Peran Budaya dalam Membangun Karakter

F. Peran Budaya dalam Membangun Karakter

Secara terminologis, karakter menurut Lickona ( 1991, hlm 51) adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona

menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”. Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Karakter mulia ini yang harus dimiliki oleh peserta didik dengan cara menanamkannya melalui proses pembelajaran di sekolah. Sesuai dengan karakteristik yang terdapat pada generasi Z maka pendidikan karakter yang berbasis kebudayaan merupakan salahsatu cara sebagai kontrol dan cara dalam meminimalisasi terhadap munculnya manusia-manusia yang berkarakter buruk yang dipengaruhi budaya asing.

Saptono (2015, hlm 23) menjelaskan pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebijakan-kebijakan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.

Pendidikan merupakan sebuah proses dalam mendewasakan seseorang dan mengarahkan seseorang kepada hakikat manusia. Selain itu, pendidikan pun mempunyai makna dalam memanusiakan manusia. Lingkungan sekolah dapat menjadi tempat yang baik dalam menanamkan karakter peserta didik. Dengan demikian, harusnya segala kegiatan yang ada di sekolah, baik kegitan pembelajaran maupun kegitan pembiasaan-pembiasaan semestinya dapat diintegrasikan dalam program pendidikan karakter. Jadi, pendidikan karakter merupakan usaha bersama seluruh warga sekolah untuk mewujudkan dan menciptakan suatu kultur baru di sekolah, yaitu kultur pendidikan karakter. Penanaman dan pembiasaan pendidikan karakter di sekolah melalui lingkungan pendidikan dapat dilaksanakan secara langsung maupun secara tidak langsung dan akhirnya terbentuklah suatu kultur sekolah (Pusat Kurikulum, 2010).

Lebih lanjut Kemendikbud (2015, hlm 5) menjelaskan bahwa pendidikan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, dan pembentukan kepribadian. Kepribadian dengan karakter unggul antara lain, bercirikan kejujuran, berakhlak mulia, mandiri, serta cakap dalam menjalani hidup.

Pendidikan karakter sebetulnya bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan di Indonesia, sejak lama pendidikan karakter ini telah menjadi bagian penting dalam misi kependidikan nasional walaupun dengan penekanan dan istilah yang berbeda. Pendidikan karakter pun kembali menguat dan menjadi bahan perhatian sebagai respons atas berbagai persoalan bangsa terutama masalah kemunduran dan terkikisnya moral peserta didik.

M a’mur (2012, hlm 23) menjelaskan Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh kompetitif, berakhlak mulia, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang maha esa berdasarkan Pancasila.

Berkaitan dengan hal di atas, bahwa peran budaya memiliki peranan yang sangat vital dalam membangun karakter seseorang khususnya dalam pengembangan karakter generasi Z. Lebih lanjut, nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan dapat diintregasikan ke dalam sebuah proses pembelajaran seperti nilai gotong royong, bertoleran, dll.

Tilaar (1999, hlm 3) menjelaskan merupakan salahsatu ekses dari kondisi masyarakat yang sedang berada dalam masa transformasi sosial menghadapi era globalisasi. Dengan demikian, dalam perkembangan teknologi di era globalisi yang berdampak pada generasi Z sehingga mengakibatkan kemunduran-kemunduran moral generasi Z Indonesia yang jauh dari norma- norma kebudayaan.

Berkaitan dengan hal di atas, Tilaar (1999, hlm 17) membuat pendidikan hari ini telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan kebudayaannya. Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu; (1) kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk urusan candi-candi dan bangunan-bangunan kuno, makam-makam dan sastra tradisional,; (2) nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai- nilai intelektual belaka; (3) hal lain, nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama.

Dengan demikian, pendidikan di Indonesia dalam abad 21 ini seharusnya menerapkan pendidikan yang berbasis kebudayaan agar nilai-nilai moral bangsa dan karakter manusia Indonesia tetap utuh dan terjaga sesuai dengan nilai budaya keindonesiaan. Dalam hal ini bukan mengembangkan sikap-sikap primordial pada generasi Z tetapi mengembangkan sikap dan pemahaman yang pluralitas kebudayaan dengan menanamkan sikap toleran terhadap budaya- budaya lain yang hidup disekitarnya. Walaupun dalam proses pembelajaran yang dipadukan dengan unsur-unsur budaya keindonesiaan bukan berarti kita menutup diri dengan kemajuan jaman dan perkembangan dunia. Dalam hal ini kebudayaan mempunyai fungsi sebagai pengontrol supaya nilai jati diri bangsa Indonesia tetap utuh dan terjaga.

Dengan demikian, sudah semestinya untuk kembali kepada jati diri bangsa melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya keindonesian. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif dari nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Nilai dari kebudayaan Indonesia yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia khususnya pada generasi Z serta dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesama manusia itu sendiri.