Faktor-faktor Penyebab Bias Jender
C. Faktor-faktor Penyebab Bias Jender
Menurut Nasaruddin Umar, dalam tradisi Islam bias jender pada penafsiran teks dapat ditelusuri pada pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qirâ'ât; pengertian kosa kata (mufradât); penetapan rujukan kata ganti (dhamîr); penetapan batas pengecualian (istitsnâ); penetapan arti huruf 'athf; bias dalam struktur bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fiqh; dan pengaruh riwayat
isrâ'îliyyât. 30 Kemudian diklasifikasi oleh Gunawan Adnan dalam disertasinya yang berjudul Women and The Glorious Qur'ân: An Analytical Study of Women-
RelatedVerses of Sûra An-Nisâ' menjadi dua faktor, yaitu faktor non-bahasa dan
29 Termasuk dalam wilayah nilai-nilai Islam yang fundamental dan universal, seperti ajaran- ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu; kesetaraan manusia tanpa memandang
perbedaan kelamin, warna kulit, atau suku bangsa di hadapan Allah. Juga ajaran tentang keadilan; persaman manusia di depan hukum; kritik dan control sosial; menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan; tolong menolong untuk kebaikan; yang kuat melindungi yang lemah; musyawarah dalam hal urusan bersama; kesetaraan suami istri dalam keluarga dan saling memperlakukan ma'ruf diantara keduanya. Lihat Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perrempuan: Dialog Fiqih Perempuan, (Bandung; Mizan, 1997), h. 29-31
30 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 268-298 30 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 268-298
pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fiqh; dan pengaruh riwayat isrâ'îliyyât. 32 Pertama, faktor non-bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam
penafsiran al-Qur'ân adalah bias dalam metode tafsir. Metode tafsir yang paling dominan dalam sejarah intelektual dunia Islam adalah metode tahlîlî, yaitu suatu metode penafsiran al-Qur'ân yang menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur'ân, sesuai
dengan urutan bacaan yang terdapat di dalam mushhaf 'utsmânî. 33 Metode ini sering juga disebut dengan metode tajzî'î, 34 karena pembahasannya berdasarkan
bagian-bagian tertentu dari al-Qur'ân. Sebagai metode yang digunakan oleh jumhûr ulama, maka metode ini dominan sekali pengaruhnya di dalam masyarakat. Salah satu ciri metode ini adalah menjadikan teks sebagai fokos perhatian. Dalam menganalisa suatu kasus, perhatian ulama langsung tertuju kepada teks yang telah ada, karena pada umumnya konsep perintah dan larangan (khithâb) dalam al-Qur'ân menggunakan bentuk (sîghah) umum, meskipun itu diturunkan oleh suatu sebab khusus (khushûsh al-sabab). Jumhûr ulama menetapkan kaidah bahwa yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafazh (al- 'ibrah bi 'umûm al-lafzh). Jika terdapat suatu kasus maka yang menjadi perhatian utama ialah apa bunyi teks terhadap kasus tersebut, bukan apa dan bagaimana
kasus itu hingga terjadi. 35 Berbeda dengan metode tahlîlî, metode tematis (maudhû'î), yaitu metode
tafsir yang menetapkan suatu topik tertentu dengan cara menghimpun seluruh
31 Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân: An Analytical Study of Women- RelatedVerses of Sûra An-Nisâ', (Jerman: Universitätsdruckedes Universitätsverlages Göttingen,
2004), h. 192
32 Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân, h. 192 33 Zahir ibn'Awad al-'Alma'î, Dirâsât fi al-Tafsîr al-Maudhû'îli al-Qur'ân al-Karîm, (Riyadh:
