Pandangan Feminis Terhadap Isrâ`îliyyât

E. Pandangan Feminis Terhadap Isrâ`îliyyât

Dalam pencarian mereka atas paradigma-paradigma baru mengenai isu jender, kaum feminis muslim kontemporer dengan tegas menolak penggunaan isrâ'îliyyât dalam penafsiran al-Qur'ân. Makna semantik istilah isrâ'îliyyât ini pun mereka perluas, sesuai dengan perhatian kaum modernis dan fundamentalis pada teks al-Qur'ân. Isrâ'îliyyât mereka maknai sebagai jenis "adat dan pengetahuan" abad pertengahan, dari yang fantastik, kasar atau hanya berupa cerita dongeng hingga yang berupa pengetahuan yang paradigmatik, yang tidak sesuai lagi dengan doktrin modern. Penggunaan istilah isrâ'îliyyât oleh kaum modernis, selain merujuk pada makna "stempel pelecehan" abad pertengahan, juga dibuat untuk menggunakan hadîts secara lebih luas. Sebagaimana pemikiran kaum konservatif/tradisionalis banyak yang didasarkan pada konvensi masa lalu, tradisi isrâ'îliyyât tentang gambaran jender pun tetap bertahan di dalam tafsir konservatif hingga abad ke-20. 85

Menurut mereka riwayat-riwayat isrâ'îliyyât tersebut setidaknya menghadirkan tiga citra negatif terhadap kaum perempuan, yaitu: pertama,

85 Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Perempuan dalam al-Qur’ân, Hadîts dan Tafsîr, diterjemahkan dari dari buku berbahasa Inggris: Women in the Qur’ân, Traditions, and

Interpretation, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 62 Interpretation, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 62

penyebab dosa warisan.(Kitab Kejadian 2:12). 86 Rasyîd Ridhâ, menulis bahwa seandainya tidak tercantum kisah kejadian

Âdam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (riwayat isrâ'îliyyât), 87 niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk Âdam

tidak pernah terlintas dalam benak seorang muslim. 88 Menurut Asghar Ali Engineer, seorang pemikir dan teolog muslim dari

India yang secara serius menekuni kajian perempuan, menegaskan bahwa secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarki, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dominasi peran laki-laki, menurutnya dibenarkan oleh norma-norma kitab suci, seperti al-Qur'ân yang

ditafsirkan oleh laki-laki untuk melanggengkan dominasi mereka. 89

86 Lihat Riffat Hassan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition, (Kumpulan artikel yang diterbiatkan oleh The Commite on South Asian Women bulletin, vol 4, tth), h.

44; Bandingkan dengan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 304; Lihat juga Trisno S. Santoso, "Tulang Rusuk Âdam: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Optik Prempauan", dalam Tashwirul Afkar, No. 5 1998, h. 15-19

87 Pada Perjanjian Lama dalam Kitab Kejadian 2 ayat 21-22: "…Maka didatangkan Tuhan Allah atas Âdam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia. Maka dianbil Allah sebilah tulang rusuknya,

lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka daripada tulang yang telah dikeluarkannya dari dalam Âdam itu diperbuat Tuhan seorang perempuan. Lalu dibawanya akan dia kepada Âdam". Perjanjian Lama-Baru, (Jakarta: Lembaga Alkitab, 1979), h. 9

88 Lihat Rasid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Cairo: al-Manâr, 1367), jil. ke-4, h. 330; Bandingkan dengan M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'ân: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan, 1997), cet. ke-6, h. 300-301; Lihat juga Abdul Mustaqim, "Metodologi Tafsir Perspektif Gender, h. 81.

