Image Awal Penciptaan Perempuan

A. Image Awal Penciptaan Perempuan

Kisah penciptaan manusia, dalam hal ini Âdam dan istrinya 1 diungkapkan secara terpisah dalam beberapa surat al-Qur'ân. Dalam setiap bagian, kisah

penciptaan Âdam dan istrinya ini bagaikan sebuah narasi yang melingkar, namun difokuskan pada satu poin tertentu yang berbeda antara satu versi dengan versi yang lain. Al-Qur'ân tidak menyebutkan istri Âdam dengan menyebut namanya, "Hawa" secara langsung, namun disebutkan sebagai istri Âdam, juga tidak

menunjukkan bagaimana cara dia diciptakan. 2 Lima kali al-Qur'ân menceritakan kisah Âdam. Dan dari kelima bagian itu, perempuan muncul hanya dalam tiga

bagian, dan penekanan ketiga kisah itu terletak pada ketidaktaatan manusia kepada Allah. Dan kisah tentang pohon terlarang atau muslihat Iblis mendominasi kisah itu. Tetapi kedua kisah yang lain berbeda dengan tiga kisah pertama. Kedua

1 Tentang Âdam dan Hawa, lihat Kitab Kejadian bab 2 dan bab 3. Sebagian besar segmen berikut ini didasarkan pada sumber berbahasa Arab yang sebelumnya telah dianalisis oleh Janel. Smith

dan Yvonne Y. Haddâd, "Eve: Islamic Image of Women," dalam Women and Islam, ed 'Azîzah al- Hibrî (Oxford: Pergamon Press, 1982), vol. 5, no. 2 of Women's Studies International Forum, h. 135- 144. Sebagai tambahan pada artikel ini, lihat juga Jane. I. Smith and Yvonne Y. Haddâd, The Islamic Understanding of Death and Ressurrection (Albany: State University of New York Press, 1981), h.

11, Juga Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur,ân,(Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1982), h. 17 dan seterusnya.

2 Al-Qur’ân hanya menjelaskan bahwa manusia tercipta dari nafs wâhidah (Q., S. al- Zumar/39: 6; Q., S. al-A’râf/7: 189; Q., S. al-Nisâ’/4: 1).

Secara umum, ayat-ayat al-Qur'ân tentang peristiwa-peristiwa itu mencakup kisah penciptaan Âdam dan pemberontakan Iblis. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Allah menciptakan Âdam dari tanah liat (lempung), atau dari tanah liat kering, dari lumpur yang diberi bentuk; (Q., S. al-Hijr/15: 24; Q., S. Shâd/38:71) Allah menciptakan Âdam dengan kedua tangan-Nya (Q., S.

Shâd/38:75) 4 dengan proporsi yang semestinya dan meniupkan kepadanya ruh- Nya (Q., S. al-Hijr/15 :29, Q., S. Shâd/38: 72). Jadi, ketika diciptakan dari

materi, karakteristik Âdam mencakup Ruh Ilahi, percikan-Nya, yang menyebabkan Allah memuliakan manusia atas semua makhluk. Karakter yang lebih tinggi ini memberikan martabat yang lebih tinggi, juga kewajiban.

Al-Qur'ân juga menyatakan bahwa tujuan Allah menciptakan Âdam adalah untuk menjadikannya sebagai khalîfah 5 di atas bumi (Q., S. al-Baqarah/2:

30). Dia memberkati Âdam dengan pengetahuan kreatif tentang sifat segala sesuatu dengan mengajarinya "semua nama mereka" (Q., S. al-Baqarah/2: 31), dengan demikian pengetahuan Âdam berbeda jauh dengan pengetahuan para malaikat (Q., S. al-Baqarah/2: 32-33); dan Allah memerintah para malaikat untuk

bersujud kepada Âdam. Hanya Iblis yang enggan 6 dan takabur untuk mengakui

3 Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam al-Qur’ân, Hadîts dan Tafsîr, diterjemahkan dari dari buku berbahasa Inggris: Women in the Qur’ân, Traditions, and