tp, 1984), h. 18 34 Lihat Muhammad Bâqir al-Shadr, al-Madrasah al-Qur'âniyyah: al-Tafsîr al-Maudhû'î wa
al-Tafsîr al-Tajzî' fî al-Qur'ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Ta'âruf li al-Mathba'ah, tt), 7-9 35 Lihat Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân, h. 193 al-Tafsîr al-Tajzî' fî al-Qur'ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Ta'âruf li al-Mathba'ah, tt), 7-9 35 Lihat Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân, h. 193
pandangan al-Qur'ân. 36 Metode ini lebih memusatkan perhatian kepada apa ayat- ayat al-Qur'ân secara umum tentang suatu tema. Dalam menganalisa suatu kasus,
penganut teori ini juga tetap memperhatikan keberadaan teks, hanya saja tidak terfokos pada sebuah teks dalam satu kelompok ayat, tetapi semua ayat yang membicarakan kasus tersebut dianalisis sabab nuzûl ayat-ayat tersebut, lalu menetapkan suatu kesimpulan. Sebagai contoh dapat dilihat pada surat al-Nisâ
ayat ke-3. 37 Ayat ini menggunakan shîghah umum, yaitu menggunakan kata ganti
jamak (khiftum, tuqsithû, fankihû, aimânukum, dan ta'ûlû) pada hal ayat ini turun untuk menanggapi suatu sebab khusus yaitu kasus 'Urwah ibn Zubair, sebagaimana hadîts yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî yang bersumber dari Aisyah, bahwa ia mempunyai seorang anak yatim yang hidup di dalam pengawasannya. Selain cantik, anak yatim itu memiliki harta sehingga 'Urwah bermaksud mengawininya, maka ayat ini menjadi petujuk bagi 'Urwah dalam
melangsungkan niatnya. 38 Ayat ini bukan saja menjadi petunjuk untuk 'Urwah, namun juga berlaku umum untuk semua umat Islam. 39
Kedua, faktor non-bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fiqh. Fiqh adalah penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat al-Qur'ân. Dalam sejarah intelektual Islam, syarî'ah dibedakan dengan fiqh. Yang pertama adalah ajaran dasar, bersifat universal, dan permanen; sedangkan yang kedua adalah
36 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'ân, (Bandung: Mizan, 1992), h. 114., bandingkan dengan 'Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'î, (Mesir: Maktabah
Jumhûriyyah, 1977), h. 62 37 Lihat Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân, h. 193
38 Muhammad 'Âli al-Shâbûnî, Rawâ'i al-Bayân Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur'ân, (Beirut: 'Âlam al-Kutub, 1986), jil. ke-1, h. 464
39 Lihat Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân, h. 193
ajaran non-dasar, bersifat lokal, elastis, dan tidak permanen. Fiqh adalah penafsiran kultural terhadap syarî'ah yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad kedua H. Di mana para ulama fiqh tersebut ialah Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlik, Imam al-Syafî'î dan Imam Ahmad ibn Hanbal, yang juga dikenal sebagai imam-imam madzhab. Mereka ini adalah ulama-ulama moderat pada zamannya. Mereka juga tidak pernah memproklamirkan karya-karyanya sebagai madzhab resmi dalam suatu komonitas atau suatu negeri tertentu. Mereka tidak pernah membakukan pendapatnya sebagai madzhab abadi yang harus dipertahankan sepanjang zaman. Hanya kalangan murid mereka atau kalangan penguasa tertentu yang terkadang memperjuangkan karya-karya imam tersebut dianut dalam masyarakat. Untuk alasan keseragaman dan kepastian hukum, kalangan penguasa menetapkan salah satu madzhab tersebut sebagai madzhab resmi pemerintah.
