Pengembangan Konsep Perhutanan Sosial

3.1. Pengembangan Konsep Perhutanan Sosial

Sejak zaman pra kemerdekaan, Sumberdaya Hutan (SDH) bagi berbagai komunitas di Indonesia telah memiliki nilai ekonomi dan ekologi, serta makna sosial, budaya, dan politik. Dengan kata lain, SDH juga berperan dalam pembentukan peradaban kehidupan manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsep dan pandangan tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam prakteknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat juga telah lama dikenal dengan nama lokal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng di Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan sebagainya.

Bahkan dari bukti sejarah yang ada, masyarakat Jawa kuno pada abad ke-9 di masa kerajaan Medang (Mataram Kuno) telah mengenal istilah tuha alas, juru alas, pasuk alas dan tuha buru yang menunjukkan peran dari masyarakat yang ditunjuk untuk mengawasi hutan dan mengelola perburuan satwa. Informasi seperti ini antara lain terdapat pada prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Sarsahan

(908), dan Kaladi (909). 11

Menurut catatan, pada masa itu sebagian besar hutan di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditumbuhi pohon- pohon jati yang keadaannya hampir murni dalam larikan-larikan terat

ur . 12 Perdebatan terjadi di kalangan ahli kehutanan Eropa, yaitu antara kelompok ahli yang menganggap hutan jati sebagai

hutan alam namun dipelihara oleh masyarakat setempat, dengan kelompok ahli yang menganggap bahwa pohon-pohon jati itu ditanam oleh orang-orang Hindu yang berasal dari Hidustan, India. Pendapat kelompok yang kedua ini dapatlah disebut sebagai cikal bakal pendapat tentang pengelolaan hutan oleh rakyat yang

berkembang di kemudian hari. 13

Pada akhir abad 18 kondisi hutan di Jawa mulai mengalami degradasi yang sangat serius. Kondisi ini membuat pemerintah kolonial Belanda menugaskan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels untuk melakukan rehabilitasi dan reforestasi kawasan hutan pada awal abad 19. Untuk itu Daendels membentuk Dienst

11 Susantio D _ (Arkeolog : Sinar Harapan, Jumat, 17 November 2006) 12 Djadjapertjunda 2001, hal 81 13 Siscawati dan Muhshi (2008) 11 Susantio D _ (Arkeolog : Sinar Harapan, Jumat, 17 November 2006) 12 Djadjapertjunda 2001, hal 81 13 Siscawati dan Muhshi (2008)

Baschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), disusul dengan peraturan Domeinverklaring 1870 yang

mengklaim bahwa tanah hutan (forest land) yang tidak dibebani hak privat menjadi domain negara. 14 Dengan berlandaskan pada rangkaian peraturan tersebut, jawatan kehutanan kolonial (Boschwezen) membuat batas politik dan administratif terhadap

kawasan hutan dan pertanian, dan mulai membangun hutan jati dengan menerapkan prinsip-

prinsip kehutanan modern. 15 Dalam rangka meningkatkan pengamanan hutan dari gangguan pencurian

kayu dan menekan biaya produksi, jawatan kehutanan kolonial mulai melibatkan masyarakat lokal sebagai buruh, antara lain dalam proses pemanenan kayu. 16 Selain itu, jawatan kolonial juga memanfaatkan tenaga masyarakat setempat dalam pembuatan hutan tanaman yang dimulai sejak tahun 1873, melalui aktivitas yang dikenal sebagai tumpangsari. Salah satu rimbawan kolonial yang mengembangkan

konsep ini adalah Buurman van Vreeden. 17 Metode tumpangsari diadopsi dari konsep taungya yang dikembangkan jawatan kehutanan kolonial Inggris di Myanmar/Burma. Konsep dasar taungya sendiri diadopsi dari sistem hutan

kerakyatan masyarakat adat Karen. 18

Sementara itu, beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan kajian tentang pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat. Salah satu pemikiran yang berkembang adalah pendapat ilmiah yang mengatakan bahwa pohon-pohon jati di Jawa ditanam oleh para pendatang yang berasal dari Hindustan,

