Training Bagi Para Pekerja

Training Bagi Para Pekerja

Pelatihan atau training bagi para pekerja bisa dikategorikan dalam beberapa kelompok. Menurut isi/materi yang disajikan, training dikelompokkan dalam bentuk general dan specii c training; sedangkan menurut penyelenggaraannya dikelompokkan menjadi internal dan external training. Internal training adalah pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan sendiri dan external training adalah pelatihan yang dilakukan oleh pihak luar, dalam hal ini bisa dilakukan oleh dunia pendidikan yaitu perguruan tinggi maupun oleh lembaga pelatihan seperti balai latihan tenaga kerja (BLK).

Sebagaimana yang diuraikan oleh Asplund (2005), training umum (general training) bisa meningkatkan produktivitas pekerja yang bekerja di perusahaan yang menyediakknya juga bermanfaat bagi pengembangan produktivitas perusahaan lainnya. Sementara itu, training khusus (specii c training) meningkatkan produktivitas pada pekerja yang detraining pada perusahaan tertentu saja. Untuk general

Zamroni Salim

training bisaannya karyawan yang menanggung sendiri biaya training atau juga bisa share dengan perusahaan tempat dia bekerja. Terkait dengan jenis training ini, perusahaan-perusahaan Eropa cenderung untuk mau menanggung biaya general training daripada perusahaan Amerika (Asplund, 2005).

Mengapa training mempunyai arti yang penting bagi perusahaan? Trainning ini dianggap sebagai investasi bagi perusahaan. Disamping itu, training bisa dijadikan alat untuk transfer teknology dari perusahaan dengan keahlian (tenaga kerja) yang tinggi ke perusahaan dengan keahlian yang rendah (Miyamoto dan Todo, 2003). Selain itu training juga bisa memberikan bekal kemampuan khusus kepada pekerja atau calon pekerja yang tidak mempunyai keahlian khusus, terutama bagi mereka dengan latar belakang pendidikan yang berbeda dengan pekerjaannya. Training ini juga bisa menjadi jembatan/penghubung keahlian yang seharusnya dipunyai oleh pekerja dan yang diinginkan oleh perusahaan.

Tiap perusahaan, baik itu yang domestik atau yang asing, yang jumlah karyawannya besar dan kecil mempunyai alasan tertentu untuk menyelenggarakan training bagi karyawannya. Pertimbangan pemberian training bisa berupa pertimbangan ekonomis/i nansial maupun non-i nansial. Pertimbangan i nansial meliputi besarnya biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan (untuk jenis tertentu bisa dilakukan sharing antara pengusaha dan pekerja, atau sesama perusahaan). Pertimbangan non-i nansial bisa berupa kekhawatiran akan munculnya turn-over pekerja dan hijacking pekerja diantara perusahaan sejenis (dalam industri yang sama).

Tabel 3.9 menjelaskan secara lengkap bagaimana status perusahaan, jumlah pekerjanya, rasio pekerja non-produksi, tingkat pendidikan pekerja dan kepemilikan perusahaan mempengaruhi intensitas training yang dilakukan oleh perusahaan. Studi yang dilakukan oleh Miyamoto dan Todo (2003) terhadap sejumlah perusahaan di Indonesia memperoleh kesimpulan bahwa perusahaan

Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri

berbadan hukum seperti PT mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memberikan training. Ada sekitar 50.6% dari total perusahaan memberikan training bagi pekerjanya.

Semakin besar perusahaan (dlihat dari jumlah karyawannya) akan semakin besar kemungkinan memberikan training. Ini bisa ditunjukkan dari semakin rendahnya biaya training per tenaga kerja, juga kemungkinan kehilangan produksi dari absennya pekerja yang ikut training akan lebih besar bila perusahannya kecil (Lynch, 1994 seperti dikutip oleh Miyamoto dan Todo (2003). Lebih lanjut perusahaan yang kecil di Indonesia mempunyai turn-over yang lebih tinggi daripada perusahan besar sehingga berimplikasi pada makin kecilnya invetasi untuk training (Miyamoto dan Todo, 2003).

