Dari Nafs Wâhidah

1. Dari Nafs Wâhidah

Proses awal penciptaan perempuan (Hawa) pada umumnya mengacu pada

17 kata nafs (Q. s., al-Nisâ/4: 1; 18 Q. s., al-A'râf/7: 189; dan Q. s., al-Zumar/39:

16 Abû al-Fidâ' Isma'îl ibn 'Umar Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, ditahqîq oleh Sâmî Muhammad Salâmah (Singapura; Sulaiman Mar'i, 1985), jil. ke-1 , h. 367

17 Bunyi ayat al-Qur'ân tersebut adalah sebagai berikut:

18 Bunyi ayat al-Qur'ân tersebut adalah sebagai berikut:

6). 19 Dari tiga ayat ini yang dapat dijadikan dasar, adalah kata nafs wâhidah, minhâ dan zaujahâ. Bentuk redaksi seperti ini sangat memungkinkan terjadinya

multi penafsiran. Dari sinilah nampaknya beberapa mufasir berbeda dalam menginterpretasikan pemahaman tentang penciptaan perempuan (Hawa).

Tiga ayat tersebut dengan redaksi yang sama (nafs wâhidah) selalu dijadikan rujukan atau pijakan, dan yang populer dalam membicarakan asal penciptaan perempuan adalah Q., S. al-Nisâ’/4: 1. Ayat inilah yang selalu menjadi perdebatan; Apakah Hawa, pasangan Âdam, sebagai seorang wanita yang diciptakan dari nafs wâhidah seperti Âdam, ataukah diciptakan dari tubuh Âdam sehingga memperkuat image bahwa perempuan adalah makhluk second creation. Dalam menafsirkan ayat ini, ada dua pendapat penafsiran yang kontroversial, yaitu pertama, penciptaan Hawa berasal dari bagian tubuh Âdam, yakni tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas. Kedua, penciptaan Hawa sama seperti penciptaan Âdam, yakni dari jenis yang sama, tidak ada perbedaan antar keduanya.

Al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) dalam tafsirnya Jâmi al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidah adalah Âdam; kata ganti (dhamîr) minhâ ditafsirkan dengan "dari bagian tubuh Âdam"; dan kata zaujahâ ditafsirkan dengan Hawa, isteri Âdam, yang diciptakan dari

tulang rusuk Âdam. 20 Dalam hal ini, al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) memaparkan sebuah hadîts yang telah diiriwayatkan dari Mûsa ibn Harûn, ia

berkata, "Saya diberitahukan oleh Amr ibn Hammâd dari Asbath dari al-Sudî berkata, "Ketika Âdam ditempatkan di surga ia hidup dan berjalan sendirian tanpa didampingi seorang pasangan. Suatu ketika Âdam tertidur, saat ia terbangun, tiba-

19 Bunyi ayat al-Qur'ân tersebut adalah sebagai berikut:

20 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-7, h. 514 20 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-7, h. 514

"Supaya kamu tenteram bersamaku." 21 Adapun tentang bagaimana proses penciptaan Hawa, al-Thabarî (224-310

H/839-923 M) menjelaskan dengan mengutip riwayat yang bersumber dari Ibn Abbâs, bahwa Allah menjatuhkan rasa kantuk kepada Âdam, kemudian mengambil tulang rusuknya yang sebelah kiri, membungkus tempatnya dengan daging (sementara Âdam tetap tidur) dan dari tulang rusuknya Allah menciptakan Hawa dalam rupa perempuan, dengan demikan Âdam bisa menemukan rasa tenteram kepadanya. Ketika Âdam terbangun dari tidur, dia melihat perempuan itu di sisinya dan berkata –menurut apa yang mereka duga, dan Allah Maha

Mengetahui—dagingku, darahku, istriku dan dia merasa tenteram kepadanya. 22 Redaksi riwayat ini mirip dengan redaksi Kitab Kejadian pasal 21-22,

disebutkan sebagai berikut: "Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuknya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah

seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu". 23

21 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-7, h. 516; Ibn Abî Hâtim,Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, (Riyâdh: Maktabah Thayyibah, 1988), cet. ke-1, jil. ke-1, h. 85; Abû al-Fidâ'

Ismâ'îl ibn 'Umar ibn Katsîr al-Qarsyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, tahqîq Sâmî ibn Muhammad Salâmah, (Cairo: Dâr Thaiyyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 1999), cet. ke-1, jil. ke-h. 234; Abdurrahmân ibn Abî Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Ta'wîl bi al-Ma'tsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1993), jil. ke-1, h. 127

Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-7, h 516; Abû Ja'far Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmulî al-Thabarî (224-310 H/839-923 M), Tarîkhal-Rusûl wa al-Mulûk, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), jil. ke-1. h. 104; Abu Qâsim Ibn Asâkir, Tarîkh Dimasyq, ditahqîq oleh 'Umar ibn Ghuramah al-Amrawî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), jil. ke-7, h. 403; Ibn Abî Hâtim,Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, (Riyâdh: Maktabah Thayyibah, 1988), cet. ke-1, jil. ke-1, h. 85.

23 Lihat dalam Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1992), h. 10. Cerita selengkapnya dapat dilihat dalam Kitab Kejadian (Genesis) [1]: 26-27, [2]: 18-24,

dan Kitab Imamat [2]: 1-2.

Riwayat-riwayat semacam ini banyak diintrodusir dalam kitab-kitab klasik, terutama kitab-kitab sejarah, seperti Târîkh al-Umam wa al-Mulûk yang ditulis oleh al-Thabarî (224-310 H/839-923 M), al-Kâmil fî al-Târîkh yang ditulis oleh Ibn al-Atsîr, al-Sîrah al-Nabawiyyah yang ditulis oleh Ibn Hisyâm. Mereka cenderung tidak begitu selektif memasukkan kisah-kisah isrâ'îliyyât di dalam karya-karyanya.

Penafsiran al-Thabarî (224-310 H/839-923 M), bahwa nafs wâhidah itu Âdam, dan Hawa tercipta dari tulang rusuk kirinya dikuatkan dengan hadîts shahîh yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal, hadîts

tersebut adalah "...wanita itu diciptakan dari tulang rusuk...". 24 Hadîts ini nampaknya dipahami oleh al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) secara harfiyah.

