Sikap al-Thabarî Terhadap Riwayat Isrâ`îliyyât

D. Sikap al-Thabarî Terhadap Riwayat Isrâ`îliyyât

Al-Thabarî tidak mengkritik semua riwayat isrâ'îliyyât yang ditulisnya kendatipun susunan perawi dan sanad-nya rusak. Tentu saja latar belakang yang membentuk sikapnya itu perlu untuk disajikan agar tidak menimbulkan sikap apriori terhadapnya. Untuk keperluan itu, posisi al-Thabarî sebagai sejarawan perlu dipertimbangkan dengan baik agar tidak menghasilkan konklusi parsial. Dalam istilah Ahmad Muhammad al-Hûfî, kajian terhadap al-Thabarî tidak dapat

dipisahkan dari posisinya sebagai ahli tafsir, sejarawan dan ahli fiqh, 135 dan kitab Tarîkh al-Rasûl wa al-Mulûk karya al-Thabarî dalam bidang sejarah ditulis

sebagai syarh kitab tafsirnya. 136 Dengan demikian berarti keterkaitan antara kedua kitab ini tidak dapat dipisahkan ketika melakukan penelitian tentang sikap al-

Thabarî terhadap riwayat isrâ'îliyyât. Mengomentari ketidakkritisan al-Thabarî terhadap sebagian besar riwayat isrâ'îliyyât yang dikutip dalam tafsirnya, para ulama bebeda pendapat, ada yang membelanya dan ada pula yang melakukan kritik terhadapnya. Abû Fadhl

135 Ahmad Muhammad al-Hûfî, al-Thabarî, (Cairo: al-Majlis al-A'alâ li al-Syu'ûn al- Islâmiyyah, 1970), h. 85 Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-

Tafsîr , (Beirût: Dâr al-Ihiyâ', 1970), cet. ke-1, h. 236

136 H.A.R Gibb, Studies on Civilization, (Boston: Beacon Press, 1962), h. 118-119

Ibrâhîm, umpamanya, menjelaskan bahwa sikap al-Thabarî itu sejalan dengan langkah yang telah ditempuh oleh kalangan ahli hadîts pada umumnya, yaitu cukup mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pembawa berita (rawi) pertama, tanpa disertai dengan pertimbangan rasio dalam menerimanya. Dalam hal inipun ia hanya mengemukakan jalan-jalan periwayatan (silsilah al- riwâyah) riwayat isrâ'îliyyât kepada pembawanya yang pertama. Untuk menilai

kualitasnya ia menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca. 137 Dengan cara ini menurut Abû Fadhl Ibrâhîm, al-Thabarî sudah memenuhi tugas keilmiyahannya

dan ia tidak bertanggung jawab terhadap isi riwayat isrâ'îliyyât yang diriwayatkannya. 138

Pendapat Abû Fadhl Ibrâhîm di atas nampaknya tidak sepenuhnya dapat diterima, sebab tafsir al-Thabarî tidak selamanya berada di tangan orang-orang yang mampu menilai kualitas riwayat isrâ'îliyyât. Untuk mengkritiknya seseorang diharuskan menguasai ilmu kritik hadîts (naqd al-hadîts), sebuah ilmu yang cukup sulit untuk dikuasai bagi selain orang-orang yang memang bergelut di dalamnya secara khusus. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa siapa saja yang telah mengemukakan sanad riwayat, ia tidak bertanggungjawab lagi atas isi dari riwayat isrâ'îliyyât itu sangat sulit untuk diterima. Bagaimana seandainya isrâ'îliyyât itu di kemudian hari digunakan oleh seseorang untuk memahami kandungan al-Qur'ân atau menerangkan hukum syara'. Namun dari penelusuran penulis ternyata riwayat-riwayat isrâ'îliyyât tersebut tidak pernah digunakan oleh al-Thabarî dalam mengistimbat hukum.