Interpretation, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 63 4 Dari seluruh ciptaan Allah, hanya Âdam yang diberi bentuk “dengan tangan Allah”. Tentang

tafsir Islam atau diktum al-Qur’ân ini, lihat M. J. Kister, “Legends in Tafsir and Hadis Literature: The Crations of Adam and Related Stories” dalam Approaches to the History of the Interpretations of the Qur’ân,

ed. Andrew Rippin (Oxford: Clarendon Press, 1988), h. 103 5 Tentang tafsir Islam atas konsep khalîfah ini, lihat Kister, Legends in Tafsir and Hadis

Literature , h. 95 6 Apakah Iblis seorang malaikat atau seorang jin? Dalam karya sejarah al-Thabarî, sejumlah

hadîts menjelaskan sebagai malaikat atau jin, atau pemimpin dari “sekelompok suku malaikat yang bersama jin”. Lihat Abû Ja’far Muhammad Ibn Jarîr al-Thbarî, Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk,(Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1407 H/1986 M), jil. ke-1, h. 56-73. Seorang rasionalis abad pertengahan Muhammad ibn ‘Umar Fakhruddin al-Râzî, ketika mengulas kontroversi ini menunjukkan bahwa “sebagian teolog skolastik”, khususnya kaum Mu’tazilah, “menyangkal bahwa Iblis adalah malaikat,” sedangkan banyak ahli hukum telah mengajakan bahwa Iblis adalah seorang malaikat. Muhammad ibn hadîts menjelaskan sebagai malaikat atau jin, atau pemimpin dari “sekelompok suku malaikat yang bersama jin”. Lihat Abû Ja’far Muhammad Ibn Jarîr al-Thbarî, Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk,(Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1407 H/1986 M), jil. ke-1, h. 56-73. Seorang rasionalis abad pertengahan Muhammad ibn ‘Umar Fakhruddin al-Râzî, ketika mengulas kontroversi ini menunjukkan bahwa “sebagian teolog skolastik”, khususnya kaum Mu’tazilah, “menyangkal bahwa Iblis adalah malaikat,” sedangkan banyak ahli hukum telah mengajakan bahwa Iblis adalah seorang malaikat. Muhammad ibn

Shâd/38: 77-85; Q., S. al-A’râf/7: 13-18, 26-27). 7 Ayat-ayat tersebut menceritakan tentang manusia dan setan; tentang

sejarah mereka dan menjelaskan watak-watak dasar mereka. Setan diceritakan memulai karirnya bersama Âdam. Ia lebih dahulu diciptakan daripada Âdam; perannya sangat berhubungan erat dengan manusia, wataknya sangat antagonis. Ia adalah kekuatan anti-manusia. Penentangan Setan atas kehendak Allah pada manusia merupakan cara untuk mengungkapkan dirinya. Dan sepanjang sejarah, Setan terus berupaya untuk menggoda manusia agar menyimpang dari moralitas menuju perbuatan dosa.

Pada bagian kedua dari kisah al-Qur'ân — diceritakan pembangkangan manusia kepada Allah, sebagai akibat godaan dari Setan dan pengusirannya dari surga — di sinilah mulai muncul kisah tentang wanita. Istri Âdam, yang disebut-

‘Umar Fakhruddin al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr, (Cairo: al-Mathba’ah al-Bâbiyyah al-Mishriyyah, tt), jil. ke-2, h. 213. Untuk keperluan analisis atas perdebatan teologis tentang isu ini, lihat, Kister, Legends in Tafsir and Hadis Literature , h. 88

7 Lihat Abû Ja’far Muhammad Ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Âmulî al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, ditahqîq oleh Mahmud Muhammad Syâkir dan Ahmad

Muhammad Syâkir, (Cairo: Muassasah al-Risâlah, 2000), cet. ke-1, h. 512. Lihat juga Fazlur Rahman, Major Themes,

