Formulasi kebijakan sistem pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan

(1)

FORMULASI KEBIJAKAN

SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN

BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS: DKI JAKARTA)

Oleh :

ALEX ABDI CHALIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Juni 2011

Alex Abdi Chalik P062034084


(3)

Alex Abdi Chalik. 2011. Policy Formulation for Sustainable Urban Waste Treatment System (Case Study: DKI Jakarta). Under the guidance of Bibiana W. Lay as chairman and Akhmad Fauzi and Etty Riani as members.

Solid waste is still considered as worthless goods, so that it is still causing many problems. The purpose of this study is to formulate a sustainable urban waste management policy. The study was conducted in DKI Jakarta. The research is devided into four stages of analyses which include the availability and needed of land for a solid waste treatment, waste treatment technology optimization analysis of environmentally friendly, multi-criteria evaluation and policy analysis. Indonesia has many waste management policy, but not synergize together and not yet operational. Solid Waste management in DKI Jakarta has led to efforts to minimize waste, and waste reduction programs integrated between recycling, composting, combustion (incineration) and waste disposal system with a system of sanitary landfills, and will be pursued to zero waste program. DKI Jakarta needs to improve management efficiency and improved quality of service to the community, one with separation of regulator and operator functions, but managed by one institution to improve its performance and to cover the financing gap, ideally to cooperate with the private sector. The result of regression analysis shows a significant effect of economic growth in waste generation and characteristics. Increased in prosperity will increase the amount of inorganic waste, and lower amount of organic waste. Increased inorganic waste will increase the calorie content which is more beneficial if done with incinerator waste to energy (WTE), while providing the understanding that the waste is a resource that can be utilized as an energy alternative to electricity. Production of electricity from WTE incinerator is influenced by the calorie content, and type of waste. WTE incinerators have the advantage in processing speed and the required land area, but WTE incinerator required high initial investment. The result of CBA analysis shows that WTE incinerator is more expensive, but it is the most cost effective in the long term (25 years). The variables have a very strong influence on the cost of processing waste is waste transportation costs. In the context of environmental, sanitary landfill waste treatment system, which is placed far away from services area, can lead to a much larger greenhouse gases and generate leachate. The existence of designated land use and changes that are uncontrolled by DKI Jakarta complicate the placement of garbage processing unit. WTE technology or HRC which indoor system is more acceptable to local communities, compared to the open SLF. Incinerator technology is more efficient for processing large scale with a capacity of more than 500 tons / day, with the optimal point on the capacity of 3000 tons / day, which is supported by segregation. Organic waste treatment system is most optimal at high-rate composting system (HRC). WTE processing unit and HRC, should be placed in administrative of DKI. The sensitivity analysis shows that if the government would buy in a good price the electricity production and energy from solid waste, will raise the level of feasibility WTE incinerator system. Implementation of WTE incinerator technology, need to involve the private sector. Keywords: Waste, urban, incinerators, energy, WTE, SLF, HRC


(4)

Alex Abdi Chalik. 2011. Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dibawah bimbingan Bibiana W. Lay sebagai ketua dan Akhmad Fauzi dan Etty Riani sebagai anggota.

Sampah selama ini masih dianggap masalah yang trivial dan belum menjadi sentra kebijakan pemerintah yang mengikat. Padahal tanpa penanganan yang baik, sampah dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan, seperti berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan serta dapat menimbulkan konflik spasial seperti konflik lahan dan wilayah lainnya.

Tujuan umum penelitian ini untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta; menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan; serta menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta.

Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dari November 2005hingga akhir 2010. Penelitian dibagi menjadi empat tahapan yakni analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah, analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, multi kriteria evaluasi dan analisis kebijakan. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah system sanitary

landfill (SLF), insinerator waste to energy (WTE) dan High rate composting (HRC).

Perhitungan dilakukan dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan mempergunakan program exel. Analisis Ketersediaan lahan dilakukan dengan mempergunakan data perubahan pemanfaatan lahan di DKI Jakarta. Penelitian ini juga membandingkan opsi-opsi teknologi sistem pengolahan sampah secara parsial maupun terintegrasi dengan melakukan perhitungan cost

benefit analysis (CBA). Optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah

lingkungan, dilakukan melalui tahapan pendefinisian obyek penelitian, mengidentifikasi dampak, menentukan dampak yang relevan secara ekonomi, mengkuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai, melakukan valuasi moneter dari dampak yang relevan, melihat discounting dari aliran cost dan benefit, uji NPV dan uji sensitifitas. Selanjutnya dilakukan multi kriteria evaluasi dengan bantuan program TOPSIS, untuk memilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta yang paling optimal antara sistem HRC, WTE incinerator, dan SLF, baik secara individual maupun terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik. Di samping itu juga dilakukan analisis dengan sistem dinamik untuk melihat kecenderungan jangka panjang, dengan bantuan program Vensim.

Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Usaha ini diharapkan mampu mengurangi volume pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir di TPA yang dapat menurunkan biaya transportasi dan pengolahan sampah. Selain itu juga memperkenalkan program zero

waste melalui sistem pengolahan sampah terpadu dengan mengaplikasikan

pengolahan sampah daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insenerasi) dan sistem pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill. Hasil analisis


(5)

pengolahan yang dilakukan tidak dapat mencapai tingkat keberlanjutan.

Penelitian memperlihatkan bahwa perlu meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dengan cara memisahkan fungsi regulator dan operator. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh satu institusi akan lebih baik dari pada dilakukan oleh beberapa institusi dalam satu wilayah yang sama, untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, terjadinya saling lempar tanggung jawab, dan lebih mudah mengukur kinerjanya. Pada pengelolaan sampah perlu melibatkan sektor swasta sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam pengelolaan sampah dan dapat menutupi kesenjangan pembiayaan

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator WTE. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bermanfaat, namun dapat menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik.

Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, semakin tinggi kandungan kalori sampah semakin tinggi pula produksi listrik yang dihasilkan, dengan kandungan kalori sampah DKI yang tercampur sebesar 2.146 kkal/kg untuk 500 ton/hari masukan sampah akan dihasilkan listrik sebesar 9,4 MW, dan jika ada pemilahan sampah di sumber timbulan sampah antara sampah organik dan anorganik, serta melakukan pengolahan sampah yang terintegrasi antara WTE dengan komposting, akan didapat peningkatan kandungan kalori sebesar 3.044 kkal/kg sehingga produksi listrik untuk 500 ton/hari sebesar 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%.

Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, perlu investasi awal (initial

investment ) jauh lebih mahal, untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan investasi

Rp 3.575 milyar, sedangkan sanitary landfill Rp 983 Milyar, dan high rate

composting Rp1.863 Milyar. Walau mahal, namun insinerator mempunyai

keunggulan yakni pengolahannya cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, serta dapat mengolah sampah B3 yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri.

Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp 346.610,- /ton sedangkan SLF Rp 419.200,- dan komposting Rp 294.940,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi. Biaya pengolahan kombinasi dengan kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp 289.520,- lebih cost efficient dibanding pengolahan sistem individual.

Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah. Hasil perhitungan NPV jika terdapat biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, dan dalam jangka panjang (25 tahun), biaya pengolahan sistem sanitary landfill


(6)

Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary

landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah),

menimbulkan gas rumah kaca CO2 dan CH4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem pengolahan komposting bio fertilizer ataupun insinerator WTE

Adanya penggunaan dan perubahan peruntukan lahan yang tidak terkendali, Di DKIJ menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan

sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km) biaya

angkutan sampahnya mencapai Rp 6.000,-/ton/km, serta mencemari lingkungan mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas CO2, sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi 2168 ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi 13.009 ton/th untuk timbulan sampah 3000 ton/hari.

Pengolahan sampah dengan teknologi WTE ataupun HRC yang tertutup lebih dapat diterima oleh masyarakat yang berdekatan, dibandingkan teknologi SLF yang terbuka. Hal ini disebabkan frekwensi angkutan sampah yang melalui wilayah permukiman, gangguan timbulnya bau yang tidak dapat dihindarkan, serta kebisingan yang terjadi akibat operasi alat berat. Selain itu pengolahan sampah dengan sanitary landfill akan menghasilkan leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah yag sangat menghawatirkan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya, mengingat penduduk kota Jakarta hingga saat ini hanya 50% saja yang mendapatkan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan dari Perusahaan Air Minum Jaya yang dioperasikan oleh swasta (Aetra dan Palija).

Pengolahan sampah dengan teknologi insinerator, akan lebih effisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas yang lebih besar dari 500 ton/hari. Titik optimal didapat untuk skala pengolahan dengan kapasitas 3000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, dan untuk sampah organik dilakukan pengolahan dengan sistem high rate composting (HRC). Dalam rangka menurunkan biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya unit pengolahan sampah ditempatkan di bagian-bagian wilayah DKI, sehingga dapat meminimalkan biaya angkut, baik sampah yang akan diolah maupun transportasi produk olahan seperti abu yang dihasilkan dari proses WTE. Selain itu hasil perhitungan juga memperlihatkan bahwa semakin besar skala pengolahan sanpah yang dilakukan, akan semakin murah biaya sistem pengolahan per tonnya.

Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah untuk membeli produksi listrik dengan energi yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi insinerator WTE, yang memungkinkan untuk sektor swasta berperan serta terhadap penyediaan unit pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE.

Dalam rangka mendorong keterlibatan sektor swasta pada pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE, diperlukan dukungan pemerintah


(7)

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS: DKI JAKARTA)

Oleh :

ALEX ABDI CHALIK

P062054714

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

Nama : Alex Abdi Chalik

NIM : P062034084

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Bibiana Widiati Lay, MSc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. Anggota

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr.


(11)

Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih sebagai obyek penelitian dalam disertasi ini adalah Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan dengan mengambil studi kasus di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta).

Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah hingga saat ini masih menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai yang dihadapi oleh pemerintah, baik di kota sedang, kota besar maupun di Kota Metro, seperti DKI Jakarta. Telah banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun persoalan pengolahan sampah tidak pernah dapat diselesaikan.

