Urgensi Isrâ`îliyyât dalam Perkembangan Ajaran Islam

B. Urgensi Isrâ`îliyyât dalam Perkembangan Ajaran Islam

Dalam suatu artikel yang bagus tentang isrâ'îliyyât, Gordon Newby menyatakan bahwa isrâ'îliyyât itu, berperan penting dalam penulisan berbagai tafsir al-Qur'ân dan berbagai sejarah para nabi-nabi pada periode awal Islam. Walaupun fungsi formatif periode itu kemudian mengendor ketika beberapa ahli hukum dinasti 'Abbasiyah awal, khususnya al-Syâfi'î (w.820) mengembangkan kerangka kerja teoritik untuk pembentukan hukum Islam. Penyebab menurunnya penggunaan isrâ'îliyyât adalah penetapan Sunnah Nabi Muhammad sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'ân. Sehingga sumber lain (seperti yang terkandung dalam isrâ'îliyyât) gagal memenuhi kriteria sebagai sumber yang

37 Lihat Ahmad Ibrâhîm al-Syarîf, Daulah al-Rasûl fi al-Madînah, Kuwait: 1972, h. 76 38 Jawwâd Ali, Târîkh al-Arab Qabl al-Islam, jil. ke-1, h. 1946. Lihat juga Ibn Jarîr al-Thabarî,

Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al- Islâmiyyah, Dâr Hijr, 2001 M/1422 H), cet. ke-1, jil. ke-24, h. 623 Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al- Islâmiyyah, Dâr Hijr, 2001 M/1422 H), cet. ke-1, jil. ke-24, h. 623

Agama Islam sebagai kuntinuitas ajaran ilahi terdahulu tentunya banyak memiliki kesesuaian dan kesamaan dengan ajaran agama samawi sebelumya dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Riwayat-riwayat shahîh yang bersumber dari mereka tentunya tetap perlu dipertimbangkan, karena Rasulullah sendiri pernah pernah mengemukakan kisah orang zaman dulu (isrâ'îliyyât) ketika menjelaskan tentang niat dan bolehnya bertawasul dengan amal shaleh. Dalam hadîts tersebut menjelaskan bahwa, pada zaman dulu ada tiga orang laki-laki bepergian, lalu

mereka beristirahat di dalam sebuah gua, 40 Bahkan, beberapa tradisi Yahudi

39 Gordon Newby, "Tafsîr Isrâ'îliyyât", (Journal of the American Academy of Religion, vol. 4747, no. 4), h. 695

40 Dalam hadîts tersebut menjelaskan bahwa, ada tiga orang dari golongan orang-orang dahulu, tentunya dari ahli Kitab, mereka sama-sama berangkat bepergian. Di tengan perjalanan mereka

