengan catatan di atas, akan sangat baik bila ada pihak lain yang mau mengelola inisitif untuk mengembangkan dokumen ini menjadi dokumen yang lebih utuh. Dokumen yang lebih utuh itu, katakanlah semacam Buku Putih Perhutanan Sosial, bisa menjadi benchmark yang dapat diwariskan kepada rezem siapapun di masa-masa yang akan datang.

Semoga.*** Koordinator Tim Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR II DAFTAR ISI

IV DAFTAR TABEL

VI DAFTAR GAMBAR

VII BAB 1. PENDAHULUAN

1 1.1. L ATAR B ELAKANG 1

1.2. A RAH K EBIJAKAN KE D EPAN 5 1.3. O PTIMALISASI P ERAN P EMERINTAH D AERAH , KPH DAN D ESA 6

1.4. I SI D OKUMEN 10 BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN

HUTAN 11 2.1. D INAMIKA MASA LALU 11

2.2. M ASA BARU , TANTANGAN BARU 14 2.3. N AWACITA DAN K ETIMPANGAN E KONOMI DALAM P EMANFAATAN S UMBER D AYA H UTAN 17 2.4. K ETERCAPAIAN P ERHUTANAN S OSIAL DAN K EBUTUHAN R EFORMULASI K EBIJAKAN 20 2.5. M EMPERCEPAT R EALISASI P ERHUTANAN S OSIAL 22

BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL25 3.1. P ENGEMBANGAN K ONSEP P ERHUTANAN S OSIAL 25

3.2. K EBIJAKAN P ERHUTANAN S OSIAL S AAT I NI 30 3.3. K ENDALA DAN R EKOMENDASI P ELAKSANAAN KE D EPAN 33

BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT 37 4.1. P ENGANTAR 37

4.2. B EBERAPA KENDALA PENGAKUAN HUTAN ADAT 39 4.3. P ENGATURAN B EBERAPA H AK M ASYARAKAT H UKUM A DAT 43

4.3.1. H AK M ASYARAKAT H UKUM A DAT DALAM P ENGELOLAAN H UTAN DAN K AWASAN H UTAN 43 4.3.2. P ENGAKUAN PADA K EARIFAN L OKAL 45 4.3.3. P ENGAKUAN D ESA A DAT 45 4.3.4. H AK M ASYARAKAT H UKUM A DAT DALAM P ENGUKUHAN K AWASAN H UTAN 46 4.3.5. B EBERAPA P ERATURAN K EBIJAKSANAAN 46 4.3.6. M ASALAH P ERANGKAT H UKUM 47

4.4. M EMPERCEPAT P ENGAKUAN H AK MA SYARAKAT H UKUM A DAT ATAS H UTAN A DAT 47

4.4.1 P ENGANTAR 47 4.4.2 K EWENANGAN M ENETAPKAN H UTAN A DAT 48 4.4.3 M ENETAPKAN H UTAN A DAT YANG TELAH DIAKUI P EMERINTAH D AERAH 49

4.4.4. M ENETAPKAN H UTAN A DAT DIMANA MHA TELAH DIKUKUHKAN P EMERINTAH D AERAH 50 4.4.5. M ENDORONG DITERBITKANNYA K EPUTUSAN K EPALA D AERAH UNTUK PENETAPAN MHA DAN W ILAYAH A DAT 51 5.4.6. M EMFASILITASI P EMERINTAH D AERAH MEMBENTUK P ERATURAN D AERAH 52

4.4.7. K OORDINASI DENGAN K EMENTERIAN D ALAM N EGERI DAN K EMENTERIAN A GRARIA DAN T ATA R UANG /B ADAN P ERTANAHAN N ASIONAL 52 4.4.8. M ENSIASATI K EBIJAKAN YANG ADA 54

4.5. K ESIMPULAN U MUM DAN R EKOMENDASI K EBIJAKAN 55 BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL

58 5.1. K ELEMBAGAAN KPH

58 5.2. S INERGI KPH DAN PS

61 5.3. KPH MEMBANGUN JEJARING 63 5.4. R EKOMENDASI 64

BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK PERCEPATAN REALISASI PERHUTANAN SOSIAL

67 6.1. P ENGANTAR 67

6.2. G AMBARAN U MUM K EBIJAKAN A NGGARAN P ERHUTANAN S OSIAL 68 6.3. F RAGMENTASI A NGGARAN P ERHUTANAN S OSIAL DAN K ETIMPANGAN E STIMASI 71 6.4. M ENGHITUNG P OTENSI K EBUTUHAN R IIL A NGGARAN P ERCEPATAN P ERHUTANAN S OSIAL 76 6.5. S TRATEGI P EMENUHAN A NGGARAN P ERCEPATAN P ERHUTANAN S OSIAL 77 6.6. K ESIMPULAN DAN R EKOMENDASI 79

BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL 81 7.1. P ENGANTAR 81

83 7.3. B AGAIMANA I MPLEMENTASINYA ?

