Dunia Pendidikan Tinggi, Industri, dan Masalah Link and Match
Dunia Pendidikan Tinggi, Industri, dan Masalah Link and Match
Beberapa tahun terakhir ini dunia pendidikan tinggi yang semestinya merupakan institusi nirlaba yang bersifat sosial, berlindung pada prinsip kepentingan keberlanjutan/daur hidup, sebagian besarnya cenderung berubah menjadi institusi yang berorientasikan bisnis/proi t. Dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan, berbagai perguruan tinggi berlomba-lomba dengan berbagai iklan yang melebihi keadaan sebenarnya dan biaya yang relatif mahal berupaya
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
untuk menerima sebanyak banyaknya mahasiswa baru. Akibatnya jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi tumbuh dengan pesat dan seiring dengan perbaikan ekonomi masyarakat kecenderungan ini diperkirakan akan berlanjut terus.
Berhubung sebagian besar perguruan tinggi lebih berorientasi bisnis/proi t, maka dalam penyelenggaraan pendidikan aspek kurikulum dan alokasi jenis dan mutu kompetensi yang sesuai kebutuhan dunia kerja khususnya industri kurang/tidak dijadikan acuan. Keadaan ini jelas menimbulkan pertumbuhan cepat angkatan kerja berpendidikan tinggi melebihi pertumbuhan daya serap/ kesempatan kerja kategori ini disertai pemburukan disparitas jenis dan mutu kompetensi diantara yang dihasilkan perguruan tinggi dengan yang dibutuhkan dunia kerja khususnya industri. Dengan kata lain kebanyakan perguruan tinggi telah menjadi penyebab tingginya pengangguran terbuka dan menambah mismatch antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja/industri. Meskipun beberapa perguruan tinggi seperti politeknik dianggap cukup sesuai menghasilkan angkatan kerja siap pakai, namun jumlah (saat ini 154 buah) dan kapasitasnya masih terbatas.
Kurangnya kerjasama diantara perguruan tinggi dengan dunia industri dan assosiasi-asosiasinya menyebabkan kurikulum yang dipakai perguruan tinggi kurang mengacu/sesuai kebutuhan industri dan belum tersedianya informasi akurat tentang jumlah dan alokasi serta jenis dan mutu kompetensi angkatan kerja yang dibutuhkan dunia industri. Tidak jelas institusi yang mengendalikan serta memberikan panduan terhadap alokasi dan jumlah mahasiswa masing-masing perguruan tinggi berdasarkan jenis kompetensinya, apalagi setelah era otonomi daerah. Akibatnya terjadi adanya limitasi angkatan kerja berpendidikan tinggi jenis kompetensi tertentu seperti metalurgi misalnya yang banyak dibutuhkan dunia industri, disisi lain melimpahnya angkatan kerja dengan kompetensi lainnya yang tidak banyak dibutuhkan dunia industri. Keadan ini ikut berkontribusi
Darwin Syamsulbahri
terhadap lemahnya link and match diantara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri.
Hal penting lain yang menjadi ciri perguruan tinggi di Indonesia adalah relatif terbatasnya kemampuan mengikuti perkembangan atau mengembangkan atau menghasilkan inovasi Iptek melalui kegiatan ”Research and Development” (R&D) secara memadai dan melibatkan semua mahasiswanya. Kebanyakan upaya pengembangan dan pambaharuan Iptek di perguruan tinggi Indonesia berasal dari para dosen yang kembali dari studi di luar negeri yang terbatas pula jumlahnya, kemudian butuh waktu 3 sampai 5 tahun (diajarkan pada mahasiswa) baru bisa ditawarkan pada dunia industri dan mungkin telah ketinggalan dari kebutuhannya yang juga berasal dari luar negeri dan langsung dipakai. Jadi sangat masuk akal dalam penelitian ini terungkap bahwa dalam penguasaan Iptek kebanyakan dunia pendidikan tinggi agak ketinggalan dari dunia industri.
