1.8 Sistematika Penulisan
Dalam Penelitian dan penyusunan tesis ini akan dibagi menjadi beberapa bab, yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Merupakan bab yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, sasaran, manfaat penelitian, pembatasan masalah dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi tentang kajian teoritis yang mendukung studi. Dalam hal ini pembahasan
meliputi landasan teori tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan materi penelitian seperti teori tentang transportasi, pengaruh pembangunan jalan lingkar
transportasi terhadap struktur ruang kota, teori perkembangan struktur kota, teori
tentang proses perubahan fungsi dan tata guna lahan perkotaan.
BAB III METODE PENELITIAN Merupakan metodologi penelitian yang digunakan berdasarkan pada teori-teori.
BAB IV DESKRIPSI KAWASAN PENELITIAN Berisikan mengenai tinjauan tentang kondisi daerah kawasan penelitian. Tinjauan
kawasan ini mengungkapkan perubahan fungsi dan tata guna lahan yang berkaitan dengan pola dan struktur ruang kota. Bab ini juga merupakan pembahasan sistematis
yang didasarkan pada kerangka pemikiran yang dihasilkan dari teori dan tinjauan lapangan di kawasan penelitian.
BAB V HASIL DAN PENELITIAN
Pada Bab V ini, berisikan tentang hasil-hasil penelitian yang dikaji dan dianalisa berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan pola dan struktur ruang kota.
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan yang menjawab pokok pernyataan
masalah dan tujuan dalam penelitian ini serta beberapa rekomendasi.
TINJAUAN PUSTAKA BAB II
PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA
2.1 Struktur Ruang Kota
2.1.1 Pengertian struktur ruang kota
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan
maupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang
secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti
pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal.
Ilmu Struktur Ruang Kota merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana pola-pola penggunaan lahan di kawasan kota. Menurut Hadi Sabari Yunus
dalam buku Struktur Ruang Kota 2000 berpendapat bahwa ada 5 lima kategorisasi pendekatan-pendekatan tentang penggunaan lahan kota, yaitu:
1.
Pendekatan Ekologikal Ecological Approach.
2.
Pendekatan Ekonomi Economic Approach.
3.
Pendekatan Morfologikal Urban Morphological Approach.
4.
Pendekatan Sistem Kegiatan Activity Systems Approach.
5.
Pendekatan Ekologi Faktoral Factoral Ecology Approach.
Pendekatan Ekologikal oleh McKenzie 1925 diartikannya sebagai suatu studi hubungan spatial dan temporal dari manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan,
selektif, distributif, dan akomodatif dari pada lingkungan. Pendekatan Ekonomi oleh Cooley 1894 dan Weber 1895 mengemukakan bahwa jalur transportasi dan titik
simpul pertemuan beberapa jalur transportasi dalam suatu sistem transportasi mempunyai peran yang cukup besar terhadap perkembangan kota. Pendekatan
Morfologi Kota oleh Hebert, 1973 mengemukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan
hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian maupun
bukan perdaganganindustri dan juga bangunan-bangunan individual. Pendekatan Sistem Kegiatan Chapin, 1965 diartikan secara komprehensif sebagai suatu upaya
untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan, lembaga-lembaga dan firma- firma yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota.
Pendekatan Ekologi Faktoral, hal ini digunakan untuk menganalisis struktur keruangan kota urban spatial structure dengan menggunakan analisis faktor sebagai
tekniknya. Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota telah
dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota
merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam nature, individu manusia antropos, masyarakat society, ruang kehidupan shells, dan
jaringan network. Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur yaitu place tempat
tinggal; work tempat kerja; folk tempat bermasyarakat. Kus Hadinoto 1970-an mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu
wisma, tempat tinggal perumahan; karya: tempat bekerja kegiatan usaha; marga, jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasihiburan; penyempurna, prasarana
dan sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu
objek fisik menyebabkan kemungkinan besar membuat citra image yang kuat pada setiap orang. Menurutnya ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota yaitu path,
edge, district, node , dan landmark. Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang, kota
terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota.
Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota Sinulingga, 2005:97 yaitu:
1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan,
pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok
dalam pusat pelayanan.
2. Kumpulan dari industri sekunder manufaktur pergudangan dan
perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
3. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang
terbuka hijau.
4.
Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.