Walaupun mereka dikenal sebagai ulama yang moderat, mereka terikat pada kondisi sosial-budaya tempat mereka hidup. Fiqh yang disusun di dalam masyarakat yang dominan laki-laki (male dominated society), seperti di kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah barang tentu akan melahirkan fiqh bercorak patriarkhi. Kitab-kitab fiqh yang telah dibukukan pada umumnya kumpulan- kumpulan fatwa atau catatan-catatan pelajaran seorang murid dari gurunya yang ditulis secara berkala sehingga menjadi sebuah kitab besar. Pendapat-pendapat yang dituangkan dalam kitab-kitab mereka itulah yang dianggap paling adil dan sesuai dengan zamannya. Keempat imam madzhab yang disebutkan tadi semuanya layak disebut scholar murni. Walaupun antara satu dan lainnya terdapat perbedaan pendapat, keempat imam madzhab ini berani menolak ajakan penguasa, dan semuanya hidup dalam tekanan dan siksaan para penguasa, demi
mempertahankan orisinalitas pendapat mereka. 40
40 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h 292
Yang menarik untuk diperhatikan, tingkat kemoderatan pendapat keempat imam madzhab tersebut tidak terkait dengan kurun waktu kapan mereka hidup. Imam Abû Hanîfah adalah yang paling tua, tetapi mempunyai pendapat yang paling moderat, dan Ahmad ibn Hanbal paling mudah, tetapi pendapatnya cenderung lebih ketat. Seolah-olah dapat dikesankan bahwa makin dekat priode
itu kepada zaman Nabi makin moderat pula pandangan ulama itu. 41 Berbarengan dengan penulisan kitab-kitab fiqh, para ulama pada ketika itu
juga disibukkan dengan pengumpulan dan penulisan hadîts. Tidak heran kalau hadîts-hadîts yang tersusun ketika itu menggunakan sistem fiqh. Contohnya kitab al-Muwaththa' karya Imam Mâlik, sangat dipengaruhi oleh sistematika fiqh. Penulisan hadîts semakin ramai dilakukan ketika Khalîfah 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz, khalîfah kedelapan dari Banî Umayah, yang menginstruksikan kepada para gubernurnya untuk menseponsori pengumpulan hadîts.
Ketiga, faktor non-bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah pengaruh riwayat isrâ'îliyyât. Penggunaan riwayat- riwayat isrâ'îliyyât dalam memahami ayat-ayat al-Qur'ân tidak selamanya dipandang negatif. Agama Yahudi dan Nasrani yang kemudian melahirkan Kitab Taurât dan Kitab Injîl, adalah berasal dari anak cucu Nabi Ibrâhîm. Keberadaan kedua agama dan kedua kitab suci tersebut diakui dalam al-Qur'ân. Merujuk kepada kisah-kisah yang terdapat dalam kedua kitab tersebut dipandang wajar
oleh kalangan mufassir. 42 Hanya saja masalahnya ialah sejauh mana keaslian kisah-kisah yang dijadikan rujukan tersebut. Kalau yang dijadikan rujukan adalah
kisah-kisah yang terdapat di dalam Kitab Talmud, maka akan muncul persoalan karena Kitab Talmud banyak berisi cerita-cerita rakyat Babilonia.
Dengan mengintrodusir tradisi klasik masyarakat Babilonia yang sarat dengan mitos itu, sudah barang tentu akan menimbulkan bias jender, mengingat
41 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h 292 42 Untuk memahami lebih jauh hubungan antara kisah-kisah yang terdapat dalam Alkitab dan
al-Qur'ân yang dibahas secara sistematis, lihat Ali Akbar, Isrâel and the Prophecies of the Qur'an, Kuala Lumpur: Seraj Publication, 1974.
mitos-mitos Babilonia sangat merugikan perempuan. Cerita-cerita rakyat kawasan Timur Tengah tentang perempuan mempunyai banyak persamaan, yakni cederung memojokkan perempuan. Tidak heran jika kitab-kitab tafsir yang mengintrodusir kisah-kisah isrâ'îliyyât ditemukan banyak penafsiran yang memojokkan perempuan.