137 Lihat Muhammad Abdul Azhim al-Zarkanî, Manâhil al-'Irfân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1996), jil. ke-1, h. 497. Lihat juga Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Cairo:

Maktabah Wahbah, 200), cet. ke-7, jil. ke-1, h. 212-215. Lihat juga Tulisan Muhibbuddîn al-Khathîb, Majallah al-Azhâr, jil. ke-1, edisi 1372 H/ 1952 M, h. 24

138 Muhammad Abû Fadhl Ibrâhîm, "Tarikh al-Thabarî ", dalam al-Thabarî, Tarîkh al-Rasûl wa al-Mulûk, (Mesir: Dâr al-Ma'ârif, 1960), jil. ke-1, h. 22-23. Hal senada juga telah dikemukakan

oleh Ibn Hajar al-Asqalânî dalam kitabnya Lisân al-Mizân ketika memaparkan tentang biografi al- Thabarî. Baca Ibn Hajar al-Asqalânî, Lisân al-Mizân, (Beirût: Dâr al-Basyâ'ir al-Islamiyyah, 2002), cet. ke-1, jil. ke-7, h. 25.

Dalam kerangka yang sama, Hudgson menggambarkan, bahwa al-Thabarî laksana seorang detektif yang mengemukakan berbagai bukti yang diperolehnya. Namun, pada akhir episode ia gagal merekonstruksi dan menyerahkan sepenuhnya kepada orang lain untuk membuat kesimpulan berdasarkan bukti-

bukti yang telah dikumpulkan. 139 Pendapat lain dikemukakan Quraish Shihab, ia menjelaskan bahwa sikap al-Thabarî itu dapat diterima karena ide penyeleksian

hadîts atau riwayat-riwayat shahîh baru dimulai oleh Imam al-Bukhârî (780-810) jauh setelah zaman al-Thabarî. 140

Menurut Ahmad Syâkir, langkah al-Thabarî dalam mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât –walaupun jelas sekali dha'îf- dapat ditolelir karena hanaya bertujuan menjelaskan kata atau konteks kalimat. Ia tidak bermaksud menjelaskan arti penting al-Qur'ân sendiri. Dalam hal ini, langkahnya itu tidak jauh berbeda ketika ia menggunaklan syair untuk menjelaskan makna kata tanpa mempertimbangkan isinya. Dengan demikian menurutnya al-Thabarî menggunakannya sebagai

penjelas dalam tataran bahasa saja. 141 Pendapat Syâkir di atas barangkali hanya dapat diterapkan pada sebagian

riwayat isrâ'îliyyât dalam tafsir al-Thabarî. Sebab di dalam kitab itu banyak pula riwayat isrâ'îliyyât yang dikemukakan untuk menjelaskan makna-makna kata al- Qur'ân sendiri. Sebagaimana telah dipaparkan di dalam tafsir tersebut ada riwayat isrâ'îliyyât yang dapat merusak aqîdah dan menghilangkan keterpeliharaan Nabi. Tentu saja riwayat isrâ'îliyyât jenis ini dimaksudkan al-Thabarî untuk menjelaskan makna ayat.

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, berikut ini pendapat-pendapat yang bernada negatif terhadap sikap al-Thabarî di atas. Menanggapi riwayat isrâ'îliyyât dalam tafsir al-Thabarî yang mengemukakan bahwa setan setelah

139 Marshall G.S. Hudgson, The Vanture of Islam, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1974), h. 353

140 Quraish Shihab, Studi Kritis tafsir al-manâr, (Jakarta; Pustaka Hidayah, 1994), h. 122 141 'Abd al-Mun'im, al-Namr, 'Ilmal-Tafsîr: Kaifa aw Tathawwara ilâ Ashrina Hâdza, (Beirut:

Dâr al-Kitâb al-Libanonî, 1985), h. 115-116 Dâr al-Kitâb al-Libanonî, 1985), h. 115-116

sebagai sesuatu (yang wajar) disebarkan. 142 Dalam memecahkan persoalan di atas, al-Hûfî menyayangkan al-Thabarî

yang tidak melakukan studi kritis terhadap isrâ'îliyyât, padahal ia tergolong ke dalam ulama hadîts. Mungkin saja menurutnya, al-Thabarî membedakan antara hadîts dan isrâ'îliyyât. Berbeda dengan hadîts yang berfungsi sebagai sumber hukum yang dapat membangun hukum-hukum, riwayat isrâ'îliyyât tidak memiliki fungsi itu karenanya tidak perlu melakukan studi kritis terhadapnya. Namun, lanjutnya "kesalahan" al-Thabarî tetep saja "tak termaafkan". Sebagai ahli sejarah, ia tidak cukup menyampaikan sanad riwayat saja. Sebab, terkadang