Data di lapangan sejalan dengan yang dikemukakan oleh (Miyamoto dan Todo, 2003). Beberapa perusahaan baik itu PMDN maupun PMA dengan jumlah karyawan yang besar (4000 karyawan, staf 2000, untuk yang D3 ke atas mencapai 50% atau 1000 orang) memberikan training kepada karyawannya. Namun tidak semua karyawan memperolehnya. Perusahaan memberikan training dengan kemungkinan lebih besar kepada mereka yang berada dalam level staf daripada yang level dibawahnya (operator). Mereka yang berada di level operator biasanya mengikuti orientasi kerja dan langsung bekerja dibawah pengawasan supervisor. Ada sebuah perusahaan besar yang meberikan training secara berkesinambungan. Bentuk/ tahapan training yaitu untuk karyawan yang baru masuk, karyawan yang sudah aktif, dan bahkan karyawan yang akan menghadapi masa pensiun.

Zamroni Salim

Tabel 3.9 Jumlah Perusahaan (%) Yang Melakukan Training Berdasarkan Kelompok

Status Limited Limited Other legal No legal status

% Perusahaan 50.6 34.3 18.0 15.6 Jumlah Pekerja

4th quartile % Perusahaan

1st quartile

2nd quartile

3rd quartile

15.6 20.5 31.4 60.5 Rasio pekerja non-produksi

Kepemilikan Multinasional Domestik % Perusahaan

Pendidikan

4th quartile % Perusahaan

1st quartile

2nd quartile

3rd quartile

Sumber: Miyamoto dan Todo (2003)

Perusahaan yang terergister (secara legal) mempunyai kecenderungan untuk memberikan training bagi karyawannya. Hal ini dikarenakan perusahaan yang teregister ingin memiliki posisi keuangan yang lebih baik dengan diversii kasi sumber daya keuangan dan modal dan juga kemungkinan untuk mendapatkan kredit (training) lebih mudah. Perusahaan yang mempunyai ai liasi dengan perusahaan lain juga mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi. Hal ini bisa dimungkinkan terutama perusahaan yang berai liasi dengan jasa penyedia training, sehingga biaya untuk training bisa menjadi lebih murah (Miyamoto dan Todo, 2003).

Bagaimana dalam kaitannya dengan komposisi pekerja berdasarkan rasio pekerja non-produksi dan juga tingkat pendidikannya? Nampak bahwa jumlah pekerja non-produksi yang lebih tinggi di suatu perusahaan lebih memungkinkan karyawan untuk memperoleh training dibandingkan dengan mereka yang bekerja di perusahaan dengan lebih banyak jumlah pekerja produksinya. Hal ini

Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri

karena tenaga kerja non-produksi cenderung untuk meminta upgrade keahlian, karena mereka cenderung terpengaruh dengan adanya perubahan teknologi. Sementara ppekerja produksi cenderung memerlukan training yang lebih sedikit (Miyamoto dan Todo, 2003). Sementara itu, semakin besar jumlah tenaga kerja terdidik/dengan pendidikan yang lebih tinggi dalam suatu perusahaan, maka semakin besar kemungkinan pekerja memperoleh training.

Perusahaan yang mempunyai nilai tambah yang tinggi per pekerjanya mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk memberikan training. Hal ini terkait dengan kondisi perusahaan yang cenderung tidak mempunyai permasalahan kredit sehingga training bisa dengan mudah dilakukannya (Miyamoto dan Todo, 2003).

Dengan melakukan survei industri manufaktur di Indonesia, Miyamoto dan Todo (2003) memperoleh kesimpulan bahwa pendidikan dan training (schooling) yang diberikan oleh perusahaan (enterprise-training atau bisa juga disebut internal training ) bersifat komplementer. Penyebab rendahnya investasi untuk training di Indonesia salah satunya adalah rendahnya pendidikan pekerja sebelum memasuki pasar kerja. Miyamoto dan Todo (2003) menyarankan adanya kolaborasi kebijakan antara pasar tenaga kerja dan dunia pendidikan dan juga dorongan bagi pengusaha yang enggan untuk melakukan training untuk memberikan pelatohan pada pekerjhanya akan turut membantu mengatasi permaslahan tenaga kerja di Indonesia.