Konsep pendidikan Maria Montessori
C. Konsep pendidikan Maria Montessori
Definisi Pendidikan. Implikasi dari temuan-temuan filosofisnya tentang child’s self- construction, spiritual embryo, creative sensitivities, the sensitive periods, the absorbent mind, dan natural laws governing the child psychic growth, Montessori mengemukakan bahwa:
Pendidikan haruslah dipahami sebagai bantuan aktif yang diberikan pada pengembangan normal kehidupan seorang anak. … Pendidikan hendaknya tidak lagi
mengutamakan penanaman pengetahuan, tapi harus mengambil jalur baru, berupaya mengeluarkan potensialitas manusia. … Pendidikan adalah bukan apa yang guru berikan; pendidikan adalah suatu proses natural yang dilakukan secara spontan oleh individu manusia, dan diperoleh bukan dengan mendengarkan kata-kata, tapi melalui pengalaman terhadap lingkungan (Paula P. Lillard, 1962:xviii:49)
Selain hal di atas, mengacu kepada konsep spiritual embryo yang telah ada dalam diri anak dan beroperasi, bahkan sebelum anak dilahirkan, Montessori menyatakan bahwa “pendidikan hendaknya dimulai sedini mungkin ketika anak dilahirkan” (Paula P. Lillard, 1972:31).
Tujuan Pendidikan. Perkembangan penuh dirinya sendiri merupakan tujuan hidup anak yang tertinggi, yaitu untuk melayani kemanusiaan dan kebahagiaan individu. Karena itu, tujuan pendidikan tiada lain agar melalui pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan secara bebas dan spontan anak dapat mengembangkan dirinya sendiri sesuai alamnya masing-masing. Tujuan pendidikan Montessori lebih bersifat intelektual, sebagaimana dikemukakan Ki Hajar Dewantara bahwa “maksud pendidikan menurut Montessori ialah mencerdaskan jiwa kanak- kanak menurut kodratnya masing- masing” (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977:271)
Kurikulum. Berdasarkan konsep tentang self-construction yang mengimplikasikan auto-education , dimana anak secara individual bebas mengembangkan diri sendiri melalui aktivitas atau pekerjaannya, maka dalam sistem pendidikan Montessori (Casa dai Bambini) tidak terdapat kurikulum yang ketat dan seragam yang harus dialami anak secara bersamaan dalam waktu yang sama. Kurikulum pendidikan Montessori berupa alternatif kegiatan- kegiatan yang bebas dipilih anak dalam rangka melakukan kegiatan-kegiatan pusat konsentrasi anak dalam rangka melakukan kegiatan-kegiatannya. Melalui kegiatan atau pekerjaan dengan menggunakan material itulah anak diharapkan dapat melakukan self-construction. Sebagaimana dikemukakan Paula P. Lillard (1972:70-74) kegiatan-kegiatan dengan menggunakan material ini terdiri atas empat kategori, yaitu:
(1) Kegiatan hidup sehari-hari yang melibatkan perawatan fisik pribadi dan lingkungan. (2) Kependriaan atau sensorial. (3) Akademik: bahasa, menulis, membaca, matematika, geografi, dan sains. (4) Kultural dan Artistik.
Proses Pendidikan. Ada dua komponen kunci pada metode pendidikan Montessori yaitu:
1) Lingkungan, termasuk material pendidikan dan kegiatan-kegiatan.
2) Guru-guru yang mempersiapkan lingkungan pendidikan. Tentang lingkungan, Montessori mempunyai tiga gagasan: Pertama, lingkungan dapat
membantu atau merintangi perkembangan anak, tetapi lingkungan tak pernah dapat menciptakan perkembangan anak. Sebab, anak berkembang karena kehidupan potensial dalam dirinya berkembang membuat dirinya muncul. Namun demikian, lingkungan merupakan tempat yang subur bagi perkembangan anak. Kedua, karena hal itu, lingkungan harus dipersiapkan dengan cermat bagi anak oleh orang dewasa yang berpengetahuan dan sensitif. Ketiga, orang dewasa harus menjadi seorang pertisipan dalam perikehidupan anak dan dalam perkembangan dalam perikehidupan ini.
Terdapat enam komponen pokok dalam lingkungan kelas Montessori. Komponen pokok tersebut semuanya terkait dengan konsep “kebebasan, struktur dan tatanan (order), realitas dan alam, keindahan dan atmosfir, material Montessori, dan perkembangan kehidupan komunitas”.
Peranan Pendidik dan Peranan Anak Didik. Komponen kedua dari metode pendidikan montessori adalah guru. Montessitori menyebutkan (guru) sebagai directress, namun sekalipun guru diacukan dalam gender feminim, guru ini tidak selalu harus wanita. Guru laki-laki bahkan —bagi anak-anak usia tiga tahun – menjadi bagian tradisi montessori dan suatu bagian integral dan suatu kelas yang berhasil. Guru bekerja secara tim (team teaching) biasanya dua orang per kelas. Gurulah yang bertanggung jawab atas keenam komponen dari lingkungan yang dipersiapkan untuk anak.
Guru harus berperan sebagai pengamat (observer) kehidupan anak. Melalui observasi ia akan memahami anak, mengetahui saat-saat peka yang tepat untuk menggunakan material atau kegiatan. Guru berperan sebagai pemersiap lingkungan yang kondusif, dan menghilangkan hambatan-hambatan agar anak melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka self-contruction. Karena itu, guru harus menguasai secara rinci tentang material-material dan cara-cara menggunakannya. Guru berperan sebagai eksamplar (teladan) dalam lingkungan tersebut sehingga memberikan inspirasi bagi perkembangan anak; sebagai komunikator lingkungan untuk anak; berhubungan serta kerja sama dengan orang tua ( keluarga); dan sebagai penafsir tujuan-tujuan Montessori bagi masyarakat pada umumnya.
Singkatnya, guru berperan untuk membantu perkembangan anak, membantu suatu karya besar yang sedang dikerjakan anak. Guru berperan sebagai pelayanan dari si pegawai (master). Dengan berperan demikian, guru akan menyaksikan suatu pemekaran jiwa anak, dan munculnya manusia baru yang tidak akan menjadi korban dan peristiwa-peristiwa, tetapi akan memiliki kejelasan tentang visi untuk mengarahkan dan membangun masa depan manusia.
Dipihak lain peranan anak didik dapat dirangkumkan sebagai berikut: anak bukanlah wadah kosong yang menunggu untuk diisi pengetahuan dan pengalaman oleh para guru, melainkan sebagai makhluk yang harus mengembangkan potensi miliknya sendiri untuk kehidupan; anak bebas mengekspresikan diri dan mengembangkan kreativitasnya melalui berbagai aktivitas atau pekerjaan dari dalam dirinya sendiri dalam rangka selft contruction.