terpaksa menempati sebuah gua guna bermalam. Pada saat mereka sudah berada di dalam gua, tiba- tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung dan menutupi pintu gua itu. Mereka sepakat bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan dari tempat itu selain berdoa kepada Allah dengan amal shaleh yang pernah diperbuat. Salah seeorang dari mereka mengadu kepada Allah, bahwa ia mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia. Ia tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum kepada mereka, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Pada suatu hari ia sangat jauh mencari daun-daunan untuk makanan ternak. Sebelum ia pulang, kedua orang tua sudah tertidur. Ia enggan membangunkannya, Selanjutnya ia pun terus memerah air susu untuk keduan orangtuanya itu. Ia enggan untuk membangunkannya ataupun memberikan minuman tersebut kepada orang lain sebelum keduanya minum. Ia tetap menantikan keduanya bangun dan gelas itu tetap berada di tangannya, sehingga fajarpun menyingsing, sedang anak-anak di sampingnya menangis kerana menahan lapara.Lalu orangtuanya bangun meminum minuman itu. Kemudian orang tersebut berdoa kepada Allah, jikalau ia mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaan- Nya, maka lapanglah kesukaran yang sedang mereka hadapi, yakni batu besar yang menutup pintu gua itu. Sealanjutnya batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Keemudian orang yang kedua mengadu kepada Allah, bahwa ia mempunyai sepupu perempuan, orang yang sangat dicintainya, lalu ia menginginkan untuk berhubungan badan, namun perempuan itu menolaknya, sehingga pada suatu tahun mendapatkan kesusahan dan datang kepadanya. Kemudian ia memberikan seratus duapuluh dinar kepada perempuan itu dengan syarat mau berhubungan badan dan perempuan itu menyetujuinya. Setelah ia sudah berada diantara dua pahanya, perempuan itu mengingatkannya untuk takut kepada Allah. Akhirnya ia sadar dan meninggalkan perempuan itu. Kemudian ia berdoa kepada Allah, bahwa jikalau ia melakukan itu dengan niat ikhlas, maka lapangkanlah kesusahan yang sedang mereka hadapi. Kemudian batu besar itu bergeser lagi, namun mereka masih belum bias keluar dari gua itu. Selanjutnya orang yang ketiga juga mengadu kepada Allah, bahwa ia mengupah beberapa orang buruh untuk bekerja, semua upah telah diserahkan kepada masing-masing, kecuali tinggal satu orang yang belum mengambil upah dan pergi. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu diakembangkan sehingga hartanya tadi bertambah banyak. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari buruh itu mendatanginya, dan meminta kembali upah yang terpaksa menempati sebuah gua guna bermalam. Pada saat mereka sudah berada di dalam gua, tiba- tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung dan menutupi pintu gua itu. Mereka sepakat bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan dari tempat itu selain berdoa kepada Allah dengan amal shaleh yang pernah diperbuat. Salah seeorang dari mereka mengadu kepada Allah, bahwa ia mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia. Ia tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum kepada mereka, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Pada suatu hari ia sangat jauh mencari daun-daunan untuk makanan ternak. Sebelum ia pulang, kedua orang tua sudah tertidur. Ia enggan membangunkannya, Selanjutnya ia pun terus memerah air susu untuk keduan orangtuanya itu. Ia enggan untuk membangunkannya ataupun memberikan minuman tersebut kepada orang lain sebelum keduanya minum. Ia tetap menantikan keduanya bangun dan gelas itu tetap berada di tangannya, sehingga fajarpun menyingsing, sedang anak-anak di sampingnya menangis kerana menahan lapara.Lalu orangtuanya bangun meminum minuman itu. Kemudian orang tersebut berdoa kepada Allah, jikalau ia mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaan- Nya, maka lapanglah kesukaran yang sedang mereka hadapi, yakni batu besar yang menutup pintu gua itu. Sealanjutnya batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Keemudian orang yang kedua mengadu kepada Allah, bahwa ia mempunyai sepupu perempuan, orang yang sangat dicintainya, lalu ia menginginkan untuk berhubungan badan, namun perempuan itu menolaknya, sehingga pada suatu tahun mendapatkan kesusahan dan datang kepadanya. Kemudian ia memberikan seratus duapuluh dinar kepada perempuan itu dengan syarat mau berhubungan badan dan perempuan itu menyetujuinya. Setelah ia sudah berada diantara dua pahanya, perempuan itu mengingatkannya untuk takut kepada Allah. Akhirnya ia sadar dan meninggalkan perempuan itu. Kemudian ia berdoa kepada Allah, bahwa jikalau ia melakukan itu dengan niat ikhlas, maka lapangkanlah kesusahan yang sedang mereka hadapi. Kemudian batu besar itu bergeser lagi, namun mereka masih belum bias keluar dari gua itu. Selanjutnya orang yang ketiga juga mengadu kepada Allah, bahwa ia mengupah beberapa orang buruh untuk bekerja, semua upah telah diserahkan kepada masing-masing, kecuali tinggal satu orang yang belum mengambil upah dan pergi. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu diakembangkan sehingga hartanya tadi bertambah banyak. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari buruh itu mendatanginya, dan meminta kembali upah yang

menarik mereka ke dalam Islam, atau mungkin karena Nabi menganggapnya sebagai bagian dari tradisi yang patut dilestarikan.

