Transformasi Isrâ`îliyyât Dalam Literatur Keislaman

A. Transformasi Isrâ`îliyyât Dalam Literatur Keislaman

Isrâ`îliyyât berasal dari bahasa Ibrani dari akar kata isrâ yang berarti “hamba” dan El yang berarti “Tuhan”, jadi isrâel berarti hamba Tuhan. Istilah isrâ`îliyyât, merupakan bentuk jamak dari isrâ`liyyah, yaitu kisah atau kejadian yang diriwayatkan dari sumber-sumber isrâ`ili. Isrâ`îliyyât dinisbahkan kepada

12 orang putera keturunan Nabi Ya’qûb ibn Ishâq ibn Ibrâhîm yang kemudian disebut banî isrâ`îl. 1 Menurut al-Dzahabî, sekalipun menunjukkan kepada kisah-

kisah atau kejadian yang berasal dari sumber-sumber Yahudi, ulama tafsir dan hadîts mempergunakan istilah tersebut untuk cakupan yang lebih luas. Menurut mereka, isrâ`îliyyât adalah segala dongengan klasik yang dinisbahkan asal riwayatnya kepada sumber-sumber Yahudi, Nasrani dan yang lainnya. Termasuk cerita-cerita yang tidak berdasar dan tidak jelas sumbernya yang boleh jadi

sengaja dibuat oleh musuh-musuh Islam untuk mengacaukan ajaran Islam. 2

‘Abdullâh Âli Ja’far mendefinisikan isrâ`îliyyât sebagai informasi- informasi (ma’lûmât) yang berasal dari ahli Kitab yang menjelaskan nash-nash

1 Muhammad Husain al-Dzahabî, (selanjutnya ditulis al-Dzahabî), al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1986), cet. ke-3, h. 13.

2 al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, h. 14.

al-Qur’ân dan hadîts. 3 Sementara Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah menulis, bahwa isrâ`îliyyât sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas, di

dalamnya termasuk pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari Yahudi dan Nasrani yang terdapat pada kitab Taurât, Talmûd, Injîl, penjelasan-penjelasan

Injîl, kisah-kisah para nabi dan yang lainnya 4 Selanjutnya, Muhammad Khalîfah memberikan keterangan bahwa sumber riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang

diintrodusir oleh kitab-kitab tafsir, lebih dominan berasal dari Yahudi dibandingkan yang berasal dari Nasrani. 5

Dari beberapa keterangan di atas, tampak bahwa sekalipun berbeda dalam formulasi yang diajukan, para ulama sepakat bahwa isrâ`îliyyât merupakan unsur- unsur asing/luar yang masuk ke dalam ajaran Islam. Materinya dapat berupa kisah-kisah, dongeng-dongeng, khurafât atau apa saja selainnya. Mereka juga sepakat bahwa sumber utama isrâ`îliyyât adalah berasal dari Yahudi dan Nasrani, dengan penekanan bahwa Yahudi sebagai sumber yang paling dominan.

Dari beberapa definisi di atas dapat katakan, bahwa karakteristik riwayat isrâ`îliyyât dapat dikenali dengan memperhatikan dua aspek utama periwayatan, yaitu aspek sanad dan matn. Pada aspek sanad, riwayat isrâ`îliyyât, awal sanad- nya secara umum adalah râwi yang berasal dari ahli Kitab (sumber primer), atau awal sanad-nya berupa râwi dari sahabat/tâbi’în/tâbi’ tâbi’în (sumber sekunder) yang terkenal sering menerima riwayat dari ahli Kitab, atau bahkan, sanadnya tidak sampai kepada Nabi. Sedangkan dari sisi matn, isi materinya berupa kisah- kisah yang aneh dan asing, kisah-kisah masa lampau dan umumnya berupa kisah- kisah yang panjang. Selain itu, riwayat isrâ`îliyyât juga bisa diketahui dengan

3 Musâ’id Muslim ‘Abdullâh 'Ali Ja’far, Atsar al-Tathawwur al-Fikrî fî at-Tafsîr f ĭ al-‘Ashr al-‘Abbâsî, (Beirût: Ma`ssasah al-Risâlah, 1984), h. 120.

4 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, (selanjutnya ditulis Abû Syahbah), al-Isrâ`îliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kutub al-Tafsîr, (Cairo: Maktabah Sunnah, 1987), cet. ke-4, h. 13-14. Abû

Syahbah menyebutkan bahwa kitab Talmud adalah kitab Taurât al-Syafahiyyah, yakni pada awalnya merupakan kumpulan kaedah, wasiat, syari’at keagamaan dan etika, tafsiran-tafsiran serta pengajaran yang diriwayatkan secara lisan dari generasi ke generasi yang kemudian dibukukan.

