Isrâ'îliyyât yang tidak sejalan dengan Islam
2. Isrâ'îliyyât yang tidak sejalan dengan Islam
a. Isrâ'îliyyât tentang kejadian alam
Di antara riwayat isrâ'îliyyât yang terdapat dalam tafsir al-Thabarî adalah yang berkaitan dengan kejadian alam, yang menyangkut awal penciptaan, usia dunia dan rahasia-rahasia alam semesta. Salah satu ayat yang berbicara tentang
hal ini adalah Q., S. al-Zumar/39: 67. 58 Dalam menafsirkan ayat ini, al-Thabarî mengutip riwayat isrâ'îliyyât yang
mengatakan bahwa seorang Yahudi datang menemui Nabi dan berkata, "Wahai Muhammad! Kami menemukan dalam (kitab suci) bahwa langit diciptakan di atas sebuah jari dan makhluk lainnya pada sebuah jari pula. Kemudian ia berkata, "Kami adalah Raja." Riwayat itu menjelaskan bahwa Nabi tertawa karena merasa takjub sambil membenarkannya (ta'ajjuban wa tashdîqan), sehingga gigi
gerahamnya nampak terlihat. 59 Dan juga terdapat beberapa redaksi riwayat isrâ'îliyyât lainnya yang dikemukakan al-Thabarî tentang masah ini, namun
memiliki isi yang hampir sama.
57 al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-4, h.83 58 Artinya: Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi dia dari apa yang mereka persekutukan. (Q., S. al- Zumar/39: 67).
59 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, (Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, Dâr Hijr, 2001 M/1422 H), cet. ke-1, jil. ke-20, h. 248. Hadîts
diriwayatkan oleh Abû Îsa Muhammad ibn Îsa Ibn Saurah Ibn Mûsa ibn al-Dhahhâk al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, ditahqîq oleh Ahmad Muhammad Syâkir dkk, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), jil. Ke-12, h. 52. Lihat Juga Abû Abdillah Muhammad ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah al- Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987), jil. ke-16, h. 76. Lihat juga Abû Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilâl ibn Asad al-Syaibânî, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, (Cairo: Muassasah Qurthubah, tt), jil. ke-8, h. 183. Lihat juga al-Nasâ'î, Abû Abdirrahman Ahmad ibn Syu'aib, al-Sunan al-Kubra,ditahqîq oleh 'Abdul Ghaffâr Sulaiman al-Bandârî dan Said Kasrawî Hasan, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), cet. ke-6, h. 446 diriwayatkan oleh Abû Îsa Muhammad ibn Îsa Ibn Saurah Ibn Mûsa ibn al-Dhahhâk al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, ditahqîq oleh Ahmad Muhammad Syâkir dkk, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), jil. Ke-12, h. 52. Lihat Juga Abû Abdillah Muhammad ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah al- Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987), jil. ke-16, h. 76. Lihat juga Abû Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilâl ibn Asad al-Syaibânî, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, (Cairo: Muassasah Qurthubah, tt), jil. ke-8, h. 183. Lihat juga al-Nasâ'î, Abû Abdirrahman Ahmad ibn Syu'aib, al-Sunan al-Kubra,ditahqîq oleh 'Abdul Ghaffâr Sulaiman al-Bandârî dan Said Kasrawî Hasan, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), cet. ke-6, h. 446
Al-Thabarî ketika menafsirkan Q., S. al-A'râf/7: 145 banyak mengemukakan riwayat-riwayat isrâ'îliyyât dari sebagian sahabat dan tabi'in semisal Ka'ab al-Ahbâr dan Wahab ibn Munabbih. Pada umumnya riwayat- riwayat tersebut bebicara tentang al-alwâh yang dimiliki Mûsa, terbuat dari apa dan berapa jumlahnya. Diantara riwayat itu, menceritakan perdebatan antara Mûsa dan Âdam. Ketika mendekati kematian Mûsa mengeluh, "Allah sebenarnya telah menempatkan kami di surga yang tidak ada kematian di sana. Namun gara- gara kesalahan Âdam, kita akhirnya diturunkan ke bumi ini." Allah berfirman: "Jika Aku mengutus Nabi Âdam, apakah engkau akan mendebatnya? "Ya", Mûsa menjawab. Setelah Âdam berada di hadapannya terjadilah perdebatan antar keduanya. Âdam: "Mûsa! Engkau memintaku untuk datang." Mûsa: "Jika tidak karenamu, kami tidak mungkin ke dunia ini." Âdam menjawab: "Bukankah Tuhan telah memberikan nasehat dan penjelasan bahwa musibah yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan-Nya sebelumnya?" Namun pada akhirnya Âdam pun
memenangkan perdebatan itu. 60 Ada beberapa hal pada riwayat isrâ'îliyyât di atas yang tidak dapat
diterima akal. Namun al-Thabarî tidak melakukan kritik terhadapnya. Umpama, bagaimana mungkin Mûsa mengeluhkan terhadap kematiannya. Juga mana mungkin Mûsa dapat berjumpa dengan Âdam padahal jarak antara keduanya tidak memungkinkan mereka untuk berjumpa.
