Pendidikan Moral Pancasila-Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
4. Pendidikan Moral Pancasila-Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Keberhasilan pemerintahan orde-baru mengkonsolidasi kekuatannya ditandai dengan kebijakan depolitisasi. Bahwa apa yang dibutuhkan kehidupan rakyat pasca konflik politik di masa orde-lama hingga pecahnya peristiwa tanggal 30 September/PKI (1965) adalah pembangunan nasional, karena itu lahirlah adagium praksis “Politik No, Pembangunan yes !” Berdasar konsepsi rencana pembangunan nasional, keputusan politik yang dirumuskan sebagai keputusan MPR hasil Pemilu 1971 menetapkan tujuan pembangunan nasional di dalam GBHN yang isinya bukan lain dari “Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan masyarakat Indonesia seluruhnya” implikasi teknisnya menjadi perintah kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan / Mandataris MPR untuk melaksanakannya di dalam kabinet kerja lima tahun ke depan pertama. Maka menjelang berakhir lima tahun pertama Pelita kesatu, yakni tahun 1975 berseiringan dengan harus diperbaruinya kurikulum 1968, kurikulum 1975 dilahirkan dengan berbagai perubahan besar di dalamnya. Salah satu perubahan besar sesuai dengan politik pendidikan yang menjadi pilihan pemerintah, yakni depolitisasi ke dalam kurikulum pendidikan diperkenalkannya nama mata pelajaran pengetahuan umum yang selama ini disebut PKN atau Civics menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Ketika penggunaan sebutan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menjadi pilihan sebagai bagian dari kebijakan pembaruan ‘politik pendidikan dan pendidikan politik’ masa pemerintahan masa itu, isi pesan mata pelajaran ini secara strategis telah memenuhi tujuannya sebagai pengembalian pendidikan politik kepada moral based Dasar Negara Pancasila dan sebagai Pandangan Hidup Bangsa. Hampir selama 20 tahun, yakni sejak ditetapkan kurikulum 1975 yang dilanjutkan kurikulum 1984 hingga berakhir dengan dilahirkannya kurikulum 1994, implementasi pengembangan mata pelajaran ini esensinya merupakan pengembangan kembali pelajaran Pendidikan Budi Pekerti yang pernah ada di masa awal kemerdekaan.Tetapi kurikulum 1994 yang dilahirkan pasca diundangkannya UUSPN Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, meski tidak dimaksudkan meniadakan tujuan pendidikan moral tidak ayal memperoleh tanggapan dari pelaksana di bawah sebagai penghilangan. Sungguhpun penghilangan paktanya terjadi oleh dan di dalam konteks kurikulum pasca reformasi, yakni pada ketika KBK 2004 diterapkan melalui penyatuan kedalam satu sebutan berbasis keilmuannya yakni pendidikan Pengetahuan Sosial. Penyebutan PKPS (Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial) di dalam praksisnya di sekolah kemudian, menjadi
pertanda bahwa selama implementasi KBK 2004 dalam dua tahun berjalan bahkan belum berakhir masa sosialisasinya, nama dan makna ‘Pendidikan Kewarganegaraan’ yang dipergunakan di dalam kurikulum 1994 sepertinya tidak dikehendaki harus hilang. Sehingga di dalam kurikulum penggantinya yang merupakan penyesuaian terhadap tuntutan yuridis dan spirit otonomi daerah (desentralisasi), yakni KTSP 2006 mata pelajaran PKn mendapat tempat kembali sebagai sebuah mata pelajaran berdiri sendiri disamping Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Adapun keluh-kesah dan kritik terhadap subtansi mata pelajaran ini tidak urung dilakukan para guru di lapangan, terutama pada jenjang pendidikan dasar – atas ketidak sesuaian dengan peta kebutuhan belajar peserta didik sekolah dasar khususnya. Sungguhpun suasana reformasi dan revolusi teknologi informasi sangat kuat menandai jaman ini. Implementasi pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah dasar masihlah harus lebih sebagai ‘pendidikan moral’ melalui penanaman nilai dan pembiasaan perilaku baik dari pada tuntutan ‘pendidikan politik’ berupa pemaksaan pengetahuan yang belum perlu. Dengan demikian, terlahirnya Kurikulum 2013 sebagai pengganti KTSP 2006 dan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sungguhpun konstruks keseluruhannya terkesan merupakan pengembalian pada model ‘kurikulum nasional’ di masa pra-reformasi – dan bersipat indoktrinatif, namun inilah yang dipandang sesuai dengan keadaan dan kenyataan bahwa pelaksanaan kurikulum berbasis otonomi sekolah menuntut syarat kompetensi guru di dalamnya, sementara upaya meningkatkan profesionalisme guru tidak juga secara otomatis terpenuhi oleh program sertifikasi yang dipaksakan. Selebihnya secara keseluruhan dan terkait dengan mata pelajaran yang berisikan tuntunan perilaku anak pada jenjang sekolah dasar telah memenuhi hajatnya karena telah dikembalikan kepada peta kebutuhan psikologis belajar pesertadidik.