Dalam pada itu, peta dunia industri Indonesia dicirikan oleh mayoritas industri menggunakan teknologi tingkat rendah dan sedang dengan orientasi padat karya (labour intensive). Konsekwensinya, secara relatif kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi agak terbatas yakni hanya mampu menampung 3,89% dari total tenaga kerja sektor industri tahun 2008. Ciri lainnya adalah relatif tertutup (terutama PMA) atau setidaknya pasif terhadap pihak luar yang bukan relasi mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang menjadi kendala dalam hubungan kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri. Keadaan ini yang menyebabkan sulitnya dunia pendidikan tinggi memperoleh masukan/informasi rencana kebutuhan tenaga kerja beserta spesii kasi kompetensi masing-masing industri yang pada gilirannya menjadi kendala dalam penyusunan informasi/peta pasar kerja yang rinci dan akurat secara regional dan nasional. Selain itu, keadaan tersebut juga membatasi kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri dalam penyusunan kurikulum dan program magang para mahasiswa yang diperlukan agar nantinya
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
lulusan perguruan tinggi tersebut siap kerja dan sesuai jenis dan mutu kompetensinya dengan yang dibutuhkan dunia industri.
Kurangnya hubungan kerjasama antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri dan ketidak efektifan fungsi pengendalian/ pengelolaan aktivitas perguruan tinggi secara nasional merupakan kendala utama dalam upaya optimalisasi ”link and match” di Indonesia. Wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber yang mewakili perguruan tinggi, industri, dan pemerintah dalam penelitian ini menunjukan keberagaman sikap tentang tanggung jawab masalah ini, tetapi umumnya mereka memiliki kesadaran, kepentingan, dan keinginan bersama untuk menata serta meningkatkan ”link and match” tersebut. Sayang semua pihak cenderung pasif bahkan bersikap ”menunggu” adanya pihak yang benar-benar serius bertanggung jawab menagani persoalan ini.
Untuk bisa memahami secara lebih mendalam persoalan ”link and match” atau disebut juga ”education-job match” bisa dipelajari beberapa teori tentang hal ini. Seperti dikutip oleh Brahim Boudarbat dan Victor Chernof (2009), Witte dan Kalleberg (1995) menyatakan pentingnya teori pada issu ”education-job match” karena memberi perhatian pada pemahaman tentang bagaimana dan mengapa individu-individu sesuai (match) dengan pekerjaannya. Paling tidak ada empat teori yang menjelaskan issu ”education-job match” yang antara lain, teori Human Capital, Credentialism, Job-matching, dan Technological change.
Teori “Human capital” menyatakan bahwa banyak aspek yang membentuk human capital disamping pendidikan seperti pengalaman, training, dan lain-lain. Tenaga kerja yang terbaik human capitalnya dikatakan sebagai tenaga kerja yang paling produktif karena itu memperoleh pekerjaan/posisi terbaik dan gaji tertinggi (Allen and De wert 2007 dalam Brahim, 2009). Dalam teori ini persoalan mismatch pendidikan dipandang sebagai bagian dari ketidak ei sienan
Darwin Syamsulbahri
pasar kerja, seperti misalnya phenomena sementara untuk mengganti satu bentuk human capital untuk memperoleh yang lain.
Dipihak lain, teori Credentialism mempertanyakan apakah pendidikan lanjut menyediakan “necessary skill” (keterampilan yang dibutuhkan) yang digunakan dalam pekerjaan. Singkat kata, keterampilan muncul dari pekerjaan, dan pekerja memandang pendidikan sebagai prediktor dari produktivitas masa datang dan dapat dilatih oleh pemberi kerja.