2.1.2 Bentuk dan model struktur ruang
Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan retail terbagi menjadi tiga, yaitu Sinulingga, 2005:103-105:
1.
Monocentric City
Monocentric City adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah
penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan
yang sekaligus berfungsi sebagai Central Bussines District CBD.
2.
Polycentric City
Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih
dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan
baru yang dinamakan sub pusat kota regional centre atau pusat bagian wilayah kota.
Sementara itu secara berangsur- angsur berubah dari pusat pelayanan retail eceran menjadi komplek perkantoran komersial yang daya jangkauan
pelayanannya dapat mencakup bukan hanya wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling kota yang disebut juga wilayah pengaruh kota.
CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota regional centre akan membentuk kota menjadi polycentric city atau
cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari: a.
CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran. b.
Inner suburb kawasan sekeliling CBD, yaitu bagian kota yang tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah
berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota.
c. Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai
perkembangan kota. d.
Outer suburb pinggiran kota, yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota.
e. Urban fringe kawasan perbatasan kota, yaitu pinggiran kota yang
secara berangsur-angsur tidak menunjukkan kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan rural area.
3.
Kota Metropolitan
Kota Metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi
semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk
wilayah metropolitan. Adapun model struktur ruang apabila dilihat berdasarkan pusat-pusat pelayanan diantaranya adalah:
a.
Mono Centered
Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling
terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.
b.
Multi Nodal
Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat daan sub-sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub-sub pusat selain terhubung
langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat.
c.
Multi Centered
Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu
sama lain.
d.
Non Centered
Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki sama dan saling terhubung antara satu
dengan yang lain Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Model Struktur Ruang Sumber: Sinulingga 2005
Selain itu beberapa penulis juga menggolongkan tipologi struktur ruang sebagaimana pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tipologi Struktur Ruang Sumber: Wiegen 2005
2.1.3 Perkembangan Kota dan Struktur Ruang
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan
perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam Daldjoeni 1996:87,
perkembang kota dipandang sebagai fungsi dari pada faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi
sosial. Sedangkan menurut Bintarto 1989, perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan.
Dalam konsep ini Bintarto menjelasakan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan yang membentuk zona-zona tertentu di dalam ruang perkotaan
sedangkan menurut Branch 1995, bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan
posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti:
1. Tofografi.
2. Bangunan.
3. Jalur Transportasi.
4. Ruang Terbuka.
5. Kepadatan Bangunan.
6. Iklim Lokal.
7. Vegetasi Tutupan.
8. Kualitas Estetika.
Secara skematik Branch, menggambar 6 enam pola perkembangan kota
Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Pola Umum Perkembangan Perkotaan Sumber: Branch, 1996
Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus 1999, mengemukakan beberapa alternatif
model bentuk kota. Secara garis besar ada 7 tujuh buah model bentuk kota yang disarankan,
yaitu: 1.
Bentuk Satelit dan Pusat-pusat Baru satelite and neighbour plans, kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional
yang efektif dan efisien.
2. Bentuk Stellar atau Radial stellar or radial plans, tiap lidah dibentuk
pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan
berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga
bagi penduduk kota.
3. Bentuk Cincin circuit linier or ring plans, kota berkembang disepanjang
jalan utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan
sebagai daerah hijau terbuka.
4. Bentuk Linier Bermanik bealded linier plans, pusat perkotaan yang lebih
kecil tumbuh di bagian kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di sepanjang jalan utama maka
pola umumnya linier, di pinggir jalan biasanya ditempati bangunan
komersial dan di belakangnya ditempati permukiman penduduk.
5. Bentuk IntiKompak the core or compact plans, perkembangan kota
biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal sehingga
memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil.
6. Bentuk Kota Bawah Tanah underground city plans, struktur
perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya
berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau.
Bentuk-bentuk kota tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Beberapa Alternatif Bentuk Kota Sumber: Hudson, 1999
Tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal
yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan daerah hunian, perdagangan atau industri dan bangunan individual. Terdapat tiga
komponen untuk dapat menganalisis morfologi kota, yaitu:
1.
Unsur-unsur penggunaan lahantata guna lahan.
2.
Bentuk dan tipe bangunan.
3.
Pola dan fungsi yang dibentuk oleh jalan dan bangunan.