89 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-1II, h.45

Menurut Nasaruddin Umar, salah satu faktor yang berperan melahirkan pemahaman yang bias jender adalah, karena diadopsinya riwayat-riwayat isrâ`îliyyât ke dalam kitab-kitab tafsir. Contoh kisah isrâ`îliyyât dalam penafsiran al-Qur'ân ialah tentang asal-usul kejadian perempuan. Dalam Kitab Perjanjian Lama diceritakan kisah-kisah yang secara umum cenderung memberikan citra negatif kepada perempuan. Lebih-lebih lagi kalau yang dijadikan rujukan adalah kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Talmud, yang sarat dengan mitos-mitos

Babilonia yang sangat merugikan perempuan. 90 Fatima Mernisi 91 tidak menerima pandangan penciptaan Hawa dari tulang

rusuk Âdam, dengan alasan bahwa konsep semacam ini datang dari Injil yang masuk lewat kepustakaan hadîts yang penuh kontroversi. Karena itu dengan tegas ia menolak otentisitas dan validitas hadîts tentang penciptaan ini, meskipun

bersumber dari Shahîh al-Bukhârî maupun Shahîh Muslim. 92 Riffat Hassan pemikir feminis muslim berkebangsaan Pakistan menolak

keras riwayat-riwayat isrâ'îliyyât tentang penciptaan perempuan yang menimbulkan pandangan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam. 93

90 Baca Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 288-289 91 Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Marokko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah

harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan lainnya. Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada ibunya. Ayahnya hanya punya satu isteri dan tidak berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan di harem. Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000), h. 40

92 Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, h. 44

93 Masalah ini menurutnya sangat penting, maka sangat perlu bagi setiap aktivis hak asasi perempuan Islam untuk mengetahui keterangan dalam al-Qur'ân bahwa laki-laki dan perempuan

diciptakan sama telah diubah oleh hadîts. Dengan demikian, satu-satunya cara agar anak cucu perempuan (Hawa) dapat mengakhiri sejarah penindasan yang dilakukan oleh anak cucu Âdam ini adalah dengan cara kembali ke titik mula dan mempertanyakan keshahihan hadîts yang menjadikan perempuan hanya makhluk kedua dalam ciptaan, tetapi pertama dalam kesalahan, dosa, cacat moral, dan mental. Mereka harus mempertanyakan sumber-sumber yang menganggap mereka bukan sebagai dirinya sebagaimana seharusnya mereka ada, tetapi hanya alat untuk kepentingan dan kesenangan laki-

Menurutnya, Âdam dan Hawa diciptakan secara serempak dan dengan substansi yang sama, serta sama pula caranya. Peneliti asal Pakistan ini menulis artikel berjudul Equal Before Allah? Women-man equality in the Islamic tradition. Dalam artikel ini ia mengkritik hadîts tentang "nasihat dan penciptaan

perempuan" yang dikategorikannya sebagai isrâ'îliyyât. 94 Hadîts yang dimaksud adalah hadîts riwayat Abû Hurairah, bahwa

Rasulullah bersabda, "Nasihatilah perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk paling bengkok adalah bagian paling atas. Jika kau luruskan dengan paksa, ia akan patah. Dan jika kau biarkan, ia akan tetap bengkok. Karenanya, nasihatilah perempuan." Dalam riwayat lain disebutkan,

"Nasihatilah perempuan dengan baik." 95 Riffat Hassan melakukan kritik terhadap hadîts ini secara metodologis,

baik dilihat dari sanad maupun matn-nya, hadîts tersebut menurutnya dha'îf. Menurut penulis sebenarnya kualitas hadîts tersebut adalah shahîh. Riffat Hassan ternyata kurang cermat dalam melakukan penelitian, ia meneliti dan merujuk secara langsung kepada kitab Mizân al-I'tidâl fî Naqd al-Rijâl karya kritikus hadîts Syamsuddin al-Dzahabî yang dijadikannya sebagai landasan untuk mengkritik sanad yang dimaksud. Di dalam metodologi takhrîj al-hadîts, jika ada nama perawi yang sama, mestinya seorang peneliti harus meneliti secara cermat,

laki. Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, h. Jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, tahun 1990, h. 55

94 Makalah tersebut dimuat dalam Harvard Divinity Bulletin (The Divinity School, Harvard University), edisi Jan-May 1987/Volume WVII. No. 2. Kemudian diterjemahkan oleh Wardah Hafizh

ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, tahun 1990, hlm. 48-55.

