Konsep Filsafat Umum Maria Montessori

B. Konsep Filsafat Umum Maria Montessori

Konsep filsafat dan konsep pendidikan Montessori dihasilkan melalui observasi intuitifnya dalam rangka pelaksanaan pendidikan kanak-kanak. Semua ini dipaparkan Paula Polk Lillard dalam karyanya “Montessori A Modem Approach” (1972).

Hakikat Realitas. Montessori percaya bahwa realitas tidak hanya bersifat fisik, melainkani juga terdapat realitas yang bersifat non-fisik (spiritual, psikis). Ia pun percaya adanya perkembangan dalam kehidupan. Hal ini antara lain tersirat dalam konsep filsafatnya tentang anak (manusia) dalam konteks pendidikan.

Hakikat Manusia. Menurut Montessori, manusia adalah kesatuan dari hal yang bersifat fisik (tubuh) dan hal yang bersifat psikis (intelektual). Manusia hidup tumbuh dan berkembang berdasarkan tahapan dan hukum perkembangan tertentu . Ia menekankan keberadaan masa kanak-kanak sebagai realitas pada dirinya sendiri, dan esensial bagi keseluruhan kehidupan manusia. Ia percaya bahwa masa kanak-kanak bukan sekedar sebuah tahap yang harus dilalui dengan cara orang dewasa, tapi meru pakan “kutub lain kemanusiaan”. Anak bukanlah miniatur orang dewasa.

Kita hendaknya tidak menganggap anak dan orang dewasa sekedar tahap-tahap yang runtut dalam kehidupan individu. Kita hendaknya memandang mereka sebagai dua bentuk kehidupan manusia yang berbeda, berlangsung pada saat sama, dan memberikan saling pengaruh antara satu dengan yang lainnya. Anak dan orang dewasa adalah dua bentuk kehidupan manusia yang berbeda, berlangsung pada saat yang sama, dan memberikan pengaruh antara satu dengan yang lainnya (Paula P. Lillard, 1972: 29)

Filsafat Montessori tentang perkembangan manusia termuat dalam konsepsinya

mengenal “ Child’s self-contruction; spiritual embryo; creative sensitivities; the sensitive periods; the absorbent mind; dan the natural laws governing the child psychic growth”.

Child’s self-construction. Setiap anak memiliki suatu motivasi yang mendalam untuk mengkontruksi dirinya sendiri. Perkembangan penuh dirinya sendiri merupakan tujuan hidup anak yang unik dan tertinggi. Anak secara spontan berupaya mencapai tujuan ini melalui pemahaman tentang lingkungan. Kesehatan emosi dan fisiknya akan bergantung kepada upaya menetap ini untuk menjadi diri sendiri, tetapi hal ini bukan berarti untuk kepentingan yang berpusat pada diri sendiri, (kesempurnaan diri atau self perfection dan realisasi diri atau self realization ). Tujuan perkembangan diri sendiri utamanya adalah untuk melayani kemanusiaan dan kebahagiaan individu.

Spiritual Embryo. Sekaitan dengan konsep child’s self construction, menurut Montessori, sejak kelahirannya, bahkan sebelum dilahirkan setiap anak telah membawa suatu Spiritual Embryo sebanding dengan sel yang sudah dibuahi sebagai awal dari tubuh. Sel ini tidak berisi bentuk kedewasaan secarra miniatur, tetapi merupakan rancangan pra-tentu (predetermined) untuk perkembangan sel itu. Pertumbuhan psikis anak dengan cara yang sama dipandu oleh suatu pola yang pra-tentu yang tidak tampak ketika dilahirkan.