Teori Job-matching didasarkan pada ide bahwa pasar kerja terdiri dari pekerjaan dari banyak keterampilan yang berbeda-beda dan tingkat pengalaman sebagaimana tenaga kerjanya juga.Tenaga kerja paling terampil (berpendidikan tertinggi) seyogyanya menduduki posisi (kerja) paling terampil dan mismatch terjadi jika supply dari tenaga kerja berpendidikan tinggi atau posisi pekerja terampil saling melebihi yang lainnya (Sorenson and Kalleberg 1981; Jovanovic 1979, dalam Brahim, 2009).
Terakhir, teori perubahan tehnologi didasarkan pada ide bahwa dalam ekonomi moderen dan maju (advance) tingkat teknologi berkembang pesat sekali. Tenaga kerja senior dalam perusahaan mungkin mempunyai matching pendidikan-pekerjaan yang lebih rendah dibandingkan tenaga kerja baru yang menerima pendidikan lebih mutakhir.
Dari keempat teori di atas, nampaknya tiga teori pertama dengan intensitasnya masing-masing memang sesuai dan terjadi pada masalah ”link and match” antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri khususnya atau ”education-job match” di Indonesia. Sedangkan teori technological change hanya berlaku di negara-negara maju dan hampir sama sekali tidak terjadi di Indonesia, bahkan yang terjadi sebaliknya dimana hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa perkembangan penguasaan teknologi di mayoritas dunia pendidikan tinggi selalu ketinggalan dari dunia industri.
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
Dari hasil penelitian ini seperti diungkapkan dalam bab sebelumnya dan dari berbagai studi empiris (Brahim, 2009) terdapat cukup banyak aspek/variabel yang signii kan menjadi arena perbandingan terjadinya atau dan mempengaruhi mismatch pendidikan-pekerjaan. Beberapa aspek tersebut antara lain; lulusan program kerja spesii k versus umum; posisi dari skill umum; tingkat/ level pendidikan; recent degree; grades (indeks prestasi); full/part time job; size perusahaan; posisi pekerjaan; sistem rekruitmen tenaga kerja (conection or not); umur pekerja; menikah/tidak menikah; cacat/ normal phisik; dan tingkat motivasi. Begitu banyaknya aspek yang mempengaruhi tingkat kedalaman mismatch namun bukan serta merta selalu menjadi penyebab mismatch yang mengurangi derajat ”link and match” antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri.
Sementara tingkat kedalaman atau derajat mismatch pendidikan- pekerjaan di Indonesia seperti yang diperkirakan (http://indosdm. com/, 2009) relatif tinggi. Dari seribu orang pelamar kerja mungkin hanya seratus orang yang memenuhi persyaratan administrasi dan lulus test psikologi. Intinya begitu besarnya gap atau perbedaan antara ”supply and demand”, antara persyaratan kerja dengan mereka yang memenuhi kualii kasi persyaratan kerja tersebut. Perkiraan ini memang lebih menggambarkan besarnya over supply di pasar kerja, namun mismatch menjadi bagian yang signii kan di dalamnya.
Hasil wawancara dengan narasumber Disnaker provinsi Banten lebih eksplisit menunjukkan relatif tingginya tingkat mismatch pendidikan-pekerjaan, dimana hanya 45 persen saja lowongan kerja di Banten yang terisi, sedangkan 55 persen tidak terisi karena masalah mismatch pendidikan-pekerjaan tersebut (namun sebenarnya pihak industri mengisi lowongan kosong dari daerah lain dan mungkin tidak dilaporkan). Jika hal ini benar, dengan perkembangan angkatan kerja berpendidikan tinggi yang lebih tinggi dari daya serapnya bisa diduga akan lebih cepat dari pada bayangan sebelumnya, terjadi bencana pembengkakan pengangguran berpendidikan tinggi yang
Darwin Syamsulbahri
cenderung menimbulkan ancaman serius bukan saja dalam bentuk beban ekonomi tetapi juga berupa masalah/kekacauan sosial politik di negara ini. Konsekuensinya, tidak dapat disalahkan, maraknya kegiatan sosial politik kemasyarakatan yang menjelma dalam bentuk hingar- bingar politik praktis diberbagai daerah dan pusat, bisa jadi sebagian merupakan manifestasi ekpresi para penganggur dari angkatan kerja berpendidikan tinggi.