95 Abû Ablillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, cet. ke-3, jil. ke-5, h. 1987. Lihat juga Muslim Ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-

Naisabûrî, Shahîh Muslim, jil. ke-2, h. 1090. Lihat juga Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, (Beirût: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-Arabî, tt), ji. ke-3, h. 467; Lihat juga Abu Abdillah Muhammad ibn Yazîd al-Qazwainî, Sunan Ibn Mâjah,ditahqîq oleh Muhammad Fu'âd 'Abdul Bâqî, (Beirût: Dâr al-Fikr, tt), jil. ke-6, h. 2:

sama, lalu diputuskan begitu saja, bahwa dialah yang dimaksud. 96 Menurut penelitian ulang yang dilakukan oleh Abdul Mustaqim dalam

tesisnya menyimpulkan bahwa ternyata para perawi yang dianggap dha'îf oleh Riffat Hassan, sebenarnya sama sekali tidak pernah dinilai dha'îf oleh Syamsuddin al-Dzahabî, sebagaimana pengakuannya. Para perawi tersebut adalah Zaidah, Maisarah al-Asyja'î, Abû Zinâd dan Harmalah ibn Yahya. Kemudian Abdul Mustaqim menyimpulkan bahwa keempat perawi tersebut yang dinilai dha'îf oleh Riffat Hassan adalah tidak terbukti. Bahkan menurut Abdul Mustaqim, Riffat Hassan telah melakukan kekeliruan dan kurang cermat dalam melakukan kritik sanad. Dengan demikian, hadîts mengenai penciptaan perempuan riwayat

al-Bukhârî dan Muslim ini ditinjau dari segi sanad-nya tetap shahîh. 97

96 Tentang metodologi takhrîj hadîts, secara teori dan praktek dapat dibaca pada Mahmûd Thahhân, Ulûm al-Hadîts wa Dirasât al-Asânîd, (Beirût: Dâr al-Qur'ân al-Karîm, 1979), h. 208-232

97 Mustaqim menjelaskan bahwa; Pertama, ada tiga nama Zaidah yang dinilai dha'îf oleh Syamsuddin al-Dzahabî, mereka adalah (1) Zaidah ibn Sâlim yang meriwayatkan dari Imrân ibn Umar,

(2) Zaidah ibn Abî Riqâd yang meriwayatkan dari Ziyâd al-Numairî, dan (3) Zaidah lain yang meriwayatkan dari Sa'ad. Adapun Zaidah yang terakhir ini telah dinilai dha'îf oleh al-Bukhârî sendiri, ini berarti tidak mungkin al-Bukhârî memakai riwayat tersebut yang menurutnya dianggap dha'îf. Zaidah yang dianggap dha'îf oleh Syamsuddin al-Dzahabî bukanlah Zaidah yang meriwayatkan hadîts dari Maisarah sebagaimana yang terdapat dalam riwayat al-Bukhârî dan Muslim. Yang kedua, Zaidah yang meriwayatkan dari Maisarah adalah bernama Zaidah ibn Qudamah al-Tsaqafî Abû al-Shalâh al- Kûfî, ia adalah orang yang tsiqah, mempunyai murid ibn Mubarak, Abû Husamah dan Husain ibn Alî. Adapun Maisarah yang dinilai dha'îf oleh Syamsuddin al-Dzahabi adalah Maisarah ibn Abd Râbih al- Farisî, seorang pemalsu hadîts. Dia meriwayatkan hadîts dari Laits ibn Abî Sulaimân, Ibn Juraij, Mûsa ibn Ubaidah dan al-Auza'î. Sedangkan murid-murid Maisarah ibn Abd Râbih al-Farisî sendiri adalah Syu'aib ibn Harb, Yahya ibn Ghîlân dan lain-lain. Adapun Maisarah yang terdapat dalam riwayat al- Bukhârî dan Muslim adalah bernama Maisarah ibn Imarah al-Asyja'î al-Kûfî, bukan orang yang dianggap dha'if oleh Syamsuddin al-Dzahabî. Dan yang ketiga, nama Abû Zinâd, yang terdapat dalam sanad al-Bukhâri dan Muslim adalah Abdullah ibn Zakwân yang oleh Syamsuddin al-Dzahabî sendiri dinilai sebagai seseorang yang tsiqah syahîr (orang yang terkenal terpercaya). Mengapa tsiqah syahîr yang kemudian dipahami oleh Riffat Hassan menjadi dha'îf? Padahal dalam ilmu jarh wa ta'dîl gelar tsiqah syahîr termasuk derajat yang tinggi, di bawah yang tertinggi. Begitu pula dengan Harmalah ibn Yahya, nama lengkapnya adalah Harmalah ibn Yahya ibn Abdillah ibn Imrân Abû Hafs al-Tâjî al- Mishrî. Harmalah ibn Yahya ini, oleh Syamsuddin al-Dzahabî tidak dianggap dha'îf, bahkan dinilai