7.2. M ENGAPA D ESA M ENJADI S UBYEK H UKUM ?

89 7.4. A PA YANG HARUS DILAKUKAN DESA 90

BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN PEMENUHAN TARGET PERHUTANAN SOSIAL

93 8.1. P ERMASALAHAN P OKOK 93

8.2. K ERANGKA HUKUM PERHUTANAN SOSIAL YANG BERLAKU SAAT INI 94

8.2.1. T ERKAIT K EWENANGAN 97 8.2.2. P ELAYANAN TERPADU SATU PINTU 103 8.2.2. P ROSEDUR PS YANG SEDANG BERJALAN 104

DAFTAR PUSTAKA 106

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)

2 abel 3.1.

31 Tabel 3.2.

Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya

33 Tabel 6.1.

Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)

Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan yang Dikelola Masyaralat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017

73 Tabel 6.2.

Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan Ijin Perhutanan Sosial Oleh LSM

75 Tabel 8.1.

Perbedaan asas pembagian kewenangan 103 Tabel 8.2.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS 105

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pencapaian kumulative ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017

21 Gambar 2.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir

2017 pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial

21 Gambar 3.1. Birokrasi Perizinan PS

34 Gambar 3.2. Diagram Alur Percepatan Program Perhutanan Sosial

35 Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH

60 Gambar 5.2. Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera

63 Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional Th. 2015-2017

68 Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Tahun 2015-2017

69 Gambar 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan TA. 2015-2017

70 Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016

71 Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di APBN TA 2015-2017

72 Grafik 6.6.

Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Pada APBN 2017

74 Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial

86 Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditi Perhutanan Sosial

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara adalah melemahnya sendi-sendi perekonomian Nasional. 1 Lebih lanjut, dalam dokumen yang berisikan janji-janji politik dalam rangka Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 yang disebut Nawacita itu, disebutkan pula bahwa lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa, antara lain, terlihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antar- wilayah, kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Di dalam uraian tentang 9 (sembilan) agenda prioritas yang dijanjikan iantara lain disebutkan pula bahwa Pemerintah akan menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat Nawacita 4) serta

mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar (Nawacita 5).

Pelaksanaan Reforma Agraria ini menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah dihaki masyarakat namun kepastian hukum nya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; (iii) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema- skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama dan kedua adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik Jokowi-JK dalam Nawacita. Sedangkan kategori ketiga adalah hutan negara seluas sekitar 12,7 juta hektar, yang belakang disebutkan akan direalisasikan melalui program perhutanan

sosial (PS). 2 Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah

Tahun 2017 pun kemudian dikeluarkan. Di di dalamnya ditegaskan kembali bahwa

1 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi.

2 Sebagaimana termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

reforma agrarian menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan pemerintah pusat hingga daerah. Selasa 14/03/17 Presiden dan Wakil Presiden melakukan rapat

kordinasi teknis terbatas dengan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Pada kesempatan itu kembali Presiden dan Wakil Presiden menegaskan target program

reforma agraria itu. Masalahnya, meski masa pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui tahun

ketiga, dengan menggunakan skenario pelaksanaan yang ada saat ini, capaian target pelaksanaan program Perhutanan Sosial saja masih di bawah angka 10% dari target. Itupun sudah memasukan capaian program sebelum Jokowi – JK memerintah.

Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 3

No Skema Pra Kabinet

Total (Ha) Kerja 2007 -

Kabinet Kerja

30.158,81 89.640,91 5 Hutan Adat

Realisasi program yang rendah itu telah diprediksi Wiratno (2016), Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kelola Lingkugan (PSKL). 4 Menurut Wiratno, kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana yang ada saat ini, merujuk data 2010-2014 dan pada 2015 - Juli 2016, nyatanya Pemerintah hanya mampu menyerahkan hak kelola dan/atau izin seluas 200.000-300.000 hektar/tahun. Artinya, target rata-rata 2,5 juta

hektar/ tahun pada periode 2015-2019 sudah pasti tidak akan tercapai. 5 Masalah lain yang juga dirujuk sebagai kendala utama, yang sering

dikemukakan oleh Pemerintah sendiri, adalah adanya hambatan pendanaan program yang relatif terbatas. Namun, menurut Dr. Mubariq Ahmad, seorang ekonom senior cum praktisi PS, sebenarnya pemerintah punya banyak sekali dana untuk kegiatan dengan tema PS ini. Sayangnya dana itu dikelola dalam kapling-kapling kecil dan