c. Isrâ'îliyyât tentang permintaan Mûsa untuk melihat Tuhan
Kisah ini tertera dalam al-Qur'ân pada surat al-A'râf/7 ayat ke-143. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Thabarî banyak mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang berbicara tentang sebab dan proses permintaan Mûsa untuk melihat Tuhan. Salah satu riwayat tersebut menyatakan bahwa ketika Mûsa meminta untuk melihat
60 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-10, h. 438. Hadîts ini dikutip oleh al-Suyûthî dalam tafsirnya. Lihat Abdurrahmân ibn Abî Bakr Jalaluddîn al-Suyûyhî, al-Durr al-
mantsûr fî al-Ta'wîl bi al-Mantsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1993), jil. ke-4, h. 316
Tuhan, Ia mengutus biawak betina, kilat, kegelapan, dan petir yang mengelilingi – sekitar empat parsakh– gunung tempat Mûsa bermunajat. Ia kemudian memerintahkan malaikat langit untuk menyalahkan permintaan Mûsa sambil bertasbih dengan suara yang sangat keras bagaikan petir. Lalu, Ia mengutus malaikat langit kedua turun ke bumi untuk menyalahkan permintaan Mûsa sambil meneriakkan tasbih yang sangat keras. Mendengar dan menyaksikan itu semua, Mûsa merasa panik sehingga rambut-rambut di tubuhnya berguguran. Ia kemudian menyesali permintaannya. Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa Allah mengutus malaikat langit ketiga sampai ketujuh dengan tugas yang sama serta suara yang berbeda-beda. Di ujung riwayat dikatakan bahwa, ia memerintahkan malaikat langit ketujuh untuk mengangkat Arsy-Nya. Ketika cahaya Arsy tampak, gunung yang ditempati Mûsa itu terperanjat karena kebesaran Tuhan. Para malaikat pun berteriak mengucapkan tasbih. Kejadian itu diikuti dengan goncangan gunung dan tumbangnya pepohonan. Mûsa pun
akhirnya jatuh pingsan. 61 Al-Thabarî tidak melakukan kritik terhadap riwayat isrâ'îliyyât di atas,
baik sanad maupun matn-nya. Padahal, materinya memuat hal-hal yang tidak pantas dinisbahkan kepada Mûsa dan malaikat. Menurut Abû Syhbah, riwayat- riwayat di atas atau yang semisalnya merupakan kebohongan-kebohongan Banî
Isrâ'îl. 62
d. Isrâ'îliyyât tentang penyembelihan
Dalam al-Qur'ân, kisah penyembelihan yang dilakukan Ibrâhîm diabadikan dalam surat al-Shâffât ayat ke-102 dan 103. Kunci persoalan yang sering terjadi perdebatan para ulama berkaitan dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang disebut dzâbih (yang disembelih) dalam ayat ini. Sebagaian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Ismâ'îl, putranya dari
61 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-10, h. 51-52 62 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-
Tafsîr, (Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1988), h. 200
Siti Hajar. 63 Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Ishâq, putranya dari Siti Sarah. Pendapat ini menurut Ibn Katsîr dan para
mufassir lainnya, berasal dari riwayat isrâ'îliyyât. 64 Berkaitan dengan persoalan ini, al-Thabarî mengungkapkan riwayat-
riwayat yang berisikan dua pendapat di atas, yakni satu kelompok riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dzâbih adalah Ismâ'îl, riwayat ini tidak akan dibahas karena tidak termasuk dalam kategori isrâ'îliyyât, dan satu kelompok lain –merupakan riwayat isrâ'îliyyât– mengatakan bahwa yang dimaksud dzâbih adalah Ishâq. Riwayat isrâ'îliyyât tersebut, diantaranya berasal dari Abî Kuraib, dari Zaid ibn Hanbal, dari al-Hasan ibn Dinâr, dari Âli ibn Zaid ibn Ja'dan, dari al-Ahnaf ibn Qais, dari al-'Abbâs ibn 'Abd al-Muthâlib dari Nabi
yang mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ishâq. 65 Sanad riwayat isrâ'îliyyât yang disandarkan kepada Rasulullah di atas
ditolak oleh para ulama. Menurut Ibn Katsîr, sebagaimana ditulis oleh Abû Syahbah, riwayat ini dha'îf, gugur (saqîth), dan tidak dapat dijadikan argumentasi, sebab salah satu rawinya adalah Hasan ibn Dinâr, harus ditinggalkan periwayatannya (matrûk), dan gurunya pun Alî ibn Zaid ibn Jad'an,
periwayatannya tidak diterima. 66 Namun, kelemahan-kelemahan itu tidak dikemukakan oleh al-Thabarî, bahkan ia menjadikannya sebagai argumentasi
pemihakannya terhadap riwayat isrâ'îliyyât yang mengatakan bahwa yang disembelih tersebut adalah Ishâq.