Berdasarkan studinya di kota-kota Amerika, Hebert 1976 mengemukakan
bukti-bukti yang kuat akan pengaruh perkembangan prasarana transportasi terhadap morfologi kota. Menurut beliau, kota di Amerika adalah kota-kota yang terkondisikan
oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi. Dari mulanya terbentuk sampai dengan perkembangan mutakhir kota-kota di
Amerika, keadaan transportasi dan perkembangannya telah membentuk 7 tujuh kategori morfologi kota, yaitu;
1. Morfologi kota pada masa dominasi transportasi berjalan kaki.
2. Morfologi kota pada masa dominasi kereta binatang.
3. Morfologi kota pada masa dominasi kereta listrik trolly kecil.
4. Morfologi kota pada masa dominasi kereta api antar kota.
5. Morfologi kota pada masa dominasi automobile untuk antar kota.
6. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan raya bebas hambatan
antar kota-kota dan wilayah region. 7.
Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan lingkar. Dalam menterjemahkan kategorisasi tersebut, harus dipahami bahwa setiap
kategori perkembangan selalu bersifat kumulatif dalam arti bahwa unsur-unsur perkembangan pada masa sebelumnya akan selalu mewarnai ciri-ciri perkembangan
pada masa berikutnya. Dari ketujuh morfologi kota tersebut dapat digolongkan ke dalam 3 tiga golongan besar berdasarkan sifat-sifat perembetannya, yaitu:
1. Kategori morfologi kota dalam suatu pertumbuhan kompak; ini meliputi
masa pejalan kaki, kereta binatang dan kereta listrik kecil.
2. Kategori morfologi kota dalam masa pertumbuhan literal meliputi masa
perkembangan hubungan transportasi antar kota.
3. Kategori morfologi kota pertumbuhan menyebar leapfrog development
dengan ciri tumbuhnya pusat-pusat baru di sekeliling kota karena
dibangunnya beberapa jalan lingkar.
Hal ini banyak tergantung pada ketersediaan lahan-lahan pertanian itu sendiri, sistem perekonomian negara, sistem orientasi perencanaan kota serta kepedulian
perencana kota terhadap lingkungan. Dengan makin tingginya aksesibilitas, makin banyak pula pusat-pusat kegiatan yang baru. “Leap-frog development” akan
berkembang dengan pesat. Bentuk kotanya sangat tidak kompak dan terserak Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Perubahan Morfologi Kota dan Kondisi Transportasi
Sumber: Herbert 1976
2.1 4 Cara perkembangan kota Dari bidang sejarah, kota diteliti dan diilustrasikan dengan baik bahwa sejak
ada kota, maka juga ada perkembangannya, baik secara keseluruhan maupun dalam bagiannya, baik ke arah positif maupun negatif. Oleh karena itu, dinamika
perkembangan kota pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi dari perkembangan masyarakat di dalam kota tersebut. Kota
bukan sesuatu yang bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi keempat, yaitu waktu.
Pada dasarnya, perkembangan perkotaan perlu diperhatikan dalam dua aspek, yaitu dari perkembangan secara kuantitas dan secara kualitas. Hubungan antara kedua
aspek ini sebetulnya erat dan di dalam skala makro agak kompleks karena masing- masing saling berpengaruh sehingga perkembangan suatu daerah tidak boleh dilihat
secara terpisah dari lingkungannya. Secara teoritis dikenal tiga cara perkembangan dasar di dalam kota, dengan tiga istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal
Gambar 2.6, dan 2.7, perkembangan vertikal Gambar 2.8, serta perkembangan interstisial Gambar 2.9.
