Peran Guru dalam Penanaman Nilai “TOMAT” (Tolong, Maaf dan Terima kasih)
B. Peran Guru dalam Penanaman Nilai “TOMAT” (Tolong, Maaf dan Terima kasih)
Interaksi adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan diakhiri apakah ada timbal balik komunikasi ataupun tidak untuk saling memahami. Sejalan dengan Saffer (2013) mengatakan bahwa “interaction is about behavior, and behavior is much harder to observer and understand than appearance. A transaction between two entities, typically an exchange of information ”. Tidak hanya pada komunikasi sehari-hari melainkan pada pembelajaranpun interaksi terjadi antara guru dengan siswa dan atau antara siswa dengan siswa membentuk komunikasi ketika ada suatu percakapan yang terjalin. Pendidik menjadi idola ataupun contoh yang baik untuk anak didiknya dikarenakan segala bentuk aktivitas dan pengucapan dalam berkomunikasi pun mudah ditiru dan dilakukan bagi para pengamat yaitu siswanya. Tidak hanya guru saja melainkan figur utama pencontohan adalah orang tua. Bentuk komunikasi yang baik menjadi sebuah pendidikan penanaman nilai.
Penanaman N ilai “TOMAT” (Tolong terima kasih, dan Maaf) merupakan ringkasan kata yang ditulis penulis untuk menarik pembaca agar menyakini bahwa ketiga kata yang sering dilalaikan itu dijadikan pembiasaan pendidikan komunikasi yang baik untuk ditanamkan kembali khususnya pada anak sekolah dasar yang menjadi perkembangan awal siswa bergaul dengan teman sebayanya. Ungkapan yang sering terabaikan ini merupakan ciri kemandegan komunikasi penimbul konflik, mengapa? Penulis melakukan berbagai observasi di lingkungan sekolah dasar, banyak yang ditemukan kasus siswa yang enggan mengucapkan meminta tolong, tidak saling memaafkan dan tidak hanya itu terima kasih pun jarang.
Apandi (2014) menulis sebuah artikel dengan pernyataan:
“Diawali dengan kata “Tolong” ditandai dengan orang dimintai bantuan tebtunya akan dengan senang hati membantu, tanpa ada keterpaksaan. Ataupun jika menolak dengan
halus terlontarkan kata “Maaf” yang diucapkan secara tulus dengan maksud meredam amarah, kekesanan ataupun rasa dendam. Kata “Terima Kasih” mengartikan sebagai bentuk penghargaan kepada orang yang membantu. Ketiga kata tersebut menumbuhkan makna kesenangan pada individu”.
Hal tersebut sejalan dengan Shariati (2007) mengatakan “For instance, apology is taken as a remedial work used to remedy a real or virtual offense to maintain or restore social harmony or as a negative politeness strategy that indicates (Speakers) reluctance to impinge on (Hearer) negative face to save the hearer’s face needs”.
Bertemali dari pernyataan tersebut Penanaman Nilai “TOMAT” (Tolong, Maaf dan terima kasih) di atas merupakan bagian dari Pendidikan Karakter khususnya pada pembiasaan komunikasi santun terhadap orang lain. Pengucapan ketiga kata tersebut mampu menjaga perasaan seseorang baik yang mengucapkan maupun yang menerima ucapan sehingga penanaman ini perlu dibiasakan sejak dini baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat untuk membangun literasi sosial yang berbudaya santun.
Konteks pendidikan di sekolah yang menjadi salah satu wadah penanaman nilai “TOMAT” (Tolong, Maaf dan Terima kasih) harus dilakukan dan dibudayakan oleh figur guru
sebagai model. Collins (1982) memaparkan Modeling has been shown to be especially effective in the development of social skills (i.e., saying "please" and "thank you," helping others, etc.), appropriate classroom behavior (i.e., staying on task, working quietly), and work skills (i.e., punctuality, taking initiative).
Pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa dengan adanya pemodelan telah terbukti sangat efektif dalam pengembangan keterampilan sosial dan berperilaku di kelas seperti mengucapkan kata (Tolong, Maaf dan Terima kasih), ketepatan waktu, mengerjakan tugas dan sebagainya. Berkaitan hal ini, dituntut peran guru dalam menanamkan nilai tanpa adanya kekerasan ataupun paksaan. Bentuk strategi Penanaman yang dilakukan seperti mengajarkan penuh cinta no kekerasan, karena kekerasan menimbulkan mata rantai konflik selanjutnya.
