Isrâ'îliyyât yang mauqûf

3. Isrâ'îliyyât yang mauqûf

a. Isrâ'îliyyât tentang kisah Âdam, pohon khuldi dan Iblis

Kisah Âdam dan larangan Allah untuk mendekati pohon terlarang diabadikan dalam al-Qur'ân pada surat al-Baqarah/2 ayat ke-35. Pada ayat ini tidak dijelaskan pohon mana yang dimaksudkan oleh Allah untuk dijauhi. Oleh karena itu, para mufassir kemudian melahirkan berbagai interpretasi untuk menjelaskannya. Dalam hal ini, al-Thabarî mengutip riwayat-riwayat isrâ'îliyyât

yang menyatakan bahwa pohon yang dimaksud adalah gandum. 101 Kemudian ia juga mengemukakan riwayat lain yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah

padi. 102 Ia pun juga mengemukakan dua riwayat isrâ'îliyyât yang berlainan materinya yang diriwayatkannya dari Ibn Abbâs, satu riwayat menyatakan bahwa

pohon yang dimaksud adalah pohon gandum, sedangkan riwayat yang satu menyatakan bahwa pohon tersebut adalah kurma. 103 Dua riwayat yang sanad-nya

berujung kepada Ibn Abbâs yang memiliki materi berbeda ini tidak dikomentari oleh al-Thabarî.

Tentang masalah ini, al-Thabarî memberikan komentar bahwa Allah telah memberitahukan kepada hamba-Nya sesungguhnya Âdam dan isterinya telah memakan buah dari pohon yang dilarang untuk didekati. Dia tidak menjelaskan pohon mana yang dimaksudkan. Juga tidak terdapat petunjuk yang jelas tentang hal itu. Bila Allah mengizinkan untuk mencarinya, maka tidak ada persoalan

untuk berusaha mencarinya demi ketaatan kepada-Nya. 104 Al-Thabarî memberikan komentar bahwa pendapat yang paling tepat

adalah Allah melarang Âdam dan isterinya untuk memakan bagian pohon yang ada di surga. Tidak diketahui pohon mana yang dimaksudkan, karena al-Qur'ân dan al-sunnah tidak menjelaskannya, maka tidak perlu mencarinya. Berbagai pendapat muncul tentang pohon itu, ada yang mengatakan bahwa pohon yang

101 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 555 102 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, 553 103 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, 554 104 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 557 101 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 555 102 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, 553 103 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, 554 104 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 557

b. Isrâ'îliyyât tentang kisah Âdam dan Iblis

Al-Thabarî, dalam menjelaskan kisah Âdam dan Iblis mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât dari Wahb ibn Munabbih yang mengatakan bahwa Allah menempatkan Âdam dan keturunannya atau isterinya –keraguan berasal dari al- Thabarî sendiri– di surga dan melarangnya mendekati pohon yang buahnya dimakan oleh para malaikat demi keabadian mereka. Ketika akan menggoda Âdam dan isterinya, Iblis masuk ke surga melalui tubuh ular yang pada saat itu

bentuk tubuhnya lain dengan sekarang. 105 Di dalam surga, Iblis mengambil buah-buahan dari pohon itu dan

membawanya ke hadapan Hawa sambil merayu, "Lihatlah buah ini! Alangkah harum aromanya dan lezat rasanya". Hawa kemudian mengambil dan memakannya. Hal serupa dilakukan pula oleh Âdam. Akibatnya, aurat mereka terbuka. Pada saat itu Âdam bersembunyi ke balik pepohonan yang ada di surga. Lalu terjadilah dialog antara Allah dengannya. "Wahai Âdam! Dimanakah kamu?" "Saya di sini", jawab Âdam. "Keluarlah!", Âdam Menjawab, "Saya malu ya Allah." "Engkau terlaknat, Âdam." "Wahai Hawa! Engkau telah membujuk Âdam. (Sebagai hukuman), engkau akan merasa payah ketika mengandung. Perasaan itu akan lebih diderita sehingga hampir mendekati kematian ketika engkau akan melahirkan." "Wahai ular! Engkau telah membawa Iblis ke dalam surga. (Sebagai hukuman), kakimu akan ditiadakan dan kamu menjadi musuh

anak manusia selamanya." 106

105 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 235 106 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 235