Lagi pula dalam kritik sanad-nya, Riffat Hassan tidak menjelaskan mengapa rawi-rawi itu dianggap tidak tsiqah. Padahal dalam metodologi jarh wa ta'dîl, suatu penelitian mengenai tsiqah atau tidaknya seseorang rawi mesti harus dijelaskan, alasan apa yang menjadikan seorang rawi tersebut dianggap tidak

tsiqah, karena jika tidak demikian, seorang peneliti akan dianggap gegabah. 98 Adapun dari segi matn, Riffat Hassan melakukan kritik berdasarkan

kesimpulan yang dipahaminya adalah sebagai berikut; pertama, bahwa hadîts penciptaan Hawa tercipta dari tulang rusuk Âdam ini merupakan dongeng yang

diambil dari Kitab kejadian 2. 99 Menurut hemat penulis, bahwa tidak benar kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk adalah dongeng. Dongeng adalah cerita

yang disebarkan oleh manusia tanpa bukti. Informasi penciptaan perempuan ini didasarkan pada hadîts shahîh yang tidak mungkin diragukan lagi. Tuduhan Raffat bahwa hadîts ini adalah dongeng, bukan saja tidak benar, melainkan juga

menodai kesucian hadîts dan mengingkari ke-shahîh-annya. 100 Kemudian, kemiripan Injil dan nash-nash hadîts tentang penciptaan Hawa

bukan merupakan suatu aib. Kemiripan ini bukan menunjukkan bahwa hadîts terpengaruh oleh Injil dan kitab samawi lainnya. Informasi dari Injil merupakan sisa teks-teks yang selamat dari penyimpangan. Seperti diketahui, banyak nash yang terdapat dalam Taurat dan Injil diselewengkan oleh kaum Yahudi dan

Nasrani. Mungkin saja ini termasuk yang selamat dari penyimpangan. 101 Sumber informasi ini, jika benar adalah dari Allah. Apa yang menghalangi kemiripan

antara keduanya? Bagaimanapun, sumbernya adalah satu. Dia yang menurunkan Taurat dan Injil, juga yang memberitahukan kepada Nabi Muhammad tentang masalah gaib. Al-Qur'ân sendiri telah menegaskan bahwa Allah mengutus

ahad al-a'immah al-tsiqât (salah seorang imam yang terpercaya). Abdul Mustaqim, Tafsîr Feminis Versus Tafsîr Patriarki, (Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta, 2003), h. 157-159

98 Lihat Mahmûd Thahhân, Ulûm al-Hadîts wa Dirasât al-Asânîd, h. 161 99 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 40

100 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 42 101 Lihat Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman, (Bandung: Syâmil, 2006), h. 136

Rasulullah untuk membenarkan risalah para nabi sebelumnya (Q. s., Alî Imran/3: 3).

Kedua, unsur-unsur misogini (kebencian terhadap perempuan) dalam hadîts tersebut, bertentangan dengan ajaran dalam al-Qur'ân yang menyatakan bahwa semua umat manusia telah diciptakan fî ahsani taqwîm (dalam bentuk

kreasi terbaik). 102 Menurut hemat penulis, sebenarnya dalam hadîts ini tidak ada keterangan yang mengisyaratkan kebencian terhadap perempuan. Tampaknya,

yang membuat Riffat Hassan "risih" adalah kisah penciptaan Hawa dari tulang rusuk Âdam. Ia menganggap ini adalah penghinaan dan bertentangan dengan nash

al-Qur'ân bahwa manusia diciptakan dalam bentuk terbaik. 103 Dalam hal ini, Riffat Hassan kurang tepat, karena sesungguhnya tidak ada pertentangan antara

