Perempuan Sebagai Khalîfah

2. Perempuan Sebagai Khalîfah

Al-Qur'ân menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat (Q., S. al-Rûm/33: 72). Di antara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi (Q., S. Hûd/11: 61). Karena amat mulianya manusia sebagai pengemban amanat Allah, maka manusia diberi

kedudukan sebagai khalîfah-Nya di muka bumi (Q., S. al-Baqarah/2: 30). 71

Menurut Ahmad Musthafa al-Marâghî, kata khalîfah dalam ayat ini memiliki dua makna. Pertama, adalah pengganti, yaitu pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia

secara keseluruhan. 72 Dalam konteks ini, Muhammad Iqbal, mengemukakan bahwa sebagai khalîfah, Allah telah memberikan mandat kepada manusia menjadi

70 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-22, h. 445 71 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-1, h. 448 72 Ahmad Musthafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî,(Semarang: Toha Putra, 1985), jil. ke-1 dan

ke-2, h.131 ke-2, h.131

sebagai khalîfah untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Salah satu implikasi terpenting dari kekhalîfahan manusia di muka bumi ini adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Manusia memiliki kemungkinan untuk hal ini dikarenakan kepadanya dianugerahkan Allah berbagai potensi. Di samping itu, alam semesta ini beserta apa-apa yang ada di dalamnya adalah diciptakan Allah untuk kepentingan ummat manusia secara keseluruhan (Q., S. al-Baqarah/2: 29; Q., S. al-Nahl/16: 80-81; Q., S. Luqmân/31:20, Q., S. al-Mulk/67: 15). Karenanya, merupakan tanggung jawab moral manusia untuk mengolah dan memanfaatkan seluruh sumber-sumber yang tersedia di alam ini guna memenuhi keperluan hidupnya. Demikianpun perlu disadari bahwa kewenangan manusia untuk memanfaatkan alam semesta harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah dan tidak boleh menyalahinya. Seperti tidak boleh merusak alam, tidak boleh mengeksploitasinya untuk kepentingan individu atau golongan, tidak boleh memanfaatkannya secara berlebih-lebihan dan hal-hal yang destruktif lainnya.

Bersamaan dengan itu, kemungkinan manusia memahami alam semesta karena alam ini diciptakan Allah dengan ukuran dan ketentuan yang pasti dan tak berubah-ubah (sunnatullah), sehingga dalam batas-batas tertentu ia bersifat "predictable". Berdasarkan inilah manusia dapat mengolah dan memanfaatkan alam ini untuk keperluan hidupnya. Karenanya, manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai khalîfah Allah yang hanya tunduk kepada- Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta. Konsep ini bermakna bahwa orientasi hidup seorang muslim hanyalah semata-mata ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan seru sekalian alam.

73 Muhammad Iqbâl, Pembangunan Kembali Alam pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. xvi

Al-Qur'ân menegaskan bahwa manusia yang terdiri dari dua jenis kelamin; laki-laki dan perempuan adalah makhluk Tuhan yang paling mulia (Q., S. al- Isrâ'/17: 70). Kemuliaan manusia ditunjukkan oleh Allah melalui kemampuan akalnya, sehingga manusia memiliki kesanggupan menguasai segala kekayaan di

alam raya ini. Darat, laut, bahkan angkasa dapat ditundukkan oleh manusia. 74 Kesempurnaan ciptaan Tuhan membuat manusia menempati kedudukan tertinggi

di antara makhluk lain, yakni menjadi khalîfah (wakil) Tuhan di muka bumi. Akan tetapi, manusia juga memiliki potensi menjadi makhluk paling hina. Untuk menghindar dari kejatuhan itu, manusia harus kembali kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh.

Selanjutnya, perempuan sebagai manusia bersama lak-laki diciptakan oleh Allah dengan tujuan di samping untuk menjadi hamba ('âbid) yang tunduk, patuh dan mengabdi kepada Allah, juga dimaksudkan untuk menjadi khalîfah-Nya di muka bumi ini (khalîfah fî al-ardh). Kapasitas perempuan (bersama laki-laki) sebagai khalîfah di muka bumi tersebut dijelaskan dalam al-Qur'ân sebagaimana termaktub pada surat al-An'âm:165 dan pada surat al-Baqarah:30.

Kata khalîfah pada dua ayat tersebut tidak merujuk kepada salah satu jenis kelamin dan etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas dan fungsi yang sama sebagai khalîfah, yang akan diminta pertanggungjawaban terhadap tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi sebagaimana halnya mereka harus bertanggungjawab sebagai hamba Tuhan.

Sebelum diciptakannya manusia, Allah telah membuat suatu rancangan yang matang. Hal itu digambarkan ketika Allah menyampaikan rencana penciptaan kepada Malaikat agar makhluk manusia nantinya di bumi menjadi khalîfah (wakil) Allah sebagaimana tercantum dalam surat al-Baqarah/2 ayat ke-

74 Kesempumaan manusia sebagai makhluk paling mulia juga diisyaratkan dalam al-Qur'ân pada ayat berikut; (Q., S. al-Tîn/95: 4-5)

Dipilihnya manusia yang terdiri dari dua jenis kelamin yang berbeda untuk mengemban amanat ini menurut al-Qur’ân disebabkan dua faktor. Pertama, amanat ini pada masa lalu telah ditawarkan oleh Allah kepada semua ciptaan- Nya, akan tetapi tidak satu pun bersedia menerima kecuali manusia. Kedua, manusia memang telah diciptakan dengan berbagai kelebihan dibandingkan makhluk lain sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Isrâ: 70.

Untuk dapat mendukung tugas-tugas manusia, baik laki-laki maupun perempuan tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai khalifah di muka bumi, Allah melengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara lain: Manusia didesain dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Hal itu dinyatakan dalam al-Qur’ân surat at-Thin ayat 4; Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda, hal itu digambarkan dalam firman Allah surat al- Baqarah ayat 31; Ditundukkan bumi dan langit dan segala isinya, binatang- binatang, planet-planet dan lain sebagainya. Hal itu dijelaskan firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah ayat 12; Allah menganugerahkan akal pikiran dan penginderaan. Hal itu tercermin dalam al-Qur’ân surat al-Mulk ayat 23; Allah menganugerahkan potensi-potensi kreatif untuk mampu membangun peradaban di muka bumi ini.

Hal itu digambarkan dalam surat al-Ra’d/13: 11. 75 Al-Thabarî (175-264 H/792-878 M) menjelaskan bahwa, maksud

penciptaan perempuan di muka bumi di samping menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di muka bumi (khalîfah fî al-ardh) sama halnya seperti kaum laki-laki (Q., S. al-An'âm/6: 165 dan dalam Q., S. al-Baqarah/2: 30). Pada kedua ayat ini, kata khalîfah tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalîfah, yang akan

mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi. 76

75 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-, h. 76 Lihat Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, jil. ke-, h.