Pada akhir riwayat isrâ'îliyyât itu dituturkan pula pertanyaan 'Umar ibn Khattâb kepada Wahb ibn Munabbih tentang bagaimana malaikat boleh memakan

pohon yang dilarang kepada Âdam itu. 107 Di samping dari Wahb ibn Munabbih, al-Thabarî juga mengemukakan

riwayat isrâ'îliyyât serupa dari Ibn Abbâs, Ibn Mas'ûd, Ibn Ishâq, dan sejumlah sahabat lainnya. Ia juga banyak mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang berasal dari Asbat dan diterimanya dari al-Sudî. Riwayat isrâ'îliyyât itu, di samping berbicara tentang proses masuknya Iblis ke dalam surga, juga berbicara tentang cara yang digunakan oleh Iblis ketika membujuk Âdam dan Hawa. Dari Ibn Ishâq umpamanya, ia mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang mengatakan bahwa ahli Taurat menyimpulkan, yang menggoda Âdam dan Hawa adalah ular dan mereka mengemukakan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan

oleh Ibn Abbâs di atas. 108 Menghadapi berbagai riwayat isrâ'îliyyât yang dikemukakannya tentang

Âdam, Iblis dan pohon itu, al-Thabarî berkomentar bahwa pendapat yang paling benar menurutnya adalah pendapat yang sesuai denga kitab Allah (al-Qur'ân). Pada dasarnya, Allah telah menggambarkan bahwa Iblis menggoda Âdam dan isterinya sehingga aurat mereka terbuka. Dalam proses penggodaan itu, Iblis berkata kepada mereka, Tuhan kalian tidak melarang kalian untuk mendekati pohon itu. Bahkan, jika melakukannya, kalian akan menjadi malaikat dan akan langgeng di dalam surga. Iblis pun bersumpah bahwa ia hanyalah sebagai penasehat. Dalam memberitakan ihwal musuh-Nya itu, Allah telah mengatakan bahwa Iblis telah bersumpah kepada mereka (wa qasamahumâ). Ini mereupakan suatu bukti yang jelas bahwa Iblis berbicara langsung dengan mereka, baik ia menjelma sebagai Iblis sendiri atau merasuk ke dalam raga yang lain. Di dalam bahasa Arab tidak berlaku (tidak masuk akal) ungkapan "qasama fulânun fulânan bi kadza wa kadza" bila pengucapannya tidak bertemu langsung dengan seseorang

107 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 235 108 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 237 107 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 235 108 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 237

Tentang sebab masuknya Iblis ke dalam surga, padahal ia telah diusir dari sana, maka apa yang dikemukakan oleh Ibn Abbâs dan Wahb Ibn Munabbih tidak dapat dijadikan pegangan untuk menjawabnya karena hanyalah berupa pendapat yang tidak dapat diterima akal, juga tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai argumen. Semuanya itu serba kemungkinan. Boleh jadi apa yang dikemukakan

para mufassir itu benar. 109 Dalam hal ini pun, al-Thabarî mengomentari riwayat isrâ'îliyyât yang

berasal dari Ibn Ishâq dengan mengatakan bahwa ia sendiri tidak yakin dengan apa yang dikatakannya, yaitu tentang cara yang digunakan Iblis ketika menggoda Âdam dan Hawa. Apa yang diucapkannya, menurut al-Thabarî, hanyalah pembicaraan-pembicaraan yang dijustifikasi oleh kitab suci yang ada di tangannya. Bagaimana mesti percaya kepada sesuatu yang diragukan oleh Ibn Ishâq sendiri. Bila apa yang dikatakannya benar, tentunya Ibn Abbâs tidak akan

mengemukakan riwayat lain. 110 Namun, di dalam komentar yang diberikan oleh al-Thabarî tidak

ditemukan studi kritisnya terhadap keraguan para rawi tentang ungkapan Wahb Ibn Munabbih bahwa para malaikat memakan buah pohon untuk keabadian mereka. Menurut Abû Syahbah, sanad riwayat isrâ'îliyyât tentang ini adalah

sangat dha'if, dan berada pada derajat tertolak. 111 Ia pun tidak mengkritik terhadap matn riwayat di atas. Padahal, di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak mungkin

terjadi. Umpamanya, bagaimana para malaikat makan, atau betulkah pada zaman dulu ular memiliki bentuk berbeda dengan zaman sekarang.