Adapun tuduhan pemalsuan kitab suci oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menjadi isu sentral pada masa awal Islam, meskipun telah dikenal secara luas. Baru kemudian, mungkin karena intensitas hubungan kaum Ahli Kitab dengan Muslim semakin meningkat pada masa-masa kejaan Islam, isu tersebut menjadi polemik yang luas dan tajam; studi tentang Yudaisme menjadi menarik. Banyak penulis muslim yang membahas tentang keyakinan dan praktek

belum diambilnya. Ia mengatakan bahwa semua yang dilihat oleh buruh itu baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. adalah miliknya. Kemudian buruh itu mengambil hartanya tanpa sisa sedikit pun. Lalu ia berdoa kepada Allah, jikalau ia mengerjakan yang demikian itu dengan niat mengharapkan keridhaan-Nya, maka lapangkanlah mereka dari kesukaran yang sedang dihadapi. Akhirnya, batu besar itu pun terbuka dan merekapun keluar dari gua itu dengan selamat. Baca Abû 'Abdillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr al-Yamâmah, 1987), cet. ke-5, jil. ke-8, h. 298. Lihat juga Muslim Ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, (Berut: Dâr al-Turâs al-Arabî, tt), jil. ke-4, h. 2099:

41 Al-Bukhârî dan Muslim (juga perawi lainnya) meriwayatkan bahwa ketika hijrah ke Madinah, Nabi menemukan orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Âsyûrâ'. Nabi

bertanya mengapa mereka puasa, di mana mereka menjawab, bahwa hari tersebut adalah hari baik dan Allah telah melepaskan Bani Israil dari musuh-musuh mereka pada hari tersebut. Maka Nabi menganggap dirinya lebih berhak melaksanakannya dan menyuruh para sahabat untuk ikut berpuasa pada hari tersebut. Lihat al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâr, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987), jil. ke-2, h. 704; Muslim, Shahîh Muslim, (Beirût: Dâr Ihnyâ' al-Turâts al-Arabî, tt), jil. ke-2, h. 795. Hadîts ini memberikan kesan pengadopsian Nabi terhadap tradisi Yahudi. Bagi muslim ortodoks mungkin ini sangat tidak nenyenangkan. Bagaimana mungkin Nabi mengikuti tradisi Yahudi sementara beliau sendiri menyuruh kaun muslimin untuk menyalahi mereka, Yusuf al-Qaradhawî menjelaskan ini lebih rinci. Sebagaimana dikemukakan al-Qaradhawî, memang ada hadîts lain yang mengatakan bahwa Nabi telah melaksanakan puasa hari 'Asyûra sejak sebelum hijrah. Orang-orang jahiliyah juga telah melaksanakannya sebelum itu. Lihat [http://wwwqaradawi.net]. Untuk hadîts puasa 'Asyûrâ' jahiliyah, lihat antara lain al-Bukhârî, shahîh al-Bukhârî jil. ke-2, h. 704 dan Muslim, Shahîh Muslim, jil. ke2, h. 792. Jadi , menurut al-Qaraqhawî, meskipun telah mengatakan apa yang beliau katakan, Nabi tidak melakukan puasa 'Asyûrâ' karena mengikuti Yahudi. Lebih-lebih lagi, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi bercita-cita untuk mengiringi puasa hari Asyûra dengan puasa sehari sebelumnya, yakni tanggal 9 Muharram, untuk menyalahi tradisi Yahudi dalam berpuasa. Lihat Muslim, Shahîh Muslim, jil. ke-2, h. 797. Jikapun dipahami bahwa Nabi telah mengadopsi tradisi Yahudi, sebenarnya maklum saja, karena pada masa awal hijrah, Nabi sedang menarik hati mereka kepada Islam. Hal ini juga tidak bertentangan dengan al-Qur'ân yang diturunkan termasuk untuk membenarkan ajaran Kitab sebelumnya (Q., S. al-Baqarah/2: 41). Sangat mungkin, bahkan tradisi puasa 'Asyûrâ' yang dilakukan orang-orang Arab sebelum Islam adalah juga berasal dari tradisi orang-orang Yahudi.