rawinya terpercaya, tetapi ia lemah dalam menerima atau menyampaikannya. 143 Untuk mendekati dengan hal sebenarnya, mungkin perlu dikemukakan

tulisan al-Thabarî dalam salah satu kitabnya yang berbunyi: "Hendaknya setiap peneliti kitabku memahami bahwa apa yang dikemukakan di dalamnya –dan saya sendiri yang menulisnya- adalah berdasarkan kepada periwayatan yang saya sebutkan di sana susunan periwinya yang di dalamnya pun saya terlibat, bukan berdasarkan atas hasil olah pemikiran. Karena untuk mengetahui berita-berita masa lampau dan kejadian-kejadian yang telah terjadi di dalamnya, yang tidak mungkin diperoleh secara langsung dari orang-orang yang terlibat atau

142 Rasîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Cairo: Dâr al-Manâr, 1947), cet. ke-2, jil. ke-3, h. 298-299 143 Ahmad Muhammad al-Hûfî, al-Thabarî, h. 194 142 Rasîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Cairo: Dâr al-Manâr, 1947), cet. ke-2, jil. ke-3, h. 298-299 143 Ahmad Muhammad al-Hûfî, al-Thabarî, h. 194

yang sampai kepada tanganku." 144 Setidak-tidaknya ada tiga poin yang dapat ditangkap dari statmen al-

Thabarî. Pertama, ia berpendapat bahwa para sejarawan –dalam konteks penyebutan riwayat isrâ'îliyyât dalam tafsirnya, al-Thabarî juga sebenarnya berkedudukan sebagai sejarawan- tidak boleh bertolak dari logika, analogi dan istinbâth dalam memperoleh data sejarah. Oleh karena itu, ia mendokomentasikan data sejarah atas dasar berita para rawi saja. Ia pun tidak hanya mengumpulkan data sejarah yang relevan dengan pikirannya. Kedua, untuk memperoleh data sejarah, menurutnya hanya dapat dilakukan dengan satu cara, yaitu melalui berita yang sampai kepada kita. Ketiga, al-Thabarî menyatakan bahwa orang-orang yang belum pernah melakukan studi kritis terdahap riwayat yang diterimanya.

Atas dasar statmen di atas, ada beberapa kritikan untuk al-Thabarî. Poin pertama dan kedua nampaknya bertentangan dengan prinsip sejarah yang sebenarnya. Sejarawan memang tidak boleh merekayasa data sejarah, tetapi bukan berarti pertimbangan rasio tidak berguna dalam mengumpulkan data sejarah. Berkenaan dengan ini Ibn Khaldûn berpendaapat bahwa untuk menerima riwayat sejarah diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang tidak cukup berdasarkan kepada sanad saja. Menurutnya, banyak ahli sejarah dan ahli tafsir yang tergelincir ke dalam kesalahan karena hanya berpegang kepada pemindahan

riwayat saja tanpa melakukan pemikiran mendalam terhadap isi riwayat itu. 145 Sementara itu, poin ketiga pun mengandung sisi kelemahan karena

bertentangan dengan data sejarah. Perlu dikemukakan dua poin untuk mendukung

144 Ibn Jarîr al-Thabarî, Tarîkh al-Thabarî, jil. ke-1, h. 7-8 145 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Cairo: Lajnah al-Bayân al-'Arabî), h. 219 144 Ibn Jarîr al-Thabarî, Tarîkh al-Thabarî, jil. ke-1, h. 7-8 145 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Cairo: Lajnah al-Bayân al-'Arabî), h. 219

mengecek kebenaran terhadap riwayat yang dikabarkan berasal darinya. 146 Pada abad ke-1 Hijriyyah, dikenal ulama pengkritik hadîts seperti Ibn Mûsayyab (w. 93

H), al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abû Bakr (w. 106 H), Salim ibn 'Abdullah ibn 'Umar (w. 106 H), dan 'Ali ibn Husain ibn 'Ali (w. 93 H). Pada masa sebelum dan semasa al-Thabarî hidup (224-310 H) dikenal pula ulama pengkritik hadîts seperti Yahyâ ibn Ma'în (w. 233 H), Ibn Hanbal (w. 241 H), Ishâq ibn Rahâwaih ( w. 238 H), dan Zuhair ibn Harb (w. 234 H).