Sanad isrâ'îliyyât di atas tidak dikomentari oleh al-Thabarî, ia hanya mengomentari matn-nya. Ia memilih riwayat isrâ'îliyyât yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dzâbih adalah Ishâq. Ia juga mengatakan bahwa petunjuk al-Qur'ân lebih mendukung riwayat yang menyatakan bahwa yang disembelih
63 Muhammad Bakr Ismâ'îl, Ibn Jarîr al-Thabarî wa Manhajuh fî al-tafsîr, (Cairo: Dâr al- Manûr, 1991), h. 153. Lihat juga Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1983), h. 190
64 Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, h. 190 65 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-23, h. 81-82 66 Lihat Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, jil. ke-4, h. 154 64 Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, h. 190 65 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-23, h. 81-82 66 Lihat Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, jil. ke-4, h. 154
al-Shaffât/37: 101) 67 Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak memerintahkan
Ibrâhîm untuk menyembelih Ishâq dengan alasan ia baru lahir setelah Ismâ'îl, menurut al-Thabarî, tidak dapat diterima karena suruhan Allah harus dilaksanakan
setelah Ishâq mencapai aqîl balîgh. 68 Melihat kedua argumen yang dikemukakan al-Thabarî di atas, dapatlah
dikatakan bahwa ia juga melakukan kritik terhadap materi riwayat isrâ'îliyyât di atas. 69 Namun, kritiknya itu bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa si dzabîh itu adalah Ismâ'îl. 70
e. Isrâ'îliyyât tentang kisah Dawûd dan Jâlût
Al-Thabarî menceritakan alasan Dawûd membunuh Jâlût dengan mengemukakan tiga riwayat isrâ'îliyyât. Diantaranya dalam riwayat itu
67 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 85 68 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 85 69 Riwayat yang dikemukakan oleh al-Thabarî di atas dikemukakan juga oleh al-Suyuthî dalam
al-Durr al-Mantsûr jil. ke-5, h. 279-286. Perlu diketahui bahwa pendapat al-Thabarî di atas didukung oleh al-Zamakhsyarî (467-538 H/1074-1143) dan al-Qurthubî (600-671 H/1204-1273 M). Lihat al- Zamakhsyarî, al-Kasysyâf,(Beirût: Dâr al-Kutub, tt), jil. ke-2, h. 68; Syamsuddîn al-Qurthubî, al-Jâmi lî Ahkâm al-Qur'ân, (Cairo: Maktabah Dâr al-Kutub, tt), jil. ke-14, h. 99. Diantara para ulama ada yang mengkritiknya, yaitu Ibn Katsîr, Namun sebagian lagi ada yang menyerahkan kebenaran persoalan di atas kepada Allah semata sebagaimana diungkapkan oleh al-Zujâj Lihat Syamsuddîn al-Qurthubî, al- Jâmi lî Ahkâm al-Qur'ân, jil. ke-14, h. 99
70 Lihat juga Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, h. 192 70 Lihat juga Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, h. 192
membunuhnya. Jika utusan itu berhasil membunuhnya, ia akan memberikan kerajaannya Thâlût, akan tetapi, jika utusannya itu tidak berhasil membunuhnya, ia akan memperoleh kerajaan Thâlût. Kemudian Thâlût mengutus Dawûd untuk membunuh Jâlût dengan imbalan akan dinikahkan dengan puterinya jika ia berhasil membunuh Jâlût.