agama Yahudi, dan mereka menjadikan tahrîf salah satu isu penting yang tidak dapat ditinggalkan. Namun mereka tidak semuanya sepakat tentang pengertian tahrîf, yang dituduhkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah hanya berupa penyelewengan penafsiran atau pun pemalsuan teks kitab suci itu sendiri. Ibn Hazm (w.456 H/1064 M) adalah salah seorang tokoh penulis muslim yang paling gencar menyerang orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan dengan tegas menyebutkan, dengan menunjuk sejumlah "fakta" berdasarkan sumber-sumber mereka sendiri, bahwa mereka telah melakukan tahrîf dalam pengertian mengubah atau memalsukan teks kitab suci. Menurut Ibn Hazm teks-teks kitab suci yang ada di tangan orang-orang Yahudi itu, yang mereka namakan Taurat, penuh dengan berbagai pemalsuan. Buktinya, teks-teks yang menjadi pegangan satu aliran diantara mereka berbeda dengan aliran lain; Orang-orang Samaria mengatakan bahwa teks Taurat yang berada di tangan mereka adalah yang benar dan asli sementara teks-teks yang menjadi pegangan kelompok Yahudi lainnya

telah rusak dan dipalsukan (munharifah mubaddalah). 42 Tidak semua ulama Islam sepakat dengan Ibn Hazm. Menurut Lazarus-

Yafeh, Ibn Khaldûn menolak tahrîf dalam pengertian penghapusan teks kitab suci, karena tradisi agama menghaalangi penganutnya untuk melakukan hal

tersebut. 43 Kitab suci dalam agama manapun selalu dijunjung tinggi oleh penganutnya, maka bagaimana mungkin suatu umat dituduh telah merusak kitab

suci mereka sendiri? Pernyataan al-Qur'ân tentang tahrîf mengacu pada pemberian peringatan atau larangan untuk terlalu berharap semua orang Yahudi akan bergabung dalam risalah Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad. Artinya, jika kitab yang telah ada di tangan mereka sendiri, yang diturunkan dalam tradisi mereka dan telah

42 Ibn Hazm, al-Filshâl fî al-Milal wa al-Ahwâ' wa al-Nihal, (Cairo: Maktabah al-Khânijî, tt), jil. ke-1, h. 94

43 Lazarus-Yafeh mengutip pandangan Ibn Khaldûn tersebut dari Muqaddimahnya, tetapi ia kemudian mengatakan bahwa most printed editions omit this remark. Lihat Lazarus-Yafeh, 'Tahrîf",

The Encylopaeda of Islam.

merupakan keyakinan bangsa mereka dari zaman dulu, mereka selewengkan pengertiannya untuk memenuhi selera nafsu, bagaimana mungkin dapat diharap mereka akan beriman kepada al-Qur'ân yang mungkin tampak asing dan baru bagi mereka. Sebenarnya mereka telah berani melawan kitab suci, tetapi mereka

melakukannya dengan cara menyelewengkan pengertiannya. 44 Jadi berdasarkan teori ini, 45 tahrîf yang disebutkan al-Qur'ân lebih cenderung untuk dipahami

sebagai penyelewengan dalam memberi makna, bukan mengubah teks. Al-Qur'ân juga tampak berhati-hati dalam mengeluarkan tuduhan ini. Tidak semua orang Yahudi melakukannya, kata al-Qur'ân, tetapi hanya sebagian dari mereka (Q., S. al-Baqarah/2: 75).

Ayat-ayat yang diturunkan berkaitan dengan orang Yahudi yang bersikap tidak pantas terhadap Nabi Muhammad, misalnya dapat dilihat pada surat al-

Nisâ/4: 44-46. Menurut penuturan Ibn Abbâs, 46 adalah Rufâ'ah ibn Zayd, seorang tokoh Yahudi yang melakukan hal tersebut. Ketika berbicara dengan Nabi, Ia

melakukannya dengan cara yang kasar dan mengatakan: "dengarkan aku, bukan aku mendengarkanmu." Ia juga mengatakan "râ'inâ" denga memutar—mutar

lidahnya 47 untuk mencela Nabi. Al-Qur'ân memberi respon dengan mengatakan

44 Bagi umat manapun, ketika agama telah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka, melawan kitab suci bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tindakan tersebut akan sangat

berbahaya serta menimbulkan tekanan sosial dan psikologis yang berat. Namun demikian, dengan memberikan penafsiran terhadap kitab suci untuk membenarkan tindakan-tindakan tertentu, beban psikologis itu dapat ditekan dan secara sosial cenderung dapat diterima. Al-Qur'ân mengkritik sikap seperti ini, karena yang dicari bukan kebenaran tetapi pembenaran. Karena itu, al-Qur'ân menekankan pentingnya keterbukaan dan kejujuran dalam memahami kitab suci, jangan dita'wilkan untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu.

