Tafsir Jender dan Isrâ'îliyyât

D. Tafsir Jender dan Isrâ'îliyyât

Para feminis muslim mengkritik wacana tafsir al-Qur'ân tentang status perempuan. Mereka sepakat bahwa al-Qur'ân secara normatif telah mengisyaratkan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam dua hal: pertama, secara umum laki-laki dan perempuan adalah setara. Kedua, kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik – yang harus diketahui oleh semua orang– kedua-duanya jelas-jelas memiliki kesetaraan dalam

kebebasan memilih cara hidup dan kesetaraan dalam tanggung jawab. 61 Akan tetapi, secara realitas, masih banyak problem bias jender yang

memenjarakan peran kaum perempuan. Sayangnya, penbebab utama dari realitas ini justru akibat pemahaman teologis yang bias jender dalam memahami doktrin dan ajaran Islam yang terkait dengan kedudukan dan peran perempuan, baik di wilayah publik maupun domestik. Pemahaman teologi yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap ketidak adilan jender tersebut adalah konsep penciptaan

manusia, khususnya penciptaan perempuan (Hawa). 62 Karena menurut mereka, adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan jender yang

60 Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, jil. ke-4, h. 308 61 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur'an Klasik dan Kontemporer,

(Yogyakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 3 62 Bandingkan dengan Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam al-

Qur’ân, Hadîts dan Tafsîr, diterjemahkan dari dari buku berbahasa Inggris: Women in the Qur’ân , Traditions, and Interpretation, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 60-61 Qur’ân, Hadîts dan Tafsîr, diterjemahkan dari dari buku berbahasa Inggris: Women in the Qur’ân , Traditions, and Interpretation, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 60-61

sebuah upaya dikonstruksi. Namun, para mufassir klasik seperti al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) dalam tafsirnya Jâmi al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, dan diikuti pula oleh al- Zamakhsyarî (467-538 H/ 1074-1143 M), al-Qurthubî( 600-671 H/1204-1273 M), Ibn Katsîr(700-774 H/1301-1473 M), al-Suyûthî (849-911 H/ 1445-1505 M), al- Alûsî (1217-1270 H/ 1802-1854 M), dan mufassir lainnya "menghalalkan" keberadaan kisah isrâ'îliyyât itu dalam tafsir al-Qur'ân, dengan alasan untuk lebih

menjelaskan pernyataan-pernyataan padat al-Qur'ân. 64 Hal ini yang dinilai oleh kalangan feminis muslim sebagai penyebab bias jender, karena ia berimplkikasi

kepada teologis umat Islam yang menganggap perempuan bukan ciptaan utama namun sub-ordinasi laki-laki, sehingga ia menempati kedudukan nomor dua. 65

Sebagai contoh, para mufassir klasik sering menafsirkan Q. s. al-Nisâ' ayat pertama, bahwa perempuan (Hawa) itu diciptakan dari laki-laki (Âdam). Dengan mengutif hadîts-hadîts yang dianggap oleh kalangan feminis sebagai riwayat isrâ'îliyyât, yang menyebutkan bahwa perempuan itu seperti tulang rusuk yang bengkok, Jika dicoba diluruskan dengan keras dan paksa, maka dia akan patah.

Mereka memahami hadîts ini secara harfiah. 66

63 Dalam Kitab Perjanjian Lama diceritakan kisah-kisah yang cenderung diasumsikan oleh kalangan feminis memberikan citra negatif kepada perempuan, kehadiran perempuan untuk

melengkapi bagian dari kebutuhan laki-laki (2:20). Perempuan dikesankan sebagai penciptaan kedua (second creation) dan subordinasi dari laki-laki karena ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (2:21- 22). Perempuan ditimpakan kesalahan dalam drama kosmis yang menyebabkan manusia jatuh ke bumi (3:12). Ayat-ayat ini dijelaskan secara panjang lebar di dalam kitab Talmud, suatu kitab yang mengulas ayat-ayat yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama

64 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 287 65 Lihat Riffat Hasan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition,

(Kumpulan artikel yang diterbiatkan oleh The Commite on South Asian Women bulletin, vol 4, tth), h. 44. Bandingkan juga dengan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân,.h. 288-289.