Dengan bersenjatakan ketapel, Dawûd berhasil membunuh Jâlût. Namun, Thâlût ternyata mengingkari janjinya dengan alasan bahwa Dawûd hanyalah seorang budak pemberani. Padahal, untuk mengawini puterinya diperlukan mahar yang besar. Kemudian Thâlût mensyaratkan mahar sejumlah 300 ghulfah yang harus diperoleh Dawûd dari musuh-musuhnya dengan harapan mereka membunuh Dawûd. Ternyata, Dawûd berhasil memperolehnya, tetapi Thâlût tetap mengingkari janjinya. Bahkan, ia memerintahkan untuk menangkap dan
membunuh Dawûd, namun Dawûd lari ke gunung dengan selamat. 72 Terhadap riwayat isrâ'îliyyât ini, al-Thabarî tidak memberikan komentar
apa-apa, baik sanad ataupun matn-nya. Padahal, menurut Abû Syahbah, di dalamnya terdapat kebohongan-kebohongan. 73 Al-Thabarî tidak mengomentari
bagaimana Dawûd dapat diperhamba oleh Thâlût, sedangkan ia adalah seorang Nabi. Juga ia tidak mengomentari bagaimana mungkin Dawûd bersikeras untuk mengejar-ngejar puteri raja demi mendapatkannya. Itu semua tidak pantas dinisbatkan kepadanya.
f. Isrâ'îliyyât tentang kisah Dzû al-Qarnain
Kisah tentang Dzû al-Qarnain diabadikan Allah dalam al-Qur'ân pada surat al-Kahf/18 ayat ke-83 dan seterusnya. Untuk menjelaskan ayat ini, al-
71 Dalam sejarah disebutkan bahwa Thâlût dan Jâlût adalah dua raja yang hidup sezaman dengan Nabi Dawûd.
72 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 626 73 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâ'îliyyât wa al0Maudhû'ât fî Kutub al-
Tafsîr, h. 177
Thabarî mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât dari Wahb ibn Munabbih yang mengatakan bahwa Dzû al-Qarnain dari Romawi. Nama aslinya adalah Iskandar. Ia dijuluki Dzû al-Qarnain karena wajahnya ditutupi dengan tembaga. Ketika ia menjelang dewasa dan menjadi hamba yang shaleh, Allah mengutusnya untuk memimpin penduduk dunia yang mempunyai ragam bahasa berbeda-beda. Di antara mereka terdapat dua umat yang dipisah oleh jarak selebar bumi; dan terdapat pula dua umat yang antara keduanya dipisah oleh jarak selebar bumi. Ia pun juga memimpin umat seperti jin, manusia, Yajûj dan Ma'jûj. Riwayat isrâ'îliyyât itu kemudian menuturkan bahwa Allah memberikan ilmu dan hikmah kepadanya, dan juga menjelaskan kondisi kaum-kaum yang ditemuinya, apa-apa yang diucapkannya kepada mereka, serta apa-apa yang diucapkan mereka kepadanya. Di tengah-tengah riwayat itu, al-Thabarî mengemukakan berita-berita
yang sangat sulit diterima akal dan naql. 74 Di samping riwayat isrâ'îliyyât di atas, al-Thabarî pun mengemukakan
riwayat-riwayat lainnya yang menyatakan, bahwa Dzû al-Qarnain adalah pemuda Romawi yang membangun negara Inkandariyah. Setelah pembangunan Negara itu rampung, ia diangkat ke langit oleh seorang malaikat. Sesampainya di sana Dzû al-Qarnain ditanya, "Apa yang kau lihat?" Ia menjawab: "Saya melihat kotaku dan beberapa kota lainnya." Setelah naik ke langit berikutnya, ia pun ditanya, "Apa yang kau lihat?" Ia menjawab, "Aku melihat bumi." Suatu saat ia sampai di sebuah benteng. Di sana ia melihat sekelompok manusia yang bentuk wajahnya
seperti anjing. 75 Al-Thabarî tidak mengomentari riwayat isrâ'îliyyât ini, walaupun terdapat
beberapa keganjilan di dalamnya. Umpamanya, betulkah sebagian riwayat itu berasal dari Nabi. Terhadap riwayat isrâ'îliyyât yang berasal dari Abî Hâtim, Ibn Katsîr menyebutkan bahwa kualitasnya gharîb dan sanad-sanad-nya tidak
74 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 390-398 75 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 371 74 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 390-398 75 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 371