Gambar 2.6 Perkembangan Horizontal Sumber: Zahnd 1999, 25
Gambar 2.7 Perkembangan horizontal di London, Inggris pada tahun 1830 dan 1960 Digambar ulang menurut Benevelo, Leonardo, The history of the city, New York
1982. hlm 968 Sumber: Zahnd, 1999:26
Gambar 2.8 Perkembangan Vertikal
Sumber: Zahnd 1999,25
Gambar 2.9 Perkembangan Interstisial
Sumber: Zahnd 1999,25
2.1.5 Perembetan kenampakan fisik kota
Pergeseran waktu ke depan selalu membawa pertambahan jumlah penduduk terutama di daerah perkotaan yang serta-merta diikuti tuntutan kebutuhan hidup akan
meningkat pula dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Hal-hal ini secara otomatis akan membuat peningkatan kegiatan penduduk perkotaan
yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang semakin besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka
meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Terjadilah proses perembatan
kenampakan fisik kekotaan ke arah luar yang disebut “urban sprawl” dengan pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran
kota disebut sebagai “invasion”. Menurut R.V. Retcliff 1949 bahwa pusat kota dianggap sebagai suatu
tempat yang punya aksesibilitas terbesar dan dari lokasi inilah “centrality-value” nilai pemusatan akan menurun secara teratur ke arah luar sampai pada “urban
peripheries”. Pola persebaran penggunaan lahan yang efisien akan tercipta dengan
sendirinya karena adanya persaingan berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi- lokasi yang diinginkannya dengan menawar bidding pada tingkatan sewa yang
bermacam-macam. Dari sinilah kemudian tercipta pola penggunaan lahan perkotaan yang tertata secara keruangan sedemikian rupa yang menunjukkan derajad efisiensi
fungsi-fungsi ekonomi pada kehidupan kota. Dapat dikatakan bahwa struktur
keruangan suatu kota ditentukan melalui evaluasi dollar tentang pentingnya ”convencience” dalam arti luas dan gambaran struktur keruangannya mirip dengan
apa yang telah dikemukakan oleh Burgess concentric zone theory. Disini variabel jarak dianggap sebagai ukuran “convencience” di atas. Model yang dihasilkan adalah
“concentric zonal model” yang terdiri berturut-turut dari pusat kota Gambar 2.10 adalah:
1.
Retailing functions.
2.
Industrial and transportation facilities.
3.
Residential zone.
4.
Agricultural zones.
Gambar 2.10 Model “Bid Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota Menurut Retcliff, 1949
Sumber: Yunus 1999,68
2.1.6 Macam Urban Sprawl
Secara garis besar ada tiga macam proses perluasan areal kekotaan urban sprawl Yunus, 2000:125, yaitu:
1. Tipe 1. Perembetan konsentris Concentric DevelompmentLow Density
Continous Develompment. Tipe pertama ini oleh Hahrley Clark 1971 disebut sebagai “lowdensity, continous development” dan oleh Wallece
1980 disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembatan berjalan
perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perembetannya yang merata di semua bagian luar
kenampakan kota yang ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Perembetan Konsentris Sumber: Yunus 1999:126
2. Tipe 2. Perembetan memanjang ribbon develompmentlinear
develompmentaxial develompment. Tipe ini menunjukkan ke tidak merataan perembetan areal kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dari
pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari radial dari
pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membubungnya harga lahan
pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Perembetan Linear Sumber: Yunus 1999:128
Makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk, makin banyaknya kegiatan non agraris, makin
padatnya bangunan telah sangat mempengaruhi kegiatan pertanian. Tingginya harga lahan dan makin banyak orang yang mau membeli telah
memperkuat dorongan pemilik lahan untuk meninggalkan kegiatannya dan menjualnya. Bagi masyarakat petani hasil penjualan lahan biasanya
diinvestasikan lagi pada lahan yang jauh dari kota sehingga memperoleh lahan pertanian yang lebih luas.
3. Tipe 3. Perembetan yang meloncat leap frog develompmentcheckerboard
develompment. Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi,
tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-
tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-
hari Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Perembetan Meloncat Sumber: Yunus 1999:129
Sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial Rapoport, 1990.
Amos Rapoport menuntun kearah suatu pemahaman yang lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi baru yang dapat diterapkan pada
daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai suatu kota bukan dari segi ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi
khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-
hirarki tertentu Gambar 2.14, dan 2.15.
Gambar 2.14 Perkembangan Kota Konsentrik dan Kota Linier Sumber: Marshall, 2005
Gambar 2.15 Hierarki Kota Sumber: Zahnd, 1999:6
Gambar rencana wilayah kota ini mengilustrasikan secara idealistis perumusan sebuah wilayah yang boleh dianggap perkotaan.
Wilayah ini memiliki ruang-ruang yang dibentuk dan disusun secara hirarkis. Hirarkis utama diberikan pada sebuah daerah tertentu yang berfungsi sebagai pusat
dengan hubungannya di dalam skala makro yaitu keseluruhan. Kemudian, hirarki kedua diberikan pada bentuk dan susunan wilayah masing-
masing serta pusatnya. Akhirnya, hirarki ketiga berfokus pada skala mikro di dalam wilayah masing-masing.
2.2 Ekspresi Keruangan Morfologi Kota