3 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, November 2017. 4 Wiratno, . Keberpihakan, Kepedulian, Kepeloporan, Konsistensi, Kepemimpinan Masa Depan Perhutanan Sosial di )ndonesia . Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Hutan Indonesia, Reposisi Tata Kelola Hutan Indonesia untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kelestarian Lingkungan, dan Kesejahteraan Rakyat, Hotel Sahid, Jakarta, 1-2 September 2016, Sebagaimana bisa diakses pada http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2016/09/keberpihakan-kepedulian- kepeloporan.html?m=1 Saat ini Wiratno menjabat Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekologi (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

5 Lihat juga Didik Soehardjito, tanpa tahun. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial , makalah yang dipresentasikan/dipersiapkan untuk …… 5 Lihat juga Didik Soehardjito, tanpa tahun. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial , makalah yang dipresentasikan/dipersiapkan untuk ……

Kendala lain dari rendahnya realisasi program PS adalah panjangnya rantai perizinan, dari tingkat kelompok tani hutan hingga menteri. Walaupun ada pengecualian pada pada provinsi yang telah memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah atau mempunyai peraturan gubernur tentang PS dan memiliki anggaran dalam dalam APBD.

Padahal, kawasan hutan yang telah dialokasikan Pemerintah untuk program Perhutanan Sosial ini lebih dari 10% dari seluruh luas kawasan hutan keseluruhan. Dengan kata lain, jika target yang telah dicanangkan Permerintah tersebut dapat direalisasikan secara optimal, maka rencana pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan ekonomi rakyat diharapan dapat tercapai.

Selain beberapa kendala yang sudah disebutkan, rendahnya realisasi pelaksanaan program reforma agraria itu juga disebabkan oleh (a) data tentang potensi tanah obyek RA masih belum terkonsolidasi dengan baik, dan (b) juga belum seluruhnya clear and clean; (c) peran Pemerintah daerah dan desa yang belum terlalu jelas dalam pelaksanaan program reforma agraria; dan (d) kapasitas masyarakat

untuk mengajukan usulan yang relatif rendah. 7

Sementara itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan juga masih memiliki sejumlah kendala lain yang membuat penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan tidak optimal. Faktanya, kurang dari 5% dari jumlah yang telah memiliki tata batas desa defenitif (BIG, 2017); hampir 50% dari jumlah desa yang ada memiliki konflik tata batas dengan kawasan hutan (Renstra Kemenhut 2009); Skema Pembagian dan Penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) belum optimal (Monef KSP (2017), dll.); dan banyak BUMDesa belum menemukan ranah kegiatan yang

6 Komunikasi Yando Zakaria dengan Mubariq Ahmad, suatu hari di awal tahun 2017. 7 Beberapa kajian yang dilakukan baru-baru ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Surrya Affif,

. …………… ; Land and Forest Governance )ndex/LFG). Mengukur Kinerja Pemerintah Propinsi dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan di 8 (Delapan) Propinsi di Indonesia (ICEL, The Asia

Foundation, and UKA)D ; Usman, . Percepatan Perhutanan Sosial: Memperkuat Tata Kelola (Forum Transparansi Anggran/FITRA Riau); serta Heriyanto, et.al ., ,

. )novative Finacing for Social Forestry Development (Kerjasama IPB dan UNDP Indonesia), mengkonformasi beberapa persoalan yang telah menghambat pencapaian target program ini. Masalah-masalah ini pun sudah mengemuka pada masa sebelumnya, sebagaimana yang disampaikan para-pihak dalam lokakarya

Strategi Penguatan Perhutanan Sosial dan Peran CSO, Bogor, – Oktober , sebagaimana yang dilaporkan Purwanto, ed., 2017. Sebagaimana akan dibahas dalam bagian lain, masing-masing kajian ini juga telah disertai dengan sejumlah usulan untuk mengatasi masalah yang ada, yang perlu

dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan alternatif di masa mendatang.

menguntungkan, sebagaimana yang banyak dilaporkan dalam media massa akhir- akhir ini.

Sejumlah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan ini harus pula segera diatasi. Salah satu strategi yang dapat diupayakan adalah menjadi pelaksanaan program reforma agraria sebagai pintu masuk untuk penyelesaian permasalahan pemerintahan dan pembangunan desa dimaksud.

Berbagai permasalahan berikut solusi yang perlu diambil telah disuarakan berbagai pihak, sebagaimana yang mengemuka pada Pesona 2017 yang diselenggarakan 6-8 September 2017 dan Pertemuan Nasional Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang diselenggarakan 20 Oktober 2017.