Al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) berpendapat, bahwa manusia pertama dinamakan Âdam, karena ketika Allah berkehendak untuk menciptanya Dia mengirim Malaikat pencabut nyawa ke bumi untuk menyekop tanah yang baik dan yang buruk, yang berwarna merah, putih, dan hitam, dari beberapa bagian permukaan bumi (adîm al-ardh). Oleh karena itu, anak cucu Âdam secara moral dan fisik berbeda, dan karena itulah Âdam dinamakan Âdam. 25

Setelah Iblis menolak untuk bersujud di hadapan Âdam, kemudian ia dikutuk dan disusir dari surga, dan Âdam diminta untuk tinggal di sana. Tetapi ia

24 Lihat Abû 'Abdillah, Muhammad ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , (Beirut: Dâr Ibn Katsîr al-Yamâmah, 1987), cet. ke-3, jil. ke-5 h. 1987; Abû al-

Husain, Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Jîl, tt), jil. ke-4, h. 178; Abû 'Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilâl ibn Asad al-Syaibânî, Musnad Ahmad Ibn Hanbal , ditahqîq oleh Abû Mu'thî al-Nûrî, (Beirut: 'Âlam al-Kutub, 1998), cet. ke-

1, jil. ke-2, h. 497; Diantaranya berbunyi:

25 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 480-482; Tentang penciptaan Âdam dari "tanah liat yang berbeda," lihat misalnya karya Kister, Legends in Tafsir and

hadîts Literature, h. 100 dan seterusnya. Dan Thackston, The Tales of the Prophets of al-Kisâ'î, h.338 . Rosenthal menerjemahkan kata adîm al-ardh dengan "kulit bumi" The History of al-Thabarî, vol. ke-1, h. 259 hadîts Literature, h. 100 dan seterusnya. Dan Thackston, The Tales of the Prophets of al-Kisâ'î, h.338 . Rosenthal menerjemahkan kata adîm al-ardh dengan "kulit bumi" The History of al-Thabarî, vol. ke-1, h. 259

Mengetahui—dagingku, darahku, istriku dan dia merasa tenteram kepadanya. 26 Allah mula-mula menciptakan Âdam, kemudian setelah itu baru

menciptakan Hawa. Hal ini sangat jelas tergambar pada nash al-Qur'ân pada surat al-Nisâ'/4: 1. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, maksud dari ayat tersebut adalah Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertakwa kepada- Nya, dan menjelaskan bahwa penciptaan manusia berasal dari Âdam dan Hawa. Ayat itu mengisyaratkan bahwa Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak dari nafs wâhidah, yang merupakan asal muasal seluruh manusia di muka bumi. Mereka semua tidak lain adalah berasal dari Âdam dan Hawa; Kedua, Âdam dan Hawa diciptakan tidak dalam waktu yang sama, tetapi pada dua waktu yang berbeda, al-nafs wâhidah adalah Âdam, sedang zaajhâ adalah Hawa, kata zaujuhâ ini di-athaf-kan kepada nafs wâhidah. Artinya bahwa nafs wâhidah (Âdam) pertama-tama diciptakan setelah itu barulah Hawa.

Argumentasi lainnya yang dapat mendukung pendapat al-Thabarî (224- 310 H/839-923 M) ini adalah sebagai berikut; (a) Sekiranya Allah menciptakan Âdam dan Hawa pada waktu yang sama, tentu hal itu akan disebutkan secara jelas dalam al-Qur'ân (Q., S. al-Kahf/18: 49); (b) Huruf wâw al-'athf terkadang tidak menunjukkan tartîb (urutan) antara al-'athf dan al-ma'thûf 'alaih. Pakar linguistik mengatakan bahwa wâw al-'athf berguna untuk muthlaq al-jam'i, yakni tidak menunjukkan urutan peristiwa, sebagai contoh dalam kalimat bahasa Arab: Jâ'a

26 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 514

Zaid wa Khâlid . Huruf wâw al-'athf di sini tidak menunjukkan bahwa Zaid datang lebih awal kemudian disusul oleh Khâlid, namun ia hanya menunjukkan kedatangan keduanya. Dan sudah menjadi ketetapan dalam bahasa Arab bahwa penggunaan wâw al-'athf itu mesti ada didahului oleh sesuatu yang telah ada sebelumnya; (c) Model seperti ini terulang berkali-kali ketika al-Qur'ân berbicara

tentang tema penciptaan manusia. Misalnya pada surat al-A'râf/7: 189. 27 ; (d) Argumen di atas rasanya tidak diperlukan, karena terdapat ayat yang lebih jelas

mengisyaratkan hal ini, yaitu pada surat al-Zumar/39: 6 28 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dari nafs wâhidah kemudian (tsumma)

menciptakan perempuan dari nafs wâhidah itu. Dan sudah menjadi kebenaran umum bahwa tsumma adalah huruf al-'athf yang menunjukkan makna urutan berikutnya (al-tartîb ma'a al-tarakhkhî). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Âdam diciptakan lebih awal, kemudian setelah itu baru diciptakan Hawa, dan ia diciptakan dari diri Âdam sendiri.

Para mufasir klasik lainnya, juga menyepakati penafsiran al-Thabarî (224- 310 H/839-923 M) ini. Mereka antara lain adalah al-Zamakhsyarî (467-538 H/

1074-1143 M), 30 al-Qurthubî( 600-671 H/1204-1273 M), Ibn Katsîr(700-774

31 H/1301-1473 M), 32 al-Suyûthî (849-911 H/ 1445-1505 M), al-Alûsî (1217-1270 H/ 1802-1854) 33

27 Ayat tersebut adalah: ﺎ ﻬ ﻴ ﻟ ﹶ ﺇ ِ  ﻦﹸﻜ  ﺴ ﻴ ﻟ ِ ﺎ ﻬ ﺟ ﻭ ﺯ ﺎ ﻬ ﻨ ﻣ ِ ﹶ ﻞ ﻌ ﺟ  ﻭٍ ﺓ ﺪِ  ﺣﺍ  ﻭٍ ﺲﹾ ﻔ  ﻧ ﻦِ  ﻣ  ﻢﹸﻜﹶ ﻘ ﹶ ﻠ  ﺧ ﻱِ ﺬﱠﻟ ﺍ ﻮ  ﻫ

