Fungsi Riwayat Isrâ'îliyyât dalam Tafsir al-Thabarî

2. Fungsi Riwayat Isrâ'îliyyât dalam Tafsir al-Thabarî

Sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab terdahulu, telah diketahui bahwa al-Thabarî memang banyak memasukkan riwayat isrâ'îliyyât dalam

127 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 16 128 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 17 127 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 16 128 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 17

Untuk menjelaskan permasalahan ini, penulis akan mengemukakan bagaimana sebenarnya al-Thabarî memfungsikan riwayat-riwayat isrâ'îliyyât itu dalam tafsirnya, agar tidak serampangan memberikan kritik negatif terhadap seorang tokoh yang dikenal sebagi syaikh al-mufassirîn ini, dikarenakan ketidak tahuan semata. al-Thabarî meggunakan riwayat-riwayat isrâ'îliyyât itu sebagai

penjelas makna kata atau kontek kalimat, 129 bukan sebagai hujjah dalam meng- istimbath hukum. Sebagai contoh dapat dilihat ketika ia mencantumkan riwayat

isrâ'îliyyât untuk menjelaskan makna kata khalîfah dan khilâfah, dan untuk memberikan gambaran perdebatan yang terjadi di kalangan ulama sekitar makna kata khalîfah itu.

Penjelasan tentang makna khalîfah ini dipaparkan oleh al-Thabarî ketika menafsirkan "innî jâ'ilun fi al-ardh khalîfah" pada potongan ayat ke-30 dari surat al-Baqarah. Ia mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang bersumber dari Mûsa ibn Harûn, dari 'Amr ibn Hammâd, dari Asbath, dari al-Sudî, dari Abî Mâlik, dari Abi Shâlih dari Ibn Abbâs dan juga dari riwayat Ibn Mas'ûd, dari sejumlah sahabat Rasulullah. Dalam riwayat itu dijelaskan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, Dia akan menciptakan seorang yang akan menjadi khalîfah di muka

129 Mahmûd Muhammad Syâkir, Muqaddimah tahqîq pada Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fî Ta'wîl âyi al-Qur'ân, jil. ke-1, h. 17 129 Mahmûd Muhammad Syâkir, Muqaddimah tahqîq pada Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fî Ta'wîl âyi al-Qur'ân, jil. ke-1, h. 17

dan bunuh membunuh di antara mereka. 130 Selanjutnya al-Thabarî melakukan analisis dengan menggunakan

riwayat dari Ibn Mas'ûd dan Ibn Abbâs di atas. Menurutnya, ta'wîil ayat ke-30 surat al-Baqarah berdasarkan riwayat ini adalah, bahwa Allah akan menciptakan khalîfah di muka bumi untuk menggantikannya dalam menegakkan hukum di antara makhluknya. Khalîfah tersebut adalah Nabi Âdam dan orang yang memiliki ketaatan yang setara denga Nabi Âdam, bijaksana dan adil. Adapun perbuatan kerusakan dan penumpahkan darah bukanlah berasal dari khalîfah- khalîfah-Nya, baik Nabi Âdam ataupun orang yang setara dengannya. Hal ini dapat dipahami dari berita yang disampaikan oleh Ibn Mas'ûd dan Ibn Abbâs di atas. Maka perbuatan rusak dan penumpahan darah itu dinisbatkan kepada

keturunan khalîfah, bukan pada khalîfah-nya. 131 Penta'wilan di atas, pada satu sisi berbeda dengan penta'wilan dari

riwayat yang bersumber dari al-Hasan, namun pada sisi lainnya memiliki persamaan. Persamaannya adalah penisbatan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah itu bukan kepada khalîfah. Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut; menurut riwayat Ibn Mas'ûd dan Ibn Abbâs penisbatan khalîfah kepada Âdam, dengan pengertian bahwa Allah menjadikan Âdam sebagai khalîfah di muka bumi. Sedangkan menurut al-Hasan penisbatan khalîfah itu kepada anak cucu Âdam, dengan pengertian sebagian mereka menjadi khalîfah bagi yang

130 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 425; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm,(Cairo: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 1999), jil. ke-1, h. 218;

Muhammad ibn 'Alî ibn Muhammad al-Syauknî, Fath al-Qadîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, tt), jil. ke-1, h. 68; Abû Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Hasan ibn al-Husain al-Taimî, Mafâtih al-Gahaib, (al- Maktabah al-Syâmilah ver. 3.15), www.qurancomplex.com jil. ke-1, h. 336; 'Abdurrahman ibn 'Alî ibn Muhammad al-Zaujî, Zâd al-Muyassar, (Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1404 H), cet. ke-4, jil. ke-1, h.42

131 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 452 131 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 452

Dengan penjelasan al-Thabarî tersebut, maka pengertian makna kata khalîfah yang ditunjukkan oleh masing-masing dari mereka menjadi jelas tergambar. Dalam hal ini, Ia sama sekali tidak memperdulikan bagaimana kualitas sanad periwayatan tersebut, baik berupa isrâ'îliyyât ataupun bukan, baik yang shahîh ataupun yang dhâ'if , bahkan dari sumber yang maudhû sekalipun.