66 Lihat Abû Abdillah al-Hâkim al-Naisabûrî, al-Mustadrak ala al-Shahîhain, (Beirût: Dâr al- Kutub al-Ilmiyyah, tt), jil ke-4, h. 192. Menurut al-Dzahabî, sanad hadîts ini shahîh menurut syarat al-

Bukhâr dan Muslim. Hadîts tersebut sebagai berikut:

Mekanisme penciptaan perempuan (Hawa) pada ayat ini tidak disebutkan secara jelas dan rinci, namun hanya disebutkan dari nafs wâhidah (Âdam) Dia ciptakan zaujahâ (istrinya-Hawa). Untuk lebih mudah lihat redaksi ayat pertama surat al-Nisâ’ yang terjemahnya kurang lebih sebagai berikut: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Departemen Agama)

Ayat di atas tidak menyebutkan secara eksplisit nama Âdam dan Hawa, tapi diungkapkan dengan kata nafs wâhidah dan zaujahâ. Namun demikian dengan bantuan ayat-ayat lain (misalnya Q. s., al-Baqarah/2: 30-31, Q. s., Âli Imrân/3: 59, dan Q. s., al-A'râf/7: 27) dan hadîts-hadîts Nabi. Jumhûr (mayoritas)

ulama, seperti al-Thabarî (224-310 H/839-923 M), 67 al-Zamakhsyarî (467-538 H/

1074-1143 M), 69 al-Qurthubî( 600-671 H/1204-1273 M), Ibn Katsîr(700-774

70 H/1301-1473 M), 71 al-Suyûthî (849-911 H/ 1445-1505 M), al-Alûsî (1217-1270 H/ 1802-1854 M) 72 dan para mufassir klasik lainnya, menafsirkan kata nafs

wâhidah dengan Nabi Âdam dan zaujahâ sebagai Hawa, isteri Nabi Âdam.

67 Abû Ja'far Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr, ibn Ghâlib al-Âmulî, Jâmi al-Bayân fî

Ta'wîl al-Qur'ân, (Cairo: Mu'assasah al-Risâlah, 2000), jil. ke-7, h. 514

68 Abû al-Qâsim Mahmud ibn 'Amr ibn Ahmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, (Riyâdh: Maktabah al-'Abîkân, 1998), cet. ke-1, jil ke-1, h. 369

69 Abû Abdillah Muhammad ibn Abî Bakr ibn Farh al-Anshârî al-Khazrajî al-Qurthubî, Tafsîr

al-Qurthubî, (Cairo: Dâr al-Syi'b, 1952), jil. ke-2, h. 5

70 Abû al-Fidâ' Isma'îl ibn 'Umar ibn Katsîr al-Qarsyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm,

(Cairo: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 1999), jil. ke-2, h. 206

71 Abdurrahmân ibn Abî Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Durr al-mantsûr fî al-Ta'wîl bi al-

mantsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1993), jil ke-5, h. 2

72 Abû al-Tsanâ' Syihabuddin al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm wa al-

Sab'I al-Matsânî, (Beirût: Dâr Ihyâ' al-Turâts al-'Arabî, tt), jil ke-4, h. 181-184

Mereka menafsirkan ayat tersebut berdasarkan pada analisa seamantik linguistik

73 dengan didukung oleh hadîts riwayat al-Bukhârî 74 dan Muslim. Bint al-Syâtî' membantah keyakinan yang sudah berkembang di dalam

masyarakat Islam tentang terciptanya Hawa dari tulang rusuk Âdam. Padahal al- Qur’ân sedikit pun tidak pernah mengisyaratkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam maupun dari tulang rusuk lainnya. Al-Qur’ân hanya menyebut Hawa adalah istri (zauj) Âdam yang keduanya diciptakan Allah dari diri yang satu. Cerita tentang tulang rusuk sebenarnya disandarkan dari hadîts Nabi yang menyebutkan bahwa wanita itu seperti tulang rusuk yang bengkok, Jika dicoba

diluruskan dengan keras dan paksa, maka dia akan patah. 75 Mereka memahami hadîts ini hanya secara harfiah. Padahal ungkapan tulang rusuk di sini bersifat

metaforik, majazy seperti dikenal dalam style retorika Arab. Kalaupun hadîts itu shahîh adanya dari Nabi maka, sebenarnya ia tidak sedang berbicara tentang asal usul penciptaan, melainkan berpesan agar perempuan diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Seperti juga sabda Nabi yang lain: sûqûki bi al-

qawârir, apakah kemudian berarti wanita diciptakan dari kaca? 76 Kontroversi yang dipermasalahkan kalangan feminis sebenarnya bukan

pada siapa yang pertama diciptakan, tapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat

73 Lihat Abû 'Abdillah, Muhammd ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr al-Yamâmah, 1987), cet. ke-5, h. 1987. Hadîts tersebut berbunyi:

74 Lihat Muslim Ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-Arabî, tt), jil. ke-2, h. 1090, Hadîts tersebut berbunyi:

75 Lihat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jil. ke-5, h. 1987. Lihat juga Muslim, Shahîh Muslim, jil. ke-2, h. 1090,

76 Lihat Bintusy Syati' pengantar penerjemahan bukunya 'Manusia, Sensitivitas Hermeneutika

al-Qur'an' (Maqalah Fi al-Insan, Dirasah Qur'aniyah, 1966), Yogyakarta, LKPSM, 1997 hal. 39-40.

disebutkan dengan lafal wa khalaqa minhâ zaujahâ. Masalahnya adalah, apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti penciptaan Âdam, atau diciptakan dari (bagian tubuh) Âdam itu sendiri. Kunci penafsiran yang berbeda itu terletak pada kata minhâ. Apakah kata itu menunjukkan bahwa untuk Âdam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya, atau diciptakan dari (diri) Âdam itu sendiri.

Riffat Hasan, seorang feminis muslim yang sangat konsen masalah ini tidak hanya menolak dengan keras pandangan jumhûr mufassir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam, tapi juga mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wâhidah itu Âdam dan zaujahâ itu Hawa, istrinya. Padahal kata nafs dalam bahasa Arab tidak menunjuk kepada laki-laki atau perempuan, tapi bersifat netral. Begitu juga kata zauj, tidak secara otomatis diartikan istri karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa laki-laki dan bisa juga perempuan. Di samping zauj juga dikenal istilah zaujah,bentuk feminim dari zauj. Riffat dengan mengutip kamus Tâj al-‘Arûs menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz yang menggunakan istilah zauj untuk menunjuk kepada perempuan, sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk menyatakan perempuan. Lalu kenapa al- Qur’ân yang secara meyakinkan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz menggunakan istilah zauj bukan zaujah, seandainya yang dimaksud itu

benar-benar perempuan. 77 Melalui penelitiannya terhadap teks-teks Injil dalam Genesis (1:26-27,

2:7, 2:18-24, 5:1-2), Riffat menyimpulkan bahwa kata Âdam adalah istilah Ibrani yang secara literal berarti tanah, berasal dari kata Âdamah yang sebagian besar

berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. 78 Al-Qur’an menurut Riffat Hasan tidak menyatakan bahwa Âdam manusia pertama dan tidak pula

menyatakan bahwa Âdam laki-laki. Âdam adalah kata benda maskulin, hanya secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Seperti halnya nafs wahidah,

77 Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Perkasa,1996), h. 51

78 Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, h. 48 78 Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, h. 48

insan,dan an-nas yang menunjukkan manusia bukan jenis kelamin. 79 Konsep penciptaan Hawa seperti yang dikemukakan jumhûr mufassir

menurut Riffat berasal dari Injil. Tradisi Injil ini masuk lewat kepustakaan hadîts yang menurutnya penuh kontroversial. Jadi menurutnya Âdam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya. Bukan Âdam diciptakan dulu dari tanah, kemudian Hawa dari tulang rusuk Âdam seperti pemikiran para mufassir dan hampir keseluruhan umat Islam. Penolakan penciptaan Âdam dan Hawa secara terpisah berakibat penolakan tafsir lebih lanjut tentang bagaimana Hawa diciptakan. Bagi Riffat, cerita tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Âdam tidak lebih dari dongeng-dongeng Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam kepustakaan hadîts yang dengan berbagai cara telah menjadi kacamata untuk melihat dan menafsirkan al- Qur'ân sejak abad-abad pertama Islam, bukan masuk secara langsung karena sedikit sekali kaum muslimin yang membaca Injil. Ia juga menolak otentisitas dan validitas hadîts-hadîts riwayat Bukhari-Muslim tentang penciptaan Hawa dari