28 Ayat tersebut berbunyi: ﺎ  ﻬ ﺟ ﻭ ﺯ ﺎ ﻬ ﻨ ِ ﻣ ﹶ ﻞ ﻌ  ﺟ ﻢﹸﺛ ٍ ﺓ  ﺪِ ﺣﺍ ﻭٍ  ﺲﹾ ﻔ  ﻧ  ﻦِ ﻣ  ﻢﹸﻜﹶ ﻘ ﹶ ﻠ  ﺧ

29 Abû al-Qâsim Mahmud ibn 'Amr ibn Ahmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, (Riyâdh: Maktabah al-'Abîkân, 1998), cet. ke-1, jil ke-1, h. 369

30 Abû Abdillah Muhammad ibn Abî Bakr ibn Farh al-Anshârî al-Khazrajî al-Qurthubî, Tafsîr

al-Qurthubî , (Cairo: Dâr al-Syi'b, 1952), jil. ke-2, h. 5

31 Abû al-Fidâ' Isma'îl ibn 'Umar ibn Katsîr al-Qarsyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm,

(Cairo: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 1999), jil. ke-2, h. 206

32 Abdurrahmân ibn Abî Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Ta'wîl bi al-

Ma'tsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1993), jil ke-5, h. 2

33 Abû al-Tsanâ' Syihabuddin al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm wa al-

Sab'I al-Matsânî, (Beirût: Dâr Ihyâ' al-Turâts al-'Arabî, tt), jil ke-4, h. 181-184

Sebagai contoh, menurut al-Zamakhsyarî, yang dimaksud dengan nafs wâhidah adalah Âdam dan zaujahâ adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah dari

salah satu tulang rusuk Âdam. 34 Pendapat senada dikemukakan al-Alûsî dengan tambahan keterangan bahwa tulang rusuk yang dimaksud adalah tulang rusuk

sebelah kiri Âdam. 36 Ia mengutip hadîts riwayat Imâm al-Bukhârî. Selain para mufasir klasik, ulama kontemporer pun juga ada yang

sependapat dengan penafsiran al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) ini, misalnya, Syekh Yûsuf al-Qardhâwî. Namun demikian, juga terdapat sekelompok mufasir yang tidak setuju dengan penafsiran model al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) ini, Mereka memahami bahwa penciptaan perempuan (Hawa) dari nafs wâhidah bukan seperti apa yang dipahami al-Thabarî (224-310 H/839-923 M). Pengertian yang tepat untuk ungkapan nafs wâhidah itu adalah bahwa perempuan (Hawa) tercipta dari jenis yang satu atau jenis yang sama dengan Âdam, sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Âdam dan Hawa. Menurut kelompok ini, di dalam al-Qur’ân tidak ada indikator kuat bahwa Allah pernah berencana untuk memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki. Al-Qur'ân juga tidak pernah menunjuk khusus kepada Âdam sebagai asal mula bangsa manusia. Al- Qur’ân bahkan sungguh tidak pernah menyebutkan bahwa Allâh memulai penciptaan manusia dengan nafs Âdam, atau diri laki-laki. Tidak dicantumkannya hal ini patut diperhatikan dan direnungkan untuk membangun analisis dan pemahaman tentang asal-usul manusia, sebab versi al-Qur'ân tentang penciptaan

34 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasyâf, h. 492 35 Al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî. h. 180-181 36 Lihat Lihat Abû 'Abdillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî,

Shahîh al-Bukhârî , (Beirut: Dâr Ibn Katsîr al-Yamâmah, 1987), cet. ke-5, h. 1987. Hadîts tersebut berbunyi:

Pandangan seperti pendapat kedua ini dapat ditemukan pada beberapa mufasir, di antaranya Rasyîd Ridha, yang mengatakan bahwa ide penciptaan Hawa dari tulang rusuk tampaknya bersumber dari riwayat isrâ'îliyyât yang

termaktub dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian 2 ayat 21-22. 38 Kemudian ia menimpali bahwa seandainya tidak termaktub kisah kejadian Âdam dan Hawa

dalam Perjanjian Lama yang mengarah kepada pemahaman harfiah, niscaya pendapat semacam itu tidak terlintas di benak seorang muslim yang senantiasa membaca al-Qur'ân. 39

Demikian pula dengan Ahmad Musthafa al-Maraghî, yang secara tegas mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur'ân sedikitpun tidak mendukung pemahaman yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam seperti yang dipahami oleh al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) dan juga ditemukan dalam

beberapa riwayat. 40 Penjelasan al-Qur'ân surah al-Nisâ` ayat ke-1 di atas memang tidak

menyebutkan secara eksplisit nama Âdam dan Hawa, tapi diungkapkan dengan kata nafs wâhidah dan zaujahâ. Namun demikian dengan bantuan ayat-ayat lain (misalnya Q., S. al-Baqarah/2: 30-31, Q., S. Âli 'Imrân/3: 59, dan Q., S. al- A'râf/7: 27) dan hadîts hadîts Nabi, para mufasir klasik pada umumnya dan Imâm al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) pada khususnya memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidah dan zaujahâ dalam ayat itu adalah

37 Amina Wadud, Qur'ân Menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001), h. 57-58 38 Ayat tersebut berbunyi: "…Maka datanglah Tuhan Allah atas Âdam itu tidur yang lelap,

lalu tertidurlah ia. Maka diambil Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya tempat itu dengan daging. Maka daripada tulang yang telah dikeluarkannya dari dalam Âdam itu diperbuat Tuhan seorang perempuan. Lalu dibawanya akan dia kepada Âdam." Perjanjian Lama-Baru, Jakarta: Lembaga Alkitab, 1979), h. 9

39 Muhammad Rasyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: Dâr al-Manâr, 1948), cet. ke-2, jil.ke-4, h. 330

40 Ahmad Musthafa al-Maraghî, al-Marâghî, (Mesir: Syirkah Musthafa al-Bâbî al-Halabî wa Aulâdih), cet. ke-1, jil. ke-4, h. 77

Nabi Âdam a.s (laki-laki) dan Hawa (perempuan) yang dari keduanyalah terjadi perkembangbiakan umat manusia. 41

Dalam konteks kajian jender, kontroversi sebenarnya bukan pada siapa yang pertama, tapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat disebutkan dengan lafal wa khalaqa minhâ zaujahâ. Masalahnya adalah apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti penciptaan Âdam, atau diciptakan dari (bagian tubuh) Âdam itu sendiri. Kunci penafsiran yang berbeda itu terletak pada kata minhâ. Apakah kata itu menunjukkan bahwa untuk Âdam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya, atau diciptakan dari (diri) Âdam itu sendiri.