Misalnya, soal rantai perizinan yang panjang (yang harus diterbitkan oleh Menteri). Jika dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83 / MENLHK / SETJEN / KUM.1 / 10/2016 tentang Perhutanan Sosial, perizinan dapat didelegasikan kepada Gubernur, terutama untuk provinsi-provinsi yang memiliki program perhutanan sosial di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah baru bersifat pengecuali, ke depan penyerahan kewenangan kepada daerah ini perlu menjadi kebijaka regular, dengan penguatan kapasitas aparat di tingkat daerah itu tentunya. Alternatif ini sejalan dengan pembagian wewenang antara tingkat Pusat dan Daerah sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan / atau lisensi dapat didelegasikan ke Dinas Kehutanan, misalnya. Sehingga peran Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berfungsi pada tingkat pembuatan kebijakan dan pengendalian di lapangan.

Disisi lain, dalam dekade terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan, semua kawasan hutan di Indonesia telah didistribusikan habis ke dalam sejumlah

Unit Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011). Oleh karena itu, untuk mempercepat proses perizinan, tidak mungkin mendapat persetujuan atas usulan hak dan perizinan pengelolaan PS yang diterbitkan oleh kepala KPH. Mengetahui fakta bahwa KPH tidak memiliki kapasitas dan terlibat dalam beberapa masalah, itu adalah masalah lain. Kondisi ini merupakan hasil kebijakan KPH selama

ini. Artinya bila KPH akan menerima wewenang delegasi tentang persetujuan hak dan / atau perizinan PS, ada beberapa amandemen kebijakan tentang keberadaan

KPH. Ini termasuk pengembangan kapasitas untuk menerapkan otoritas baru. Pilihan ini masuk akal karena sejak awal KPH diasumsikan mampu menentukan rencana KPH. Ini termasuk pengembangan kapasitas untuk menerapkan otoritas baru. Pilihan ini masuk akal karena sejak awal KPH diasumsikan mampu menentukan rencana

Beberapa solusi untuk mengatasi masalah keuangan pun telah disuarakan. Oleh sebab itu, catatan yang dikemukakan Wiratno tentang perlunya struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan kekuatan jaringan kerja multipihak untuk ditinjau ulang harus mendapat perhatian yang serius.

1.2. Arah Kebijakan ke Depan

Setidaknya ada 6 arahan kebijakan untuk mempercepat pencapaian target program Perhutanan Sosial ke depan. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Untuk terselenggaranya program RA perlu dilakukan konsolidasi semua peta terkait obyek TORA dan PS pada pokja koordinator. Setidaknya peta indikatif TORA, Peta Inidikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan peta dasar administratif desa yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menjadi dasar konsolidasi peta. Pengaturan selanjutnya dilakukan oleh satu tim pokja yang telah mendapatkan mandat pelaksana program ini. Konsolidasi dokumen obyek TORA dan PS ini untuk memudahkan proses sosialisasi ke daerah- daerah yang wilayahnya masuk dalam peta indikatif baik TORA maupun PS.

2. Penyelenggaraan program RA yang sudah ada sekarang dilengkapi dengan pendekatan tambahan yang baru, yakni menjadikan desa sebagai subyek penerima obyek TORA dan PS. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di desa-desa yang bersangkutan, terutama kelompok-kelompok marjinal, akan dibahas melalui mekanisme musyawarah desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU Desa;

3. Pelaksanaan program RA diutamakan di desa-desa yang masuk dalam Peta Indikatif PS; juga desa-desa yang saat ini memiliki konflik batas dengan kawasan hutan (overlay peta indikatif obyek TORA dan PS dengan daftar desa yang memiliki konflik tata batas dengan kawasan hutan); saligus mempertimbangkan desa-desa yang merupakan peta usulan baru dari masyarakat.

4. Dalam hal obyek TORA dan PS di desa (-desa) terpilih itu terkandung klaim masyarakat adat, melalui musyawarah desa atau musyawarah antar-desa (MAD), obyek TORA dan PS ditetapkan sebagai hutan adat.

5. Delegasi Kewenangan kepada Gubernur cq. PPS dalam Pemberian Izin PS, tidak terkecuali pada provinsi yang belum memasukkan PS dalam rencana 5. Delegasi Kewenangan kepada Gubernur cq. PPS dalam Pemberian Izin PS, tidak terkecuali pada provinsi yang belum memasukkan PS dalam rencana

dalam APBD. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

6. Terkait dengan upaya redistribusi dan legislasi tanah, kekurangan juru ukur yang saat ini menjadi salah satu hambatan pelaksanaan program, dapat diatasi dengan kesepakatan bersama antara Menteri ATR, Menteri LHK, dan Menteri Desa PDTT untuk menjadikan juru ukur LHK dan para pendamping desa sebagai juru ukur dalam rangka identifikasi data TORA.