45 Diekstrak dari teori Ibn Khaldûn di atas. 46 Al-Thabarî, Jâmi al-Bayân, jil. ke-5, h. 116 47 Dalam surat al-Baqarah/2: 104, al-Qur'ân melarang orang-orang mukmin mengatakan

râ'inâ, tetapi unzhurnâ. Kedua kata ini mempunyai arti yang hampir bersamaan, yaitu: "dengarkanlah kami baik-baik" atau "perhatikanlah kami". Tetapi râ'inâ termasuk kata-kata kasar dalam percakapan dan kata ini sering digunakan orang-orang Anshâr pada masa jahiliyah. Lalu orang Yahudi menggunakan kata-kata tersebut ketika berbicara dengan Nabi, sebagai celaan tersembunyi terhadapnya. Lihat al-Qurthubî, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur'ân, jil. ke-2, h. 57; al-Thabarî, Jâmi al- Bayân, jil. ke-1, h. 468. Ada riwayat yang bahkan mengatakan bahwa râ'inâ adalah kata yang mengandung cercaan dalam bahasa orang Yahudi, namun riwyat ini di anggap dha'îf. Lihat Abû Syahbah, al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fî Kutub al-Tafsîr, (Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), h.

bahwa hal tersebut telah merupakan watak mereka. Nabi tidak perlu merasa terbebani dengan sikap mereka itu. Tuhan memang telah mengutuk mereka, sebab mereka sendiri telah kufur. Tahrîf telah merupakan bagian dari "kecerdasan" orang-orang Yahudi dalam mempermainkan kata-kata untuk mengalahkan lawan bicaranya. Kalau dalam Q., S. al-Baqarah/2: 75, dengan tegas dikatakan mereka telah melakukan tahrîf terhadap kalam Allah, dalam ayat di atas hanya disebutkan secara umum: yuharrifûn al-kalima 'an mawâdhi'ihî, mereka menyelewengkan kalimat-kalimat dari tempat-tempatnya (yang sebenarnya). Dapat saja dipahami bahwa mereka menggunakan pernyataan-pernyataan tidak pada tempat, dengan tujuan untuk mencela Nabi Muhammad dan Islam, ataupun mereka menukar- nukarkan pengertian kalimat-kalimat dalam kitab suci mereka. Menurut Mujâhid, tahrîf yang disebutkan di atas bahkan bermakna: orang-orang Yahudi telah

menggantikan isi Taurat. 48 Adalah sangat mungkin bahwa orang-orang Yahudi Madinah telah dengan

sengaja mengucapkan atau membacakan ayat-ayat Taurat secara keliru kepada Nabi Muhammad dan kaum muslimin untuk tujuan-tujuan tertentu. 49 Mereka

melakukan hal tersebut atas dasar perasaan superioritas mereka atas orang Arab dan Nabi Islam. Egoisme telah mengalahkan kejujuran mereka dalam mengungkapkan pesan-pesan kitab suci. Namun ini, tidak berarti mereka telah berani mengubah teks-teks tertulis dari kitab suci mereka, jika mereka memang memilikinya. Tindakan mereka itu memang amat menyakitkan perasaan Nabi (Q., S. al-Mâ'idah/5 :41 )

113. Maka al-Qur'ân melarang orang-orang menggunakannya dan menggantikannya dengan kata lain yang lebih baik, unzhurnâ.

48 Al-Thabarî, Jâmi al-Bayân, jil. ke-5, h. 118 49 Diriwayatkan bahwa ketika Nabi bertanya kepada orang Yahudi tentang hukum zina,

mereka membacakan Taurat kepada beliau namun menyembunyikan kalimat yang menyebutkan tentang rajam, sampai 'Abdullah ibn Salam menyuruhnya menampakkan yang disembunyikan itu. Lihat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jil. ke-3, h.1330; Muslim, Shahîh Muslim, jil. ke-3, h. 1326. Karena itu pula al-Qur'ân menyebut orang-orang Yahudi menyembunyikan kebenaran yang sebenarnya sangat jelas dan terang (Q., S. al-Baqarah/2: 146).

