Indikator Bias Jender dalam Penafsiran

2. Indikator Bias Jender dalam Penafsiran

Adapun indikator adanya bias jender dalam penafsiran al-Qur`ân, dapat dilihat pada ada tidaknya diskriminasi terhadap salah satu pihak, baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Al-Qur`an memang mengakui perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination) antara keduanya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur'ân, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga (Q. s., al- Rûm/30: 21) sebagaimana cikal bakal terwujudnya komonitas ideal dalam satu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr) (Q. s., Saba/34: 15). Diskriminasi terhadap salah satu pihak, hanya akan melahirkan ketidakadilan jender.

Manifestasi dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan jender ini, antara lain dapat berupa:

a. Subordinasi; Ordinat adalah titik pusat, sementara subordinat adalah sesuatu yang bergantung pada titik tersebut. Secara sederhana, subordinasi berarti pengkondisian atau penetapan seseorang pada keadaan yang tidak mandiri, tidak diakui dan tentu saja tidak diperhitungkan. Kecuali dia harus melekat dan bergantung, atau subordinat pada orang lain. Relasi jsender yang timpang bias mengakibatkan subordinasi salah satu jenis kelamin, biasanya perempuan, yaitu

ketika keberadaan perempuan tidak diakui dan tidak diperhatikan. 11

11 Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang

Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan, tt), h. 16 Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan, tt), h. 16

Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi jender. 12 Mansour Fakih mencontohkan program Revolusi Hijau yang hanya

memfokuskan pada petani laki-laki. Program ini telah nyata memarjinalkan kaum perempuan yang telah lama bergelut dengan pertanian. Karena, definisi petani hanya untuk petani laki-laki; baik mengenai kredit petani maupun pelatihan untuk para petani. Semua hanya diberikan kepada petani laki-laki. Para petani perempuan semakin tergusur dengan hadirnya teknologi pertanian, karena mereka mengandalkan alat manual ani-ani. Sementara teknologi yang dihadirkan, hanya

dilatihkan kepada laki-laki. 13

c. Stereotype; Stereotipe berarti pelabelan secara negatif terhadap salah satu pihak dalam pola hubungan relasi antar dua pihak. Pelabelan muncul karena ada relasi kuasa yang saling mempengaruhi dan mendominasi. Biasanya, pihak yang dominan akan lebih banyak melakukan pelabelan negatif, memproduksinya terus-menerus dan menyebarkannya ke masyarakat luas. Pelabelan ini seringkali dijadikan legitimasi untuk membenarkan tindakan dari satu pihak atau kelompok yang

dominan kepada pihak atau kelompok yang lain. 14

12 Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang

Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 18

13 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformaasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999), h. 73

14 Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 22-23 14 Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 22-23

harus bekerja secara profesional oleh perusahaan atau kantor tempat dia bekerja. 15 Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan

permanen. Peran yang tidak bisa diganggu-gugat dan tidak bisa dialihtugaskan kepada laki-laki. Peran ini dikonstruksikan masyarakat sebagai kodrat perempuan, bukan sebagai jender yang dibentuk masyarakat sendiri. Sementara, karena capaian pendidikan perempuan semakin tinggi, permintaan pasar akan tenaga kerja perempuan juga meningkat. Dalam situasi seperti itu tidak sedikit perempuan yang masuk ke dalam sektor-sektor formal sebagai tenaga kerja. Akan tetapi, masuknya perempuan ke sektor publik tidak senantiasa diiringi dengan berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh anggapan tentang tanggung jawab yang dilimpahkan kepada perempuan dalam mengurus rumah tangga. Paling jauh pekerjaan itu dialihtugaskan kepada perempuan lain, baik itu pekerja rumah tangga, atau anggota keluarga perempuan lainnya. Dan meskipun tugas itu dialihtugaskan kepada pihak lain, namun tanggung jawabnya masih tetap ada pada pundak perempuan. Akibatnya, perempuan mengalami beban ganda (double burden). Beban di wilayah domestik

dan beban kerja di wilayah publik. 16

15 Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 19

16 Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h

Jika beban ganda merupakan bentuk ketidakadilan jender, maka menghapuskan beban ganda dari perempuan merupakan bentuk keadilan jender. Cara yang terbaik untuk mengatasi persoalan beban kerja itu adalah dengan memberikan nilai dan penghargaan yang sama untuk kerja produksi dan kerja reproduksi. Dengan itu lelaki juga didorong untuk masuk ke wilayah kerja reproduksi tanpa merasa mendapatkan sanksi sosial berupa perendahan atas

perubahan peran itu. 17

e. Violence (kekerasan); Violence (kekerasan) secara sederhana diartikan sebagai ketidaknyamanan yang dialami seseorang. Kekerasan yang menimpa perempuan, umumnya karena perbedaan jender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kekerasan yang berdimensi ekonomi yang disebut juga sebagai penelantaran. Kekerasan fisik merujuk pada serangan terhadap kondisi fisik seseorang, misalnya pemukulan, penganiayaan, pembunuhan. Kekerasan psikis merujuk pada serangan terhadap kondisi mental seseorang, misalnya merendahkan, menghina, memojokkan, menciptaan ketergantungan, pembatasan aktivitas, ancaman termasuk yang sangat subtil melakukan rayuan yang membuat perempuan tidak berdaya. Kekerasan seksual mengarah pada serangan atas alat- alat kelamin/seksual atau reproduksi, misalnya pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual tertentu, perkosaan (termasuk dengan menggunakan alat/bukan

penis), perbudakan seksual. 18

17 Abdul Mustaqim, "Feminisme dalam Perspektif Riffat Hassan" Tesis S2 Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga 1999, h. 60 Bandingkan dengan Wardah Hafizh, "Feminisme Islam" dalam Majalah

Suara Hidatullah 10/VIII Februari, 1996, h. 66-67 18 Baca Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam Agenda Sosio-

Kultural dan Politik Peran Perempuan, (Ciputat, el-Kahfi, 2002), Cet. I, h. 58-59; lihat juga Trisaktihandayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), Edisi Revisi, Cet. II, h. 14-19. Lihat juga Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformaasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 12