Agar keenam kebijakan pokok untuk mempercepat pencapaian target program reforma itu tercapai maka diperlukan pula tiga langkah hukum utama. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Diberlakukannya Instruksi Presiden tentang Percepatan Pencapaian Target Program Reforma Agraria sebagai dasar hukum langkah-langkah percepatan pencapaian target program reforma agraria ini;

2. Meninjau-ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan program reforma agraria yang terindentifikasi dapat menghalangi pencapaian target reforma agraria; dan

3. Diaktifkannya tim pelaksana yang yang terwujud dalam Pokja dan tim pengendali yang bekerja untuk pencapaian target pelaksanaan reforma agraria.

1.3. Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah, KPH dan Desa

Sebagaimana telah disebutkan, salah satu persoalan yang menghambat kelancaran pencapaian target program reforma agraria, khususnya program perhutanan sosial, adalah panjangnya rantai perizinan (yang harus dikeluarkan oleh Menteri). Namun demikian, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, izin dapat saja didelegasikan kepada Gubernur, khususnya pada propinsi yang telah memiliki program perhutana sosial dalam Rencana Pembanguna Jangka Menengah-nya. Adanya pengecualian itu sebenarnya mengindikasikan adanya kemungkinan pendelegasian kewenangan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerh memfasilitasi Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Pemangku Kehutanan Pasal ayat . Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitasi pada tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan,

peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan,

pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar Pasal ayat . Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten

sebagaimana diatur dalam Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Antara lain dinyatakan bahwa, dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa dalam satu Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Desa.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas Pemerintah Desa berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa). Secara spesifik Pasal 115 UU Desa menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Salah satu wujudnya adalah melakukan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan; dan melakukan upaya percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis.

Program perhutanan sosial dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa jelas merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU Desa, Pasal 78 ayat 1).

Dengan argumentasi hukum tersebut di atas, maka Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak perlu ragu untuk turut mendukung lancarnya program

perhutanan sosial yang menjadi prioritas Presiden Jokowi ini. Dukungan itu dapat berupa kebijakan yang mengarahkan penggunaan sumberdaya pemerintah kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi (satuan kerja pemerintah daerah/SKPD) perhutanan sosial yang menjadi prioritas Presiden Jokowi ini. Dukungan itu dapat berupa kebijakan yang mengarahkan penggunaan sumberdaya pemerintah kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi (satuan kerja pemerintah daerah/SKPD)

Oleh sebab itu, alih-alih sekedar sebagai pengecualian, pendelegasian kewenangan kepada provinsi cq. gubernur ini justru dapat diperkuat posisinya sebagai pilihan utama untuk menggantikan posisi Pusat cq. Menteri LHK. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan/atau izin itu bisa didelegasikan kepada Dinas Kehutanan, misalnya. Dengan demikian peran Pusat cq. Menteri LHK betul-betul berfungsi pada tingkat penyusunan kebijakan dan pengendalian kegiatan di tingkat lapangan. Antara lain, kebijakan tentang kawasan hutan yang dapat dialokasikan.

Demikian pula, dalam satu dasa warsa terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan, keseluruhan kawasan hutan di Indonesia telah terbagi habis ke dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan,

2011). 8 Maka, dalam rangka mempercepat proses perizinan, bukan tidak mungkin persetujuan atas permohonan hak dan izin pengusahaan PS dikeluarkan oleh pimpinan KPH. 9

Bahwa saat ini KPH masih belum memiliki kapasitas dan masih dililit oleh sejumlah permasalahan, itu soal yang lain lagi. Kondisi itu tidak lain akibat dari kebijakan tentang KPH selama ini. Artinya, jika memang KPH yang akan menerima pendelegasian kewenangan persetujuan hak dan/atau izin PS itu, tentu ada sejumlah perubahan kebijakan tentang keberadaan KPH yang harus dilakukan. Termasuk pengembangan kapasitas untuk menjalankan kewenangan yang baru ini.

Pilihan ini menjadi masuk akal karena toh KPH memang sejak dari awal diasumsikan sudah dapat menentukan ruang kelola dan mampu memahami karekater masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat calon pengelola PS.

Ingin dikatakan di sini, sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institute Pertanian Bogor, 10 sejatinya di mana kewenangan pemberian hak dan/atau izin itu akan diletakkan bukanlah soal substantif dalam menuju pengelolaan hutan yang legal dan legitimate. Melainkan merupakan ekspresi dari perebutan kesempatan untuk menjadikan proses persetujuan PS sebagai ajang transaksional ekonomi rente. Peluang ini harus diminimalisir dengan mengedepankan masalah pengelolaan kawasan hutan yang

8 Kementerian Kehutanan, 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

9 Usul yang sama juga terkandung dalam Soerhardjito, tt., op.cit., dan Hariyanto, et.al., 2017, op.cit.

10 Komunikasi Yando Zakaria dengan Prof Hariadi Kartodihardjo. Januari 2017.

lebih rasional sebagai interest utama yang harus dikedepankan di dalam proses perumusan kebijakan.