Dalam suasana dan konteks historis seperti itulah al-Quir'ân memunculkan tuduhan tahrîf terhadap orang-orang Yahudi. Tidak terlihat sama sekali al-Qur'ân telah mengajarkan dokrin mengenai pemalsuan kitab-kitab suci sebelumnya, meskipun benar bahwa al-Qur'ân, telah mencela orang-orang yang telah mempermainkan ayat-ayat dalam kitab Taurat untuk tujuan-tujuan tertentu dan dengan cara-cara yang merendahkan serta menghina Islam dan Nabi

Muhammad. 50 Dengan demikian menjadi jelas, bahwa tidak dapat dipastikan kitab suci

yang dipegang oleh ahli Kitab (Taurat dan Injil) telah berubah, baik sebagiannya ataupun keseluruhannya. Sehingga orang Islam tidak perlu menolak suatu riwayat dengan alasan bahwa riwayat itu termasuk isrâ'îliyyât, karena itu mesti ditinggalkan jauh-jauh, apalagi riwayat itu tidak sejalan dengan ideologi yang dianut seseorang, seperti yang dilakukan oleh sebagian kalangan feminis muslim terhadap riwayat isrâ'îliyyât tentang penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki (Âdam).

Dalam menyikapi banyaknya riwayat isrâ'îliyyât yang terserap ke dalam literatur keisalaman, para ulama berbeda. Ada yang dapat menerima sebagiannya dengan sikap kritis dan ada pula yang sama sekali menolak riwayat isrâ`îliyyât apa pun bentuknya. Ibn Taimiyah misalnya, Ia termasuk kelompok yang pertama. Menurutnya, isrâ`îliyyât mesti dibedakan menjadi tiga bagian; yang sejalan dengan ajaran Islam, dapat dibenarkan dan boleh diriwayatkan; yang bertentangan, harus ditolak dan tidak boleh diriwayatkan; sedangkan yang mauqûf, tidak harus dibenarkan dan tidak pula ditolak, tetapi boleh

51 52 diriwayatkan. 53 Adapun Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Musthafa al-

50 Al-Qurthubî, al-Jâmi li Ahkam al-Qur'ân,(Cairo: Dâr Syâ'b, 1372 H), cet. ke-2, jil. ke-6, h. 176

51 Ibn Taimiyah, Muqaddimah f ĭ Ushûl al-Tafsĭr, h. 18-20. 52 J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Egypy, (Leiden: E. J Brill, 1980), h. 27 53 Rasyîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirût: Dâr al-Ma'rifah, tt), h. 10

Marâghî, 54 termasuk kelompok yang kedua. Mereka menolak keras periwayatan isrâ`îliyyât. Menurut mereka, masuknya isrâ`îliyyât telah mendistorsi pemahaman

terhadap ajaran Islam, dan bahwa isrâ`îliyyât merupakan sesuatu yang ditransfer oleh ahli Kitab untuk menipu orang-orang Arab.

Secara umum, periwayatan isrâ`îliyyât itu tergantung pada jenisnya. Jika yang dimaksud adalah isrâ`îliyyât yang sesuai dengan ajaran Islam, periwayatannya jelas tidak terlarang. Jika yang dimaksud adalah isrâ`îliyyât yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, periwayatannya jelas terlarang. Sedangkan jika yang dimaksud adalah isrâ`îliyyât yang bersifat mauqûf, maka sikap yang harus diambil adalah tidak membenarkan dan tidak pula mendustakannya sebelum ada dalil lainnya yang memperlihatkan kebenaran ataupun kedustaannya.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa isrâ'îliyyât cukup berpotensi memiliki peranan yang cukup penting dalam penafsiran al-Qur'ân, apalagi kalau melewati periwayatan yang shahîh dan tidak bertentangan dengan syariat, meskipun ia tidak dijadikan sebagai sumber hukum, namun sangat membantu dalam memperkuat suatu hujjah.