109 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 238 110 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 238 111 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-

Tafsîr,h. 180 Tafsîr,h. 180

Di antara ayat yang berbicara tentang kisah Nûh dan perahunya adalah firman Allah pada surat Hûd/11 ayat ke-38. Dalam mengomentari kisah ini, al- Thabarî mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât dari Qâsim, dari Husain, dari Hajjâj, dari Mufadhdhil ibn Fadhalah, dari 'Alî ibn Jad'an, dari Yusuf ibn Mahran, dari Ibn Abbâs. Riwayat isrâ'îliyyât itu mengatakan bahwa para hawâriyyûn berkata kepada Isa ibn Maryam, "Utuslah kepada kami seorang laki-laki yang mengetahui kapal dan nanti menceritakannya kepada kami". Isa kemudian berangkat bersama mereka ke sebuah bukit. Di sana ia mengambil segenggam tanah yang dalam riwayat itu dikatakan berasal dari tulang mata kaki Hâm ibn Nûh. Dengan tongkatnya ia kemudian memukul bukit sehingga berdirilah Hâm –dengan izin

Allah– sambil meniup-niup tanah. 112 Terjadilah dialog antara Isa dan Hâm. "Dalam keadaan beginikah anda

meninggal?" Tanya Isa. Hâm menjawab: "Tidak, tetapi aku mati masih dalam keadaan muda…". Isa bertanya: Ceritakanlah kepadaku tentang perahu Nabi Nûh." Hâm menjawab: "Panjang kapal tersebut adalah seribu dua ratus hasta, lebarnya enam ratus hasta, dan terdiri dari tiga tingkat; tingkat pertama untuk binatang ternak dan binatang liar, tingkat kedua untuk manusia, dan tingkat ketiga untuk burung-burung. Ketika kotoran binatang semakin banyak, Allah memerintahkan Nabi Nûh untuk menarik ekor gajah. Ketika Nabi Nûh menariknya, datanglah seekor babi jantan dan betina lalu membuang kotoran di hadapannya. Ketika seekor tikus jatuh pada tambang kapal, Nabi Nûh digigitnya. Maka, Allah memerintahkan Nabi Nûh memukulkan tongkatnya di antara kedua mata singa. Lalu, keluarlah dari hidung singa itu dua ekor kucing jantan dan betina. Keduanya kemudian menghardik tikus itu." Isa bertanya lagi, "Bagaimanakah Nûh mengetahui bahwa daratan telah tenggelam?". Hâm

112 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-12, h. 395-396 112 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-12, h. 395-396

d. Isrâ'îliyyât tentang Mûsa dan sapi Bani Israil

Surat al-Baqarah/2 ayat ke-73 merupakan rangkaian dari beberapa ayat yang berbicara tentang kisah penyembelihan sapi oleh Banî Isrâ'îl. Ayat ini tidak menjelaskan bagian dari sapi yang digunakan untuk memukul mayat itu. Kisah itu menjelaskan bahwa setelah dipukul, mayat itu hidup kembali. Meskipun persoalan itu tidak penting, sebagaian ulama tafsir ada yang menjelasakannya dengan merujuk kepada isrâ'îliyyât. Dalam hal ini, al-Thabarî mengutip beberapa riwayat isrâ'îliyyât yang memiliki materi berbeda-beda. Satu riwayat mengatakan bahwa yang digunakan untuk memukul mayat itu adalah bagian paha sapi. Riwayat lain mengatakan bagian yang dipukulkan adalah pundaknya, dan riwayat

lannya lagi menyatakan dengan bagian tulangnya. 114 Al-Thabarî memberikan komentar terhadap beberapa riwayat isrâ'îliyyât

ini. Ia berpendapat bahwa selama Allah mengglobalkan hal ini, dan Rasulullah tidak memperincinya, tentu tidak ada yang berhak untuk menjabarkannya. Namun di akhir pembicaannya, ia mengatakan bahwa riwayat isrâ'îliyyât yang paling benar adalah yang mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk memukul tubuh orang yang terbunuh itu agar dapat hidup kembali. Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan tentang potongan daging bagian mana yang digunakan untuk memukul tubuh mayat itu. Boleh jadi bagian ekornya, ataupun

lehernya. 115

e. Isrâ'îliyyât tentang peninggalan Mûsa

Kisah tentang peninggalan Nabi Mûsa diabadikan oleh Allah dalam al- Qur'ân pada surat al-Baqarah/2 ayat ke-248. Al-Thabarî menyatakan bahwa pendapat yang paling mendekati kepada kebenaran adalah Allah memberitakan