Pola psikis anak yang pra-tentu ini hanya dapat dimunculkan melalui proses perkembangan . Menurut Montessori ada dua kondisi yang diperlukan dalam rangka proses perkembangan psikis anak agar sesuai dengan rancangannya, yaitu: (1) adanya perhubungan Pola psikis anak yang pra-tentu ini hanya dapat dimunculkan melalui proses perkembangan . Menurut Montessori ada dua kondisi yang diperlukan dalam rangka proses perkembangan psikis anak agar sesuai dengan rancangannya, yaitu: (1) adanya perhubungan

Perhubungan integral anak dengan lingkungannya akan membantu anak sampai pada kesadaran dirinya dan batas-batas dunianya, dan dengan demikian anak mencapai suatu integrasi kepribadiannya. Jika anak telah mencapai hal tersebut dan diatur oleh hukum perkembangan miliknya sendiri ia sedang memiliki suatu kekuatan yang sangat sensitif dan unik yang hanya dapat tumbuh melalui kebebasan. Jika salah satu dari dua kondisi itu tidak terpenuhi, maka kehidupan psikis anak tidak akan mencapai perkembangan potensialnya, dan kepribadiannya akan menjadi kerdil.

Creative Sensitivities. Sekalipun anak telah membawa spiritual embryo dan motivasi yang mendalam untuk mencapai perkembangan penuh dirinya melalui self-construction, tidak berarti anak telah membawa model-model perilakunya yang sudah terbentuk dan memastikan anak akan berhasil (determined). Tidak seperti ciptaan lain di muka bumi, untuk perkembangan pola psikisnya dan perkembangan penuh dirinya, anak harus mengembangkan kekuatan sendiri untuk beraksi terhadap kehidupan. Berkenaan dengan ini, Montessori percaya bahwa anak bagaimanapun telah diberi “crative sensitivities” yang istimewa yang dapat membantunya untuk menyelesaikan tugas yang sulit itu. Creative sensitivies membantu anak dalam memilih dari lingkungannya yang kompleks tentang apa yang cocok dan perlu bagi pertumbuhannya. Keseluruhan kehidupan anak terletak di atas fundasi yang memungkinkan sensitivitas ini. Penundaan sensitivitas akan menghasilkan perhubungan yang tidak sempurna antara anak dan lingkungannya. Kemampuan sementara atau pembantu ini (Creative Sensitivities) hanya terdapat pada masa kanak-kanak, dan tidak terbukti keberadaannya dalam bentuk dan identitas yang sama jauh sesudah enam tahun. Selanjutnya Montessori mengidentifikasi dua macam pembantu internal di dalam perkembangan anak yaitu The Sensitive Periods (Masa-masa Peka) dan The Absorbent Mind (Jiwa Penyerap).

The sensitive Periods (Masa-masa Peka). Masa peka adalah suatu masa dalam kehidupan anak ketika ia khusuk dengan karakteristik lingkungannya dengan mengabaikan hal-hal lainnya. Masa ini muncul pada diri anak sebagai sebuah minat yang mendalam untuk mengulang perbuatan-perbuatan tertentu dengan waktu yang lama, tanpa alasan yang jelas, sampai dengan karena pengulangan ini sebuah fungsi baru muncul secara mendadak dengan kekuatan yang meledak. Vitalitas diri dalam yang istimewa dan kesenangan anak tampak selama periode ini sebagai hasil dari hasrat mendalamnya untuk melakukan hubungan dengan dunianya. Adapun yang mendorongnya untuk berhubungan dengan dunia atau lingkungannya ini adalah cinta akan lingkungan. Cinta ini bukan suatu reaksi yang emosional, tapi suatu hasrat intelektual dan spiritual.

Menurut Montessori, peluang perkembangan pada masa peka tidak boleh diabaikan (anak dicegah untuk mengikuti kepentingan dari suatu masa peka), maka peluang untuk melakukan penaklukan yang alami akan hilang selamanya. Anak kehilangan kepekaan dan hasratnya yang istimewa dalam bidang tersebut, dengan suatu pengaruh yang mengganggu

pada perkembangan psikis dan kematangannya. Karena itu, “orang dewasa harus terus menyediakan lingkungan yang sesuai dengan embryo psikis, persis seperi alam, ibarat sang ibu yang menyediakan lingkungan yang sesuai dengan embryo fisik”.

Berdasarkan hasil observasinya, Montessori melihat bahwa masa-masa peka dalam kehidupan anak terkait dengan suatu kebutuhan akan: (1) tatanan (order) dalam lingkungan, (2) penggunaan tangan dan lidah, (3) perkembangan berjalan, (4) keterpesonaan kepada benda- benda kecil dan objek-objek yang terinci, dan (5) suatu masa minat sosial yang mendalam. Masa-masa peka (sensitive periods) ini mengambarkan kepada kita tentang pola yang diikuti anak dalam memperoleh pengetahuan tentang lingkungan.