penciptaan manusia sebagai sebaik-baik penciptaan dengan penciptaan perempuan dari tulang rusuk. Pasalnya, yang dimaksud dengan sebaik-baik penciptaan adalah bentuk fisik manusia dengan organ dan anatomi yang sempurna. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk, susunan, dan rangkaian yang terbaik. Hal ini terkait dengan bentuk fisik dan bukan pada asal penciptaan manusia. Tak dapat dimungkiri bahwa secara fisik, perempuan diciptakan cantik dan menarik sehingga dapat membuat laki-laki tergoda. Ini berlaku untuk seluruh perempuan, baik berkulit putih maupun hitam, karena

mereka mempunyai struktur fisik yang sama. 104 Jika peneliti Pakistan ini melihat penciptaan perempuan dari tulang rusuk

laki-laki adalah sebuah penghinaan, kenyataannya laki-laki diciptakan dari tanah. Dari dua sumber ini, unsur manakah yang lebih baik dan mulia? Penulis yakin, Riffat Hassan sepakat bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk lebih mulia dan lebih tinggi dari penciptaan laki-laki yang berasal dari tanah. Selanjutnya, kenyataan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Âdam mengandung

102 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 75 103 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 76 104 Lihat Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman, h. 138 102 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 75 103 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. 76 104 Lihat Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman, h. 138

Ketiga, Riffat Hassan tidak bisa memahami relevansi pernyataan bahwa bagian paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. 105 Menurut

hemat penulis, "bengkok" dalam hadîts ini tidak disertai penjelasan tentang konteksnya. Rasulullah hanya mengisyaratkan pengaruh bengkok tulang rusuk pada sebagian perilaku perempuan yang membuat laki-laki merasa terganggu. Barangkali, berdasarkan realita umum, yang dimaksud ungkapan "bengkok" adalah sikap emosional, reaktif, sensitif, dan inkonsistensi perilaku yang dominan.

Pengertian dasar bengkok kontradiktif dengan konsistensi. Jika kematangan sikap atau kemampuan mengendalikan emosi adalah sebuah konsistensi, dominasi emosi adalah suatu kebengkokan. Jika kemampuan manusia menguasai perasaannya adalah konsistensi, dominasi perasaan jelas merupakan suatu kebengkokan. Secara khusus, perempuan kerap dikuasai perasaan yang membuatnya hilang keseimbangan dalam mengambil keputusan. Atau, karena faktor emosi, lahir sikap ketergesaan, yang melahirkan sikap inkonsistensi serta sikap kurang simpatik lainnya lewat tindakan dan ucapan. Benarlah Rasulullah ketika bersabda, "Ia (perempuan) tak akan tetap padamu dalam satu sikap." Inkonsistensi inilah yang mengganggu pikiran laki-laki dan memancing kemarahannya. Interpretasi ini dikuatkan dengan apa yang disabdakan Rasulullah dalam salah satu nasihatnya pada kaum perempuan: "Kalian memperbanyak laknat (celaan) dan mengingkari (kebaikan) suami." Sikap ini biasanya terjadi pada saat marah, atau merupakan buah dari perasaan cepat terusik dan tersinggung.

Jika bengkok dimaknai bahwa perempuan memiliki tabiat penipu dan curang, penulis yakin ini sangat berlebihan. Ini merupakan penghinaan terhadap perempuan secara umum dan kontras dengan berbagai informasi tentang

105 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah h. 50 105 Lihat Mernisi dan Hassan, Setara di Hadapan Allah h. 50

kita. Masuk akalkah menyerahkan pendidikan kepada penipu? 106 Keempat , anjuran mengasihi akan masuk akal, jika perempuan dilahirkan

cacat dan karenanya membutuhkan belas kasihan. Apakah "kebengkokan yang tidak bisa diperbaiki" merupakan cacat semacam itu? Dan anjuran bersikap belas kasih tersebut terasa merendahkan perempuan, bernada hedonistik, oportunis, dan tidak bisa dihargai, bahkan jika pun perempuan memang "bengkok tak

tersembuhkan." 107 Menurut penulis, bahwa hadîts ini membimbing agar kaum lelaki bersikap

