Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'ân

B. Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'ân

Dalam kaitannya dengan persoalan relasi laki-laki dan perempuan, prinsip dasar al-Qur'ân sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter. 19

Menurut Asghar Ali Engeneer, al-Qur'ân-lah yang pertama kali memberikan perempuan hak-hak yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan dalam aturan

yang legal. 20 Hal senada diungkapkan oleh Mahmud Saltut dalam bukunya al- Islam 'Aqîdatun wa Syarî'atun bahwa perhatian yang begitu besar itu

menunjukkan kedudukan yang selayaknya ditempati perempuan menurut Islam. Sungguh kedudukan yang diberikan Islam kepada perempuan itu merupakan kedudukan yang tidak pernah diperoleh perempuan pada syariat agama samawi

terdahulu dan tidak pula ditemukan dalam masyarakat manusia manapun. 21

Merujuk pada al-Qur'ân banyak ayat yang menjelaskan tentang prinsip- prinsip kesetaraan jender. Nasaruddin Umar mencoba mengkompilasikannya sebagai berikut: Pertama, prinsip kesetaraan jender mengacu pada suatu realitas antara laki-laki dan perempuan, dalam hubungannya dengan Tuhan, sama-sama sebagai seorang hamba. Tugas pokok hamba adalah mengabdi dan menyembah

(Q., S. al-Dzariyât/51 :56) 22 Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-

laki dan perempuan. Perbedaaan yang dijadikan ukuran untuk memuliakan atau

19 Sejumlah ayat al-Qur'ân yang mengungkapkan prinsip ini dapat dibaca, misalnya Q. s., al- Hujarât/49:13, Q. s., al-Nahl/16: 97, Q. s., al-Taubah/9: 71, Q. s., al-Ahzâb/33: 35. Nabi Muhammad

juga menyatakan kesetaraan ini dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abû Daûd dan al-Turmudzî: al-Nisâ' Syaqâ'iq al-Rijâl. Lihat Abu Daûd Sulaiman Ibn al-Asy'ab Ibn Syaddâd Ibn 'Amr al-Azdî al- Sajastânî (202-275 H/817-889 M), Sunan Abî Daûd, (Beirût: Dâr al-Kitâb al-'Arabî, tt), jil. ke-1, h. 95; Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal,(Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1999), cet. ke-2, 43, h. 264; Abû 'Îsa Muhammad Ibn 'Îsa Ibn Saurah Ibn Mûsa Ibn al-Dhahhâk al-Turmudzî, Sunan al- Turmudzî, ditahqîq oleh Ahmad Muhammad Syâkir, (Beirût: Dâr Ihyâ' al-Turâts al-'Arabî, tt), jil. ke-1,

h. 189 20 Asghar Ali Engeneer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1999), cet ke-1, h. 50 21 Mahmûd Saltût, al-Islam 'Aqîdatun wa Syarî'atun, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1989), h. 227

22 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 248 22 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 248

suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Al-Qur'ân sendiri menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah muttaqîn (Q., S. al-Hujarât/49 :13)

Kedua, adalah fakta bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai khalîfah. Jika dicermati, Allah Swt sama sekali tidak menegaskan jenis kelamin seorang khalîfah. Jadi, dalam Islam prinsip kesetaraan jender telah dikenal sejak zaman azali (Q., S. al-Baqarah/2: 30).

Menurut Nasaruddin Umar, kata khalîfah pada Q., S. al-Baqarah/2: 30 tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalîfah, yang akan mempertanggungjawabkan ke-khalîfahan-nya di muka buki, sebagaimana

halnya mereka harus bertanggungjawab sebagai hamba Tuhan. 24 Ketiga, Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan

menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allah telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan jender dengan terlebih dahulu ia harus

menerima perjanjian dengan Tuhannya (Q., S. al-A'râf/7: 172). 25 Keempat, prinsip kesetaraan jender dalam al-Qur'ân dapat dilihat pada

kenyataan bahwa antara Âdam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena beberapa hal, mereka harus turun ke bumi, menggambarkan adanya kesetaraan peran yang

dimainkan keduanya. 26 Hal ini dapat dilihat dengan penggunaan kata ganti untuk

23 Huzaemah Tahido Yanggo, "Pandangan Islam Tentang Gender", dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusati, 1996), h. 152

24 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 252-253 25 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 253-254 26 Mengenai persoalan kejatuhan Âdam, mufassir seperti al-Qurthubî menganggap Hawa-lah

yang menjadi penyebab kejatuhan tersebut. Para feminis muslim jelas tidak sepakat dengan penjelasan teks agama yang seperti demikian. Padahal ada ayat lain yang justeru merujuk godaan syetan itu terjadi kepada Âdam sebagai suami (Thâhâ/20: 120). Quraish Shihab mengatakan bahwa memang benar ada

Âdam dan Hawa seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini: keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q., S. al-Baqarah/2: 35), keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syetan (Q., S. al-A'râf/7: 20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi (Q., S. al-A'raf/7: 22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q., S. al-A'raf/7: 23), setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q., S. al-Baqarah/2:

187). 27 Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun

perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat al-Qur'ân (Q., S. Ali Imrân/3: 195, Q., S. al-Nisâ/4: 124 dan Q., S. Mu’min/40 :40). Ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya

yang sulit diselesaikan. 28 Salah satu obsesi al-Qur'ân ialah terwujudnya keadilan di dalam

masyarakat. Keadilan dalam al-Qur'ân mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu, al-Qur'ân tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat

bisikan syetan terhadap Hawa, akan tetapi Âdam juga sama-sama dibisiki (Q., S. al-A'râf/7: 20). Lihat Quraish Shiohab, Wawasan al-Qur'ân (Bandung: Mizan, 1997), cet ke-6, h.302

27 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 260 28 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, h. 263-264.

menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan.

Diskripsi tersebut di atas dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa al-Qur'ân menjunjung tinggi kesetaraan jender. Kesetaraan jender merupakan

bagian dari nilai Islam yang berlaku universal. 29 Jadi, analisis yang memperjuangkan kehidupan yang adil dan lebih manusiawi tidak bertentangan

dengan prinsip ajaran Islam. Prinsip-prinsip kesetaraan jender yang digariskan al-Qur'ân sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya dapat dijadikan sebagai standar untuk mengalisis produk-produk penafsiran yang dinilai bias jender.