h. 18. Beberapa hadîts menunjukkan bahwa arogansi Iblis mendahului penciptaan Âdam, tetapi bahkan kejatuhannya sebagai setan berkaitan erat dengan ketidaktaatannya untuk sujud di hadapan Âdam (lihat misalnya Ibn Jarîr al-Thbarî, Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk, jil. ke-1, h. 62-69) Pembangkangan Setan merupakan isu penting dalam perdebatan teologis antara kelompok “pre- determinis” dengan kelompok “free-will”; bagi yang pertama, ketidaktaatan Iblis itu sudah dikehendaki Allah dan karenanya tidak ada tindakan yang “betul-betul bersifat pembangkangan.” Yang lain, khususnya kaum mistis, menganggap penolakan untuk menundukkan dirinya (sujud) dihadapan Âdam sebagai pertanda” monoteisme Iblis, meskipun sepihak”. Lihat Thackston, The Tales of the Prophet of al-Kisâ’i , (Boston: Twayne Publishers, 1979), h. 341-342 h. 18. Beberapa hadîts menunjukkan bahwa arogansi Iblis mendahului penciptaan Âdam, tetapi bahkan kejatuhannya sebagai setan berkaitan erat dengan ketidaktaatannya untuk sujud di hadapan Âdam (lihat misalnya Ibn Jarîr al-Thbarî, Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk, jil. ke-1, h. 62-69) Pembangkangan Setan merupakan isu penting dalam perdebatan teologis antara kelompok “pre- determinis” dengan kelompok “free-will”; bagi yang pertama, ketidaktaatan Iblis itu sudah dikehendaki Allah dan karenanya tidak ada tindakan yang “betul-betul bersifat pembangkangan.” Yang lain, khususnya kaum mistis, menganggap penolakan untuk menundukkan dirinya (sujud) dihadapan Âdam sebagai pertanda” monoteisme Iblis, meskipun sepihak”. Lihat Thackston, The Tales of the Prophet of al-Kisâ’i , (Boston: Twayne Publishers, 1979), h. 341-342

Cerita tentang asal usul kejadian perempuan tersebut di atas, tidak saja dapat ditemukan di dalam al-Qur'ân, tetapi justru secara panjang lebar dimuat di dalam kitab-kitab suci sebelumnya, seperti dalam Taurat (Kitab Suci Agama Yahudi) dan Injil (Kitab Suci Agama Kristen). Dalam kedua kitab suci yang disebutkan terakhir ini, asal-usul kejadian perempuan dijelaskan secara lebih terperinci dalam bab-bab khusus, terutama pada Kitab Kejadian (1: 26-27), (2: 18-

24), dan Imamat (2: 7), (5: 1-2). 8 Sebagai misal, pada Kitab Kejadian/2: 18, ditegaskan sebagai berikut:

"Tuhan Allah berfirman: Tidak baik kalau seorang laki-laki sendirian dan karenanya Eva (Hawa) diciptakan sebagai pelayan yang tepat untuk Âdam (a helper suitable for him)".

Penegasan dari salah satu pasal di Kitab Kejadian tersebut, mengesankan secara kuat citra dan kedudukan perempuan sebagai pelengkap keinginan dan kebutuhan laki-laki. Setelah Tuhan menyaksikan Âdam tampak tidak bersemangat, kesepian, dan seolah-olah membutuhkan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang dia butuhkan, Tuhan pun menciptakan Eva (Hawa). Dengan demikian Hawa diciptakan Tuhan untuk menemani dan memenuhi kebutuhan Âdam di dalam surga.

Lebih lanjut, dalam Kitab Kejadian/2, khususnya pasal 21-23 dijelaskan bagaimana proses ketika Tuhan menciptakan Hawa, sebagai berikut:

8 Lihat Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci, (Jakarta: Fikahati Aneske, 2000), h. 12-13.

"Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging (21). Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawanya kepada manusia itu (22). Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (23)."

Keterangan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dalam Kitab Kejadian ini, semakin memperburuk citra perempuan; sebagai the second creation dan the second sex yang diposisikan sebagai subordinasi bagi laki-laki.

Selain citra-citra negatif tersebut di atas, salah satu citra perempuan yang juga sulit diubah dalam tradisi masyarakat adalah anggapan bahwa perempuan sebagai makhluk penggoda bagi laki-laki karena awalnya, Hawa yang membujuk Âdam untuk ikut memakan buah terlarang. Dalam Kitab Kejadian 3:12, disebutkan:

"Manusia itu menjawab:"Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan".

Sebagai sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan semacam hukuman, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Kejadian 3:16, sebagai berikut:

"FirmanNya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engaku akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu".