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa al-Thabarî hidup pada masa kritikan hadîts, suatu kondisi kelilmuan yang memungkinkannya melakukan studi kritis terhadap setiap riwayat yang diterimanya. Apalagi, sebagaimana dikemukakan dalam biografinya, ia diberitakan banyak melakukan perjalanan ilmiah ke pusat-pusat ilmu yang memungkinkannya pula bertemu dengan ulama- ulama pengkritik di atas.

Kedua, ternyata al-Thabarî juga melakukan studi kritis terhadap sebagian riwayat yang diterimanya. Apalagi bila riwayat itu berkaitan dengan persoalan

yang bertentangan dengan prinsipnya. 147 Atas dasar inilah maka alasan yang dikemukakan al-Thabarî di atas tidak dapat diterima.

Mengingat alasan-alasan yang dikemukakan al-Thabarî di atas kurang dapat diterima, maka perlu dicari alasan-alasan lainnya. Untuk keperluan ini, sikapnya terhadap ahli Kitab dan riwayat isrâ'îliyyât perlu diteliti. Sejauh pengamatan terhadap pendapat-pendapat al-Thabarî, nampaknya ia yakin benar bahwa orang Yahudi dan Nasrani pada masa Nabi sudah jauh menyimpang dari ktab suci mereka yang asli. Hal itu jelas kelihatan ketika ia menafsirkan surat al-Mâidah

146 Umpamanya, Dimam ibn Sa'labah menjumpai Nabi dan berkata: "Muhammad, utusanmu datang kepada kami dan mengatakan… (begini begitu). "Nabi menjawab: "Ia berbicara benar".

147 Lihat umpamanya Ibn Jarîr al-Thabarî, Tarîkh al-Thabarî, jil. ke-16, h. 13 tentang surat al- Kahf ayat 94; jil ke-14, h. 67-85 tentang surat l-Nahl ayat 8; dan jil ke-1, h. 64 tentang surat al-Fâtihah

ayat 7.

ayat ke-68. 148 Baginya, tidak diperkenankan mengambil sesuatu hukum dari ahli Kitab dengan alasan telah melakukan tahrîf terhadapnya, kecuali dengan dalil

naqli yang dapat dipercaya dan argumentasi akal. Sikapnya terhadap ahli Kitab ternyata konsisten diperlihatkannya ketika ia menghadapi riwayat isrâ'îliyyât yang nota bene berasal dari mereka. Di bebepa tempat dalam tafsirnya, ia –ketika menafsirkan kisah-kisah dalam al-Qur'ân- seiring menegaskan bahwa yang perlu diperhatikan adalah keglobalan ayat. Oleh karena itu menurutnya, perincian terhadap kisah-kisah itu tidak perlu karena tidak berfaedah dan tidak membawa kemadaratan. Konteks perkataan itu sering

diucapkannya setelah mengemukakan isrâ'îliyyât. 149 Berdasarkan penelusuran tentang sikap al-Thabarî terhdap ahli Kitab dan

isrâ'îliyyât, nampaknya ketidak kritisannya itu lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa berbicara panjang tentang riwayat isrâ'îliyyât tidak berfaidah. Namun, persoalannya sekarang adalah kenapa ia mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât itu dalam kitabnya dan mengapa ia terkadang melakukan studi kritis terhadap sebagiannya. Untuk yang pertama nampaknya harus dikaitkan dengan posisinya sebagai sejarawan yang selalu mengumpulkan setiap data yang diperolehnya. Adapun untuk yang kedua, Bakr Ismâ'îl telah berkomentar bahwa al-Thabarî terkadang melakukan studi kritis terhadap isrâ'îliyyât dengan cara menggabungkannya bila di dalamnya tidak terdapat pertentangan dari segi sanad

dan matn. 150 Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, tafsir al-Thabarî juga memiliki

berbagai keistimewaan di sisi lain. Dari segi sanad, kitab ini mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât dengan disertai sebutan sanad dengan lengkap dan teliti. Untuk setiap riwayat isrâ'îliyyât yang ia kemukakan disertakannya sanad sampai kepada pemiliknya dengan cara menggunakan langkah-langkah periwayatan

148 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 309 149 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-7, h. 135; jil. ke-3, h.