Untuk mengatasi masalah keterbatasan dana, pada tingkat tapak, ada tiga strategi yang dapat dijalankan untuk memperkuat inisiatif perhutanan sosial di tingkat lapangan. Pertama, mengintegrasikan pengelolaan hutan desa dan hutan adat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Kedua, mengoptimalkan pengolahan potensi yang ada menjadi produk yang memiliki nilai jual (seperti kasus buah kepayang (pangium edule), kopi, dan jahe misalnya). Ketiga, melakukan restorasi lahan.

Ketiga strategi tersebut pada muaranya adalah menjadikan pemerintah desa dan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Termasuk upaya untuk penyelamatan lingkungan. Dengan begitu, pengembangan Perhutanan Sosial di Kabupaten Merangin merupakan bagian dari kategori pemberdayaan masyarakat desa.

Dalam konteks penggunaan anggaran desa maka penyelenggaraan perhutanan sosial juga dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan dan masuk ke dalam berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).

Stretegi kerja yang demikian itu sesuai pula dengan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 pasal 9 tentang Bidang Pembangunan Desa, yang antara lain disebutkan dalam pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa. Dalam pasal 14, disebutkan pula bahwa pembangunan Desa juga meliputi fasilitasi pembentukan kelompok tani.

Bahkan, saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 yang baru saja ditandatangani tanggal 22 September 2017 lalu, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1, khususnya pada butir 3 tentang Kegiatan Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, huruf c. angka 1), salah dua kegiatan yang menjadi prioritas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan desa dan hutan sosial. Demikian pula, sebagaimana diatur pada angka 5), salah dua bidang usaha yang dapat dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan desa dan hutan sosial.

Artinya, Desa sangat berpeluang untuk mengambil posisi sebagai garda terdepan dalam pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan melalui program yang disebut perhutanan sosial itu.

1.4. Isi Dokumen

Dokumen ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pendukung yang berisikan argementasi-argumentasi akademik atas beberapa solusi yang ditawarkan dalam mempercepat pencapaian target program Perhutan Sosial ke depan, sebagaimana secara ringkas telah diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu. Oleh sebab itu, dokumen ini akan berisikan hal-hal berikut ini:

• Bab 1. Pendahuluan • Bab 2. Perhutanan Sosial Sebagai Jawaban Sejarah Kelam Pengelolaan Hutan • Bab 3. Dinamika Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial • Bab 4. Percepatan Penetapan Hutan Adat • Bab 5. Peran KPH dalam Perhutanan Sosial • Bab 6. Revitalisasi Kebijakan Anggaran Untuk Percepatan Realisasi

Perhutanan Sosial • Bab 7. Optimalisasi Dana Desa Untuk Perhutanan Sosial • Bab 8. Kerangka Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Dalam Percepatan

Pemenuhan Target Perhutanan Sosial

BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN HUTAN

2.1. Dinamika masa lalu

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu program strategis pembangunan kehutanan di Indonesia. Pelibatan, pemberian akses dan hak kepada masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan telah menjadi keniscayaan dan paradigma untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, sekaligus menyejahterakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Lalu, keniscayaan dan paradima ini melahirkan pertanyaan bagi para penggiat kehutanan, tentang perhutanan sosial, Apakah masyarakat mampu mengelola hutan? Apakah hutan dapat lestari apabila pengelolaannya diserahkan kepada

masyarakat? Mampukah masyarakat merestorasi kawasan hutan yang terdegradasi dan terdeforestasi?

Gerakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat —atau kehutanan masyarkat yang saat ini lebih dikenal dengan perhutanan sosial —lahir dari sebuah proses panjang dan tidak bisa lepas dari sejarah pengelolaan hutan di Indonesia. Kehutanan masyarakat lahir sebagai respon terhadap kegagalan kehutanan konvesional dalam menjamin kelestarian hutan. Kehutanan konvesional telah melahirkan kerusakan hutan dan deforestasi sangat massive dan terjadi hampir di beberapa negara yang mempunyai hutan tropis luas seperti brazil, filipina, Vietnam, Thailand, India, Kamerun, dan lain-lain. Kehutanan konvesional yang juga menjadi kebijakan pemerintah, cenderung menggunakan pendekatan timber management, yang lebih memandang bahwa hutan adalah sumber ekonomi yang menekankan pada pemanfaatan dan eksploitasi sumberdaya alam hutan secara besar-besaran dengan meniadakan eksistensi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dan bergantung dengan sumberdaya alam hutan tersebut. Kebijakan pemerintah telah memberikan izin kepada perusahaan swasta dan perusahaan negara untuk mengurus seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara. Pendekatan kapitalistik dari dari perusahaan-perusahaan itu, tentu akan lebih berorientasi pada keuntungan bagi perusahaan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dandipertahankannya nilai-nilai budaya masyarakat terhadap hutan. Pendekatan kapitalistik ini didukung dengan pendekatan represesi dan polisional untuk mengamankan asset sumber daya hutannya.