Pandangan dari para mufasir klasik tersebut di atas, ditolak oleh para feminis muslim, Riffat Hasan misalnya, menolak dengan keras pandangan para mufasir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam. Dia juga mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wâhidah itu Âdam dan zaujahâ itu Hawa, istrinya. Padahal kata nafs dalam bahasa Arab tidak menunjuk kepada laki- laki atau perempuan, tapi bersifat netral. Begitu juga kata zauj, tidak secara otomatis diartikan istri karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa laki-laki dan bisa perempuan. Di samping zauj juga dikenal istilah zaujah, bentuk feminim dari zauj. Riffat dengan mengutip kamus Tâj al-‘Arus menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz yang menggunakan istilah zauj untuk menunjuk kepada perempuan, sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk menyatakan perempuan. Lalu kenapa al-Qur’ân yang secara meyakinkan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz menggunakan istilah zauj bukan

zaujah 42 , seandainya yang dimaksud itu benar-benar perempuan. Melalui penelitian terhadap teks-teks Injil dalam Genesis (1:26-27, 2:7,

2:18-24, 5:1-2), Riffat menyimpulkan bahwa kata Âdam adalah istilah Ibrani yang secara literal berarti tanah, berasal dari kata âdamah yang sebagian besar

41 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, juz 4, h. 223-227. 42 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: Lembaga Studi

dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000), h. 40 dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000), h. 40

menyatakan bahwa Âdam laki-laki. Âdam adalah kata benda maskulin, hanya secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Seperti halnya nafs wâhidah, ia pun tidak memastikan bahwa Âdam itu perempuan, tapi menolak dengan tegas kalau Âdam harus laki-laki. Baginya Istilah Âdam sama dengan al-basyar, al-

insân, 44 dan al-nâs yang menunjukkan manusia bukan jenis kelamin. Konsep penciptaan Hawa seperti yang dikemukakan para mufasir menurut

Riffat berasal dari Injil. Tradisi Injil ini masuk lewat kepustakaan hadîts yang menurutnya penuh kontroversial. Jadi menurutnya Âdam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya. Bukan Âdam diciptakan dulu dari tanah, kemudian Hawa dari tulang rusuk Âdam seperti pemikiran para mufasir dan hampir keseluruhan umat Islam. Penolakan penciptaan Âdam dan Hawa secara terpisah berakibat penolakan tafsir lebih lanjut tentang bagaimana Hawa diciptakan. Bagi Riffat, cerita tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Âdam tidak lebih dari dongeng-dongeng Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam kepustakaan hadîts yang dengan berbagai cara telah menjadi kacamata untuk melihat dan menafsirkan al- Qur’ân sejak abad-abad pertama Islam, bukan masuk secara langsung karena sedikit sekali kaum muslimin yang membaca Injil. Ia juga menolak otentisitas dan validitas hadîts-hadîts riwayat al-Bukhâri-Muslim tentang penciptaan Hawa dari

tulang rusuk Âdam, dan hadîts-hadîts lain yang misogini (anti perempuan). 45 Selain Riffat Hassan, feminis muslim asal Maroko, Fatima Mernissi juga menolak

validitas riwayat-riwayat hadîts misoginis sekalipun riwayat-riwayat tersebut

43 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 48. 44 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 49-50. 45 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 62-104.

disebutkan dalam kitab hadîts Bukhârî dan Muslim, dua buah kitab hadîts sunni yang paling utama dan dinilai paling tinggi standar kualitasnya. 46

Sementara itu Amina Wadud Muhsin berbeda pandangan dengan Riffat, di mana ia tidak menolak penafsiran nafs wâhidah adalah Âdam dan zaujahâ adalah Hawa. Hal itu terlihat misalnya pada terjemahannya terhadap surat al-Nisâ’ ayat ke-1 sebagai berikut:

“ Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dari seorang diri (nafs=Âdam), dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya (zauj=Hawa). Dan dari pasangan ini Allah mengembangbiakkan (di bumi) laki-laki dan perempuan yang banyak…..

Tentang teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas, apakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam seperti pendapat para mufasir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Âdam seperti pendapat Riffat. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahsa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) “dari” untuk menunjukkan makna “menyarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya”; kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minhâ dalam Q., S. al-Nisâ'/4:

1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi), maka maknanya Hawa diciptakan dari Âdam, dan itu berarti hanya bersifat derivatif dan sekunder seperti yang dipaparkan Riffat, sebaliknya bila digunakan fungsi min yang kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Âdam.

Penafsiran al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) dan para mufasir klasik lainnya jelas berbeda dengan pandangan dari para feminis muslim, semisal Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Ashghar Ali Engneer dan Amina Wadud yang hidup pada abad ke-20 M. Mereka, para feminis muslim ini telah mengenal ide-ide feminisme dengan baik dan mendalam. Tidak saja mengenal, bahkan mereka

46 Baca Fatima Menissi, "Penafsiran Feninis tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam" dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global,

terj. Oleh E. Kusnadiningrat dari judul asli, Liberal Islam: A Sourcebook, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 156-184.

dapat dipandang sebagai pemikir dan dalam batas-batas tertentu menjadi aktivis feminisme. Dengan latar kontekstual seperti ini, doktrin Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam, menurut mereka, tentunya bertentangan dengan prinsip kesetaraan. Menurut mereka, kalau dari awal tidak setara, untuk seterusnya tidak akan bisa lagi setara. Akan tetapi, kalau laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, maka di kemudian hari tidak akan bisa berubah menjadi tidak

setara. 47 Konteks masa bagi penafsiran al-Thabarî jauh berbeda dengan masa

sekarang. Di era al-Thabarî (224-310 H/839-923 M), paham yang menggugat ketidakadilan jender yang kemudian dikenal dengan feminisme tentu saja belum masuk dalam agenda pemikiran Islam. Cikal bakal kesadaran akan ketidakadilan jender baru muncul dalam dunia Islam lewat karya tulis para penulis muslimah pada akhir abad ke-19 M, jauh setelah al-Thabarî meninggal dunia. Dengan demikian, pada masa al-Thabarî hidup belum terpikirkan untuk melihat ayat-ayat al-Qur'ân yang dibahas dalam perspektif jender.