Adapun faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qirâ'ât; pengertian kosa kata (mufradât); penetapan rujukan kata ganti (dhamîr); penetapan batas pengecualian (istitsnâ); penetapan arti huruf 'athf; bias dalam
struktur bahasa Arab; dan bias dalam kamus bahasa Arab. 43 Pertama, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam
penafsiran al-Qur'ân adalah pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qirâ'ât. Sejumlah ayat al-Qur'ân dimungkinkan ditulis dan dibaca lebih dari satu macam,
yang dikenal dengan istilah tujuh huruf (sab'ah ahruf) 44 dan bacaan tujuh (qirâ'ah sab'ah). 45 Jenis-jenis bacaan tersebut dimungkinkan penggunaannya berdasarkan
beberapa riwayat hadîts yang shahih dan dibenarkan sendiri dalam al-Qur'ân (Q.S., al-Muzammil/73: 20).
Standarisasi penulisan (rasm) dalam arti pembakuan tanda-tanda huruf (nuqth) dan tanda-tanda baca (syakl), dengan sendirinya mengeliminir beberapa versi bacaan (qirâ'ah) dalam al-Qur'ân. Pada masa permulaan Islam, beberapa
43 Baca Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 268-80. Baca
juga Gunawan Adnan, Women and The Glorious Qur'ân, h. 201-208
44 Terdapat perbedaan pendapat para ulama apa yang dimaksud dengan sab'ah ahruf. Sebagian mengatakan tujuh dialek kebahasaan yang dikenal luas dalam bangsa Arab ketika itu, yaitu, Quraisy,
Huzail, Saqîf, Hawâzin, Kinânah, Tamâm, dan Yaman. Sebagian lainnya mengatakan tujuh aspek hukum, yaitu perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyâbihât, dan amtsâl. Sebagian lain mengatakan ism, f'il, ibdâl, ta'khîr, i'râb, ziyâdah, nuqsh, dan lahjah. Lihat 'Ali al-Shabûnî, al-Tibyân fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Mathabi' Dâr al-Qalam, 1970), cet. Ke-1, h. 240-244. Lihat juga Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. Ke-11, h. 148-160., Lihat pula Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Dâr al-Ilm li al-Malâyîn, 1988), cet. Ke-17, h. 105-116
45 Adapun yang dimaksud qirâ'ah sab'ah ialah tujuh orang sahabat penghafal al-Qur'ân yang dikenal di masa Nabi, yaitu: Ubai ibn Ka'ab, 'Abdullah ibn Mas'ûd, Abû Dardâ', 'Utsmân ibn 'Affân,
'Ali ibn Abî Thâlib, Abû Mûsa al-Asy'arî, dan Zaid ibn Tsâbit. Lihat 'Ali al-Shabûnî, al-Tibyân fî 'Ulûm al-Qur'ân, h. 250., Lihat juga Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'â, h.162 'Ali ibn Abî Thâlib, Abû Mûsa al-Asy'arî, dan Zaid ibn Tsâbit. Lihat 'Ali al-Shabûnî, al-Tibyân fî 'Ulûm al-Qur'ân, h. 250., Lihat juga Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'â, h.162
masa Nabi, Abû Bakr, dan 'Ustmân yang masih mengenal tujuh huruf. 46 Dalam proses standarisasi rasm al-Qur'ân ditempuh, beberapa tahapan.
Pertama ketika al-Qur'ân masih berangsur-angsur diturunakan. Setiap ayat yang turun langsung disusun oleh Nabi melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan atau bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah, tetapi setelah dunia Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul maslah, karena tidak semua umat Islam dapat membaca al-Qur'ân tanpa tanda huruf dan tanda baca.
Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mu'awiyah ibn Abî Sufyân (661-680 M), tertutama ketika Ziyâd
ibn Samiyyah yang menjabat Gubernur Bashrah, 47 menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat terhadap Q., S. al-Taubah/9: 3. Bagian dari ayat
tersebut dibaca oleh sekelompok masyarakat dengan: innallaha barî'un min al- musyrikîna wa rasûlih, seharusnya wa rasûluh. 48
Perbedaan tulisan (rasm) dan bacaan (qirâ'ah) sudah barang tentu mempunyai pengaruh di dalam pemahaman dan penetapan (istinbâth) hukum, seperti beberapa contoh berikut ini:
46 Lihat 'Ali al-Shabûnî, al-Tibyân fî 'Ulûm al-Qur'â, h.235-238 dan lihat juga Shubhî al- Shâlih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, h. 102
47 Sebenarnya ada dua nama lain selain Abû Aswad al-Duwalî, yang dianggap berjasa dalam pemberian tanda baca al-Qur'ân, yaitu Yahya ibn Ya'mar, lahir di Bashrah tahun 45 H, dan Nashr ibn
'Âshim, salah seorang angota qira'ah Bashrah yang wafat pada tahun 89 H, namun yang paling masyhur di antaranya adalah Abû Aswad al-Duwalî, karena memang dialah yang paling bersungguh- sungguh dalam mempertahankan keaslian dan keutuhan tulisan (rasm) dan bacaan (qirâ'ah) al-Qur'ân. Lihat Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, h. 92
48 Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, h. 92 48 Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, h. 92
Imam Abû Hanîfah. 49
b. Kata نﺮ ﻗو dapat dibaca waqarna atau waqirna (Q., S. al-Ahzâb/33; 33); menurut al-Thabarî di dalam tafsir Jâmi al-Bayân, dikemukakan dua jenis qirâ'at, pertama waqarna dengan baris fathah pada huruf qâf, berarti menetaplah dalam rumah kalian (waqrarna fî buyûtikunna), lalu huruf râ pertamanya dibuang sebagaimana yang terjadi pada fazhalaltum tafakkahûn dalam Q., S. al-Wâqi'ah/56: 65, yang juga huruf lâm pertamanya dibuang.
Dalam Lisân al-Arâb, kata waqarna berasal dari kata رﺎﻗو - ﺮﻗ - ﺮﻘﻳ - ﺮﻗو berati "tinggal", dan sebagian lainnya megatakan berasal dari kata راﺮﻗ - ﺮﻗ – ﺮﻘﻳ – رﺮﻗ berarti "menetap". 50
Bacaan waqarna digunakan oleh umumnya orang Madinah dan sebagian orang Kûfah. Sementara waqirna dengan baris kasrah pada huruf qâf, berarti "hendaklah kalian bersenag-senang dan tenang di rumah" (kun ahla waqâr wa sakînah fî buyûtikunna). Pendapat terakhir ini didukung oleh Ibn Katsîr dan Jalâluddîn al-Suyûthî. 51
49 Lihat Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba'ah al-Bâbi al- Halabî, 1960), jil. ke-1, h. 58 Lihat juga Fakh al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, (Dâr al-hayâ' al-Turâts al-
'Arabî, 1990), jil. ke-2, h. 419-420 50 Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, (Cairo: Dâr al-Ma'ârif, tt), jil. ke-5, h. 290 dan 83
51 Lihat al-Thabarî, jil. ke-22, h. 2-3 Tafsir al-jalâlain, jil. ke-2, h. 108 Bandingkan dengan pendapat al-Maududî sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab dalam "Konsep Wanita Menurut al-
Jika dibaca dengan model pertama, baris fathah pada huruf qâf, maka dengan tegas perempuan diserukan untuk menetap di rumah. Kalau dibaca model kedua, baris kasrah pada huruf qâf, maka perempuan diserukan untuk bersenang- senang tinggal di rumah. Pengertian pertama terkesan lebih tegas daripada pengertian yang kedua.