113 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-12, h.396 114 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 356-360 115 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 285-286 113 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-12, h.396 114 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 356-360 115 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 285-286

atas, karena semuanya itu mungkin saja benar adanya. 116

f. Isrâ'îliyyât tentang Kisah Mûsa dan Mâ'idah

Kisah tentang permintaan pengikut Mûsa agar Allah menurunkan makanan dari langit diabadikan dalam al-Qur'ân pada surat al-Mâ'idah/5 ayat ke- 112 sampai 114. Untuk menjelaskan kisah ini, al-Thabarî mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang menjelaskan tentang bentuk makanan yang diturunkan Allah. Riwayat isrâ'îliyyât yang berasal dari Ibn Abbâs mengatakan, bahwa makanan yang diturunkan itu berupa ikan dan roti. Riwayat isrâ'îliyyât lainnya yang juga berasal dari Ibn Abbâs memaparkan, bahwa makanan yang diturunkan adalah segala macam makanan kecuali daging. Wahb Ibn Munabbih, dalam riwayat isrâ'îliyyât lainnya mengemukakan bahwa, hidangan yang Allah turunkan itu

adalah berupa buah-buahan yang berasal dari surga. 117 Setelah mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât di atas, al-Thabarî mengatakan

bahwa pendapat yang benar tentang hidangan (mâ'idah) ini adalah bahwa hidangan itu boleh dimakan. Boleh jadi makanan itu berupa ikan dan roti; mungkin juga berupa buah-buahan dari surga. Ia menegaskan bahwa tidak ada manfaat untuk mengetahuinya lebih rinci. Apabila ayat itu dibaca secara zhahir,

maka memungkinkan sesuai dengan bentuk hidangan yang diturunkan tersebut. 118

116 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 388 117 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 131-134 118 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 135 116 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 388 117 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-6, h. 131-134 118 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-2, h. 135

Salah satu kisah masa lampau yang sering dijelaskan oleh para mufassir dengan menggunakan riwayat isrâ'îliyyât adalah kisah ashhâb al-kahf. Dalam hal ini, al-Thabarî mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât yang bersumber dari Ibn Ishâq yang banyak mengetahui kisah itu. Ia juga banyak mengutip riwayat isrâ'îliyyât yang berasal dari Wahb ibn Munabbih, Ibn Abbâs, dan Mujâhid. Riwayat-riwayat isrâ'îliyyâtt tersebut pada umumnya berbicara tentang bagaimana sebenarnya keadaan ashhâb al-kahf itu, yakni menyangkut nama-nama, zaman, tempat, nama anjing (apakah bernama Qithmîr atau yang lainnya), dan warna anjingnya (merah

atau kuning). 119 Tentang riwayat isrâ'îliyyât yang dikemukakannya itu, al-Thabarî tidak

berkomentar apa-apa, baik terhadap sanad maupun matn-nya. Padahal menurut Ibn Katsîr, cerita-cerita yang berkaitan dengan penamaan anggota ashhâb al-kahf dan anjingnya yang umum berasal dari ahli Kitab kebenarannya perlu dikaji lebih

lanjut. 120

h. Isrâ'îliyyât tentang Kisah Ibrâhîm dan Pembangunan Ka'bah

Kisah ini dikemukan dalam al-Qur'ân pada surat al-Baqarah/2 ayat ke-127. Para muafssir telah berbeda pendapat tentang pondasi bangunan (qawâid) yang dibangun oleh Ibrâhîm dan putranya Ismâ'îl, apakah pondasi itu baru, ataukah hanya meneruskan sisa bangunan yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, al- Thabarî mengemukakan beberapa riwayat isrâ'îliyyât. Diantaranya adalah riwayat yang menyatakan bahwa yang mereka bangun adalah benda yang dijatuhkan

Allah dari langit untuk Âdam. 121 Riwayat isrâ'îliyyât lainnya menyatakan, bahwa ketika Âdam turun dari

surga, kedua kakinya berada di bumi, sedangkan kepalanya ada di langit mendengarkan pembicaraan penduduk langit yang sedang berdoa. Para malaikat

119 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-17, h. 643-648 120 Lihat Abû al-Fidâ' Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adhim, jil. ke-2, 248 121 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 347 119 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-17, h. 643-648 120 Lihat Abû al-Fidâ' Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adhim, jil. ke-2, 248 121 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 347

pertama untuk membangun Ka'bah. 122 Al-Thabarî pun mengemukakan riwayat isrâ'îliyyât dari Ka'ab al-Ahbâr

yang mengatakan bahwa, sebelum Allah menciptakan bumi, Baitullah itu berupa buih di atas air. Dari buih inilah pula bumi dibentangkan. Ka'ab al-Ahbâr mengatakan bahwa ia pun menerima berita dari 'Ali Ibn Abî Thâlib yang mengatakan bahwa Ibrâhîm bertolak dari Armenia dengan menumpang perahu yang memberikan petunjuk pembangunan rumah, seperti halnya laba-laba yang membangun sarangnya. Berat perahu itu tidak mampu diangkat oleh tiga puluh