Di lain sumber, dalam Kitab Talmud seperti dikutip Nasaruddin Umar, disebutkan bahwa akibat pelanggaran Hawa di surga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung sepuluh beban penderitaan, yaitu: [1] Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami Hawa; [2] Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit; [3] Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak akan membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu akan merasa risih apabila pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan; [4]

Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri; [5] Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua; [6] Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan; [7] Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki; [8] Perempuan masih akan merasakan keinginan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi; [9] Perempuan sangat berhasrat melakukan keinginan berhubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya; dan [10]

Perempuan lebih suka tinggal di rumah. 9 Konsep teologi klasik tersebut di atas, baik yang berkembang di kalangan

umat Kristen maupun di kalangan umat Yahudi, jelas sekali sangat merugikan citra perempuan. Dari kedua tradisi keagamaan yang telah mapan sebelum datangnya agama Islam itu, telah tertanam asumsi-asumsi negatif tentang kaum perempuan. Asumsi-asumsi tersebut membentuk citra yang menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan kajian Riffat Hassan, setidaknya terdapat tiga asumsi teologis yang sangat merugikan perempuan yang telah berkembang dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Ketiga asumsi tersebut, yaitu: Pertama, bahwa ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini diciptakan dari rulang rusuk laki-laki, karenanya secara ontologis bersifat derivatif dan sekunder; kedua, bahwa perempuan – bukan laki-laki – adalah penyebab utama dari pada apa yang biasanya dilukiskan sebagai "kejatuhan" atau pengusiran manusia dari surga. Karena itu, semua "anak perempuan Hawa" harus dipandang dengan rasa benci, curiga, dan jijik; Hawa dengan rayuannya, dipandang sebagai penyebab langsung tergelincirnya Âdam dari surga sehingga memakan buah terlarang. "Dosa asal" yang ditimpakan kepada Hawa ini, selanjutnya membekas di alam bawah sadar kaum perempuan sehingga merelakan dirinya senantiasa berada di bawah otoritas dan dominasi kaum laki-laki; dan ketiga, bahwa

9 Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender: Antara Mitos dan Teks Kitab Suci, (Jakarta: Pustaka Cicero, 2003), h. 161-162.

perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar. Riffat Hasan, selanjutnya menolak asumsi-asumsi yang beredar seputar konsep penciptaan perempuan ini. Karena menurutnya, secara filosofis maupun teologis konsep ketidakadilan atau ketidaksetaraan laki-laki dan

perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini. 10 Doktrin Islam tidak mengajarkan adanya dosa warisan sebagaimana

diyakini oleh umat Kristiani. Al-Qur'ân, sebagai kitab Sucinya umat Islam menegaskan bahwa Iblislah yang membujuk Âdam dan Hawa sehingga mereka makan bersama-sama buah terlarang itu (baca dalam Q., S. Thâhâ/20: 116-122). Dengan demikian, maka perempuan tidak bertanggung jawab atas kemaksiatan kepada Allah sebagaimana diyakini orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam al- Qur'ân, bahkan dinyatakan bahwa Allah telah mengampuni dosa Âdam, kemudian memilihnya menjadi rasul (lihat Q., S. 2: 37). Tuhan telah memberinya petunjuk untuk bertobat. Dengan demikian, menurut ajaran Islam, Âdam dan isterinya tidak meninggal dunia dengan membawa dosa yang kemudian diwariskan kepada anak- cucunya, sehingga – seperti ajaran Nasrani – diperlukan proses pengampunan, penyaliban, dan penebusan dosa. 11

Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai rahmatan li al-'âlamîn (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seorang manusia di sisi Allah adalah prestasi dan kualitas takwanya, tanpa membedakan etnis dan jenis kelaminnya (Q., S. al-Hujarât/49: 13). Al-Qur'ân tidak menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang

10 Riffat Hassan, "Isu Kesetaraan Laki-laki-Perempuan dalam Tradisi Islam", terj. Oleh Tim LSPPA, dari judul asli, "The Issue of Woman-Man Equality in the Islamic Tradition", dalam Setara di

Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), h. 54. 11 Muhammad Baltaji, Kedudukan Wanita dalam al-Qur'ân dan al-Sunnah, terj. Oleh Afifuddin Said, dari judul asli, Makânah al-Mar`ah fî al-Qur'ân wa al-Sunnah, (Solo: Media Insani Publishing, 2007), h. 122-124.

mengistimewakan suku tertentu. Setiap orang, tanpa dibedakan jenis kelamin dan suku bangsanya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'âbid dan khalîfah (Q., S. al-Nisâ’/4: 124 dan Q., S. al-Nahl/16: 97).