5 Ibrâhîm ‘Abdurrahmân Muhammad Khalîfah, Dirâsât fî Manâhij al-Mufassirîn, (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1979), cet. ke-1, h. 220.

melacak ke sumber utamanya, yaitu kitab-kitab yang beredar di kalangan Yahudi dan Nasrani. Konfirmasi ini dilakukan untuk memastikan apakah riwayat yang diintrodusir oleh kitab-kitab tafsir dan hadîts terdapat pula di dalam sumber- sumber di kedua agama tersebut.

Selanjutnya proses masuknya isrâ'îliyyât dalam tradisi Islam tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab yang ada pada zaman jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang isrâ'îliyyât telah lama masuk ke dalam benak keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah Islam.

Sejak tahun 70 M terjadi imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Jazirah Arab karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi yang bernama

Tithus. 6 Mereka pindah bersama dengan kebudayaan yang mereka ambil dari Nabi dan Ulama mereka, serta mereka wariskan dari generasi ke generasi. Mereka

mempunyai tempat yang bernama al-Midrâs dan Bait al-Midrâs sebagai pusat pengajian kebudayaan warisan yang telah mereka terima dan menemukan tempat

tertentu sebagai tempat beribadah dan menyiarkan agama mereka. 7 Selain itu juga, bangsa Arab sering berpindah-pindah, baik ke arah timur

maupun barat. Mereka memiliki dua tujuan dalam berpergian. Bila musim panas pergi ke Syam dan dingin pergi ke Yaman. 8 Pada waktu itu di Yaman dan Syam

banyak sekali ahli Kitab yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah mengherankan bila di antara orang Arab dengan Yahudi terjalin

6 Izzah Darwazah, Târîkh Banî Isrâ'îl min Asfârihim, (Cairo: Mathâbi' Syirkah al-I'lânât al- Syarqiyyah, tt), jil. ke-3, h. 548. Lihat juga Isrâ'îl Walfansûn, Târîkh al-Yahûd fî Bilâd al-Arab fî al-

Jâhiliyyah wa Shadr al-Islam, (Cairo: Mathba'ah al-I'timâd, 1928), h. 9. Lihat juga Jawwâd Ali, Târîkh al-Arab Qabl al-Islam, (Baghdâd: Mathba'ah al-Ma'ma' al-Ilmî al-Irâqî, 1956), jil. ke-6, h. 16, 24.

7 Jawwâd Ali, Târîkh al-Arab Qabl al-Islam, jil. ke-6, h. 99, 101, Bandingkan dengan Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, (Cairo: Maktabah Wahbah,

1986), cet. ke-3, h. 25 8 Jawwâd Ali, Târîkh al-Arab Qabl al-Islam, jil. ke-1, h. 1946. Lihat juga Ibn Jarîr al-Thabarî,

Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, 8 (Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al- Islâmiyyah, Dâr Hijr, 2001 M/1422 H), cet. ke-1, jil. ke-24, h. 623 Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, 8 (Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al- Islâmiyyah, Dâr Hijr, 2001 M/1422 H), cet. ke-1, jil. ke-24, h. 623

ini sebagaimana informasi yang diberikan Rasulullah dalam beberapa hadîstnya 9 dan al-Qur'ân sendiri mengakuinya (Q., S. al-Jumu'ah/62: 2). 10

Di saat yang demikian Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam disebarkan dan Madinah sebagai tempat tujuan Nabi hijrah didiami oleh beberapa bangsa Yahudi yaitu Banî Qainuqâ, Banî Quraizhah, Banî Nadzir, Yahudi Khaibar, Taymâ dan

Fadak . 11 Karena orang Yahudi bertetangga dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan. Rasulullah pernah menemui orang

Yahudi dan ahli Kitab lainnya untuk mendakwahkan Islam. 12 Orang Yahudi

9 Seperti pada hadîts ﺔ ﻴ ﻣ ﺃ ﺔ ﻣ ﺃ ﱃﺇ ﺖﺜ ﻌ ﺑ , Sulaimân Ibn Daud ibn al-Jârûd al-Thayâlisî, Musnad al-

Thayâlisî, (Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, Dâr Hijr, 1999 M/1420 H), cet. ke-1, h. 73. Lihat Muhammad Ibn Hibban ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî, Shahîh Ibn Hibbân, (Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1993), jil. ke-3, h. 14. juga pada hadîts lain