g. Isrâ'îliyyât tentang kisah Yajûj dan Ma'jûj
Salah satu riwayat isrâ'îliyyât yang terdapat dalam tafsir al-Thabarî adalah yang berkaitan dengan kisah Ya'jûj dan Ma'jûj. Dalam al-Qur'ân, kisah tersebut terdapat dalam surat al-Kahf/18 ayat ke-94. Dalam menjelaskan kisah ini, al-Thabarî mengemukakan beberapa riwayat isrâ'îliyyât, di antaranya berbicara tentang bentuk postur Ya'jûj dan Ma'jûj. Disebutkan mereka memiliki kuku, gigi, dan geraham yang dimiliki binatang buas. Apabila sedang makan, suaranya seperti suara sapi. Badannya dipenuhi bulu. Kedua telinganya sangat besar, luar dalamnya, dipenuhi oleh bulu-bulu halus. Kematian mereka baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai indikasi-indikasi khusus. Di antaranya, laki-laki tidak akan mati sebelum dari tulang rusuknya keluar seribu anak. Sebaliknya, wanita
mereka tidak akan mati sebelum dari rahimnya keluar seribu anak. 77 Riwayat isrâ'îliyyât lainnya adalah menjelaskan bahwa setiap hari Ya'jûj
dan Ma'jûj melubangi gunung kecuali ketika matahari terbit. Pekerjaan mereka terus berlanjut sampai berhasil melubagi gunung itu dan keluar ke tengah-tengah manusia. Mereka menghabiskan persediaan air minum dan menahan manusia di penjara-penjara. Mereka melemparkan panahnya ke langit kemudian jatuh dalam keadaan berlumuran darah. Mereka merasa bahwa penghuni bumi dan penghuni
langit telah dikalahkan. 78 Baik sanad maupun matn riwayat isrâ'îliyyât di atas, ternyata tidak
dikritik oleh al-Thabarî, padahal di dalamnya mengandung keganjilan-keganjilan. Dari sisi sanad, penisbatan riwayat isrâ'îliyyât yang kedua dari Nabi, kata Abû Syahbah adalah dusta. Menurutnya penisbatan itu merupakan kekeliluan dari
76 Lihat Abû al-Fidâ' Ismâ'îl ibn 'Umar Ibn Kastîr al-Qarsyî al-Dimaqî, Tafsîr al-Qur'ân al- Adhîm, (Cairo: Dâr Thaiyyibah li al-Nasyr wa al-tauzî', 1999), cet. Ke-1, jil. ke-5
77 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 389-390 78 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 398-399 77 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 389-390 78 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-15, h. 398-399
dapat menerima cerita yang mengatakan -sebagaimana digambarkan di atas- bahwa seorang Ya'jûj dan Ma'jûj tidak akan mati sebelum dari tulang rusuknya keluar seratus anak, atau yang mengatakan bahwa salah seorang mereka mengarahkan panahnya ke langit dan jatuh dalam keadaan berlumuran darah yang selanjutnya diklaim bahwa penghuni langit telah dikalahkan. Riwayat yang mengatakan bahwa mereka berhasil melubangi gunung bertentangan dengan kandungan al-Qur'ân pada surat al-Kahf/18: 97 yang mengatakan bahwa mereka tidak mampu melobangi gunung itu.
h. Isrâ'îliyyât tentang kisah Yusuf dan godaan wanita
Al-Qur'ân surat Yûsuf/12 ayat ke-23 di antaranya berbicara tentang godaan seorang wanita cantik kepada Yûsuf yang tidak diikutinya setelah ia melihat burhân. Dalam menafsirkan kisah ini, al-Thabarî banyak mengemukakan isrâ'îliyyât. Diantaranya ia mengatakan bahwa Ibn Abbâs pernah ditanya tentang perihal Yûsuf sampai mana ia bertahan ketika ia digoda seorang wanita. Ibn Abbâs memberikan jawaban bahwa Yûsuf melepaskan celananya (sarâwil) dan
duduk seperti duduknya seorang pengkhitan (khâtin). 80 Banyak riwayat isrâ'îliyyât lain dari Ibn Abbâs, tetapi isinya hampir sama. Terdapat pula riwayat
yang berkaitan dengan burhân berupa apa yang dilihat Yûsuf sehingga ia tidak terjerat ke dalam godaan itu.