Kedua, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah pengertian kosa kata (mufradât). Perbedaan makna dalam satu kosa kata memberikan iplikasi dalam menetapkan (istinbath) hukum. Beberapa contoh dapat dikemukakan:
a. Kata qurû' (Q., S. al-Baqarah/2: 28); dapat diartikan dengan "bersih, suci" dan "kotor (haidh)". Jika diartikan "suci" maka iddah seorang perempuan lebih panjang dari pada jika diartikan "kotor". Imam al-Syâfi'î mendukung
pendapat pertama dan Imam Abû Hanîfah mendukung pendapat kedua. 52
b. Kata lamasa (Q., S. al-Mâidah/5: 6); dapat diartikan "menyentuh" dan "bersetubuh". Jika diartikan "menyentuh" maka seseorang yang menyentuh perempuan (al-Syâfi'î: selain muhrim, Mâlik: dengan syahwat) batal wudhu- nya. Sementara menurut Abû Hanîfah, yang membatalkan wudhu adalah bersetubuh dengan perempuan karena lamasa diartikan dengan al-jimâ'
(bersetubuh). 53 Kelihatan sekali pendapat Abû Hanîfah lebih moderat daripda pendapat ulama lainnya, yang seolah-olah mengesankan tubuh perempuan
kurang bersih karena batalnya wudhu bagi laki-laki yang menyentuhnya. Ketiga, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah penetapan rujukan kata ganti (dhamîr). Menetapkan objek yang ditunjuk dalam suatu kata ganti merupakan suatu hal yang rumit dalam bahasa Arab. Banyak sekali perbedaaan pendapat muncul di kalangan
Qur'ân, Hadîts dan sumber-sumber ajaran Islam" dalam Lies M. Marcoss dan Johan Hendrik Meuleman, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual, (Jakarta: INIS, 1993), h. 8
52 Lihat Muhammad 'Ali al-Shâbûnî, Rawâ'i al-Bayân Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur'ân, (Beirut: 'Âlam al-Kutub, 1986), jil ke-1, h. 359
53 Lihat Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jil. ke-2, h. 37-38 53 Lihat Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jil. ke-2, h. 37-38
Jumhûr ulama tafsir mengembalikan dhamîr itu kepada kata nafs wâhidah yakni Âdam. Adapun Abû Muslim al-Ishfahânî mengembalikannya kepada kata nafs, yakni jins, unsur pembentuk Âdam, bukan kepada kata nafs wâhidah (Âdam). 54 Rujukan dhamîr versi jumhûr ulama mengesankan perempuan sebagai
ciptaan kedua (the second creation) sesudah laki-laki (Âdam). Sementara rujukan dhamîr versi kedua, mengesankan persamaan subtansi laki-laki dan perempuan yang berasal dari asal yang sama.
Keempat, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah penetapan batas pengecualian (istitsnâ). Menetapkan batas yang ditunjuk untuk suatu bentuk pengecualian seringkali juga menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagai contoh untuk pengecualian (istitsnâ)
pada konteks Q., S. al-Nûr/24: 4-5. 55 Hukuman tuduhan palsu sebagaimana diungkapkan dalam ayat tersebut di
atas meliputi:
a. Pelakunya dicambuk 80 kali.
b. Tidak diterima persaksiannya selama-lamanya.