laki-laki. 123 Menurut al-Thabarî, pendapat yang benar adalah sesungguhnya Allah

memberitakan bahwa Ibrâhîm, kekasih-Nya, dan anaknya Ismâ'îl, mengangkat batu pertama itu dari bait al-haram. Boleh jadi benda itu berupa barang yang diturunkan Allah beserta Âdam atau berupa kubah yang terbentuk dari buih air, atau berupa yaqût (dzarrah) yang diturunkan Allah dari langit; Boleh jadi pula berupa sisa bangunan yang dibuat Âdam yang kemudian dibangun lagi oleh Ibrâhîm bersama putranya. Kita tidak mengetahui mana yang benar di antara pendapat-pendapat di atas, karena kebenarannya hanya dapat ditetapkan dengan berita yang datang dari Allah sendiri atau dari rasul-nya. Tidak terdapat berita yang dapat dijadikan argumentasi yang menyebabkan kita harus tunduk. Juga,

122 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, 4. 348 123 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 549 122 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, 4. 348 123 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 549

i. Isrâ'îliyyât tentang kenaikan Isa al-Masîh

Dari sekalian kisah Isa dalam al-Qur'ân di antaranya adalah kisah tentang kenaikannya ke langit. Kisah ini terdapat pada surat al-Nisâ/4 ayat ke-156. Al- Qur'ân memang tidak menjelaskan secara terperinci bagaimana proses penyerupaan dan kenaikan dalam kisah itu sehingga persoalan ini kerap menjadi bahan controversi di kalangan umat Islam. Umpamanya, masih diperselisihkan apakah yang diserupakan dengan Isa itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi, hanya satu orang atau semua sahabat Isa yang ada pada kejadian itu memang berada satu rumah dengannya. Bila ada uraian tentang itu, sudah dapat dipastikan berasal dari riwayat isrâ'îliyyât. Dalam persoalan ini, al-Thabarî mengutip riwayat isrâ'îliyyât itu. Ia mengemukakan dua macam riwayat yang yang masing-masing didukung oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dari berasal dari Wahb Ibn Munabbih yang mengatakan bahwa yang diserupakan dengan wajah Isa adalah seluruh sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak membunuh Nabi Isa, orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya sama. Akhirnya, mereka membunuh salah seorang

sahabatnya, sedangkan Isa sendiri diangkat ke langit. 125 Adapun riwayat isrâ'îliyyât kedua yang dikutip oleh al-Thabarî, di

antaranya berasal dari Qatâdah, bahwa yang diserupakan dengan Isa itu adalah salah seorang dari sahabat saja. Ketika masuk, orang-orang Yahudi kemudian membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan Isa sendiri diangkat ke

langit. 126 Materi riwayat isrâ'îliyyât di atas dikritik oleh al-Thabarî dengan memilih

salah satu yang dianggapnya paling benar. Dalam hal ini, ia lebih memilih riwayat

124 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 550 125 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 12 126 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 14 124 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-1, h. 550 125 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 12 126 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, jil. ke-4, h. 14

sahabatnya. 127 Namun, al-Thabarî tidak yakin dengan pilihannya itu, sebab ia juga

menyebutkan kemugkinan adanya riwayat isrâ'îliyyât lain yang lebih mendekati kepada kebenaran. Umpamanya, ia mengatakan bahwa boleh jadi riwayat yang dikemukakan oleh 'Abd al-Samud ibn Mi'qal dari Wahb ibn Munabbih itulah yang benar. Riwayat itu menyatakan bahwa sebelum orang-orang Yahudi masuk ke dalam rumah, sebagian sahabatnya banyak yang keluar. Oleh karena itu, hanya Isa dan seorang sahabatnyalah yang ada di dalam rumah ketika orang-orang Yahudi itu masuk. Sahabatnya itu kemudian diserupakan dengan dengannya lalu

dibunuh, sedangkan ia sendiri diangkat ke langit. 128 Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Thabarî memang

cukup banyak mengutip riwayat isrâ'îliyyât dalam tafsirnya. Riwayat –riwayat itu berkisar tentang awal penciptaan langit dan bumi, awal penciptaan manusia dan kisah-kisah para nabi bersama umatnya. Sehingga sangat jelas terlihat bagimana eksistensi riwayat-riwayat isrâ'îliyyât dalam tafsir al-Thabarî ini.