Meskipun sanad riwayat di atas tidak dikomentari oleh al-Thabarî, namun ia mengomentari matn-nya. Ia menjelaskan bahwa pendapat yang paling benar adalah Allah mengabarkan bahwa Yûsuf digoda seorang wanita mulia yang cantik. Seandainya ia tidak melihat âyat, tentu ia mengikuti godaan itu. Ayat yang dimaksud boleh jadi berupa wajah Yûsuf, atau raja, atau ancaman Allah bagi
79 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâ'îliyyât wa al0Maudhû'ât fî Kutub al- Tafsîr, h. 246
80 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 82 80 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 82
Materi riwayat isrâ'îliyyât itu memang dikomentari oleh al-Thabarî, tetapi sama sekali tidak menyelesaikan keanehan-keanehan yang terdapat dalam matn- nya. Ia lebih tertarik mengomentari persoalan âyat apa yang dilihat Yûsuf sehingga ia tidak jadi berzina dengan wanita yang menggodanya. Persoalan itu sebenarnya kalah penting dibandingkan dengan persoalan yang berkaitan dengan materi yang mengatakan bahwa dalam kisah itu Yûsuf sampai membuka celana dan duduk di atas kedua paha wanita yang menggodanya itu. Anehnya, ia bahkan men-dha'if-kan pendapat ulama salaf yang menafikan perbuatan itu dari Yûsuf. Ia bahkan berkomentar bahwa pendapat pertama di atas adalah hasil penafsiran para
ulama terhadap ayat al-Qur'ân. 82 Terhadap materi riwayat isrâ'îliyyât ini, Rasyîd Ridha berpendapat bahwa
materi ini ada kemungkinan merupakan khurafât ahli Kitab masa lalu yang dibawa ke dalam penafsiran al-Qur'ân oleh ahli Kitab yang telah masuk Islam; atau merupakan materi yang didesuskan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan
merusak akidah umat Islam. 83
i. Isrâ'îliyyât tentang kisah kemarahan Mûsa
Firman Allah surat al-A'râf/7 ayat ke-150, di antaranya berbicara tentang kemarahan Nabi Mûsa dengan melemparkan alwâh-nya. Ketika menafsirkan ayat ini, al-Thabarî banyak mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang berbicara tentang sebab kemarahannya itu. Menurut salah satu riwayat, bahwa sebab kemarahan Mûsa adalah karena iri setelah melihat dalam alwâh kitab sucinya akan keunggulan-keunggulan umat Muhammad, yaitu sebagai umat terbaik, terakhir diciptakan dan paling pertama masuk surga, serta keunggulan lainnya. Dalam
81 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 90 82 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 90 83 Rsyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah,, tt), jil. ke-13, h. 2 81 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 90 82 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-13, h. 90 83 Rsyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah,, tt), jil. ke-13, h. 2
Dalam persolan ini, tidak ditemukan komentar al-Thabarî terhadap sanad riwayat isrâ'îliyyât yang dikemukakannya di atas, padahal di dalam sanad yang berasal dari Qatadah terdapat kelemahan. Dalam hal ini, Ibn Katsîr berkomentar bahwa sanad itu ditolak oleh Ibn Athiyyah dan mayoritas ulama. Sanad itu menurutnya perlu ditolak, karena Qatadah menerimanya dari ahli Kitab yang di
antara mereka terdapat para pembohong dan pemalsu riwayat. 85 Namun demikian, al-Thabarî mengomentari materi-materinya. Ia
mengatakan bahwa pendapat yang paling benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa sebab kemarahan Mûsa adalah karena melihat umatnya menyembah anak
sapi (Q., S. al-A'râf/7: 150). 86 Namun, komentarnya itu bukan bertolak dari studi kritisnya terhadap materi riwayat isrâ'îliyyât yang tidak masuk akal. Ia tidak
melakukan studi kritis terhadap materi yang mengatakan bahwa sebab kemarahan Mûsa ketika membanting alwâh-nya adalah karena iri terhadap keutamaan umat Muhammad. Pendapat itu, menurut al-Qurthubî tidak pantas dinisbatkan kepada
Nabi Mûsa. 87
j. Isrâ'îliyyât tentang kisah kaum Jabbârîn dan Iwaj ibn 'Auq
Salah satu materi riwayat isrâ'îliyyât yang terdapat dalam tafsir al-Thabarî adalah yang berkaitan dengan kaum Jabbârîn yang dikemukakan dalam al-Qur'ân pada surat al-Mâ'idah/5 ayat ke-22. Al-Thabarî dalam merinci kisah ini mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang mengatakan bahwa Mûsa diperintahkan Allah untuk memasuki Negara kaum Jabbârîn. Berangkatlah Mûsa bersama kaumnya. Sebelum memasuki negara itu, Mûsa mengutus kepada mereka dua belas kepala suku memasuki negara itu untuk menyelidiki keadaan di sana.