c. Dikategorikan orang fasik, tidak taat kepada Allah. Pada ayat ke-5 surah ini terdapat kata illâ al-ladzina tâbû, jumhûr ulama, termasuk Imam Mâlik, Syafî'î, dan Ahmad berpendapat pengecualian itu mencakup hal kedua dan terakhir (b dan c). Adapun Abû Hanîfah lebih ketat
karena pengecualian itu hanya terhadap kalimat terakhir (c). 56
54 Fakh al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, jil. Ke-3, h. 478 55 Sabab nuzûl ayat ini menurut sebagian uilama, berkaitan dengan "tuduhan palsu" (hadîts al-
if), yaitu suatu tuduhan keji yang menuduh 'Aisyah, isteri Rasulullah berbuat serong di dalam sebuah peperangan. Kelompok yat ini turun untuk membantah tuduhan itu dan sekaligus membersihkan nama baik keluarga Rasulullah. Lihat Muhammad 'Ali al-Shâbûnî, Rawâ'i al-Bayân Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur'ân, jil ke-2, h. 61
56 Muhammad 'Ali al-Shâbûnî, Rawâ'i al-Bayân Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur'ân, h. 76
Pendapat Abû Hanîfah yang lebih ketat, karena menurutnya tobat tidak menghapuskan jenis hukuman pertama dan kedua, tentu lebih menguntungkan bagi kaum perempuan (isteri). Sebaliknya pendapat kelompok pertama dan kedua lebih meringankan hukuman kepada laki-laki (suami), karena setelah bertobat dan beramal shaleh maka dengan sendirinya sudah terbebas dari hukuman cambuk dan penolakkan persaksian selama-lamanya. Berbeda dengan Abû Hanîfah yang lebih tegas mengemukakan bahwa perbuatan tobat dan amal shaleh hanya menghapuskan kefasikan, tetapi tidak menggugurkan kedua sanksi pertama dan kedua.
Kelima, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah penetapan arti huruf 'athf. Bias jender kadang-kadang terjadi dalam memberikan makna huruf-huruf 'athf, karena memang huruf wau mempunyai beberapa arti dan fungsi; kadang berfungsi sebagai wau al-'athf, wau al-hâl, ataupun wau al-qasam. Dalam memfungsikannya sebagai wau al-'athf juga kadang-kadang diartikan sebagai "tanda koma" berarti "atau", juga kadang- kadang berarti "tambahan". Sebagai contoh pada Q., S. al-Nisâ/4: 3.
Huruf wau dalam ayat ini difahami bermacam-macam oleh ulama. Sebagian menafsirkannya sebagai alternatif pilihan, sehingga berarti "dua atau tiga atau empat" dan pendapat ini dipegang oleh jumhûr ulama. Ada minoritas ulama melihat wau tadi sebagai simbol tambahan, sehingga berarti "2+3+4=9", sama dengan isteri Nabi. Sebagian lagi menganggap simbol perkalian, sehingga berarti "2x3x4=24", bahkan ada yang tidak membatasi jumlahnya. Pendapat yang kedua dan yang terakhir di samping tidak populer di kalangan ulama juga tidak ditemukan dalil, baik dalam ayat maupun hadîts yang mendukung pendapat tersebut.
Keenam, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah bias dalam struktur bahasa Arab. Bahasa arab yang "dipinjam" oleh Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa kata (mufradât) maupun dalam strukturnya. Misalnya, Keenam, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah bias dalam struktur bahasa Arab. Bahasa arab yang "dipinjam" oleh Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa kata (mufradât) maupun dalam strukturnya. Misalnya,
Dalam tradisi bahasa Arab, jika yang menjadi sasaran pembicaraan laki- laki atau perempuan digunakan bentuk maskulin (shîghah mudzakkar), misalnya kewajiban mendirikan shalat cukup dikatakan aqîmû al-shalâh, tidak perlu lagi dikatakan aqimna al-shalâh. Contoh lain cukup diucapkan al-salâmu 'alaikum, tidak perlu lagi diucapkan al-salâmu 'alaikunna, meskipun di dalamnya ada perempuan, karena ada kaedah yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan jika berkumpul di suatu tempat cukup dengan menggunakan bentuk maskulin dan secara otomatis perempuan termasuk di dalamnya, kecuali ada hal lain (qarînah) mengecuali-kannya. Akan tetapi, kaedan ini tidak berlaku sebaliknya. Jika sebuah khîthab menggunakan shîghat mu'annats maka laki-laki tidak termasuk di dalamnya, misalnya waqarna fî buyûtikunna (Q., S. al-Ahzâb/33: 33) hanya berlaku bagi perempuan, berbeda dengan aqîmû al-shalâh berlaku juga bagi perempuan.