Intervensi pemerintah dan pengusaha swasta dalam pemanfaatan sumberdaya alam hutan seperti di Pilipina, Malaysia, Indonesia, Brazil, India,

Thailand, Cameron dan lain-lain telah menyebabkan terdesaknya ruang hidup masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hutan. Antiklimak dari proses ini adalah

hilangnya ruang hidup masyarakat (Lebensraum) karena masuknya industri kehutanan modern yang ekspansif dan ekstensif sifatnya. Pada kasus di Indonesia, masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan kehidupannya sangat bergantung pada

sumberdaya alam hutan dihadapkan pada keadaan sangat sulit ketika harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang menyerahkan seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara. Orientasi keuntungan bagi perusahaan lebih dikedepankan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dan dipertahankannya nilai-nilai budaya masyarakat terhadap hutan. Antiklimaks lainnya dari praktik pemanfaatan sumber daya hutan dengan menggunakan model-model kehutanan modern dan industrial adalah laju kerusakan hutan (deforestasi) yang tinggi. (Awang, 2005)

Mengacu pada Awang 2005, atau beberapa referensi lain, model penguasaan negara atas sumberdaya hutan dan memandang hutan sebagai sumber ekonomi, sebenarnya sudah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda, Jepang, yang berlanjut hingga Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Bahkan setelah masa reformasi di awal tahun 2000-an, komoditas kayu masih menjadi andalan sebagai sumber devisa negara.

Pada zaman kolonial Belanda, sumberdaya hutan (SDH) di Jawa sudah memasuki masa eksploitasi tahap kedua, karena eksploitasi tahap pertama sesungguhnya sudah dimulai pada zaman raja-raja. Pada zaman kolonial pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnik Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna pembuatan kapal-kapal kayu yang industri perkapalannya berada di pantai utara Jawa dan industri perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam (Peluso, 1992; Simon, 1999; Awang 2005). Pembuatan kapal-kapal kayu yang dipergunakan untuk kepentingan perdagangan hasil-hasil bumi dari Indonesia ke Luar Negari.

Sedang di luar jawa, Kegiatan eksploitasi kayu terjadi sebelum tahun 1967 dimulai dengan cara-cara sporadis yang dilakukan oleh masyarakat melalui sistem

banjir kap yaitu hutan ditebang pada musim kemarau kemudian kayu-kayunya diletakkan dekat sungai, dan pada musim hujan kayu-kayu tersebut dapat diangkut

ke sungai untuk dipasarkan. Di Kalimantan Timur sebelum tahun 1967 sebagian hutan alam diusahakan oleh Perhutani dan dicatat sebagai hal yang tidak berhasil dalam pengelolaannya. Deforestasi di Kalimantan Timur dan di tempat-tempat lain di Indonesia disebabkan oleh pembukaan wilayah untuk kegiatan pemukiman ke sungai untuk dipasarkan. Di Kalimantan Timur sebelum tahun 1967 sebagian hutan alam diusahakan oleh Perhutani dan dicatat sebagai hal yang tidak berhasil dalam pengelolaannya. Deforestasi di Kalimantan Timur dan di tempat-tempat lain di Indonesia disebabkan oleh pembukaan wilayah untuk kegiatan pemukiman

2005). Pasca Kemerdekaan, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru,

sumberdaya hutan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah minyak dan gas bumi. Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap pemanfaatan SDH adalah memanfaatkan semaksimal mungkin hutan alam primer sehingga kegiatan tersebut mampu membuka isolasi wilayah-wilayah di luar Jawa, dan sekaligus mendatangkan devisa yang besar bagi kepentingan pembangunan nasional. Dalam Hidayat (2008) menyebutkan bahwa Pemerintahan Soeharto memperoleh devisa asing yang besar industry kehutanan, keseluruhannya mencapai 3 miliar US dolar tahun 1990-an, dan ini merupakan pendapatan nasional terbesar kedua setelah sektor minyak bumi.