India. 19 Seperti telah disebutkan, pemikiran ini dianggap sebagai cikal bakal kajian tentang kehutanan masyarakat. Beberapa ahli kehutanan kolonial lainnya mulai meneliti sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di beberapa tempat di kepulauan Nusantara. Salah satu sistem hutan kerakyatan di Kalimantan Barat, yaitu tembawang, pertama kali dilaporkan oleh ilmuwan Belanda tahun 1848. Sementara, keberadaan kebun damar di Lampung dan kebun kemenyan di Sumatra Utara, yang keduanya merupakan kebun campur yang dikelola dengan meniru pola hutan alam,

dilaporkan oleh ilmuwan Belanda sekitar tahun 1850. 20

14 Soepardi (1974), Peluso (1992), Simon (2001) 15 Siscawati dan Muhshi (2008) 16 Peluso (1992) 17 Perum Perhutani (1996) 18 Siscawati dan Muhshi (2008) 19 Djadjapertjunda (2001) 20 Brookefield et al, (1995).

Pada tahun 1942-1945 sebelum kemerdekaan kondisi rawan pangan dan kemiskinan yang parah membuat pemerintah memberikan hak milik kepada

masyarakat yang mengelola hutan untuk tujuan pangan. Mengiringi kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, pemerintah pada tahun 1960-an

mencanangkan dan memberikan hak kepada masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan di beberapa wilayah di Lampung dalam bentuk Hak Garap Keluarga selama 10 tahun. Masyarakat yang terbukti menggarap dengan baik akan

memperoleh hak milik. Program ini berjalan sampai dengan tahun 1965 dan bukti kepemilikan tanah dari prose-proses ini sering diabaikan (Sirait 2008, Komunikasi

Personal) 21 . Dalam UU nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok

kehutanan konsep dan istilah Perhutanan Sosial masih belum muncul. Bahkan pengurusan Hutan Milik yang dilakukan oleh pemiliknya diatur dengan bimbingan Menteri dan dapat dituntut apabila bertentangan dengan aturan dan kepentingan umum. Kemudian dalam UU Pokok Kehutanan No. 41/1999, sebagai kebijakan yang menggantikan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal dimasukkan kedalam keseluruhan kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada di bawah kehutanan pemerintah.

Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke 8 pada tahun 1978 di Jakarta yang mengusung tema Forest for People dianggap sebagai tonggak awal perhutanan sosial dunia. Ini adalah respons dunia kehutanan terhadap dampak-dampak negara dari sistem pengelolaan hutan yang dominan ketika itu. Pada tahap ini program perhutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dan dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.

Istilah Social Forestry sendiri, pertamakali dipublikasikan oleh Jack Westoby seorang ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968. Social Forestry dipandang sebagai strategi pembangunan kehutanan, yaitu suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan

rekreasi bagi masyarakat (Tewari 83) 22 .

Sebenarnya Perhutani telah mulai melakukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) pada tahun 1972 yang ditandai dengan program tumpang sari Ma-Lu (Mantri Lurah) dan Ma-Ma (Magelang Magetan). Selanjutnya Ford Foundation pada tahun 1980-an mendukung Pehutanan Sosial di Jawa dan pada tahun 1984- 1985 melaksanakan studi di luar Jawa (Kalimantan, Sulawesi, dan Papua). Hasil studi

21 Siscawati dan Muhshi (2008) 22 Awang (2002) 21 Siscawati dan Muhshi (2008) 22 Awang (2002)

(Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) dengan SK Menhut: 69/1995 jo SK Menhut.523/1997.

Pada masa itu kegiatan tumpang sari Perhutani hanya memberikan kesempatan kepada masyarakat menanam padi, jagung dan palawija di sela-sela pohon jati. Sementara program HPH Bina Desa dan PMDH yang dilakukan pengusaha hutan memisahkan masyarakat dari hutan. Kegiatannya berupa bantuan sosial, pembangunan jalan, jembatan dan masjid serta mengajari masyarakat menanam padi secara menetap dan meninggalkan perladangan.

Demikian juga dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah dengan SK Menhut: 622/1995. HKm generasi awal ini berupa penunjukan masyarakat oleh pemerintah untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Jadi perhutanan sosial pada masa-masa awal ini masih melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai subyek pengelola hutan.