The Absorbent Mind (Jiwa Penyerap). Jika masa peka menggambarkan pola yang diikuti anak dalam memperoleh pengetahuan tentang lingkungan, the absorbent mind The Absorbent Mind (Jiwa Penyerap). Jika masa peka menggambarkan pola yang diikuti anak dalam memperoleh pengetahuan tentang lingkungan, the absorbent mind

Pada usia tiga tahun, persiapan ketidaksadaran yang perlu untuk perkembangan dan kegiatan berikutnya sudah terbentuk. Anak sekarang memulai misi baru, yaitu perkembangan fungsi- fungsi mentalnya. “Sebelum tiga tahun, fungsi-fungi ini sedang diciptakan; setelah tiga tahun mereka berkembang. Di Casa dei Bambini-nya Montessori mengamati bagaimana hukum alam (the absorbend mind) ini bekerja dalam diri anak-anak. Ia mengidentifikasi delapan hukum atau prinsip sebagai beriku:

(1) The Law of Work (Hukum Kerja): anak mencapai integrasi diri melalui aktivitas atau pekerjaannya. (2) The Law of Independence (Hukum Kemandirian/Kebebasan): perkembangan anak

secara langsung an energik tertuju kepada kemandirian/kebebasan fungsional. (3) The Power of Attention (Hukum Perhatian): pada tahap tertentu anak akan mengarahkan perhatiannya kepada objek-objek tertentu dalam lingkungannya dengan suatu intensitas dan minat yang kuat yang tidak tampak sebelumnya.

(4) The Will (Hukum Perkembangan Kemauan): Perkembangan kemauan anak terjadi secara bertahap melalui hubungan dengan lingkungannya secara terus menerus. Kemauan berkembang melalui tiga tahap, yaitu; mengulang aktivitas, mendisiplinkan diri, dan kemauan untuk mentaati.

(5) The Intelligence (Hukum Perkembanagan Intelegensi): Perkembangan intelegensi anak diawali dengan adanya kesadaran anak mengenai adanya perbedaan-perbedaan dalam lingkungan membangun persepsi-persepsi melalui kegiatan inderawi, dan kemudian mengorganisasikan persepsi-persepsi tersebut menjadi suatu tatanan yang teratur dalam jiwanya.

(6) The Imagination an Creativity (Hukuman Perkembangan Imaginasi dan kreativitas): Imajinasi dan kreativitas akan merupakan kekuatan-kekuastan bawaan sejak lahir dan kemudian berkembang sebagai kapasitas-kapasitas mentalnya melalui interaksi dengan lingkungan.

(7) The Spiritual and Emosional (Hukum Perkembangan Spiritual dan Emosional): sejak lahir anak telah memiliki perasaan-perasaan yang merespon kepada lingkungan emosional dan spritualnya, dan demikian akan mengembangkan kemampuan untuk memberi respon –respon yang mencintai dan memahami orang lain dan Tuhan.

(8) The Stage of Development (Hukum tentang Tahap-tahap Perkembangan): Perkembangan anak melalui tahap-tahap sebagai berikut: :

0 – 3 Tahun Ditandai dengan pertumbuhan ketidaksadaran dan penyerapan. Struktur internal emosi dan perkembangan intelektual sedang berlangsung melalui sarana masa peka dan the absorbent mind.

3 – 6 Tahun Secara bertahap anak mengembangkan pengetahuan dari tingkat tidak sadar ke tingkat sadar.

6 – 9 Tahun Anak mulai membangun keterampilan-keterampilan akademik dan artistik yang esensial untuk suatu kehidupan yang utuh dalam kebudayaan.

9 – 12 Tahun Anak siap membuka diri sendiri terhadap pengetahuan tentang alam semesta.

12 –18 Tahun Anak mengeksplorasi dengan lebih berkonsentrasi pada bidang- bidang minatnya yang mendalam.