Konsep Multiliterasi
2. Konsep Multiliterasi
Pada mulanya Multiliterasi hanya dikenal dengan istilah literasi yaitu alat yang dapat digunakan untuk memperoleh dan mengomunikasikan informasi. Sejalan dengan perkembangan waktu, istilah ini telah mengalami pergeseran makna yang lebih luas pada bidang ilmu lainnya. Secara terminologi, McKee dan Ogle (2005) mengemukakan bahwa literasi pada awalnya harus dipandang sebagai kemampuan untuk menggunakan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara seefisien mungkin untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Selanjutnya definisi ini diperluas dengan kemampuan mengkritisi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam berbagai ragam disiplin ilmu (Pullen dan Cole, 2010). Berdasarkan pendapat di atas istilah literasi mengalami perubahan menjadi Multiliterasi yang merupakan sebuah alat komunikasi pada bidang ilmu yang dikomunikasikannya.
Abidin (2015, hlm. 100) mengungkapkan bahwa Multiliterasi merupakan kemampuan berbahasa (membaca, menulis, berbicara dan menyimak) yang bertemali dengan konteks, budaya, dan media. Artinya bahwa dalam penerapan kemampuan berbahasa tersebut dipadukan dengan keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selain dari itu keterampilan tersebut akan berhubungan dengan berbagai disiplin ilmu dan berbagai budaya.
Selain itu, Abidin (2015) berpendapat bahwa Multiliterasi merupakan pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan-keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Pembelajaran ini diorientasikan bagi pengembangan dan penggunaan keempat kompetensi abad ke-21 yakni kompetensi berpikir kritis, kompetensi pemahaman konseptual, kompetensi kolaboratif dan komunikatif, dan kompetensi berpikir kreatif. Selain itu, Multiliterasi merupakan pendekatan belajar yang dikembangkan Selain itu, Abidin (2015) berpendapat bahwa Multiliterasi merupakan pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan-keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Pembelajaran ini diorientasikan bagi pengembangan dan penggunaan keempat kompetensi abad ke-21 yakni kompetensi berpikir kritis, kompetensi pemahaman konseptual, kompetensi kolaboratif dan komunikatif, dan kompetensi berpikir kreatif. Selain itu, Multiliterasi merupakan pendekatan belajar yang dikembangkan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pedagogik multiliterasi merupakan konsep pembelajaran lintas disiplin yang secara substansial perlu diaplikasikan agar siswa memperoleh dan mampu membangun pengetahuan secara optimal dan mendalam melalui penggunaan media informasi dan teknologi dan dalam latar kehidupan budaya siswa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa siswa akan memperoleh pengetahuan yang bermakna jika pembelajaran didasarkan pada sebuah materi yang bersifat lintas bidang ilmu (interdisipliner) dan kontekstual sesuai latar budaya kehidupan siswa, guna membangun konsep pengetahuan siswa secara utuh. Hal ini dipertegas dengan pendapat Ivanic (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan multiliterasi merupakan proses memberikan tantangan kepada siswa untuk mengkaji dan menerapkan literasi praktis yang berfungsi sebagai alat mediasi untuk mempelajari berbagai konsep lintas kurikulum.
Berdasarkan penjelasan di atas, dalam kaitannya, pedagogik Multiliterasi informatif kritis diartikan sebagai sebuah model pendidikan yang membangun pengetahuan secara kontekstual dengan latar kehidupan budaya dan perkembangan media teknologi dan informasi, sebagai upaya melatih dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa untuk menyikapi fenomena/ problematika kehidupan dalam multiperspektif. Dengan kata lain Pedagogik Multiliterasi menekankan pada pengalaman bermakna siswa sebagai dasar untuk mengonstruksi ilmu secara efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat, Cope dan Kalantzis (2005) berpendapat bahwa pedagogik multiliterasi menyajikan sebuah pengalaman belajar yang efektif dan efisien. Selain itu, Pedagogik Multiliterasi informatif kritis dapat dikatakan pula sebagai model pendidikan yang didasarkan pada penggunaan media informasi dan situasi kehidupan nyata melalui pembelajaran lintas disiplin sebagai upaya dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa dan untuk menumbuhkan dan membangun kreativitas ideasional siswa.
Iyer & Luke, (2010) yang mengungkapkan bahwa melalui pendekatan Multiliterasi siswa akan memperoleh pemahaman yang tinggi. Selain itu, Abidin (2015) berpendapat bahwa Multiliterasi juga diyakini mampu mengembangkan kreativitas tingkat tinggi sebagai keterampilan paling penting bagi siswa. Hal ini dipertegas oleh Concannon-Gibney dan McCarthy (2012) berdasarkan penelitiannya, menyimpulkan bahwa “Multiliteracies education plays a key role in science achievement ”. Dengan kata lain bahwa pendidikan multiliterasi menjadi kunci utama dalam pencapaian ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, Pedagogik Multiliterasi dapat dipandang sebagai sebuah model pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian hasil pengetahuan semata, melainkan lebih dari itu pada proses atau aktivitas yang mampu mengembangkan potensi dan seluruh aspek dalam diri siswa yang meliputi kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, mandiri, dan kemampuan lainnya serta mengembangkan karakter siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Lickona (2004, hlm. 121) yang mengungkapkan bahwa “pembelajaran yang berorientasi proses akan mampu mengembangkan karakter siswa sekaligus mengembangkan kemampuan akademik siswa”.
The New London Group (2005) menyatakan bahwa pedagogik multiliterasi dibangun oleh empat komponen yakni situasi praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis, dan transformasi kritis. Lebih lanjut, Cope and Kalantzis (2005) menyatakan bahwa empat komponen tersebut satu kesatuan utuh yang saling memperkuat satu sama lain. Situasi praktis memungkinkan guru memahami latar belakang sosial budaya siswa dan menyediakan rangkaian pembelajaran yang penting bagi pembentukan identitas diri. Pembelajaran yang jelas dari guru merupakan penjelasan ataupun teoretis yang disediakan untuk membantu siswa membangun wawasan dan pemahaman yang mendalam. Bingkai kritis digunakan sebagai alat bantu bagi siswa agar mereka mampu bekerja secara inovatif melalui pengembangan The New London Group (2005) menyatakan bahwa pedagogik multiliterasi dibangun oleh empat komponen yakni situasi praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis, dan transformasi kritis. Lebih lanjut, Cope and Kalantzis (2005) menyatakan bahwa empat komponen tersebut satu kesatuan utuh yang saling memperkuat satu sama lain. Situasi praktis memungkinkan guru memahami latar belakang sosial budaya siswa dan menyediakan rangkaian pembelajaran yang penting bagi pembentukan identitas diri. Pembelajaran yang jelas dari guru merupakan penjelasan ataupun teoretis yang disediakan untuk membantu siswa membangun wawasan dan pemahaman yang mendalam. Bingkai kritis digunakan sebagai alat bantu bagi siswa agar mereka mampu bekerja secara inovatif melalui pengembangan