Beribu tahun sebelum datangnya ajaran Islam, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh, dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, berkarya, dan berharta. Bahkan, ia dianggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan lagi hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka. Ia berhak menyuarakan keyakinannya, berhak mengaktualisasikan karyanya, dan berhak memiliki harta, yang memungkinkan mereka diakui sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara di masa itu, ketika saudara-saudara perempuan mereka di belahan

bumi Barat terpuruk dalam kegelapan. 12 Kaum perempuan di masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan

yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaknya. 13 Bahkan, dalam al-Qur'ân, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian

politik (al-istiqlâl al-siyâsah), 14 seperti figur Ratu Bulqis yang memimpin kerajaan superpower ('arsyun 'azhîm) (Q., S. al-Naml/27: 23); memiliki

kemandirian ekonomi (al-istiqlâl al-iqtishâdi) (Q., S. al-Nahl/16: 97), seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan (Q., S. al-Qashash/28: 23); kemandirian di dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlâl al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., S. al-Tahrîm/66: 11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (Q., S. al- Tahrîm/66: 12). Al-Qur'ân mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan

12 Bandingkan antara doktrin Yahudi, Kristen, dan Islam tentang hak-hak perempuan. Lihat dalam buku Zakî 'Alî al-Said Abû Ghuddah, al-Mar`ah fî al-Yahûdiyyah, wa al-Masîhiyyah wa al-

Islâm , (Cairo: Dâr al-Wafâ, 2003). 13 Masharul Haq Khan, Wanita Korban Patologi Sosial, (terj.), (Bandung: Pustaka, 1995), h.

14 (Q., S. al-Mumtahanah/60: 12) 14 (Q., S. al-Mumtahanah/60: 12)

Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki kemampuan intelektual dan prestasi sosial yang cemerlang seperti yang diraih kaum laki-laki, seperti para istri Rasul. Dalam jaminan al- Qur'ân, perempuan dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan masyarakat, termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik lainnya. Pada masa Nabi Muhammad, seperti diakui Karen Armstrong, kaum wanita tidak pernah merasakan Islam sebagai agama penindas, namun kemudian, seperti juga terjadi dalam agama Kristen, kaum laki-laki membajak agamanya dan membawanya ke jalur yang sesuai dengan semangat patriarki yang berkembang

pada zamannya. 15 Catatan Armstrong tersebut, secara tidak langsung mengakui bahwa ajaran

Islam yang disampaikan Nabi Muhammad saw pada awalnya, sebenarnya sangat berpihak dan menghargai harkat dan martabat kaum perempuan. Sikap dan pemahaman yang merendahkan kedudukan perempuan, termasuk asumsi-asumsi negatif tentang perempuan dalam tradisi Islam justru datang belakangan, akibat berbagai pengaruh di luar doktrin Islam, khususnya, pengaruh tradisi Yahudi dan Nasrani yang telah mengakar di wilayah-wilayah baru yang ditaklukkan Islam.

Tradisi Yahudi dan Kristen antara lain juga masuk ke dalam literatur keislaman melalui riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang dikutip dalam kitab-kitab tafsir, hadîts dan târikh. Salah satu mufasir besar yang terkenal banyak mengutip riwayat-riwayat isrâ`îliyyât ini adalah Ibn Jarîr al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) dengan kitab tafsirnya Jâmi al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân. Pada uraian selanjutnya, akan dianalisis bagaimana penafsiran al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) tentang proses penciptaan perempuan yang menggunakan sumber-sumber riwayat isrâ`îliyyât ini; Apakah al-Thabarî (224-310 H/839-923 M) terpengaruh

15 Karen Armstrong, Islam: A Short History, (New York: Modern Library, 2002), h. 16.

oleh image-image negatif tentang perempuan yang terkandung dalam riwayat- riwayat isrâ`îliyyât tersebut.