Dengan latar belakang kontekstual seperti ini, bagi al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) tidak ada problem yang perlu dipermasalahkan atau digugat ketika menafsirkan bahwa Âdam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam. Bagi al-Thabarî penciptaan Âdam yang pertama dan penciptaan Hawa dari tulang rusuk tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada kemanusiaan masing-masing, dan tidak bertentangan dengan prinsip kesetaraan. Karena kesetaraan bagi al-Thabarî tidak harus bermula dengan kesetaraan dalam penciptaan.

47 Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, h. 44

Sekalipun boleh jadi al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) adalah mufasir pertama yang mengutip dalam kitab tafsirnya riwayat-riwayat isrâ`îliyyât, 48 yang

48 Ketika menjelaskan tentang penciptaan perempuan, al-Thabarî mengutip riwayat sebagai berikut:

Riwayat tersebut jelas merupakan riwayat isrâ`îliyyât. Selain karena sumbernya dari Wahb bin Munabbih yang dikenal sering menyampaikan riwayat seperti itu. Keterangan yang terkandung di dalamnya juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian pasal 1-15, sebagai berikut:

"Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu:”Tentulah Allah berfirman: Semua pohon di taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” 2. Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu:”Buah pohon- pohonan dalam taman ini boleh kami makan, 3. tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman:”Jangan kamu makan atau pun raba buah itu, nanti kamu akan mati.” 4. Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu:”Sekali-kali kamu tidak akan mati, 5. tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” 6. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia. Dan suaminya pun memakannya. 7. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. 8. Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. 9. Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, “Di manakah engkau?” 10. Ia menjawab: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi. 11. Firman-Nya:”Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang?” Apakah engkau makan dari buah pohon, yang "Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu:”Tentulah Allah berfirman: Semua pohon di taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” 2. Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu:”Buah pohon- pohonan dalam taman ini boleh kami makan, 3. tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman:”Jangan kamu makan atau pun raba buah itu, nanti kamu akan mati.” 4. Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu:”Sekali-kali kamu tidak akan mati, 5. tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” 6. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia. Dan suaminya pun memakannya. 7. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. 8. Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. 9. Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, “Di manakah engkau?” 10. Ia menjawab: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi. 11. Firman-Nya:”Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang?” Apakah engkau makan dari buah pohon, yang

Sebagai contoh, dalam kasus kepemimpinan perempuan, para ahli fiqh menyebut beberapa persyaratan yang disepakati, yaitu: muslim, berakal, dewasa dan merdeka, sehat jasmani, adil, dan memahami hukum syari'ah. Sementara persyaratan jenis kelamin diperdebatkan. Ada tiga pandangan ulama mengenai syarat terakhir ini.

Pertama, Mâlik ibn Anas, al-Syâfi'î dan Ahmad ibn Hanbal menyatakan bahwa jabatan ini haruslah laki-laki dan tidak perempuan. Menurut mereka seorang hakim di samping harus menghadiri sidang-sidang terbuka yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga harus memiliki kecerdasan akal yang prima (kamâl al-ra'yi wa tamâm al-aql wa al-fathanah). Padahal tingkat kecerdasan perempuan di bawah tingkat kecerdasan laki-laki (nâqisât al-aql, qalîlah al-ra'yi) . Selain itu, ia (perempuan) dalam posisi tersebut akan berhadapan dengan laki-laki. Kehadirannya saat ini akan dapat menimbulkan fitnah (gangguan). Argumen lain yang dikemukakan golongan ini adalah fakta sejarah. Nabi dan para khulafâ' al-rasyidîn, demikian juga para penguasa-penguasa Islam

Kularang engkau makan itu?” 12. Manusia itu menjawab:”perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan. 13 Kemudian berfirmanlah Tuhan Allah kepada perempuan itu:”Apakah yang telah kau perbuat ini?” Jawab perempuan itu:”Ular itu yang memperdaya aku, maka kumakan.”14. Lalu berfirmanlah Tuhan Allah kepada ular itu: “Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu. 15. Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya." Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî , jilid ke-1, h. 273.

sesudahnya tidak pernah memberikan kekuasaan kepada perempuan. Sejarah Islam tidak pernah membuktikan ada perempuan menduduki jabatan ini. 49

Pendapat kedua dari madzhab Hanafî dan Ibn Hazm al-Zhâhirî. Mereka mengatakan bahwa laki-laki bukan syarat mutlak untuk kekuasaan kehakiman. Perempuan boleh saja menjadi hakim. Akan tetapi ia hanya dapat mengadili perkara-perkara di luar pidana berat (hudûd dan qishâs). Ini karena perempuan dibenarkan menjadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Di samping itu, qâdhî (hakim) bukanlah sama dengan muftî (pemberi fatwa hukum). Selain itu, golongan ini menolak hadîts mengenai kepemimpinan negara sebagai dasar hukum untuk fungsi yudikatif. Ibn Hazm menambahkan bahwa Umar ibn

Khaththâb pernah menugaskan perempuan sebagai bendahara pasar. 50 Pendapat ketiga menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim

untuk menangani berbagai perkara. Laki-laki tidak menjadi syarat dalam kekuasaan kehakiman. Inilah pendapat Ibn Jarîr al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) dan al-Hasan al-Bashrî. Bagi mereka, jika perempuan bisa menjadi mufti, maka logis kalau ia juga bisa menjadi hakim. Tugas mufti adalah menjelaskan hukum-hukum agama melalui analisis ilmiah dengan tanggungjawab negara atau atas dasar kekuasaan negara. Tetapi pendapat ketiga ini serta merta ditolak oleh al-Mawardî sambil mengatakan bahwa pendapat Ibn Jarîr al-Thabarî (224-310

H/839-923 M) telah menyimpang dari konsensus ulama (ijma'). 51

49 Lihat, Syarbini Khathîb, Mughni al-Muhtâj, (Beirût: Dâr al-Ma'rifah, 1997), jil. ke-4, h. 375. Lihat juga Abû al-Walîd Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubî al-Andalusî, Bidâyah al-

Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah, tt), jil. ke-2, h. 458, Lihat juga al- Mâwardî, al-Ahkam al-Sulthâniyyah, (Cairo: al-Mathba'ah al-Mahmûdiyyah al-Tijâriyyah, tt), h. 61. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Damascus: Dâr al-Fikr, 1989), jil. ke-4, cet. ke-3, h. 745 50

Lihat Abû Bakr al-Kasani, Badâ'i al-Shanâ'i fî Tartîb al-Syar'i, (al-Maktabah al-Syâmilah v. 3.5), jil. ke-6, h. 3. Lihat juga Ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Muhallâ,(Cairo: Maktabah al-Nahdhah, tt), jil. ke-9, h. 429-430. Lihat juga Muhammad Musthafa al-Zuhailî, al-Talzhîm al-Qadhâ'î al-Fiqh al- Islâmî, (al-Maktabah al-Syâmilah v. 3.5), h. 29

51 Lihat Khathîb al-Syarbînî, Mughni al-Muhtâj, jil. ke-4, h. 375. Lihat juga al-Mawardi, al- Ahkam al-Sulthâniyyah , h. 61

Fatwa hukum al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) yang terkait dengan kasus kepemimpinan perempuan ini, jauh lebih liberal daripada fatwa-fatwa sejenis dari tokoh-tokoh lainnya di era al-Thabarî (224-310 H/839-923 M). Sebagai contoh nyata, adalah fatwanya tentang kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan tinggi dan termasuk dalam wilayah kekuasaan publik (al- sulthah al-'âmmah) . Kekuasaan ini juga bersifat memaksa (al-sulthah al- mulzimah). Karena itu, untuk jabatan ini diperlukan sejumlah persyaratan.

Contoh lainnya adalah tentang kepemimpinan perempuan dalam shalat. Ketika berbicara soal kepemimpinan dalam shalat, maka akan dujumpai bahwa seluruh kitab-kitab fiqh klasik maupun modern selalu menyebutkan sejumlah syarat. 52 Beberapa persyaratan itu diantaranya adalah: Islam, berakal, baligh, dan

laki-laki. Para ulama fiqh klasik dari madzhab Hanafî, Mâlikî, syâfi'î dan Hambalî, sepakat berpendapat bahwa perempaun tidak dibenarkan memimpin shalat kaum laki-laki. Ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Mâlik ibn Anas, pendiri madzhab Mâlikî sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam shalat termasuk bagi jama'ah kaumnya sendiri, baik untuk shalat fardhu (wajib) maupun shalat sunat.

Demikian juga ulama fiqh modern, seperti: Wahbah al-Zuhailî dalam karyanya al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh setidaknya menyebut 12 syarat. Salah satu persyaratan itu adalah pria jika makmumnya pria atau banci dan tidak sah jika perempuan atau banci mengimami pria dalam salat. Keyakinan seperti ini

merupakan pendapat yang umuman di kalangan umat Islam. 53 Berbeda halnya dengan al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) yang memiliki

pendapat hukum yang sangat liberal dalam kasus ini, menurutnya perempuan boleh menjadi imam shalat secara mutlak, baik makmumnya laki-laki maupun

52 Disarikan dari berbagai kitab fiqh. Lihat 'Abdul Qadîr al-Rahbawî, Kitâb al-Shalât ala Madzâhib al-Arba'ah Adillât Ahkâmihâ, (Cairo: Dâr al-Salâm, 1994), cet. ke-5, h. 189-191, Lihat juga

Muhammad Ibrâhîm al-Hifnawî, Fiqh al-Shalât, (Cairo: Dâr al-Hadîts, tt), h. 84-85. Lihat Wahbah al- Zuhailî, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, jil. ke-2, h. 173

53 Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, jil. ke-2, h. 173

perempuan. 55 Hal senada juga dikemukakan oleh oleh Abû Tsaur (w. 240 H) dan Imâm al-Muzanî (175-264 H/792-878 M). 56

Pendapat al-Thabarî (224-310 H/839-923 M), Abû Tsaur (w. 240 H) dan al-Muzanî (175-264 H/792-878 M) tersebut didasarkan dari hadîts yang

57 diriwayatkan oleh Imam Abû Daud (202-275 H) 58 dalam kitab Sunan-nya. Suatu ketika, Nabi beserta pasukannya akan berangkat perang Badar. Seorang sahabat

perempuan bernama Ummu Waraqah binti Naufal al-Anshârî 59 meminta izin

54 Lihat Abû al-Walîd Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubî al-Andalusî, Bidâyah al- Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, jil. ke-1, h. 123; Lihat juga Syarafuddîn al-Nawâwî, al-Majmu'

Syarh al-Muhadzdzab, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt), jil ke-4, h. 125-126 55 Abû Tsaur termasuk mujtahid besar, ahli fikih dan murid Imam al-Syâfi’î. Lihat

Syihâbuddîn Abî al-Falâh 'Abdul Hayy ibn Ahmad ibn Muhammad al-Askarî al-Hanbalî al-Dimasyqî (1032-1089 H), Syadzarât al-Dzahab fî Akhbâr Man Dzahab, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1993), cet. ke-1, jil. ke-1, h. 45

56 Begitu juga al-Muzanî. Nama lengkapnya adalah Abû Ibrahîm Isma'îl ibn Yahya ibn Isma'îl al-Mishrî al-Muzanî. Ia adalah murid Imam al-Syafi’i yang kemudian (juga) menjadi mujtahid. Kepada

muridnya tersebut, Imam Syâfi’î pernah mengatakan, “al-Muzani nâshir mazhabî” (al-Muzani adalah pembela mazhabku). Lihat Syihâbuddîn Abî al-Falâh 'Abdul Hayy ibn Ahmad ibn Muhammad al- Askarî al-Hanbalî al-Dimasyqî (1032-1089 H), Syadzarât al-Dzahab fî Akhbâr Man Dzahab, jil. ke-2,

h. 148 57 Nama lengkapnya adalah Sulaiman ibn al-Asy'as ibn Ishâq ibn Bisyr ibn Syidâd ibn Amr