" ﺍ ﺬـﻜﻫ ﺍ ﺬﻜﻫ ﺮ ﻬﺸﻟ ﺍ ﺐﺴﳓ ﻻﻭ ﺐﺘ ﻜﻧ ﻻﺔ ﻴ ﻣ ﺃ ﺔ ﻣ ﺃ ﺎﻧ ﺇ " Abû 'Abdillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn

al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr al-Yamâmah, 1987), cet. ke-3, jil. ke-2, h. 675. Lihat juga Muslim Ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, (Beirût: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-Arabî, tt), jil. ke-2, h. 759.

10 Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr , (Beirût: Dâr al-Ihiyâ', 1970), cet. ke-1, h. 109

11 al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, h. 25 Lihat juga Ramzî Na'na'âh, al- Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr ,

h. 106

12 Abû Abdillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, cet. ke-3, jil. 3, h. 1155. Lihat juga Muslim Ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-

Naisabûrî, Shahîh Muslim, jil. ke-3, h. 1387. Lihat juga Abû Daud Sulamân ibn al-Asy'ab ibn Syaddâd ibn 'Amr al-Azdî, Sunan Abî Daud, (Cairo: Mauqi' Wizârah al-Auqâf al-Mishriyyah, tt), jil. ke-9, h. 131

: ﻝﺎﻘ ﻓ ، - ﻢﻠ ﺳﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ ﻰﻠ ﺻ - ﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﺝﺮ ﺧ : ﺎﻣ ﻮﻳ ﺪﺠﺴﳌ ﺍ ﰲ ﻦﳓ ﺎﻤﻨ ﻴ ﺑ » : ﻝﺎﻗ ﻪ ﻧ ﺃ – ﻪ ﻨ ﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ - ﺓ ﺮ ﻳ ﺮ ﻫﰊﺃ ﻦﻋ ﺖﻐ  ﱠﻠ ﺑ ﺪﻗ : ﺍ ﻮﻟ ﺎﻘ ﻓ : ﺍ ﻮ ﻤﻠ ﺴ ﺗ ﺍ ﻮﻤﻠ ﺳﺃ ، ﺪﻳ ﺭ ﺃ ﻚﻟ ﺫ : ﻝﺎﻘ ﻓ ، ﺖﻐ ﱠﻠ ﺑ  ﺪﻗ : ﺍ ﻮﻟ ﺎﻘ ﻓ ،ﺍ ﻮ ﻤﹶ ﻠ ﺴ  ﺗ ﺍ ﻮ ﻤِ ﻠ ﺳﺃ  : ﻝﺎﻘ ﻓ ،ﻢﻫﺎﺗ ﺄ ﻓ ،ﺩﻮﻬﻴ ﻟ ﺍ ﱃﺇ ﺍ ﻮﻘ ﻠ ﻄ ﻧ ﺍ

ﷲ ﺽﺭ ﻷﺍ ﻥﺃ ﺍ ﻮـﻤﻠ ﻋﺍ : ﻝﺎـﻗ ﰒ ،ﺔ ـﺜ ﻟ ﺎﺜ ﻟ ﺍ ﺎﳍﺎﻗ ﰒ ، ﺪﻳ ﺭ ﺃ ﻚﻟ ﺫ : - ﻢﻠ ﺳﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ ﻰﻠ ﺻ - ﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻢﳍ ﻝﺎﻘ ﻓ ،ﻢﺳﺎﻘ ﻟ ﺍ ﺎﺑ ﺃ ﺎﻳ « ﻪ ﻟ ﻮـﺳﺮ ﻟ ﻭ ﷲ ﺽﺭ ﻷﺍ ﻥﺃ ﺍ ﻮﻤﻠ ﻋﺎﻓ ﻻﺇ ﻭ ،ﻪ ﻌ ﺒ ِ  ﻴ ﻠ ﻓ ﺎﺌﻴ ﺷﻪ ﻟ ﺎﲟ ﻢﻜﻨ ﻣ ﺪﳚ ﻦﻤﻓ  ،ﺽﺭ ﻷﺍ ﻩ ﺬﻫ ﻦﻣ ﻢﹸﻜ ﻴ ﻠ ِ ﺟﺃ ﻥﺃ : ﺪﻳ ﺭ ﺃ ﱐﺃ ﻭ ،ﻪ ﻟ ﻮﺳﺮ ﻟ ﻭ