sabar terhadap tabiat perempuan akibat faktor ini. Maksudnya, di sini adalah sabda Rasulullah "Jika engkau luruskan ia, engkau mematahkannya, dan

mematahkannya adalah dengan menceraikannya." 108 Kaum laki-laki hendaknya tidak menjadikan hal ini alasan rasa kesal dan kecewanya karena merupakan

karakter yang khusus Allah ciptakan untuk perempuan. Laki-laki dituntut sabar, pemaaf, dan sadar bahwa karakter ini sangat dibutuhkan dalam peran-peran khusus, seperti hamil, menyusui, dan mengasuh karena butuh perasaan yang

dalam dan sensitivitas yang tinggi. 109 Kaum laki-laki hendaknya sadar bahwa istrinya memiliki kelebihan dan

keistimewaan yang dapat menggantikan kekurangan ini. Benarlah sabda Rasulullah tentang bagaimana menyikapi perilaku perempuan, "Janganlah seorang mukmin cepat menceraikan seorang mukminah; jika benci pada satu

perangai, ia akan menyukai perangai yang lainnya." 110

106 Abd al-Halim Abû Syuqqah, Tahrir al-Mar'ah fi Ashr al-Risâlah, (Kuwait: Dâr al-Qalam,

1410 H), cet. Ke-1, jil. ke-1, h. 288-289

107 Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, h. Bandingkan dengan Jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, tahun 1990, h. 53

108 Abû al-Husain, Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, (Beirût: Dâr al-Jîl, tt), jil. ke-4, h. 178

109 Abd al-Halim Abû Syuqqah, Tahrir al-Mar'ah fi Ashr al-Risalah, h. 289 110 Abû al-Husain, Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, jil.

ke-4, h. 178

Dari pemaparan di atas tampaknya, dalam mengkritisi hadîts penciptaan perempuan yang bernuansa isrâ'îliyyât ini, Riffat Hassan mengikuti langkah dua peneliti perempuan sebelumnya dari Amerika, yaitu Jane I Smith dan Yvonne Y. Haddâd. Keduanya menulis dalam majalah Women's Studies International Forum (Lembaga Internasional untuk Studi-Studi Perempuan) dengan judul Eve: Islamic

Image of Women (Hawa: Pandangan Islam tentang Perempuan). 111 Mengenai kritik matn ini memang sifatnya sangat relatif, bagaimanapun

hal itu merupakan sebuah hasil interpretasi. Bahwa perbedaan dalam menginterpretasikan suatu hadîts akan membawa kepada perbedaan dalam penilaian suatu kualitas matn hadîts tersebut. Menurut hemat penulis dari pemaparan di atas, hadîts yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim yang dikategorikan serbagai isrâ'îliyyât tersebut shahîh baik sanad maupun matn-nya dan tidak bertentangan dengan al-Qur'ân dan akal sehat, serhingga dapat diterima dalam menafsirkan al-Qur'ân, dalam hal ini menafsirkan ayat tentang penciptaan perempuan.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, para feminis alergi terhadap riwayat isrâ'îliyyât dan menolak sepenuhnya, walaupun itu berasal dari periwayatan yang shahih. Karena saking bersemangatnya, mereka menolak hadîts tentang penciptaan perempuan di atas dengan menggunakan kritik sanad dan matn sekaligus, namun terkesan sangat dipaksakan. Tampaknya mereka tidak konsisten. Kenapa ketika memahami hadîts ini mereka bersikap tekstual, padahal di berbagai kesempatan mereka melakukan kritik keras terhadap pembacaan yang tekstual, kritik yang sering mereka lontarkan kepada para mufassir klasik. []

111 Ket: Jane I Smith adalah pembantu dekan dan pengajar dalam mata kuliah sejarah agama (Islamic Studies) di Harvard Divinity School; Yvonne Y. Haddad adalah Associate Professor di

Duncan Black MacDonald Center, Seminari Hartford dan Associate Editor The Muslim World. Makalah tersebut dimuat dalam Women's Studies International Forum, vol. 5, no. 2, hlm. 135-144, 1982, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam jurnal Ulumul Qur'an, no. 1, tahun 1990, hlm. 28-36.