dilihat secara visual sebagai gambaran fenomena perubahan fisik akan direkam dengan fotografi, sketsa beserta deskripsi perubahan.
Mengumpulkan data sekunder dari buku: Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Padangsidimpuan, Kota Padangsidimpuan Dalam Angka, data base
Pemerintah Kota Padangsidimpuan, profil pembangunan kota Padangsidimpuan, informasi propinsi, peta data pokok pembangunan kota Padangsidimpuan, Dinas
Pekerjaan Umum, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kantor Badan Pertanahan, kantor Kelurahan dari laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta,
dari buku teks dan sumber lain yang berhubungan dengan tema studi. Membandingkan rencana tata ruang wilayah kota Padangsidimpuan dengan
keadaan yang terjadi di lapangan untuk mengetahui perkembangan kawasan. Melakukan wawancara atau interview adalah cara untuk memperoleh keterangan
data-data dengan bercakap-cakap berhadapan langsung dengan responden. Metode pengumpulan data ini dipergunakan untuk memperoleh data primer, juga dilakukan
dengan grounded research, melakukan pengolahan data.
3.4 Metode Analisis
Analisis data yang dilakukan adalah dengan cara deskriptif, yaitu menjelaskan arti data yang diperoleh baik melalui wawancara maupun data sekunder. Hasil
pengumpulan data di analisis dengan kajian pustaka untuk mencapai hasil yang optimal. Mengacu pada tujuan penelitian dan dapat diukur dengan mempergunakan
beberapa variabel seperti alasan perubahan pola dan struktur ruang kota dan fungsi guna lahan, tipe perkembangan dan cara perkembangan penataan kawasan.
BAB IV DESKRIPSI KAWASAN PENELITIAN
4.1 Sejarah Perkembangan Kota Padangsidimpuan
Sekitar tahun 1700 Padangsidimpuan yang sekarang adalah Kota Padangsidimpuan merupakan sebuah lokasi dusun kecil yang disebut “Padang Na
Dimpu“ artinya suatu daratan di ketinggian yang ditumbuhi ilalang, berlokasi di Kampung Bukit Kelurahan Wek II, di pinggiran Sungai Sangkumpal Bonang. Dan
oleh para pedagang pada saat itu digunakan sebagai tempat peristirahatan. Pada Tahun 1825 oleh Tuanku Lelo, salah seorang pimpinan pasukan kaum
Padri, dibangunlah Benteng Padangsidimpuan yang lokasinya ditentukan oleh Tuanku Tambusai, tempat ini dipilih karena dianggap cukup strategis ditinjau dari
sisi pertahanan sebab dikelilingi oleh sungai yang berjurang. Sejalan dengan perkembangan benteng Padangsidimpuan, maka aktivitas
perdagangan berkembang di Sitamiang yang sekarang, termasuk perdagangan budak yang disebut Hatoban pada saat itu. Untuk setiap transaksi perdagangan Tuanku Lelo
mengutip bea 10 dari nilai harga barang. Melalui Traktat Hamdan tanggal 17 Maret 1824, kekuasaan Inggris di Sumatera
diserahkan kepada Belanda, termasuk Recidency Tappanooli yang dibentuk Inggris tahun 1771. Setelah menumpas gerakan kaum Padri Tahun 1830, Belanda
membentuk District Mandailing setingkat kewedanaan, District Angkola dan District
Teluk Tapanuli dibawah kekuasaan Government Sumatras West Kust
berkedudukan di Padang. Pada Tahun 1838 dibentuk Asisten Rasiden yang berkedudukan di Padangsidimpuan.
Setelah terbentuknya Residentic Tapanuli melalui Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Desember 1842. Antara tahun 1885 sampai dengan 1906, Padangsidimpuan
pernah menjadi Ibukota Resident Tapanuli. Pada masa awal kemerdekaan, Kota Padangsidimpuan adalah merupakan
Pusat Pemerintahan di lembah besar Tapanuli Selatan dan pernah menjadi Ibukota Kabupaten Angkola Sipirok sampai digabung kembali Kabupaten Mandailing Natal.
Kabupaten Angkola Sipirok dan Kabupaten Padang Lawas melalui Undang-undang Darurat Nomor 70DRT1956.
Dari sejarah kota Padangsidimpuan ini dapat disimpulkan, bahwa peranan dan fungsi Kota ini sejak dahulu adalah sebagai pusat Pemerintahan, pusat aktivitas
perdagangan dan jasa, serta pusat pendidikan. Pada tanggal 17 Oktober Tahun 2001 oleh Menteri Dalam Negeri, Atas nama
Presiden Republik Indonesia, Padangsidimpuan diresmikan menjadi Kota berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota
Padangsidimpuan.
4.2 Kondisi Geografis dan Administrasi Kota Padangsidimpuan