terkenal dengan sebutan Abû Dâwud al-Sijistânî. Ia dilahirkan tahun 202 H dan wafat tahun 275 H. Lihat Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl, (Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1980), cet. ke-1, jil. ke-1, h. 530; Gaffâr Sulaimân dan Sayyid Hasan al-Badrî, Mausû'at Rijâl al-Kutub al-Tis'ah, (Beirût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993), jil. ke-2, h. 86-87. Ia merupakan petualang keilmuan. Setidaknya, ia melawat ke berbagai wilayah untuk mencari ilmu. Lihat Syihâbuddîn Abû Fadhl Ahmad ibn Hajar al-Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993), jil. ke-4, h. 169. Rihlah ilmu yang pernah dilakukan Abû Dâud antara lain di Iraq, Khurasan, Syam, Mesir dan Hijaz. Ia adalah pengarang kitab Sunan dan kitab ini masuk dalam kategori Kutub al-Sittah yang nilainya baik. Ia meriwayatkan hadîts dari sejumlah periwayat terkenal antara lain Utsmân ibn Muhammad. Lihat Syamsuddîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân al-Dzahabî, al-Kâsyif fî Ma'rifah Man lahu Ruwât fî Kutub al-Sittah, (Cairo: Dâr al-Kutub al-Hadîts, 1972) , jil. ke-4, h. 169

58 Abû Daud Sulaimân ibn Asyats al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Daud, ditahqîq oleh Muhammad Muhiddîn 'Abdul Hamîd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tt), jil. ke-1, h. 217. Hadîts tersebut

berbunyi sebagai berikut:

ِ ﺖ ﻨ ِ ﺑ ﹶ ﺔ ﹶ ﻗ ﺭ   ﻭ ﱢﻡ ﹸﺃ  ﻦ ﻋٍ ﺩﱠﻼ ﺧِ ﻦ ﺑ ِ ﻦ ﻤ ﺣﺮ ﻟ ﺍ ﺪ ِ ﺒ  ﻋ ﻦ ﻋٍ ﻊ ﻴ  ﻤ ﺟِ ﻦ ﺑ ِ ﺪﻴ ِ ﻟ ﻮﹾ  ﻟ ﺍ ﻦ ِ ﻋٍ ﻞ ﻴ  ﻀﹸﻓ ﻦ  ﺑ  ﺪﻤ ﺤ ﻣ ﺎ ﻨ ﹶ ﺛ ﺪ ﺣ ﻰِ ﻣ ﺮ  ﻀ  ﺤﹾ ﻟ ﺍ ٍ ﺩﺎﻤ ﺣ ﻦ ﺑ  ﻦ ﺴ ﺤﹾ ﻟ ﺍ ﺎ ﻨ ﹶ ﺛ ﺪ ﺣ ﺎ ﻬﹶ ﻟ ﹶ ﻞ ﻌ ﺟ  ﻭ ﺎ ﻬِ ﺘ  ﻴ  ﺑ ﻰِ ﻓ ﺎ ﻫ ﺭ ﻭ ﺰ  ﻳ - ﻢﻠ ﺳﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ ﻰﻠ ﺻ - ﻪ ِ ﱠﻠ ﻟ ﺍ ﹸﻝﻮ ﺳ ﺭ ﻥﺎﹶ ﹶ ﻛ ﻭ ] : ﻝﺎﹶ ﹶ ﻗ ﻢ ﺗ ﺃ ﹶ ﹸﻝﻭَﻷﺍ ﻭِ  ﺚﻳ ﺪ ِ ﺤﹾ ﻟ ﺍ ﺍ ﹶ ﺬ ﻬِ ﺑ ِ ﺙِ ﺭ ﺎ ﺤﹾ ﻟ ﺍ ِ ﻦ ﺑ ِ ﻪ ﱠﻠ ﻟ ﺍ ِ ﺪ ﺒ ﻋ  [ ﺍ ﲑِ ﺒ ﹶ ﻛ ﺎﺨ ﻴ  ﺷ ﺎ ﻬ ﻧ ﱢﺫ  ﺆ ﻣ ﺖ  ﻳ ﹶ ﺃ  ﺭ ﺎ ﻧ ﹶ ﺄ ﻓ ﹶ ﻦ ِ ﻤ ﺣﺮ ﻟ ﺍ  ﺪ ﺒ  ﻋﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ . ﺎ ﻫِ ﺭ ﺍ  ﺩﹶ ﻞ ﻫﹶ ﺃ ﻡ ﺆ  ﺗ ﻥﹶ ﹾ ﺃ ﺎ ﻫ ﺮ  ﻣ ﹶ ﺃ  ﻭ ﺎ ﻬﹶ ﻟ ﹸﻥﱢﺫ ﺆ  ﻳ ﺎ ﻧ ﱢﺫ ﺆ  ﻣ

59 Nama lengkapnya adalah Ummu Waraqah ibn 'Abdullah ibn Hârits ibn 'Umair ibn Naufal al-Anshaârî. Lihat Syihâbuddîn Abû Fadhl Ahmad ibn Hajar al-Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, jil. ke-

9, h. 430. Ia adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw dan pernah dikunjungi oleh Rasulullah Saw, ia diberi julukan oleh Rasulullad Saw sebagai syahîdah. Ia diizinkan oleh Rasulullah untuk ikut 9, h. 430. Ia adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw dan pernah dikunjungi oleh Rasulullah Saw, ia diberi julukan oleh Rasulullad Saw sebagai syahîdah. Ia diizinkan oleh Rasulullah untuk ikut

bisa bebas jika tuannya telah mati). 60 Seperti di tulis oleh al-Shan’ani dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh

al-Marâm , hadîts di atas merupakan argumentasi bolehnya perempuan untuk menjadi imam bagi keluarganya, meskipun dalam keluarga tersebut ada laki-laki. Dan walaupun pengumandang azannya adalah laki-laki (seperti riwayat Ummu Waraqah di atas). Dan Hadîts tersebut jelas menunjukkan, pembantu laki-laki (ghulam) dan perempuan (jariyah) ikut shalat bermakmum kepada Ummu