Data menunjukkan bahwa hampir semua pemerintah kota mengalami kegagalan dalam melakukan pengelolaan sampah, terutama pada sistem pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Kondisi ini juga dialami oleh pemerintah DKI Jakarta, sehingga beberapa kali DKI Jakarta menghadapi berbagai keluhan dan protes dari masyarakat agar DKI segera menutup tempat pengolahan sampahnya yang diletakkan di luar wilayahnya.

Di samping persoalan tersebut, terdapat sebagian masyarakat yang memiliki cara pandang keliru, yakni memandang sampah sebagai benda yang tidak memiliki manfaat. Cara pandang yang demikian ini menjadi pemicu timbulnya penyakit NIMBY (not in my back yard syndrome), sehingga sampah kurang maksimal dimanfaatkan dan harus dibuang menjauh dari halaman rumahnya, dan tidak perduli dengan dampak yang akan ditimbulkan dari cara yang salah dalam pembuangan sampah.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa sampah memiliki peran dalam menghasilkan produksi energi yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Selain itu sampah juga menjadi alternatif sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi secara langsung ataupun tidak langsung bagi terselesaikannya disertasi ini. Penulis dibantu oleh berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini, namun demikian kesalahan yang mungkin terjadi menjadi tanggung jawab penulis. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah pegolahan sampah di perkotaan dan memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya penulis sampaikan kepada para pembimbing, Prof. Dr. Bibiana W. Lay, MSc, sebagai ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc. dan Dr. Ir. Etty Riani,


(12)

ini, sulit dibayangkan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan IPB, yaitu Rektor IPB, Dekan Pasca Sarjana, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sunber Daya Alam dan Lingkungan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti perkulihan di IPB.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan pada rekan-rekan satu angkatan PSL IPB atas dorongan dan kerjasamanya. Dengan dukungan dan dorongan rekan-rekan seangkatan, maka studi S-3 di PSL-IPB ini dapat penulis jalani dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam mendukung penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan untuk Almarhum Ir. Lukamanul Hakim, yang telah banyak memberikan data dan bantuan selama penulisan disertasi ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada isteri (Erina Prihati, BA) dan ketiga anak (dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi) atas kasih dan dukunganya selama penulis menjalani hari-hari yang mengurangi waktu untuk berbagi bersama keluarga. Tanpa pengertian dan dukungan isteri dan anak-anak tercinta, tidak mungkin disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik berkat dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya, apabila di dalam penulisan disertasi ini terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Semoga Allah,Swt, melimpahkan rahmatNya, bagi semua pihak yang telah membantu penulis.

Bogor, Juni 2011


(13)

Penulis lahir di Banyuwangi Jawa Timur tanggal 18 Agustus 1955 sebagai anak ke 3 dari 5 bersaudara, pasangan H. Hasan Soleh dan Hj. Alwijah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 1982. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1989 pada Program Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung dan Program Studi Magister Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha di Jakarta pada tahun 1988. Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mulai bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1983, dari tahun 1985 - 1992 menjadi Deputy Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Jawa Timur, Pada tahun 1992 - 1995 menjadi Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Sulawesi Utara, Pada tahun 1995 - 1997 menjadi Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Bali, Pada tahun 1997 - 2000 menjadi Project Manager

Perencanaan dan Pengendalian Program Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya di Jakarta, Pada tahun 2000-2001 menjadi Analis Kebijakan Bidang Air Limbah pada Kementerian Negara Pekerjaan Umum, Pada tahun 2001 - 2004 menjadi Project Manager Capacity Building in Urban

Infrastructure Management, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen

Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pada tahun 2005 - 2006 ditetapkan sebagai pejabat fungsional Teknik Penyehatan Lingkungan di Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun 2006 - 2007 ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Air Limbah, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun 2007 - 2010 sebagai Kepala Sub Direktorat Investasi Air Minum, Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Pada tahun 2010 – sekarang ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.


(14)

Pada tahun 1983 penulis menikah dengan Erina Prihati, BA dan telah dikaruniai dua orang putri dan satu orang putra yakni dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi.

Bogor, Juni 2011 Alex Abdi Chalik


(15)

i

Halaman

Daftar Tabel……… iii

Daftar Gambar………. vi

Daftar Lampiran………... viii

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

1.1. Latar Belakang………....………... 1

1.2. Tujuan Penelitian………... 6

1.3. Kerangka Pemikiran………... 7

1.4. Perumusan Masalah……….. 8

1.5. Manfaat Penelitian ………. 11

1.6. Novelty (kebaruan)………... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 14

2.1. Pengelola Sampah Perkotaan……… 14

2.2. Teknologi Pengolahan Sampah………. 18

2.3. Multi Kriteria Evaluasi (multy criteria evaluation)……….. 36

2.4. Cost-Benefit Analysis (CBA) ……….. 38

2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan………... 38

2.6. Kebijakan ………... 41

BAB III. METODE PENELITIAN………... 45

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………... 45

3.2. Rancangan Penelitian ………... 45

3.2.1. Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah ………... 45

3.2.2. Analisis Optimalisasi Teknologi Pengelolaan Sampah yang Ramah Lingkungan……….………...….. 48 3.2.3. Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) ...………. 51