19-20; jil. ke-12, h. 103; jil. ke-7, h. 88

150 Muhammad Bakr Ismâ'îl, Ibn Jarîr al-Thabarî wa manhajuh fi al-tafsî, h. 125 150 Muhammad Bakr Ismâ'îl, Ibn Jarîr al-Thabarî wa manhajuh fi al-tafsî, h. 125

umumnya menggunakan shîghat al-tahdîts (haddatsanâ atau haddatsnî), suatu lafaz periwayatan yang lebih meyakinkan kepada kita bahwa rawi-rawi

mendengar langsung dari guru yang pernah memberikannya. 153 Dari pemaparan ini jelaslah, bahwa al-Thabarî memberikan beberapa

kritikan terhadap riwayat-riwayat yang dikutipnya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân, meskipun tidak begitu banyak. Dengan ia mengemukakan sanad riwayat-riwayat tersebut al-Thabarî telah melaksanakan tugasnya sebagai tanggungjawab ilmiah. []

151 Diantara para rawi yang periwayatannya didengar oleh al-Thabarî dengan temannya, karenanya ia menggunakan kata haddatsanâ, adalah Khâlid ibn Aslam, Abû Kuraib, Muhamad ibn

Hammâd al-Râzî, Sa'ad ibn Yahyâ ibn Sa'ad al-Amawî, Ubaidillâh ibn Muhammad al-Ghurbanî, Ismâ'îl ibn Mûsâ al-Sudâ, Ibn al-Barq, Râbi' ibn Sulaiman, Muhammad ibn Marzûq, Muhammad ibn Mûsanna, Muhammad ibn al-'A'lâ' al-Shan'ânî, Umar ibn Utsmân al-Utsmânî, Yahyâ ibn Dawûd al- Wâsthî, Ahmad ibn Abdal-Dabbî, Sa'i ibn Rabî' dan Muhammad ibn Masyir. Adapun para rawi yang didengar oleh al-Thabarî saja, karenanya ia menggunakan kata haddatsnî, adalah 'Ubaidillâh ibn Asbat, Yûnus ibn Abd al-'A'lâ, Ahmad ibn Manshûr, Muhammad ibn Mukhallad al-Wasithî, al-Rabî' ibn Sulaimân, Abû al-Sa'ib, Sâlim ibn Janadah al-Saw'î, Muhammad ibn Hamîd al-Râzî, Ya'qûb ibn Ibrâhîm, dan Sa'îd al-Rabî. Lihat Ahmad Muhammad al-Hûfî, al-Thabarî, h. 111

152 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil ke-1, h. 22, Contoh riwayat tersebut adalah:

ﺐﻫﹶ ﺫ : ﺮ ﻔ ﻌ ﺟ ﻮﺑ ﺃ ﻝﺎﻗ - ﻱﺪ ﺒ  ﻌ ﻟ ﺍ ﻥﻼﻓ ﻦﻋ ،ﻕﺎﺤﺳﺇ ﰊﺃ ﻦﻋ ﻞﻴ ﺋ ﺍ ﺮ ﺳﺇ ﺎﻨ ﺛ ﺪﺣ : ﻝﺎﻗ ،ﻡ ﺩﺁ ﻦﺑ ﲕﳛ ﲏﺛ ﺪﺣ : ﻝﺎﻗ ،ﺐﻳ ﺮ ﻛ ﻮﺑ ﺃ ﺎﻨ ﺛ ﺪﺣ ؟ﻙﺃ ﺮ ـﻗ ﺃ ﻦـﻣ : ﺖﻠ ﻘ ﻓ ،ﺃ ﺮ ﻘ ﻳ ﻼﺟﺭ ﺖﻌ ﻤﺴﻓ ،ﺪﺠﺴﳌ ﺍ ﱃﺇ ﺖ ﺣﺭ : ﻝﺎﻗ ،ﺐﻌ ﻛ ﻦﺑ ﰊﺃ ﻦﻋ ،ﺩ ﺮ  ﺻ ﻦﺑ ﻥﺎﻤﻴ ﻠ ﺳ ﻦﻋ ، - ﻪ ﲰﺍ ﲎﻋ ،ﺃ ﺮ ـﻘ ﻓ : ﻝﺎﻗ . ﺍ ﺬﻫ  ﺉﺮ ﻘ ﺘ ﺳﺍ : ﺖﻠ ﻘ ﻓ ،ﻢﻠ ﺳﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ ﻰﻠ ﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﱃﺇ ﻪ ﺑ ﺖﻘ ﻠ ﻄﻧ ﺎﻓ . ﻢﻠ ﺳﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ ﻰﻠ ﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ : ﻝﺎﻘ ﻓ : ﻝﺎﻗ ! ﺖﻨ  ﺴﺣﺃ ﺪﻗ ! ﺖﻨ  ﺴﺣﺃ ﺪﻗ : ﺖﻠ ﻘ ﻓ : ﻝﺎﻗ . ﺖﻨ  ﺴﺣﺃ ﺪﻗ  ﺖﻧ ﺃ ﻭ : ﻝﺎﻘ ﻓ ! ﺍ ﺬﻛﻭ ﺍ ﺬﻛ ﲏﺗ ﺃ ﺮ ﻗ ﺃ ﻚﻧ ﺇ : ﺖﻠ ﻘ ﻓ ﻝﺎﻗ . ﺖﻨ ﺴﺣﺃ : ﻝﺎﻘ ﻓ ﲔـﻜﹶ ﻠ ﳌ ﺍ ﻥﺇ : ﻝﺎﻗ ﰒ - ﺎﹰ ﻗ ﺮ  ﻓ ﰲ ﻮﺟ ﻸﺘ ﻣ ﺍ ﻭ ،ﺎﹰ ﻗ ﺮ  ﻋ ﺖ ﻀِ ﻔ ﻓ : ﻝﺎﻗ . ﻚﺸﻟ ﺍ ﰊﺃ  ﻦﻋ  ﺐِ ﻫﺫ ﺃ ﻢﻬﻠ ﻟ ﺍ : ﻝﺎﻗ ﰒ ،ﻱﺭ ﺪﺻ ﻰﻠ ﻋﻩ ﺪﻴ ﺑ ﺏﺮ ﻀﻓ ﺔ ﹶ ﻌ ﺒ ـﺳ ﹶ ﻎﻠ ﺑ ﱴﺣ . ﲔﻓ ﺮ ﺣ ﻰﻠ ﻋﻩ ﺃ ﺮ ﻗ ﺍ : ﻝﺎﻗ . ﱐ ﺩﺯ : ﺖﻠ ﻘ ﻓ : ﻝﺎﻗ . ﻩ ﺩﺯ : ﺮ ﺧﻵﺍ ﻝﺎﻗ ﻭ . ﻑﺮ ﺣ ﻰﻠ ﻋ ﻥﺁ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﺃ ﺮ ﻗ ﺍ ﺎﳘﺪﺣﺃ ﻝﺎﻘ ﻓ ،ﱐﺎﻴ ﺗ ﺃ . ﻑﺮ ﺣﺃ ﺔ ﻌ ﺒ ﺳ ﻰﻠ ﻋﺃ ﺮ ﻗ ﺍ : ﻝﺎﻘ ﻓ ،ﻑﺮ ﺣﺃ

153 Dalam ilmu hadîts dikenal dua kelompok lafaz bagi para perawi untuk meriwayatkan hadîts. Pertama, lafaz yang menunjukkan bahwa para perawinya mendengar lansung dari gurunya,

seperti sami'tu, sami'nâ, haddatsanî dan haddatsanâ. Kedua, lafaz yuang menunjukkan bhawa para perawinya mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri dari gurunya, seperti ruwiya, hukiya 'an, dan anna. Lihat Fathurrahman, Ikhtisar Musthalahul hadîts, (Bandung: PT al-Ma'arif, 1987), h. 220-222