Pada era Rasulullah, informasi dari kaum Yahudi yang dikenal sebagai isrâ'îliyyât tidak begitu berkembang dalam literatur, sebab hanya beliau satu- satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'ân, umpamanya saja apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai sebuah ayat al-Qur'ân, baik makna atau kandungannya, merekapun langsung bertanya kepada Rasulullah. Kendatipun demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam green light pada umat Islam untuk

menerima informasi yang menyebarkan informasi dari Bani Israil. 14 Dari informasi itu, Rasulullah sebenarnya memberikan peluang atau

kebebasan pada umatnya untuk mengambil atau menerima riwayat-riwayat dari ahli Kitab, namun ia memberikan semacam warning akan perlunya sikap selektif

13 Abû Muhammad 'Abdul Mâlik ibn Hisyâm ibn Ayyûb al-Himyari, Sîrah al-Nabawiyyah, ditahqîq oleh Thâhâ 'Abdurra'ûf Sa'd, (Beirût: Dâr al-Jîl, 1411 H), ke-1, h. 571

14 Hal ini tampak pada hadîts Nabi: ﺔ ﻴ ﻄﻋ ﻦﺑ ﻥﺎﺴﺣ ﺎﻨ ﺛ ﺪﺣ ﻲﻋﺍ ﺯ ﻭﻷﺍ ﺎﻧ ﱪﺧﺃ ﺪﻠ ﳐ ﻦﺑ ﻙﺎﺤﻀﻟ ﺍ ﻢﺻﺎﻋ ﻮﺑ ﺃ ﺎﻨ ﺛ ﺪﺣ ﻻﻭ ﻞﻴ ﺋ ﺍ ﺮ ـﺳﺇ ﲏﺑ ﻦﻋ ﺍ ﻮﺛ ﺪﺣﻭ ﺔ ﻳ ﺁ ﻮﻟ ﻭ ﲏﻋ ﺍ ﻮﻐ ﻠ ﺑ : ﻝﺎﻗ ﻢﻠ ﺳﻭﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ ﻰﻠ ﺻ ﱯﻨ ﻟ ﺍ ﻥﺃ : ﻭﺮ ﻤﻋ ﻦﺑ ﷲﺍ ﺪﺒ ﻋ ﻦﻋ ﺔ ﺸﺒ ﻛﰊﺃ ﻦﻋ

. ر ﺎﻨ ﻟ ﺍ ﻦﻣ ﻩ ﺪﻌ ﻘ ﻣ ﺃ ﻮﺒ ﺘ ﻴ ﻠ ﻓ ﺍ ﺪﻤﻌ ﺘ ﻣ ﻲﻠ ﻋ ﺏ ﺬﻛ ﻦﻣ ﻭ ﺝﺮ ﺣ , Abû Abdillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al- Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jil. ke-3, h. 1275. Demikian pula dalam hadîts lain Nabi bersabda: ﰊﺃ ﻦﻋ ﺔ ﻤﻠ ﺳﰊﺃ ﻦﻋ ﲑﺜ ﻛﰊﺃ ﻦﺑ ﲕﳛ ﻦﻋ ﻙﺭ ﺎﺒ ﳌ ﺍ ﻦﺑ ﻲﻠ ﻋ ﺎﻧ ﱪﺧﺃ ﺮ ﻤﻋ ﻦﺑ ﻥ ﺎﻤﺜ ﻋ ﺎﻨ ﺛ ﺪ ﺣﺭ ﺎﺸﺑ ﻦﺑ ﺪﻤﳏ ﺎﻨ ﺛ ﺪﺣ

ﻰﻠ ﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻘ ﻓ ﻡ ﻼﺳﻹﺍ ﻞﻫﻷ ﺔ ﻴ ﺑ ﺮ ﻌ ﻟ ﺎﺑ ﺎﻭﺮ ﺴﻔ ﻳ ﻭﺔ ﻴ ﻧ ﺍ ﱪﻌ ﻟ ﺎﺑ ﺓ ﺍ ﺭ ﻮﺘ ﻟ ﺍ ﻥﻭﺅﺮ ﻘ ﻳ ﺏ ﺎﺘ ﻜﻟ ﺍ ﻞﻫﺃ ﻥﺎﻛ : ﻝﺎﻗ ﻪ ﻨ ﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺓ ﺮ ﻳ ﺮ ﻫ ﺔ ـﻳ ﻵﺍ ... ﺎـﻨ ﻴ ﻟ ﺇ ﻝﺰ ـﻧ ﺃ ﺎـﻣ ﻭ ﷲﺎﺑ ﺎﻨ ﻣ ﺁ : ﺍ ﻮﻟ ﻮﻗ ﻭ ﻢﻫﻮﺑ ﺬﻜﺗ ﻻﻭ ﺏ ﺎﺘ ﻜﻟ ﺍ ﻞﻫﺃ ﺍ ﻮﻗ ﺪﺼﺗ ﻻ : ﻢﻠ ﺳﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﷲﺍ Abû Abdillah,

Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jil. ke-4, h. 1630 Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jil. ke-4, h. 1630

dan berkembang di kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah, yang kemudian terus bertahan pada era Rasulullah. Hanya saja ia belum menjadi khazanah yang merembes dalam literatur keislaman khusunya penafsiran al- Qur'ân.

Setelah Rasulullah wafat, tidak seorangpun yang berhak menjadi penjelas wahyu Allah. Dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari hadîts Rasulullah. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad dan tidak jarang para sahabat meminta keterangan dari ahli Kitab yang telah memeluk Islam, dengan harapan akan mendapatkan keterangannya berdasarkan apa yang termaktub dalam kitab-kitab suci mereka sebelumnya. Hal ini terjadi karena ada persamaan antara al-Qur'ân, Taurat dan Injil. Hanya saja al-Qur'ân berbicara

secara padat, sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar. 16 Pada era sahabat inilah isrâ'îliyyât mulai berkembang dan tumbuh subur.

Tercatat beberapa sahabat terlibat dalam proses ini seperti Ibn Abbâs, Abû Hurairah, Ibn Mas'ûd dan 'Umar Ibn Ash'. 17 Hanya saja dalam menerima riwayat

dari kaum Yahudi dan Nasrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi kisah-kisah dalam al-Qur'ân secara global dan Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Di samping itu, mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsisten pada ajaran Rasulullah, sehingga jika mereka menjumpai kisah-kisah isrâ'îliyyât yang bertentangan dengan syari'at Islam, mereka menentangnya. Dan apabila kisah- kisah itu diperselisihkan mereka menangguhkannya. Al-Dzahabî mengatakan bahwa keterlibatan para sahabat dalam meriwayatkan isrâ'îliyyât tidak berlebih-

15 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirût: Dâr al-Âfaq al- Jadîdah, 1983), jil. ke-1, h. 171-171

16 Mushthafâ Muhammad Sulaimân, al-Qishshah fî al-Qur’ân al-Karîm wa Mâ Tsâra Haulaha min Syubhât ar-Rad ‘alaihâ, (Mesir: Mathba’ah al-Amânah, 1994), cet. ke-1, h. 180.

17 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-3, h. 64 17 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-3, h. 64

19 20 materi riwayat isrâ'îliyyât itu. 21 Adapun tuduhan Golziher dan Ahmad Amin yang menyatakan bahwa para sahabat terlalu mudah menganbil berita dari ahli

Kitab perlu ditinjau kembali. Namun menurut al-Dzahabî tuduhan kedua orang tersebut tidak memiliki dasar sama sekali. 22

Pada era tabi'in, penukilan dari ahli Kitab semakin meluas dan cerita- cerita isrâ'îliyyât dalam literatur semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli Kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka. Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani. Sehingga karenanya tafsir-tafsir

18 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. ke-1, cet. ke-6, h. 123 19 Ada dua bukti yang dapat dikemukakan tentang hal itu. Pertama, diriwayatkan oleh al-

Bukhârî dari Abû Hurairah bahwa Rasulullah menjelaskan hari Jum'ah sebagai berikut: "Pada hari itu terdapat suatu waktu yang apabila seseorang kebetulan sedang melakukan shalat dan meminta sesuatu kepada-Nya, pasti Allah mengabulkannya." Kemudian Rasulullah memberikan isyarat dengan tangan yang menunjukkan sedikitnya waktu tersebut. Para ulama salaf berbeda pendapat dalam menentukan waktu tersebut, apakah masih berlaku ataukah sudah dihilangkan. Jika masih berlaku, apa satu Jum'at dalam setahun ataukah pada setiap Jum'at. Dalam masalah ini Abû Hurairah bertanya Kepada Ka'ab ibn Akhbâr. Ia menjawab bahwa waktu itu terdapat pada satu Jum'at satu kali dalam setahun. Namun Abû Hurairah menolak pendapat tersebut dan menyatakan bahwa waktu tersebut terdapat dalam setiap Jum'at. Kemudian Ka'ab ibn Ahbâr melihat masalah tersebut di dalam kitab Taurat dan menemukan pendapat Abû Hurairah yang benar. Kedua, Dalam persoalan yang sama, Abû Hurairah bertanya kepada 'Abdullah ibn Salâm tentang batasan waktu tersebut, "Ceritakanlah kepadaku dan jangan kau sembunyikan." 'Abdullah ibn Salâm menjawab, bahwa waktu tersebut adalah ujung waktu hari Jum'at. Abû Hurairah menolak pendapat tersebut dengan menyatakan, "Bagaimana mungkin waktu tersebut adalah ujung hari Jum'at padahal Rasulullah menyatakan seseorang pada saat itu sedang melakukan shalat dan tidak ada shalat di ujung hari Jum'at." Baca Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ'îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, 56-58.