3.2.4. Analisis System Dynamic (sistim dinamik)………... 53

3.2.5. Analisis Kebijakan………... 53

BAB IV. HASIL PEMBAHASAN………. 55

4.1. Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi Penelitian…….. 55

4.2. Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta ……… 55

4.2.1. Komposisi Sampah………... 58

4.2.2. Karakteristik Sampah……….. 64

4.2.3. Sampah B3 (Bahan berbahaya dan beracun)………... 70

4.2.4. Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase dan Sungai……... 72

4.3. Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah... 73

4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan………... 73

4.3.2. Kebutuhan Lahan Sebagai Tempat Pengolahan Sampah……… 77

4.4. Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat Terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah………. 80

4.5. Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan sampah……… 86


(16)

ii

4.5.2.2. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah WTE... 4.5.2.3. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah HRC ... 4.5.2.4. Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi …………

97 98 99

4.6. Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis) ...100

4.7. Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) ...102

4.8. Analisis sistem dinamik ………... 108

BAB V. ANALISIS KEBIJAKAN……… 115

5.1. Implementasi Kebijakan Pengolahan Sampah DKI Jakarta ……… 115

5.1.1.Insinerator Skala Kecil………. 116

5.1.2.Komposting dan Daur Ulang………... 118

5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah……… 122

5.2.1. Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah...………. 122

5.2.2. Parisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah……… 126 5.2.3. Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah…………. 129

5.2.4. Institusi Pengelola Sampah………... 131

5.2.5. Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah dengan Swasta…... 132

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……… 133

Kesimpulan……… 133

Saran………... 136

DAFTAR PUSTAKA ………... 137


(17)

iii

Nomor Halaman

1. Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill ... 21

2. Prakiraan kerusakan akibat emisi dari landfill ... 21

3. Distribusi terbentuknya gas yang di amati selama 48 bulan setelah penutupan sel ... 25 4. Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi ... 25

5. Kadar biodegradable sampah organik ... 26

6. Prakiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator ... 35

7. GWP untuk beberapa GRK terhadap CO2 ... 36

8. PDRB per kapita Kota DKI Jakarta ... 41

9. Tipologi kota berdasarkan ekonomi-lingkungan ... 42

10. Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri ... 43 11. Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah ... 48

12. Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survey tahun 2005 ... 57

13. Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 ... 57

14. Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah ... 58

15. Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan tinggi ... 55

16. Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan menengah ... 59

17. Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan rendah ... 59

18. Komposisi sampah dari pasar tradisional ... 60

19. Komposisi sampah dari pasar (pertokoan) moderen ... 60

20. Komposisi sampah dari perkantoran ... 61

21. Komposisi sampah dari sekolah ... 61

22. Komposisi sampah industri ... 62

23. Komposisi sampah rata-rata di wilayah DKI Jakarta ... 63

24. Timbulan sampah di DKI Jakarta, tahun 2005(dalam m3) ... 63

25. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKIJ ... 66

26. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT ... 67 27. Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta ... 64

28. Karakteristik sampah rata-rata di DKIJ ... 64

29. Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta ... 69

30. Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta ... 71 31. Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah ... 71

32. Jumlah penduduk dki jakarta hasil susenas 2008 ... 74

33. Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006 ... 76

34. Perubahan luas taman di DKI Jakarta ... 79

35. Perubahan luas taman di DKI dari tahun 2004 - 2006 ... 79

36. Hubungan antara pertumbuhan penduduk, ekonomi dan sampah ... 81

37. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di DKI Jakarta ... 81 38. Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik ... 82

39. Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah anorganik ... 83


(18)

iv

43. Emisi trasnportasi sampah ke unit WTE ... 98

44. Emisi GRK pengolahan sampah ke unit WTE ... 95

45. Emisi transportasi sampah ke unit HRC ... 99

46 Emisi pengelolaan sampah di unit HRC ... 99

47. Produksi listrik pada unit WTE...100

48. Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengelolaan sampah ... 100 49. Analisis sensivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% ...102

50. Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 500 ton/hari………... 105 51. Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 3.000 ton/hari……….. 106 52. Kondisi insinerator skala kecil... 120

53. Unit-unit komposting di Kota Jakarta……… 121

54 Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting... 121 55 Keuntungan dan kerugian dalam pola kerja sama antara pemerintah dengan swasta ... 128 56 Pertumbuhan PDRB perkapita DKI Jakarta ... 130


(19)

v

Nomor Halaman

1. Timbulan sampah DKI Jakarta ... 7

2. Bagan alir kerangka pemikiran ... 9

3. Bagan alir pola pikir penelitian ... 12

4. Sistem pengelolaan sampah ... 15

5. Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan ... 16

6. Sistem pengolahan sampah terintegrasi ... 16

7. Proses input dan output pada landfill ... 19

8. Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill ... 20

9. Tahapan perubahan gas pada landfill ... 24

10. Grafik pembentukan gas selama lebih dari lima tahun untuk sampah organik yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill ... 27 11. Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill ... 28