tulang rusuk Âdam, dan hadîts-hadîts lain yang misogini (anti perempuan). 80 Sementara itu Amina Wadud Muhsin berbeda pandangan dengan Riffat, di

mana ia tidak menolak penafsiran nafs wâhidah adalah Âdam dan zaujaha adalah Hawa. Hal itu terlihat misalnya pada terjemahannya terhadap surat al-Nisâ’ ayat pertama sebagai berikut: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dari seorang diri (nafs=Âdam), dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya (zauj=Hawa). Dan dari pasangan ini Allah

mengembangbiakkan (di bumi) laki-laki dan perempuan yang banyak…..” 81

79 Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, h. 49-50 80 Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, h. 55. Bedakan dengan Fatima

Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 62-104

81 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1994), cet. ke-1, h. 30

Dalam hal ini Amina Wadud lebih memilih menganalisis kata-kata yang ada dalam ayat di atas, ia mulai mempertanyakan apakah cara al-Qur’ân menjelaskan proses penciptaan manusia membedakan laki-laki dan perempuan sehingga membatasi potensinya pada satu peran yang sudah pasti? Menurutnya manusia laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban tugas khalîfah, salah satu karakteristik pentingnya adalah adanya dua jenis kelamin yang berbeda tetapi cocok satu sama lain. Ia menjelaskan secara detail 4 kata kunci dalam ayat itu (âyât, min, nafs dan zauj). Meskipun tidak secara eksplisit menolak atas masuknya pengaruh isrâ'îliyyât dalam ayat itu, ia mencontohkan bahwa al- Zamakhsyarî (467-538 H/ 1074-1143 M) dalam tafsir al-Kasysyâf telah memperkuat argumentasinya dengan injil ketika menjelaskan kata nafs dan zauj.

Dua kata itu dimaknai sebagai Âdam. 82 Tentang teknis penciptaan Hawa, Amina Wadud tidak mengemukakan

pendapatnya secara tegas, apakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Âdam seperti pendapat jumhûr mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Âdam seperti pendapat Riffat. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahsa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) “dari” untuk menunjukkan makna “menyarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya”; kedua, dapat digunakan untuk menyatakan

sama macam atau jenisnya. 83 Bila min pada kalimat minhâ dalam Q., S. 4:1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi), maka maknanya Hawa diciptakan

dari Âdam, dan itu berarti hanya bersifat derivatif dan sekunder seperti yang dipaparkan Riffat, sebaliknya bila digunakan fungsi min yang kedua maka

maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Âdam. 84

82 Amina Wadud, al-Qu'ân Menurut Perempuan Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilam, (Jakarta: Serambi, 2006), h. 39-41

83 Amina Wadud, Wanita di dalam al-Qur’ân, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka,

1994), cet. ke-1, h. 24

84 Untuk lebih lanjut analisa lafadz-lafadz itu, lihat Amina Wadud, al-Qur’ân Menurut

Perempuan Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, hal. 36-54.

Hadîts-hadîts yang dikutif oleh jumhûr mufassir ketika menafsirkan surah al-Nisâ' ayat pertama, yang berbicara tentang penciptaan perempuan dinilai oleh kalangan feminis muslim sebagai riwayat isrâ'îliyyât, karena memiliki kesamaan dengan kitab Genesis 2. Menurut hemat penulis, bahwa tidak semua riwayat isrâ'îliyyât itu mesti di tolak. Jika memang shahîh, dan tidak bertentangangan dengan dengan al-Qur'ân tidak perlu ditolak. Demikian juga, jika terdapat kesamaan dengan cerita-cerita dalam Injil atau Taurat tidak dapat dipastikan salah. Nabi sendiri telah memberikan lampu hijau untuk meriwayatkan cerita- cerita tersebut dari orang Yahudi atau Nasrani, meskupun harus tertap berhati- hati.