20 Golziher mengatakan bahwa Ibn Abbâs terlalu mudah mengambil berita dari ahli Kitab dengan alasan bahwa mereka orang-orang yang mampu dalam memahami al-Qur'ân. Menurutnya Ibn

Abbâs banyak dipengaruhi oleh Ka'ab al-Ahbâr dan 'Abdullah ibn Salâm dalam tafsir. Lihat Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islamî, terj. Abdul Halîm al-Najjâr (Bairût: Dâr Iqra', 1983), h. 85

21 Ahmad Amîn, Fajr al-Islam, (Cairo: Lajnah al-Ta'lîf wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, tt), h. 248

22 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-3, h. 62. Lihat juga Ramzî Na'na'ah, al-Isrâ'îliyyât wa Atsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, (Beirût: Dâr al-Dhiyâ, 1970),

h. 127 h. 127

Pada era ini pula banyak hadîts-hadîts palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah tersebar. 24

Sikap selektif dalam periwayatan menjadi hilang. Banyak periwayatan yang tidak melalui jalur ulûm al-hadîts dengan tidak menuliskan sanad-nya secara lengkap. Setelah era tabi'in tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita isrâ'îliyyât dan diambil secara ceroboh, sehinga setiap cerita tersebut tidak lagi ada yang ditolak. Mereka tidak lagi mengambil cerita tersebut kepada al- Qur'ân, walaupun tidak dimengerti oleh akal. Mereka menganggap tidak perlu membuang cerita-cerita dan kisah-kisah yang tidak dibenarkan untuk menafsirkan

al-Qur'ân. 25 Menurut analisis Ibn Khaldûn (732 H/1332M-808 H/1406 M) bahwa

masuknya isrâ'îliyyât dalam literatur keislaman, khususnya dalam penafsiran al- Qur'ân diawali oleh keadaan orang Arab yang waktu itu mempunyai pola badâwah (nomad) dan ummiyah (buta huruf). Mereka tidak tahu banyak tentang sebab-sebab penciptaan alam, kapan dimulai, dan apa rahasia-rahasia yang terkandung dalam penciptaan alam itu. Oleh karenanya, mereka bertanya kepada ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Namun, para ahli Kitab yang ada pada masa itu sama saja ke-badâwah-annya dengan orang kebanyakan (kalangan awam) ahli Kitab sendiri. Tatkala orang-orang ahli Kitab itu memeluk agama Islam mereka tetap berpegang kepada penafsiran mereka sebelum masuk Isalam. Dengan

23 Muqâtil ibnSulaimân, terkenal sebagai penulis tafsir yang meriwayatkan isrâ`îliyyât dan al- khurafât, para kritikus hadîts sepakat menilainya sebagai kadzdzâb, matrûk al-hadîts, bahkan

wadhdhâ’. Uraian terperinci tentang Muqâtil ibn Sulaimân dan tafsirnya ini serta kaitannya dengan isrâ'îliyyât baca Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ'îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, 89-93. Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, cet. ke-1, h. 219- 233

24 Muhammad Husin al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jil. ke-1, h. 176. Lihat juga

Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, h.165

25 Muhammad Husin al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jil. ke-1, h. 176-177.

Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, h. 198 Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, h. 198