12. Proses input dan output pada composting ... 32

13. Proses input dan output pada incinerator ... 35

14. Diagram Kuznet… ... 39

15. Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan ... 49 16. Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta………... 54

17. Skematik diagram pengelolaan sampah DKI Jakarta ... 56

18. Proyeksi jumlah penduduk DKI Jakarta ... 75

19. Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta ... 75

20. Perubahan penggunaan lahan DKI Jakarta 1972 - 2002 ... 77

21. Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah organik ... 83

22. Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah anorganik ... 84

23. Grafik hubungan antara PDRB terhadap total volume sampah per tahun ... 85

24. Biaya pengolahan sampah ... 93

25. Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah ... 94

26. Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi ...100

27. Analisis sensitivitas kenaikan tarif listrik Rp 700,-/kwh ...101

28. Analisis sensitivitas jarak SLF untuk sisa pengolahan WTE dan komposting berjarak 45 km ... 101 29. Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% ...102

30. Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 500 ton/hari……… 106

31. Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 3.000 ton/hari ... 107

32. Prediksi pertumbuhan penduduk DKI Jakarta ……….. 108

33. Perkembangan PDRB per kapita dalam 50 tahun yang akan datang ……... 109

34. Prediksi timbulan sampah 50 tahun yang akan datang ……… 109

35. Perkembangan unit cost dalam pengolahan sampah ……… 110

36. Hasil perkembangan penduduk berdasarkan analisis sensitivitas monte carlo. 111 37. Hasil monte carlo timbulan sampah ……… 112

38. Hasil analisismonte carlo untuk pertumbuhan PDRB per kapita ……… 113


(20)

vi

Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi…………

42. Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang... 125 43. Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah... 127


(21)

vii

Nomor Halaman

1. Analisis biaya investasi pengolahan sampah... 144

2. Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 500 ton/hari... 150

2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 1.000 ton/hari... 151

2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 2.000 ton/hari... 152

2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 3.000 ton/hari... 153 3. Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas 500

ton/hari...

154 3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas

1.000 ton/hari...

155

3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas 2.000 ton/hari...

156

3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas 3.000 ton/hari...

157

4. Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dengan SLF residu sampah terpilah kapasitas 250 ton/hari...

158 4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu

sampah terpilah kapasitas 500 ton/hari...

159 4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu

sampah terpilah kapasitas 1.000 ton/hari...

160

4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu sampah terpilah kapasitas 1.500 ton/hari...

161

5. Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu- sampah belum terpilah kapasitas 250 ton/hari...

162

5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu sampah belum terpilah kapasitas 500 ton/hari...

163

5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu sampah belum terpilah kapasitas 1.000 ton/hari...

164

5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu sampah belum terpilah kapasitas 1.500 ton/hari...


(22)

viii

6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke WTE kapasitas 500 ton/hari...

167

6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke WTE kapasitas 1.000 ton/hari...

168

6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke WTE kapasitas 1.500 ton/hari...

169

7. Ringkasan Analisis NPV biaya sistem pengolahan samapah ... 170 8. NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)

kapasitas 250 ton/hari ...

171

8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) kapasitas 500 ton/hari ...

172

8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) kapasitas 1.000 ton/hari ...

173

8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah) kapasitas 1.500 ton/hari ...

174

9. NPV Biaya proyek –WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah belum terpilah) kapasitas 375 ton/hari...

175

9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi pengolahan sampah belum terpilah) kapasitas 750 ton/hari...

176

9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah belum terpilah) kapasitas 1.500 ton/hari...

177

9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi Sampah belum terpilah) kapasitas 2.250 ton/hari...

178

10. Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45 km ... 179 10. Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45

km...

180 11. Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km ... 181 11. Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km

...


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini daerah perkotaan di Kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per tahun untuk pengelolaan 760.000 ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah sampah sebesar 1,8 juta ton per hari (Horenwig dan Thomas, 1999).

Perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada saat ini menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan pelayanan publik. Hal ini diakibatkan oleh tekanan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, baik pertumbuhan alamiah maupun akibat terjadinya arus urbanisasi. Selain itu juga akibat pertumbuhan industri, perumahan, fasilitas sosial, kurangnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, kurangnya kemampuan penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dan pengelolaan infrastruktur, serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat.

Menurut laporan dari World Bank (2004) tentang kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia sangat tertinggal dengan negara-negara lain di kawasan Asia, sebagai contoh dalam hal pelayanan fasilitas air bersih, baru 34% dari total penduduk perkotaan yang terlayani. Pada sektor sanitasi, situasi yang dihadapi jauh lebih buruk lagi bahkan sangat sulit, sehingga hanya 1,3% dari total penduduk Indonesia yang mendapatkan pelayanan air limbah melalui sistem perpipaan (off site sanitation). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengolahan dan pemusnahan sampah, sehingga mencemari lingkungan.

Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998) dampak sosial (social cost) akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau kurang lebih 2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp.100.000,- per rumah tangga setiap bulan, untuk setiap rumah tangga di Indonesia. Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas para pekerja (ADB, 1998).


(24)

Pada umumnya pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia menghadapi permasalahan-permasalahan sejak dari penempatan, pengumpulan, pengangkutan, pembuangan dan pengolahannya. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (1988) terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan sampah perkotaan, antara lain: aspek teknis, operasional, partisipasi masyarakat, institusi, keuangan, dan aspek legal. Masalah pokok dalam aspek teknis operasional antara lain: (1) Peningkatan laju timbulan sampah yang kurang diantisipasi dengan peningkatan prasarana dan sarana persampahan; (2) Rendahnya tingkat pelayanan khususnya di pasar dan daerah kumuh menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kesehatan masyarakat; (3) Usaha pengurangan volume dan pemanfaatan sampah masih belum memadai; (4) Pembuangan dan pengolahan akhir sampah masih belum memadai khususnya karena terletak pada lokasi yang kurang memenuhi syarat dan secara operasional dilakukan secara open

dumping. Kondisi ini mengakibatkan terjadi beberapa kasus pencemaran lingkungan,

seperti yang disebabkan oleh rembesan air lindi (leacheate), lalat, kebakaran dan asap. Selain itu aktivitas pemulung menyulitkan operasi pemadatan dan penutupan sampah.

Dalam hal kebijakan, pengelolaan sampah juga menghadapi berbagai masalah. Masalah pokok dalam aspek kebijakan (pengaturan) antara lain: (1) Belum lengkapnya peraturan yang mengatur masalah persampahan; (2) Belum lengkapnya peraturan daerah yang secara pokok mengatur institusi, ketentuan umum kebersihan serta retribusi sampah; (3) Lemahnya pelaksanaan peraturan daerah (perda) termasuk pelaksanaan sangsi terhadap pelanggaran-pelanggaran.

Pengelolaan sampah juga menghadapi masalah dalam hal institusi. Masalah pokok dalam aspek institusi antara lain adalah institusi pengelola masih banyak yang berbentuk Dinas Kebersihan yang memiliki kelemahan dalam pengelolaan anggaran operasi dan pemeliharaan. Dinas kebersihan juga seringkali kurang dapat mengembangkan sumber daya manusianya untuk lebih professional. Hal yang tidak kalah pentingnya yang dihadapi adalah masalah pembiayaan dan peran serta masyarakat. Masalah pokok dalam aspek pembiayaan antara lain adalah keterbatasan dana untuk biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan, sehingga sulit meningkatan kualitas maupun kuantitas pelayanan. Masalah pokok dalam aspek peran serta masyarakat adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat serta adanya pandangan masyarakat bahwa sampah sebagai bahan yang tidak berguna (garbage is garbage).


(25)

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menghadapi masalah yang sama di dalam melakukan pengelolaan sampahnya. Salah satu permasalahan yang sangat menonjol adalah pengelolaan pada tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah (TPA) yang menimbulkan banyak masalah, terutama dalam hal luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, dan masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) tentang kebutuhan TPA Sampah DKI sampai dengan tahun 2005. Apabila di DKI Jakarta tidak dilakukan perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 500 hektar.

DKI Jakarta merupakan kota terbesar dan terluas di Indonesia, sebagai kota metropolitan, DKI Jakarta memiliki luas area sebesar 66.000 hektar. Berdasarkan S.K. Gubernur DKI Jakarta No.1227 tahun 1989 luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berupa daratan seluas 661,52 km2 (66.152 ha). Namun demikian kurang lebih 80% dari total wilayah Kota Jakarta sudah terbangun.

DKI Jakarta juga memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada tahun 1999 penduduk DKI berjumlah 7.831.520 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2% per tahun; namun pada akhir tahun 2005 penduduk DKI mencapai 9.041.605 jiwa, dan pada perioda tahun 2005 – 2008 pertumbuhan penduduk DKI mengalami penurunan menjadi 1,06 % pertahun, hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh program keluarga berencana (BPS DKI 2010). Pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang harus dihadapi. Salah satu persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga menjadi sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable)”.

Tempat membuang akhir sampah DKI Jakarta saat ini berada di luar wilayah DKI Jakarta. Kebijakan penempatan pengolahan sampah DKI Jakarta didasarkan kepada Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta tahun 1996. Rencana induk tersebut menetapkan kebijakan untuk membangun di dua lokasi tempat pengolahan sampah secara

sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKI Jakarta yaitu TPA Bantar Gebang di

wilayah Kota Bekasi yang dibangun pada tahun 1990, dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang dibangun pada tahun 1993. TPA Bantar Gebang akan melayani buangan


(26)

sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi, sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Kota Tangerang.