Bias jender dalam teks bukan berarti Tuhan memihak dan mengedialkan laki-laki, atau Tuhan itu laki-laki karena selalu menggunakan kata ganti mudzakkar, misalnya qul huwallahu ahad, kata huwa adalah kata ganti maskulin, tidak pernah menggunakan kata ganti feminin (hiya), tetapi demikian struktur bahasa Arab, yang digunakan sebagai bahasa al-Qur'ân.
Transformasi ide-ide Tuhan melalui bahasa Arab (qur'ânan 'arabiyyan (Q., S. Yûsuf/12: 22), atau dengan citarasa Arab (lisânan 'arâbiyyan (Q., S. al- Ahqâf/46: 12), atau dengan bahasa kaumnya (bi lisâni qawmih (Q., S. Ibrâhîm/14: 4), sudah barang tentu memerlukan analisa yang mendalam. Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya tertentu. Ketika ide-ide itu ditransformasikan Transformasi ide-ide Tuhan melalui bahasa Arab (qur'ânan 'arabiyyan (Q., S. Yûsuf/12: 22), atau dengan citarasa Arab (lisânan 'arâbiyyan (Q., S. al- Ahqâf/46: 12), atau dengan bahasa kaumnya (bi lisâni qawmih (Q., S. Ibrâhîm/14: 4), sudah barang tentu memerlukan analisa yang mendalam. Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya tertentu. Ketika ide-ide itu ditransformasikan
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Dep. Agama: "Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita". Kata "pemimpin" di dalam bahasa Indonesia tidak identik dengan qawwâmah dalam bahasa Arab. Yusuf Ali menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan man are the protectors and maintainers of women (laki-laki adalah pelindung dan pemelihara bagi perempuan). Qawwâmah dalam terjemahan bahasa Indonesia terkesan otoriter daripada terjemahan bahasa Inggris.
Ketujuh, faktor bahasa yang menjadi penyebab bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân adalah bias dalam kamus bahasa Arab. Kamus-kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur'ân, banyak sekali entrinya yang dapat dikategorikan bias jender. Sebagai contoh, dalam Lisân al-'Arab, kamus Arab yang dianggap paling standar yang terdiri atas
14 jilid, kata imâm dan khalîfah, dua kata yang membentuk konsep kepemimpinan dan kekuasaan dalam bahasa Arab, tidak mempunyai bentuk mu'annats.
Kata imâm yang dibahas sekitar tiga halaman dalam kamus ini selalu berkonotasi laki-laki, misalnya imâm sebagai pemimpin shalat atau pimpinan
masyarakat seolah-olah hanya merupakan otoritas laki-laki. 57 Bahkan kata khalîfah yang menggunakan bentuk mu'annats hanya diperuntukkan untuk laki-
laki (lâ yakûnu illâ li al-mudzakkar). 58 Contoh lain ialah perempuan dalam kamus Arab disebut al-untsâ dari kata
anatsa berarti "lemas, lembek, tidak keras". Sifat seseorang yang lemah lembut dan halus disebut unûtsah. 59 Sementara laki-laki disebut al-dzakar dari kata
dzakara berarti "mengingat, menyebut, mengucapkan (asmâ' Allah)", seakar
57 Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, (Cairo: Dâr al-Ma'ârif, tt), jil. ke-12, h. 24-26 58 Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, jil. ke-12, h. 83 59 Munir Baalbaki, al-Maurid, (Beirût: Dâr al-'Ilm li al-Malâyîn, 1986), h. 342 57 Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, (Cairo: Dâr al-Ma'ârif, tt), jil. ke-12, h. 24-26 58 Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, jil. ke-12, h. 83 59 Munir Baalbaki, al-Maurid, (Beirût: Dâr al-'Ilm li al-Malâyîn, 1986), h. 342
mengendapkan di alam bawah sadar pembacanya bahwa kata al-untsâ adalah sosok makhluk yang lemah, sementara kata al-dzakar adalah sosok makhluk yang kuat.