serta dalam perang Badar. Di samping itu, ia terkenal sebagai pengumpul al-Qur'ân dan ahli qirâ'at al- Qur'ân. Lihat Syamsuddîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân al-Dzahabî, al-Kâsyif fî Ma'rifah Man lahu Ruwât fî Kutub al-Sittah, jil. ke-3, h. 493. Lihat juga Lihat Syamsuddîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân al-Dzahabî, Mizân al-I'tidâl, (Beirût: Dâr al-Fikr, tt), 144 Ia meriwayatkan hadîts dari Nabi Muhammad Saw. Adapun muridnya antara lain adalah 'Abdurrahmaân ibn Khallâd dan neneknya, riwayat lain dari ibunya, dan Laila ibn Malik Ia adalah seorang sahabat Nabi. Seorang sahabat dalam studi ilmu hadîts diterapkan kaedah kulluhum 'udûl. Sahabat dapat dikatakan adil sebagaimana diungkapkan oleh jumhûr ulama. Keadilan sahabat banyak disinggung dalam al-Qur'ân dan hadîts. Di antara ayat al-Qur'ân yang menyebut adalah Q., S. al-Fath/48: 29, Q., S. al-Taubah/9: 100, Q., S. al- Anfâl/8: 74, al-Hasyr/59: 10. Demikian juga terhadap hadîts Nabi. Lihat Muhammad 'Ajjaz al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1981), h. 394-404. Lihat juga al-Imâm Abî Amr ibn Utsmân ibn 'Abdurrahmân al-Rahurmurzî, 'Ulûm al-Hadîts li Ibn al-Shalâh, (Madinah: Maktabah al- Ilmiyyât bi al-Madînah al-Munawwarah, 1972), h. 264-265.

60 Lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam a History of the Evolution and Ideal of Islam with a Life of the Profhet, (Delhi: Idârah al-Adabiyat, 1922), h, 258-267

Waraqah. 61 Pendapat ini juga dinukil oleh Abu Thayyib Abadî dalam ‘Aun al- Ma’bûd Syarh Sunan Abî Daûd 62 .

Fatwa hukum al-Thabarî (175-264 H/792-878 M) yang tergolong liberal untuk ukuran zamannya ini, menunjukkan bahwa al-Thabarî (175-264 H/792-878 M) sama sekali tidak terpengaruh oleh asumsi-asumsi negatif tentang perempuan dari riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang banyak diintrodusir dalam kitab tafsirnya. Hal ini, sebenarnya dapat dimengerti karena sikap al-Thabarî (175-264 H/792-878 M) sangat jelas dan tegas terhadap riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang dia cantumkan. Sebagai contoh, pada akhir suatu bagian penjelasan, setelah mengutip sejumlah riwayat isrâ`îliyyât yang menerangkan penyebab Âdam dan Hawa terusir dari surga, al-Thabarî (175-264 H/792-878 M) menegaskan bahwa bagi umat Islam, kebenaran yang paling utama adalah informasi yang sesuai dengan

pernyataan al-Qur'ân. 63 Seperti dinyatakan oleh al-Thabarî (175-264 H/792-878 M),

sesungguhnya drama yang menyangkut Âdam dan Hawa sehingga jatuh terusir dari surga dapat dikatakan sebagai bagian dari rancangan besar Allah SWT. 64 Ia

adalah bagian dari skenario penobatan manusia sebagai penguasa bumi, yang bertugas membangun dan mengembangkan bumi ini atas nama Allah, yakni dengan penuh tanggungjawab kepada Allah, dengan mengikuti pesan dalam "mandat" yang diberikan kepadanya. Kelak di akhirat, pada saat menghadap Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kinerjanya menjalankan mandat sebagai khalîfah-Nya di bumi ini.

61 Muhammad ibn Ismâ'îl al-Shan’ani, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, ditahqîq oleh 'Abdul 'Azîz al-Hawlî, (Beirût: Dâr Ihyâ' al-Turâts al-'Arabî, 1379 H), jil. ke-2, h. 35

62 Abû Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-'Azhîm Âbadî, 'Aûn al-Ma'bûd Syah Sunan Abî Daûd, (Madinah Munawwarah: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1996), cet. ke- 2, jil. ke-2, h. 113

63 Baca tafsiran Q., S. al-Baqarah/2 : 36, Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al- Qur'ân, jil. ke-1, h. 568-569.

64 Bahwa Allah Swt sebenarnya yang mengeluarkan Âdam dan Hawa dari surga. Baca Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-1, h. 571.

Untuk dapat menjalankan fungsi ke-khalîfah-an yang baik dan "sukses" bukanlah perkara mudah. Kecenderungan dan godaan untuk mencari "jalan pintas" yang gampang dengan mengabaikan pesan dan mandat Tuhan, selalu hinggap dalam diri manusia. Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup dan keinsafan akan datangnya masa pertanggungjawaban mutlak kelak di akhirat, membuat manusia terlindungi dirinya dari ketertelanjangan spiritual dan moral yang tercela. Itulah pakaian takwa yang mesti dikenakan manusia setiap saat dan tempat. Dan itulah sebaik-baik proteksi dari noda ruhani.

Patut diperhatikan bahwa sekalipun Âdam, lebih dari pada malaikat, mampu meraih ilmu pengetahuan dan mampu menerima pelajaran dari Tuhan untuk mengidentifikasi segala yang ada, namun secara moral ia masih dapat jatuh dengan melanggar batas ketentuan Tuhan. Jadi ilmu tidak menjamin keselamatan manusia. Untuk keselamatan itu manusia perlu kepada sesuatu lain, yang lebih tinggi daripada ilmu, yaitu "pakaian takwa" tersebut.

Sekiranya Âdam dan Hawa tetap berada di taman firdaus yang serba menyenangkan dan tanpa tantangan, maka manusia akan hidup tanpa "promosi", tidak ada peningkatan. Mungkin manusia akan hidup tenang, namun palsu. Sebab sesungguhnya ia "telanjang", tapi tidak menyadarinya. Kesadaran akan ketertelanjangan diri adalah permulaan dari perjuangan ke arah perbaikan. Ia merupakan permulaan peningkatan menuju martabat kemanusiaan yang lebih sempurna. Itulah perjuangan hidup semua manusia selaku makhluk anak-cucu Âdam dan Hawa menempuh hidup waspada dan penuh tanggungjawab dengan selalu ingat kepada Tuhan, menyadari ketertelanjangan diri, melawan kecenderungan melanggar batas, dan menangkal godaan menempuh jalan mudah dari setan yang sepintas lalu menggiurkan.