Baedowi (2015) memaparkan berbagai strategi yang dilakukan pendidik dalam neguapayakan pembelajaran yaitu Giving, Conversation, Listening, Sharing, Caring, Empathy, Trust, and Friendship. Upaya yang diungkapkan Baedowi merupakan strategi yang mampu dilakukan untuk penanaman nilai “TOMAT” ((Tolong, Maaf dan Terima kasih) berupa bagaimanakah
contoh, melakukan komunikasi/berdialog yang santun, menjadi pendengar dari keluhan siswa dengan berbagi cerita sehingga tumbuhnya keharmonisan satu sama lain dengan meleburkan sifat egois, serta sikap kepedulian dan pertemanan yang ditanamkan untuk saling menghargai dan merasakan yang dialamai orang lain. Hal tersebutlah makna yang terkandung dalam ketiga kata (Tolong, Maaf dan Terima kasih).
Selain itu, Smith (2013) menyebutkan empat strategi yang dapat dilakukan pendidik dalam bukunya “Young Children: The Educator’s Role in Preschoolers’ Emergence of Conscience” yaitu: 1. Use books, puppets, and storytelling to provide children with scenarios that show characters following their conscience; 2. Use group activities to shape a true caring Community; 3. Use responsive victim-centered reasoning as a guidance tool; and 4. Expect accountability.
Berdasarkan ungkapan strategi yang dilakukan Smith, penulis menggunakan strategi tersebut dalam penanaman nilai “TOMAT” diantaranya denga berbagai vaiasi pembelajaran berupa media buku, bercerita, tokoh wayang dengan mengaplikasikan sebuah konten bacaan berupa keterampilan sosial yaitu berkomunikasi santun. Hal ini pun telah dilakukan penulis, Yona (2015) dalam sebuah penelitiannya berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah untuk meningkatkan kemampuan Resolusi Konflik Anak SD” dengan mengupayakan berbagai media Berdasarkan ungkapan strategi yang dilakukan Smith, penulis menggunakan strategi tersebut dalam penanaman nilai “TOMAT” diantaranya denga berbagai vaiasi pembelajaran berupa media buku, bercerita, tokoh wayang dengan mengaplikasikan sebuah konten bacaan berupa keterampilan sosial yaitu berkomunikasi santun. Hal ini pun telah dilakukan penulis, Yona (2015) dalam sebuah penelitiannya berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah untuk meningkatkan kemampuan Resolusi Konflik Anak SD” dengan mengupayakan berbagai media
. Zirpolly (1993) mengatakan ‘menjadi seorang guru adalah seorang model yang akan diamati dan ditiru oleh siswanya mengenai bagaimana guru itu berperilaku dengan orang lain, meminta dan menerima bantuan, hingga menangani sebuah konflik dengan penyelesaian berupa penyadaran akan kesalahan (meminta maaf)’. Pernyataan ini mampu menjadi salah satu pengembangan diri, pribadi, karakter, serta keterampilan sosial lainnya apabila diselenggarakan secara terarah dan berkesinambungan maka pendidikan penanaman nilai ini mampu meningkatkan budaya komunikasi santun untuk saling menghargai. Pendidikan sebagai wadah sosialisasi yang tidak hanya mencerdaskan dan membuat anak terampil tetapi juga menjadikan manusia yang beretika dan bermoral. Dengan demikian proses penanaman nilai “TOMAT” tidak hanya mewajibkan guru saja sebagai pendidik di sekolah yang memerankan namun perlu kerja sama segala individu untuk menjadi manusia yang beretika. Hal tersebut diutarakan pula Harwina (2015) bahwa semua hal yang berhubungan dengan nilai tidak lepas dengan keterkaitan hati nurani setiap individu namun, perlu adanya seseorang yang berfikir dan melakukan tindakan percontohan, peringatan dan peneguran dalam melakukan komunikasi yang baik antar sesama makhluk khususnya pada pembelajaran yaitu seorang guru.