Kenyataannya data survey mismatch tenaga kerja industri besar dan sedang di Batam dan Banten, memang pekerja dunia industri mengalami mismatch pendidikan-pekerjaan namun jauh lebih rendah dari data rekruitmen tenaga kerja di atas. Hal ini tentu cukup masuk akal karena hampir semua tenaga kerja industri tersebut adalah angkatan kerja yang lebih match dan lulus seleksi, sudah mendapatkan training, dan sudah bekerja sekian lama, sehingga tingkat mismatchnya lebih rendah dari kondisi saat rekruitmen dilakukan. Secara lebih rinci disribusi responden tenaga kerja berpendidikan tinggi menurut keadaan matching pendidikan-pekerjaannya dikemukakan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Persentase Responden TK Lulusan PT Beberapa Industri Di Batam Dan Banten Berdasarkan Kesesuaian Pendidikan Dengan Jenis Pekerjaannya.
Responden
Total (n) Laki-laki
Sesuai
Tidak Sesuai
Sumber: Data primer P2E-LIPI, 2009.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa masalah diseputar “link and match” ini sangat kompleks, berlapis, tumpang tindih, dan saling
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
terkait satu sama lainnya. Ada masalah yang secara langsung menjadi penyebab lemahnya “link and match” tersebut, ada masalah yang tidak langsung mempengaruhi, dan ada masalah yang muncul sebagai akibat masalah di hulunya. Dalam perspektif upaya perbaikan/ peningkatan “link and match” dunia pendidikan tinggi dan dunia industri perlu diinventarisasikan berbagai masalah dan kemudian dikelompokan.
Sebenarnya masalah utama yang langsung menyebabkan rendahnya “link and match” antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri adalah ketidak sesuaian jenis/bidang dan mutu/standar kompetensi yang dimiliki angkatan kerja/lulusan dunia pendidikan tinggi dengan yang disyaratkan/dibutuhkan dunia industri. Masalah utama ini tidak berdiri sendiri tetapi muncul akibat masalah kurang/ tidak adanya kerjasama yang efektif diantara dunia pendidikan tinggi, pemerintah, dan dunia industri menyangkut aspek-aspek terutama penyusunan kurikulum termasuk magang, pemberdayaan dunia pendidikan tinggi (infrastruktur, SDM, dan riset), “road map” informasi peta tenaga kerja industri (alokasi kebutuhan dan rencana spesii kasi jenis dan mutu kompetensi), dan peningkatan Investasi dunia industri. Sedang masalah-masalah lainnya lebih bersifat tidak langsung dan merupakan masalah turunan dari masalah diatas. Sesungguhnya masalah di atas muncul karena ketidak jelasan payung hukum beserta peraturan pelaksanaan tentang penanganan masalah “link and match” dan otoritas institusi yang tegas dan berdaya (kewenangan dan sumberdaya memadai) yang dapat menjamin/ mewajibkan/memaksa kerjasama ketiga pihak terkait diatas berjalan efetif, terukur, dan berkelanjutan.
Dalam penelitian ini beberapa masalah “link and match” yang dianggap penting para narasumber di Batam dan Banten antara lain, keterbatasan infrastruktur belajar mengajar, mutu/kualii kasi kompetensi yang dibutuhkan dunia industri lebih tinggi dari yang dimiliki angkatan kerja dari dunia pendidikan tinggi, kekurangsesuaian
Darwin Syamsulbahri
kurikulum untuk menghasilkan spesii kasi angkatan kerja yang dibutuhkan dunia industri, serta kurangnya koordinasi/kerjasama diantara dunia pendidikan tinggi, industri, dan pemeritah (pusat dan daerah).