Berangkat dari berbagai hasil penelitian dan investigasi dari peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat di berbagai wilayah nusantara, pada tahun 1993 beberapa LSM seperti: Walhi, Latin, LLBT di Kalbar, Plasma Kaltim dan lain-lain, memperkenalkan konsep pengelolaan hutan oleh rakyat sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Selanjutnya pada tahun 1997, jaringan LSM pendukung SHK membentuk Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) untuk tujuan kampanye dan promosi.

Saat itu Pemerintah dan LSM termasuk perguruan tinggi berada pada posisi yang saling berseberangan karena belum adanya dialog yang produktif. Kemudian interaksi melalui kolaborasi untuk membangun saling percaya antara para pihak mulai berjalan dengan lahirnya Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) pada bulan September 1997. Dialog kebijakan mulai sering dilaksanakan dan perbaikan kebijakan mulai dilakukan dengan mempertimbangkan masukan para pihak. Kebijakan HKm diperbaiki dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pengelola hutan melalui SK Menhut: 677/1998 jo SK Menhut: 865/1999 jo SK Menhut: 31/2001.

Dengan kebijakan HKm yang baru masyarakat mendapatkan izin kegiatan HKm berupa izin sementara 3-5 (tiga sampai lima) tahun sebelum mendapatkan izin definitif selama 25 tahun. Menteri Kehutanan menerbitkan 26 Izin sementara

kegiatan HKm di 8 (delapan) propinsi dengan luas 19.073 hektar. 23 Namun sampai

23 Direktorat Bina PS, Dirjen RLPS, Kemenhut 23 Direktorat Bina PS, Dirjen RLPS, Kemenhut

tentang Sosial Forestry yang mengaburkan HKm dan tidak memberikan solusi terhadap izin sementara kegiatan HKm yang tidak berlanjut. Sehingga kegiatan HKm

pada waktu itu berjalan mandeg dan tidak berkembang. Sesaat sebelum era reformasi bergulir, peristiwa penting yang juga turut

menandai era baru perhutanan sosial adalah keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun 1998 yang menetapkan (daerah) Krui sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum pada tingkatan yang lebih tinggi, sehingga dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dari Menteri Kehutanan yang

cukup progresif ketika itu. 24

Peraturan Pemerintah: 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan Penyusunan Rencana Pengelolalaan dan Pemanfaatan Hutan sebagai revisi terhadap PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, telah memberikan dasar hukum yag lebih kuat terhadap perhutanan sosial. Tidak hanya mengatur HKm, peraturan pemerintah ini juga memperkenalkan Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kemitraan. Berdasarkan PP 3/2008 kemudian pemerintah menetapkan peraturan operasional tentang Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan operasional ini beberapa kali dirubah dan terakhir adalah: Permenhut: P.89/2014 tentang Hutan Desa, Permenhut: P.88/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut: P31/2013 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan operasional tentang kemitraan yang paling terakhir ditetapkan dengan Permenhut: P 39/2013.

PP 3/2008 dengan peraturan operasionalnya merupakan tonggak penting perkembangan perhutanan sosial di Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memperoleh hak/izin mengelola dan memanfaatkan hutan selama 35 tahun. Hal ini ditandai dengan Pencanangan Penetapan Areal Kerja dan Pemberian Izin Definitif HKm oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla pada tanggal 27 Desember 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta.

Namun perkembangan perhutanan sosial selanjutnya berjalan sangat lambat. Kelompok masyarakat yang mengajukan HKm dan Lembaga Desa yang mengajukan HD bisa menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal Kerja) dari Menteri serta menunggu bertahun-tahun pula untuk mendapatkan HPHD dari gubernur dan IUPHKm dari Bupati. Selain itu pemberian hak/perizinan sering kali dikaitkan dengan event-event politik, dan di lapangan masyarakat untuk

24 Lindayati, 2003, op.cit., dan Fay & Sirait, 2003, op.cit.

memperoleh areal kerja sering kali berkompetisi dengan investor. Capain HD, HKm, maupun HTR sampai tahun 2014 masih sangat rendah. Dari 5 juta ha yang

ditargetkan untuk HD hanya tercapai 67,737 ha HPHD (1%), dari 2 juta ha target untuk HKm hanya tercapai 94,372 IUPHKm (4,7%), dan dari 5,4 juta ha target HTR

hanya tercapai 146,324 IUPHHK-HTR (2,7%). 25