Penetapan lokasi TPA ditentukan berdasarkan RTRW dan Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta serta Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Regional antara Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (JABOTABEK). Kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat tersebut diatur oleh Peraturan Bersama Nomor: 1/DP/004/PD/1976/3 tahun 1976, tanggal 8 Mei 1976 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 Januari 1986, Jo. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.116.P/AGR/DA/26-1987, mengenai Pemberian Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah Seluas 108 Ha yang Terletak di Desa Ciketing Udik, Desa Sumur Batu, Desa Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang Kabupaten Bekasi untuk Keperluan Pembuangan Sampah dengan Sistem Sanitary Landfill kepada Pemerintah DKI Jakarta, yang terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi dan kira-kira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor.

Pada saat ini DKI hanya memiliki TPA sampah Bantar Gebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta. TPA Bantar Gebang yang direncanakan secara sanitary landfill ini, pada kenyataannya dioperasikan secara open

dumping. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, sehingga Warga

Bantar Gebang menuntut untuk menghentikan pengoperasian dan penutupan TPA ini. Pengelolaan TPA Bantar Gebang menimbulkan berbagai masalah dan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, baik berupa pencemaran air bawah tanah, pencemaran udara berupa asap yang ditimbulkan dari terbakarnya sampah, timbulnya bau busuk, timbulnya lalat, nyamuk dan tikus yang keseluruhannya memberikan dampak (externalitas negatif) pada masyarakat yang bertempat tinggal pada radius hingga 10 kilometer dari TPA Bantar Gebang (Chalik, 2000).

Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi TPA ini akan segera dihentikan pengoperasiannya pada akhir tahun 2005, dan akan digantikan dengan sistem pengolahan sampah terpadu (TPST) di Bojong, Kabupaten Bogor. TPST Bojong yang hendak dioperasikan oleh pemerintah DKI Jakarta juga menghadapi masalah yang sama dengan TPA Bantar Gebang yaitu adanya penolakan warga. Alasan tidak menerimanya warga karena pengoperasian TPST tersebut akan lebih


(27)

banyak memberikan kerugian bagi masyarakat setempat seperti yang dialami oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA Bantar Gebang. Mengingat DKI Jakarta hingga saat ini masih belum mempunyai alternatif TPA, dan TPST Bojong juga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan DKI Jakarta, maka dilakukan berbagai negosiasi oleh Pemprov DKI Jakarta, sehingga TPA Bantar Gebang yang menurut perjanjian seharusnya sudah ditutup tahun 2005, hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh DKI Jakarta sebagai tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta.

Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- undang Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mengharuskan Pemerintah DKI Jakarta untuk memikirkan ulang kebijakan dalam menempatkan TPA Sampah di luar wilayahnya. Oleh karena itu pada tahun 1999 pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW 2005 yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Pada kebijakan tersebut, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampah, seperti dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di tempat pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.

Pada pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing kotamadya, secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan

incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai

yang belum sepenuhnya terlayani.

Pada kebijakan pengolahan sampah di DKI Jakarta, pemerintah DKI di masa yang akan datang cenderung untuk menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya.


(28)

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, DKI Jakarta akan menggunakan berbagai teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Pada dasarnya DKI memiliki kemungkinan untuk mengolah sampahnya di dalam wilayahnya sendiri dengan menggunakan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan integrasi teknologi pengolahan sampah.

Ada beberapa pilihan teknologi pengolahan sampah yang dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah perkotaan antara lain sanitary landfill, incinerator,

pyrolisis dan composting, yang masing-masing memiliki kelemahan (cost) dan

keunggulan (benefit). Pemakaian teknologi tersebut secara individual dapat lebih menguntungkan bagi suatu kota tertentu, namun kurang menguntungkan bagi kota lainnya. Hal ini bergantung pada kondisi sosio ekonomi, luas wilayah, ketersediaan sumber daya, serta besaran dan karakteristik timbulan sampahnya. Dalam hal ini semakin luas dan besar suatu kota, semangkin kompleks pula persoalan yang ditimbulkan dalam pengelolaan sampah. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian optimasi integrasi sistem pengolahan sampah yang paling menguntungkan bagi suatu kota, baik dari aspek lingkungan, aspek sosial maupun aspek ekonomi.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta 2. Menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan

lingkungan.

3. Menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta.

Guna mencapai tujuan penelitan tersebut di atas diperlukan kajian antara lain: 1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah.

2. Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 3. Pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan


(29)

1.3. Kerangka Pemikiran

Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 10 juta jiwa, dan dengan laju pertumbuhan 0,17%, maka diperkirakan pada akhir tahun 2011 jumlah penduduknya akan mencapai 11 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya menghasikan sampah yang semakin meningkat selaras dengan pertambahan dan aktifitas penduduk. Sebagai contoh, pada tahun 1976 timbulan sampah DKI Jakarta sebesar 13.000 M3/hari, pada tahun 1986 meningkat menjadi 18.500 M3/hari dan tahun 1988 mencapai 26.320 M3/hari, dan pada tahun 2010 jumlah timbunan sampah DKI Jakarta yang terdata mencapai 6.700 ton per hari. Sampah-sampah ini berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman dan saluran-saluran.

Timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 kurang lebih 6.000 ton/hari dengan perincian seperti tercantum pada Gambar 1. Sedang pada tahun 2010 yang berdasarkan estimasi jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 11.241.111 jiwa, timbulan sampah DKI Jakarta mencapai 6.700 ton/hari, dan komposisinya bahan organik kurang lebih 55 persen, jenis kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan bahan lain 11 persen.

