Perempuan Sebagai Hamba

1. Perempuan Sebagai Hamba

Tujuan utama Allah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis kelamin mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah (Q., S. al- Dzâriyât/51: 56) dengan penuh keikhlasan. Pemenuhan fungsi ini memerlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat religiusitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah. Bila tingkat ini berhasil diraih, maka seorang hamba akan bersikap tawadhu, tidak arogan dan akan senantiasa pasrah

pada semua perintah Allah (tawaqqal). 69 Secara luas, konsep hamba sebenarnya meliputi seluruh aktivitas manusia

dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah Swt. Belajar adalah ibadah manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridha

69 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-22, h. 444

Allah. Bekerja juga adalah ibadah manakala itu dilakukan untuk mencari ridha Allah. Semua aktivitas seorang hamba dalam seluruh dimensi kehidupan adalah ibadah manakala itu benar-benar dilakukan untuk mencari ridha Allah semata. Pada dasarnya konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah manakala difahami, dihayati dan diamalkan, maka seorang muslim akan menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna (al-insân al-kâmil).

Agar manusia mampu melaksanakan tugas dan fungsi penciptaanya, maka manusia dibekali Allah Swt dengan berbagai potensi atau kemampuan. Potensi atau kemampuan tersebut adalah sifat-sifat Tuhan yang tersimpul dalam al-Qur'ân dengan nama-nama yang indah (asmâ' al-husnâ). Dalam falsafah Islam, sifat-sifat Tuhan hanya dapat diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengakui dirinya sebagai Tuhan. Dalam konteks ini, manusia harus memahami bahwa sifat-sifat itu diberikan Tuhan adalah sebagai amânah, yaitu tanggung jawab yang besar yang pada suatu saat akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah Swt. Untuk itu, manusia harus mendayagunakan potensi yang dianugerahkan kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaannya di alam ini, baik sebagai hamba maupun khalîfah di muka bumi ini

Dengan predikat sebagai hamba Allah, manusia justru dimulyakan oleh Allah. Sebagai hamba-Nya tidaklah pantas untuk menyembah kepada apapun dan siapapun selain Allah. Penghambaan selain Allah, selain berarti menyekutukan juga berarti merendahkan derajat manusia sendiri. Penyembahan hanya kepada Allah, akan membebaskan dirinya dari segala bentuk perbudakan, perbudakan sesama makhluk ataupun materi. Kewajiban untuk beribadah, telah banyak disinggung dalam al-Qur’ân (Q., S. al-Dzâriyyât/51: 56; Q., S. al-A'râf/7: 59; Q., S. al-Nahl/16:36).

Al-Thabarî (175-264 H/792-878 M), menjelaskan bahwa tujuan penciptaan perempuan sama saja tujuan penciptaan laki-laki, yaitu diciptakan Al-Thabarî (175-264 H/792-878 M), menjelaskan bahwa tujuan penciptaan perempuan sama saja tujuan penciptaan laki-laki, yaitu diciptakan

Dzâriyyât/51: 56). 70 Dalam kapasitas sebagai hamba, tentunya tidak ada perbedaan antara laki-

laki dan perempuan; meskipun berbeda dalam asal-usul penciptaan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’ân sering diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqûn) , dan untuk mencapai derajat mutaqqûn ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu (Q., S. al- Hujarât/49: 13). Mereka akan mendapatkan penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya (Q., S. al-Nahl/16: 97).