84 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 56 85 Abû al-Fidâ' Ismâ'îl inb 'Umar Ibn Kastîr al-Qarsyî al-Dimaqî, Tafsîr al-Qur'ân al-'Adhîm,
jil. ke-2, 248
86 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 66 87 Syamsuddîn al-Qurthubî, al-Jâmi lî Ahkâm al-Qur'ân, jil. ke-7, h. 288
Setelah berada di sana, mereka melihat postur tubuh kaum Jabbârîn sangat tinggi dan besar. Kaum Nabi Mûsa memasuki kebun salah seorang dari mereka. Penghuninya ternyata mengetahui keberadaan mereka. Salah seorang dari mereka kemudian tertangkap dan diletakkan di lengan baju bersama buah-buahannya. Setelah berhadapan dengan raja, mereka diletakkan di telapak tangan. Setelah terjadi dialog, pengikut Mûsa yang ditangkkap itu disuruh kembali untuk menyampaikan apa yang telah disaksikannya kepada Mûsa dan teman-temannya. Mûsa memerintahkan agar merahasiakan berita itu kepada teman-temannya, tetapi akhirnya berita itu pun diketahui oleh pengikut-pengikutnya yang lain. Dalam riwayat isrâ'îliyyât yang berasal dari Mujâhid dikatakan bahwa buah anggur
mereka dapat ditumpangi oleh lima orang pengikut Nabi Mûsa. 88 Al-Thabarî pun mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang mengatakan
bahwa ketika di dalam negara kaum Jabbârîn, dua belas kepala suku yang diutus Mûsa itu bertemu dengan salah seorang Jabbârîn yang bernama "Auj ibn 'Ataq. Mereka kemudian ditangkap dan diletakkan di lubang tali celananya, sedangkan di atas kepalanya terletak kayu bakar. Sampai di hadapan isterinya, ia berkata sambil meletakkan mereka di telapak tangannya, "Lihatlah mereka yang katanya akan memerangi kita. Apakah aku injak saja dengan kakiku?" "Jangan " jawab isterinya. "Lepaskan mereka untuk mengabarkan keadaan kita kepada rekan-
rekannya. 89 Al-Thabarî tidak mengomentari materi riwayat isrâ'îliyyât di atas, padahal
terdapat suatu yang bertentangan dengan akal. Gambaran tubuh mereka sangat sulit untuk diterima akal. Untuk itu Ibn Katsîr memberikan komentar bahwa banyak ulama tafsir yang mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang berkaitan dengan kaum Jabbârîn. Salah satu dari mereka adalah 'Iwaj yang disinyalir memiliki tinggi 3330 hasta. Berita ini sangat memalukan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menjelaskan bahwa Nabi Âdam diciptakan Allah
88 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, 174-175 89 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 175 88 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, 174-175 89 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 175
Jabbârîn adalah khurafât yang disebarkan oleh orang Yahudi ke tengah-tengah umat Islam. 91
Sehubungan dengan persoalan di atas, al-Alûsî pun mengatakan bahwa cerita tentang 'Iwaj merupakan cerita rekaan ahli Kitab yang tidak terdapat dalam kitab suci mereka. Dengan mengutip pendapat Ibn Qayyim, ia pun mengatakan bahwa riwayat tentang itu adalah palsu (maudhû') dan merupakan hasil perbuatan kafir zindiq yang bermaksud mengolok-olok dan mempermainkan para Rasul yang mulia. Cerita ini dipandangnya sebagai khurafât yang tidak memiliki sumber
yang jelas. 92
k. Isrâ'îliyyât tentang kisah Sulaiman, cincin dan Iblis penyihir
Salah satu kisah Sulaiman diabadikan dalam al-Qur'ân pada surat Shâd/38 ayat ke-34. Untuk menafsirkan ayat ini al-Thabarî mengutip riwayat isrâ'îliyyât yang mengatakan bahwa Sulaiman telah diperintahkan untuk mendirikan bait al- maqdis. Dikatakan kepadanya, dirikanlah bangunan itu dan jangan sampai terdengar suara besi. Juga dikatakan kepadanya bahwa di dasar laut terdapat setan yang bernama Shakhar Marîdhah. Kemudian Sulaiman mencarinya. Di dalam laut ia menemukan mata air yang memancar satu kali dalam seminggu. Pancarannya sangat jauh dan sebagiannya menjadi khamar. Ia datang pada saat mata air itu memancarkan air dan khamar. Sulaiman mengatakan "Khamar, engkau sesungguhnya merupakan minumaan enak, namun menyebabkan seseorang
memperoleh musibah. Lalu ia meminumnya sehingga hilanglah kesadarannya. 93 Sulaiman melihat cincin di jarinya dan merasa hina karenanya. Pada suatu
hari ia masuk kamar mandi bersama setan Shakhar. Hal itu terjadi ketika sebagian
90 Ibn Katsîr, Qishash al-Anbiyâ, (Beirût: Daâr al-Fikr, 1983), h. 190 90 Lihat Abû al-Fidâ' Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adhim, jil. ke-2 h. 37-38 91 Rasyîd Ridah, Tafsîr al-Manâr, jil. ke-1, h. 331-332 92 Sihabuddîn Mahmûd ibn Abdullah al-Husainî al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al-
'Adhim wa al-Sab'I al-matsânî, (Cairo: Munirah, tt), jil. ke-4, h. 86-87
93 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-23, h. 109 93 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-23, h. 109
ini dikatakan bahwa Iblis menyetubuhi isteri Sulaiman. 94 Menurut Abû Syahbah, riwayat ini jelas berasal dari Banî Isrâ'îl. Ibn
Abbâs, salah seorang rawinya, telah menerima riwayat tersebut dari ahli Kitab yang masuk Islam. 95 Dalam hal ini, al-Suyûthî menerima riwayat ini dari 'Abd al-
Razzâq, dari al-Mundzir, dari Ibn Abbâs yang mengatakan bahwa ada empat ayat yang tidak diketahuinya sehingga ia bertanya kepada ahli Kitab. Ia kemudian
menyebutkan ayat tentang kisah Sulaiman di atas. 96 Menurut Ibn Katsîr pun, sanad riwayat isrâ'îliyyât ini berujung pada Ibn Abbâs. Sanad-nya kepada Ibn
Abbâs memang kuat, tetapi jelas ia menerimanya dari ahli Kitab, sedangkan di antara mereka terdapat aliran yang menolak kenabian Sulaiman. Sanad ini ditolak
oleh para ulama. 97 Meskipun demikian, ternyata sanad-nya tidak dikomentari oleh al-Thabarî.