Dengan demikian, lanjut Ibn Khaldûn terlihat kecenderungan yang besar di kalangan kaum muslimin pada masa awal untuk mengambil penafsiran kaum Yahudi dan Nasrani, ketika penjelasan Rasulullah terhadap ayat tersebut tidak ditemukan. Jawaban yang diberikan sahabat, yang dulunya beragama Yahudi atau Nasrani, atas ayat-ayat tertentu tidak terlepas dari pengaruh pemikiran mereka

zaman dahulu. 27 Sedangkan menurut Ahmad Khalîl, riwayat-riwayat isrâ’îliyyât tersebar

luas di kalangan umat Islam melalui dua jalan. Pertama, melaui orang-orang yang sangat tekun mempelajari dan menyebarkan kisah-kisah. Orang-orang ini biasanya menyebarkannya di mesjid-mesjid. Orang pertama yang berinisiatif untuk memprakarsai penyebaran kisah-kisah ini adalah orang-orang keturunan Bani Umayah agar umat Islam terlena di dalamnya dan lupa akan penyimpangan- penyimpangan yang dilaksanakan oleh Bani Umayah. Di antara pembawa kisah- kisah isrâ’îliyyât yang terkenal adalah Abû Musâ al-Aswarî dan Ahmad ibn

Salâm. 28 Kedua, jalan tersebarnya riwayat-riwayat isrâ’îliyyât itu melalui para sufi

dan orang-orang Syî’ah. Bukti keterlibatan orang-orang sufi dalam penyenaran isrâ’îliyyât dapat dilihat dalam kitab Hilyah al-Auliyâ fî Thabaqât al-Ashfiyâ 29

karya Abû Nu'aim al-Ishbahânî. Kitab ini dipenuhi dengan riwayat-riwayat yang berasal dari Taurat. Adapun keterlibatan Syî’ah dalam penyebaran isrâ’îliyyât

26 Lihat Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Mesir: Maktabah Mushthafâ Muhammad, t.th.), h. 439; baca juga Khâlid 'Abd al-Rahmân al-'Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ'iduh, (Beirût: Dâr

al-Naghâ`is, 1986), h. 262 27 Lihat Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, h. 440

28 Lihat Ahmad Khalîl, Dirâsât fî al-Qur'ân, (Mesir: Dâr al-Ma’rifah, 1962), h. 114 29 Abû Nu'aim Ahmad ibn 'Abdullah al-Ashbhanî, Hilyah al-Auliyâ fî Thabaqât al-Ashfiyâ

(Beirût: Dâr al-Kitâb al-'Arabî, tt) (Beirût: Dâr al-Kitâb al-'Arabî, tt)

Menurut al-Dzahabî, sumber isrâ’îliyyât dimotori oleh tokoh-tokoh primer yaitu Abdullâh ibn Salâm, nama lengkapanya adalah Abû Yûsuf ibn Salâm ibn al- Hâris al-Ansharî. Ia menyatakan keislamannya sesaat setelah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah, dalam perjuangan menegakan Islam, Ia termasuk pejuang dalam perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait al-Maqdis ke

tangan umat Islam. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua putranya, Yûsuf dan Muhammad, Auf ibn Mâlik, Abû Hurairah. Imam al-Bukhârî pun

memasukan 31 beberapa riwayat darinya. Lebih lanjut al-Dzahabî menambahkan, selain tokoh tersebut tercatat nama

Ka'ab al-Ahbâr. Nama aslinya adalah Abû Ishaq Ka'ab ibn Mani al-Humairi yang terkenal dengan Ka'ab al-Ahbâr karena pengetahuannya yang dalam, ia berasal dari Yahudi Yaman dan memeluk Islam pada masa Umar ibn Khattâb. Dalam perjuangan menegakan Islam ia turut berjuang menuju Syam bersama kaum muslimin lainnya. Banyak cerita isrâ’îliyyât yang dinisbahkan kepadanya. Riwayat-riwayatnya diterima oleh Muawiyah, Abû Hurairah, Ibn Abbâs, Mâlik ibn Abî Amir al-Asbanî, Athâ' ibn Abî Rabbah dan lain-lain. Ke-tsîqat-annya menjadi perdebatan para ulama, Ahmad ibn Amir misalnya meragukan ke-tsîqat-an bahkan

keagamaannya. 32 Nama lain adalah Wahb ibn Munabbih, nama langkapnya adalah Abû

Abdillah ibn Munabbih ibn Sij al-Yamani. Jumhûr ulama juga menilainya tsiqah; al-Nasâ`î, dan Abû Zur’ah menilainya tsiqah, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Dzahabî (w. 747 H) menilainya tsiqah shadûq. Seperti halnya Ka’b,

30 Lihat Ahmad Khalîl, Dirâsât fî al-Qur'ân, (Mesir: Dâr al-Ma’rifah, 1962), h. 115 31 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isr ă`ĭliyyăt wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-Tafsîr, (Cairo:

Maktabah wahbah, 1990), h. 68; Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, cet. ke-1, h. 159-161

32 al-Dzahabî, al-Isr ă`ĭliyyăt wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-Tafsîrh. 73; Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, cet. ke-1, h.167-183 32 al-Dzahabî, al-Isr ă`ĭliyyăt wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-Tafsîrh. 73; Bandingkan dengan Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr, cet. ke-1, h.167-183

Menurut penulis, sedikitnya lima faktor yang membuka peluang terjadinya transformasi isrâ`îliyyât ke dalam literatur keislaman, yaitu: Pertama, perbedaan metodologi antara al-Qur’ân, Taurât dan Injîl dalam mengemukakan kisah-kisah. al-Qur’ân pada umumnya mengemukakannya secara ringkas dan global, sedangkan Taurât dan Injîl mengemukakannya secara terperinci; perihal perilaku,

waktu atau tempatnya. 34 Oleh karenanya, ketika menginginkan pengetahuan yang lebih terperinci tentang kisah-kisah tertentu, masyarakat Arab menanyakannya

kepada para ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani. Kedua, rendahnya kebudayaan masyarakat Arab. Rendahnya kebudayaan masyarakat Arab ini dikarenakan kehidupan di kalangan mereka kurang banyak yang pandai dalam hal baca- membaca dan tulis-menulis (ummi). Meskipun pada umumnya ahli Kitab juga selalu berpindah-pindah, tetapi pengetahuan mereka tentang sejarah masa lampau lebih banyak dan luas. Sehingga jika mereka menginginkan informasi pengetahuan tentang sesuatu, mereka akan merujuk kepada para ahli Kitab dari Yahudi ataupun

Nasrani. 35 Ketiga, justifikasi dalil-dalil naqli. Baik di dalam al-Qur’ân maupun hadîts Nabi, ditemukan beberapa nash yang menunjukkan kebolehan bertanya

kepada ahli Kitab tentang kisah-kisah masa lampau. 36 Keempat, heterogenitas penduduk. Menjelang dan di masa kenabian, jazirah Arab telah dihuni oleh dua

komunitas beragama, yakni komunitas Yahudi dan Nasrani. Kontak masyarakat muslim dengan kedua komunitas tersebut tidak dapat dihindarkan. Bahkan,

33 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isr ă`ĭliyyăt wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-Tafsîr, h. 85. 34 Ramzî Na'na'âh, al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr , cet. ke-1, h. 112. Kisah

Adam dan Iblis misalnya, al-Qur’ ăn tidak menyebutkan di mana letak sorga yang mereka tempati, jenis tanaman yang dilarang Tuhan untuk dimakan buahnya, cara Iblis masuk ke dalam sorga dan lain sebagainya. Sedangkan Taur ăt, di dalamnya disebutkan nama sorga dan posisinya, letak pohon dan namanya, cara masuknya Iblis ke dalam sorga dan lain sebagainya. Lihat. Muhammad Husain al- Dzahabî, al-Ittijâhât al-Munharifah f ĭ Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm: Dawâfi’uha wa daf’uha, (Cairo: Dâr al-I’tishâm, 1978), cet. ke-2, h. 26.

35 Lihat Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, h. 209 36 Lihat catatan kaki no.17 35 Lihat Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, h. 209 36 Lihat catatan kaki no.17

perjalanan mereka ke arah selatan melintasi wilayah Yaman yang merupakan kantong masyarakat Nasrani, sedangkan ke arah Utara melintasi wilayah Syam yang merupakan kantong masyarakat Yahudi. Di samping terjadi kontak perdagangan antara orang-orang Arab dengan komunitas Yahudi-Nasrani,

berlangsung pula kontak pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya. 38

Dari pemaparan di atas dapat diketahui, bahwa memang terjadi penyusupan tradisi isrâ'îliyyât kedalam literatur keisalaman. Hal ini tidak dapat dihindari, karena Islam itu lahir di daerah yang sangat dekat budaya Yahudi dan Nasrani. Secara eksplisit, al-Qur’ân menegaskan bahwa Islam adalah penerus agama (millah) Ibrahim (Q.s., al-An’âm/6: 161). Penegasan ini mengandung gagasan bahwa Islam tidak hanya mempunyai keterkaitan sejarah, tetapi juga titik-titik temu, dengan Yahudi dan Kristen yang berasal dari leluhur yang sama, yakni millah Ibrahim.