Pada era orde baru, hutan-hutan alam dieksploitasi melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan berupa HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dengan menebang kayu gelondongan (log) dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan adalah sasaran pertama eksploitasi hutan karena mempunyai stok kayu komersil terbesar, dan paling dekat dengan pusat pasar asia, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selata, dan Jepang. Dalam hubungan ini, perusahaan swasta, baik dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan usahanya di sector kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan usahanya di Departemen Kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah membentuk joint operation dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasikan konsesi HPH. (Hidayat, 2008).

Menurut Awang (2005), kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan izin pengusahaan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menandai babak baru sistem eksploitasi hutan alam tropika di luar Jawa yang dimulai secara menyeluruh pada tahun 1968. Sampai tahun 2000 jumlah HPH di Indonesia mencapai sekitar 600 unit HPH dengan total hutan produksi seluas 64 juta ha. Dari kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan hutan (deforestasi) sebesar antara 600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun (World bank, 1988a, 1988b; Scott, 1989). Selanjutnya Holmes menyebutkan bahwa pada periode 1985- 1997 tingkat deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka diramalkan bahwa pada tahun 2005 hutan dataran rendah non rawa akan hilang di Sumatera, dan di kalimantan akan hilang pada tahun 2010 (FWI, 2001:9). Deforestasi pada sistem pemerintahan Orde Baru dinilai banyak pihak paling besar dan paling serius.

Dan sebaliknya, Hidayat (2008) menyebutkan bahwa keadaan ekonomi masyarakat sebagai penggunal lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi kayu

menjadi lebih buruk, setelah beroperasinya konsesi HPH di berbagai daerah oleh pengusaha transnasional dan dalam negeri, sebagaimana temuan lapangan oleh

penelitian. Meskipun, pemerintah masih mengakui hak-hak hutan adat masyarakat lokal, masyarakat lokal hanya diperbolehkan untuk mengumpulkan produksi sumber daya hutan-non hutan. Dengan demikian, konflik lahan antara masyarakat lokal dan

pemilik konsesi HPH telah dilaporkan terjadi luar di berbagai daerah.

2.2. Masa baru, tantangan baru

Dalam Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan (Putu Oka dkk, 2008 dalam Taqwaddin, 2012). Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar- besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005 angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun. (Setiawan 2007, dalam Taqwaddin, 2012)

Posisi masyarakat dalam era reformasi lebih kuat dengan menaikkan posisi tawar masyarakat di hadapan para pengusaha HPH. Banyak masyarakat yang mempunyai keberanian untuk menyatakan ketidaksukaannya terhadap HPH dengan berbagai aksi perlawanan karena HPH sudah mengambil kekayaan di atas hutan adat mereka, dan juga HPH tersebut tidak memberikan kesejahteraan dan bagi hasil kepada masyarakat sekitar hutan. Banyak HPH di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, tidak dapat melaksanakan operasi penebangan kayu karena dilarang oleh masyarakat, alat-alat berat di sita oleh masyarakat dan portal jalan-jalan desa yang dilewati oleh mobil pengangkut kayu di tutup. Ada komunitas masyarakat yang menuntut ganti rugi kayu-kayu dalam kawasan hutan adat mereka dengan kompensasi ratusan juta rupiah sampai milyaran rupiah. Apabila ganti rugi seperti ini sudah diselesaikan, barulah HPH tersebut dapat beroperasi kembali. (Awang, 2005).

Pada sisi yang lain pihak Departemen Kehutanan paham mengenai banyaknya pemegang HPH yang tidak serius dan tidak lestari dalam menjalankan pengusahaannya. Oleh Karena itu, pada masa ini, banyak HPH yang dicabut izinnya Pada sisi yang lain pihak Departemen Kehutanan paham mengenai banyaknya pemegang HPH yang tidak serius dan tidak lestari dalam menjalankan pengusahaannya. Oleh Karena itu, pada masa ini, banyak HPH yang dicabut izinnya

pengelola berikutnya di areal eks HPH tersebut sehingga menjadi areal open acces yang dibuka dan diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan dan

pembangunan kebun-kebun rakyat. Kegiatan pembalakan liar (illegal logging) di Jawa dan Luar Jawa menjadi sangat mengkhawatirkan yang menyebabkan tingkat deforestasi sangat tinggi. Pada tahun 1980 laju deforestasi di Indonesia rata-rata

sebesar 1 juta ha, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha pada tahun 1990-an, dan sejak tahun 1996 deforestasi mencapai 2 juta ha per tahunnya (FWI/GFW, 2001, dalam Awang 2005).

Dalam Sese Tolo (2013) menegaskan bahwa melihat sejarah tata kelola kehutanan Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal yakni: pertama, kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun domestik, dalam sektor kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.

Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the fundanmental driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain (the tendency to view the forest sector in isolation from other sectors) . Tendensi seperti ini menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen, dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010, Dalam Sese Tolo, 2013).