Materinya pun tidak dikomentari oleh al-Thabarî, padahal jelas sekali menghina keperibadian Sulaiman dan tidak dapat diterima akal sehat. Merupakan suatu yang mustahil bila setan dapat menyerupai Nabi Sulaiman kemudian mengambil alih kerajaannya dan mengeluarkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Islam. Kalau memang benar peristiwa itu terjadi, lalu bagaimana keberadaan keputusan-keputusan itu setelah kerajaan kembali kepada Nabi Sulaiman. Bagaiman mungkin kemudian isteri-isterinya digauli oleh setan tersebut. Bagaimana kerajaan Sulaiman menjadi hilang karena cincinya dibuang ke laut. Bila kerajaan itu bergantung kepada cincinnya, mengapa Allah tidak
94 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-23, h. 110 95 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-
Tafsîr, h. 272 96 Abdurrahman ibn Abû Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr,
tt), jil. ke-5, h. 309-311 97 Abdurrahman ibn Abû Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, jil. ke-6, h. 206-207 tt), jil. ke-5, h. 309-311 97 Abdurrahman ibn Abû Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, jil. ke-6, h. 206-207
l. Isrâ'îliyyât tentang kisah Zakariya dan Iblis.
Dalam al-Qur'ân, kisah Zakariya terdapat pada surat Maryam/19 ayat ke-
8. Ayat ini menjelaskan bagaimana Zakariya merasa ragu akan kabar dari malaikat bahwa ia akan dikaruniai seorang putera, pada hal ia telah lanjut usia. Dalam menafsirkan ayat ini al-Thabarî menjelaskan bahwa malaikat memanggil Zakaria dengan memberi kabar gembira bahwa ia akan dikaruniai putera yang bernama Yahya yang sebelumnya pernah diciptakan Allah. Ketika mendengar panggilan itu datanglah setan kepadanya dengan mengatakan bahwa suara yang ia dengar adalah bukan dari Allah, tetapi dari setan yang akan memperdayanya. Kemudian Zakariya menjadi ragu dengan mengatakan bagaimana mungkin ia bisa
mendapatkan anak. 99 Menurut al-Dzahabî riwayat ini adalah isrâ'îliyyât.
Al-Thabarî tidak mengkritik materi riwayat di atas, Padahal materi ini jelas bertentangan dengan al-Qur'ân. Bagaimana mungkin setan dapat menguasai hati Zakariya sehingga ragu terhadap wahyu Allah. Al-Dzahabî menafsirkan bahwa ucapan Zakariya di atas bukan menandakan keraguannya, kaget karena isterinya telah tua dan ia sendiri sudah dalam kondisi yang tua renta. Sikap serupa pernah dilakukan Sarah, isteri Ibrâhîm ketika mendapat kabar akan memperoleh
anak sebagaimana digambarkan pada surat Hûd ayat ke-72. 100 Tanda keheranan Zakariya itu diperkuat dengan jawaban-jawaban malaikat terhadap pertanyaannya
(Q., S. Hûd/11: 73) dan bantahan Allah terhadapnya (Q., S. Maryam/19: 9).
98 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-16, h. 50-51 99 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ'îliyyât fî Kutub al-Tafsîr wa al-Hadîts, (Cairo:
Maktabah Wahbah, 1990), cet. ke-4, h. 103 100 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâ'îliyyât fî Kutub al-Tafsîr wa al-Hadîts, h. 104