al-Thabarî sendiri mengatakan bahwa, begitulah kiranya penta'wilan ayat berdasarkan riwayat dari Ibn Mas'ûd dan Ibn Abbâs, jika riwayat itu memang benar-benar shahîh dari mereka, namun ia tidak yakin akan hal itu, karena ia sendiri meragukan sanad riwayat tersebut, meskipun ia meragukannya, tetapi tetap ia digunakan, namun hanya sebagai instrumen dalam menjelaskan makna kata khalîfah, dan menjelaskan pengertian yang dipahami oleh Ibn Mas'ûd dan Ibn Abbâs, atau pengertian yang dipahami oleh orang-orang terdahulu. Penggunaan riwayat-riwayat dha'îf dan isrâ'îliyyât dalam kasus semacam ini tidak mengapa dan dapat dibenarkan dalam melakukan istidlâl. Dikarenakan riwayat- riwayat tersebut tidak digunakan sebagai tafsiran ayat-ayat al-Qur'ân, namun secara panjang lebar untuk menjelaskan makna kata atau kontek peristiwa itu terjadi, sekalipun itu menggunakan riwayat yang sudah dipastikan ke-dha'îfan- nya.

Al-Thabarî juga mengutip syair Arab untuk menjelaskan makna kata, sebagi contoh dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al-Nisâ' ayat ke-1 saat menjelaskan makna kata min nafs wâhidah. Kata ini maknanya adalah seorang

laki-laki, seperti diaungkapkan dalam sebuah syair: [ © ﻯ ﺮ ـ ﺧﹸﺃ  ﻪ  ﺗ  ﺪﻟ  ﻭﹲ ﺔ ﻔ ﹶ ﻴ ِ ﻠ  ﺧ ﻙﻮ ﺑ ﹶ ﺃ ﹸﻝﺎ ﻤﹶ ﻜﻟ ﺍ  ﻙﺍ ﹶ ﺫ ،ﹲ ﺔ ﹶ ﻔ ﻴ ِ ﻠ  ﺧ ﺖ ﻧ ﹶ ﺃ  ﻭ]. Potongan ayat min nafs wâhidah menggunakan kata nafs

yang bejenis muannats, maknanya adalah seorang laki-laki (rajul wâhid). Sekiranya diungkapkan dengan kalimat min nafs wâhid, kata nafs di jadikan

132 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 453 132 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 453

Al-Thabarî, sering munggunakan syair untuk menjelaskan makna kalimat, karena ia memang seorang yang pakar di bidang bahasa dan syair Arab, sama halnya dengan Ibn Abbâs, dalam setiap menjelaskan makna kata al-Qur'ân selalu menggunakan syair Arab. Sebagaimana disebutkan oleh Sa'îd ibn Jubair, tidak pernah didengar dari Ibn Abbâs saat menafsirkan al-Qur'ân melainkan sealalu

menyertakan bait syair Arab seagai argument kebahasaan. 134 Sebagai contoh lain, banyak syair klasik ditemukan dalam buku-buku

Arab, termasuk buku tafsir sendiri. Seringkali maksudnya bukan memperkuat kandungan atau maksud, tetapi adalah argumentasi bahasa. Betapa keliru apabila kandungan syair itu yang kita ambil kesimpulan sebagai suatu pendapat, apalagi jika ternyata kandungan syair itu bertentangan dengan gagasan utama yang dimaksud dalam penjelasan al-Qur'ân.

Al-Thabarî menggunakan riwayat-riwayat yang dianggap munkar tidak lain hanyalah untuk menjelaskan makna kata-kata al-Qur'ân, sama halnya pada saat dia menjelaskan makna kata-kata tersebut dengan menggunakan syair-syair jahilî. Ini hanyalah analisis linguistik. Tidak ada kaitannya dengan tafsiran ayat. Manakala tidak mengapa menggunakan syair-syair jahili yang nyata bohong ucapannya, namun bahasanya benar, maka tidak mengapa pula menggunakan riwayat-riwayat yang ditolak oleh para pakar hadîts dalam tafsir.

Mengetahui metode dan latar belakang seperti ini menjadi penting, sehingga para pembaca tidak terlalu sepele melontarkan tuduhan kepada al- Thabarî dengan pemahamannya yang sebenarnya keliru dan bukan yang

133 Lihat Abû Ja'far Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmulî al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fî Tafsîr Âyi al-Qur'ân, tahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, (Cairo: Muassasah al-

Risâlah, 2000), cet. ke-1, jil. ke-7, h. 514; Bandingkan dengan al-Farrâ, Ma'ânî al-Qur'ân, (al- Maktabah al-Syâmilah versi 3.15), jil. ke-1, h. 189

134 Ahmad Muhammad al-Hûfî, al-Thabarî, (Cairo: al-Majlis al-A'lâ li al-Syu'ûn al- Islamiyyah, 1970), h. 117 134 Ahmad Muhammad al-Hûfî, al-Thabarî, (Cairo: al-Majlis al-A'lâ li al-Syu'ûn al- Islamiyyah, 1970), h. 117

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa al-Thabarî memang banyak menggunakan riwayat isrâ'îliyyât, namun demikian bukan berarti ia tidak mengetahui akan bahaya isrâ'îliyyât itu. Namun hanya digunakan sebagi istidlâl dalam menganalisis kalimat atau menjelaskan kontek peristiwa saja. Ia tidak menggunakannya sebagai alat istinbâth hukum.