Gambar 1 Timbulan sampah DKI Jakarta

Pada saat ini pembuangan dan pengolahan sampah DKI Jakarta dilakukan secara

open dumping di TPA Bantar Gebang yang berada dalam wilayah kotamadya Bekasi,

Propinsi Jawa Barat. TPA ini terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi, dan kira-kira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor, dan berjarak 40 Km dari pusat Kota Jakarta.

Timbulan Sampah di DKI Jakarta Tahun 2005 (Ton/Hari)

538 ton/hari 84 ton/hari

3.178 ton/hari

240 ton/hari 319 ton/hari

1.641 ton/hari


(30)

Pengolahan sampah yang dilakukan pada saat ini disamping menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, yang merugikan bagi masyarakat di Kecamatan Bantar Gebang, juga memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang cukup besar, karena jarak angkut sampah dari pusat wilayah pelayanan di DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang jauh. Tingginya biaya operasional mengakibatkan DKI tidak mampu menyediakan biaya operasi yang diperlukan secara memadai untuk mengoperasikan TPA Bantar Gebang secara sanitary landfill. Akibat pengoperasian TPA secara open dumping

ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada masyarakat (social cost). Kerugian tersebut antara lain adalah terjadinya gangguan kesehatan seperti terjadinya iritasi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit diarhe serta hilangnya kenyamanan lingkungan akibat bau busuk yang menyengat di sepanjang waktu, yang diterima oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA hingga radius 10 Km dari TPA Bantar Gebang.

Masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan pengelolaan dan pengolahan sampah secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat pengolahan sampah dapat dilakukan dengan berbagai teknologi seperti sanitary landfill, composting,

incineration (pembakaran dengan temperatur tinggi) ataupun pyrolisis. Namun demikian

penggunaan dari masing-masing teknologi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial.

Penggunaan satu teknologi yang dipilih mungkin saja menguntungkan bagi suatu kota, namun dapat pula kombinasi dari penggunaan ketiga teknologi tersebut lebih menguntungkan. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi dari masing-masing kota. Namun yang menjadi permasalahan seberapa besar volume sampah yang harus diolah oleh masing-masing teknologi tersebut secara berkelanjutan, masih harus dilakukan penelitian dengan menggunakan model optimasi teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan pada diagram pola pikir pada Gambar 2.

1.4. Perumusan Masalah

Pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan pada saat ini, kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, dampak sosial dan masih menggunakan paradigma “sampah adalah sampah” yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sistem pengolahan sampah di TPA dilakukan tanpa melalui pengolahan, atau dilakukan secara


(31)

Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran

rendahnya (ekonomis), tanpa memperhatikan dampak lingkungan, sehingga menimbulkan externalitas negatif (biaya sosial) yang sangat besar bagi masyarakat.

Saat ini biaya pengolahan sampah cukup besar, hal ini terjadi karena tidak diberlakukannya pemilahan sampah, minimnya penerapan usaha-usaha 3R (reduce,

reuse, recycling), serta minimnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab

tingginya biaya operasi pengolahan sampah yang antara lain disebabkan oleh jumlah sampah yang begitu besar, jauhnya jarak tempuh ke tempat pengolahan sampah dari pusat kota, tipe teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, volume dan jenis sampah yang diolah.

PERTUMBUHAN PENDUDUK PRASARANA &

SARANA PERKOTAAN

AKTIVITAS PERKOTAAN

SAMPAH

DAMPAK

Pencemaran Lingkungan

LINGKUNGAN EKONOMI SOSIAL

KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS MENURUNNYA PRODUKTIFITAS PENGURASAN SUMBER DAYA ALAM PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP

Hilangnya Sumber Daya dan Menurunnya Produktivitas

Masyarakat

Menurunnya Kesehatan Masyarakat

TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH

SANITARY LANDFILL INCINERATION TEKNOLOGI LAINNYA

KEBIJAKAN PENGOLAHAN SAMPAH YG RAMAH LINGKUNGAN

COMPOSTING

2. Daur ulang sampah 1. Pengurangan

timbulan sampah Pembuangan Akhir Sampah3. Pengolahan dan

Partisipasi Masyarakat PERTUMBUHAN

EKONOMI

GAP


(32)

Menurut kajian Direktorat Jenderal Cipta Karya (1996), sistem sanitary landfill

sebagai single (tunggal) unit pengolahan dan pemusnahan sampah dapat lebih menguntungkan jika dibandingkan intermediate treatment yang menggunakan sistem

incinerator. Untung tersebut akan dapat diperoleh apabila jarak tempuh pengangkutan

sampahnya kurang dari 20 km. Namun demikian jika jarak TPA dengan sanitary landfill

lebih dari 20 km, sistem ini menjadi tidak ekonomis, sehingga alternatif yang lebih baik untuk mengatasinya adalah menggunakan incinerator sebagai intermediate treatment

yang dikombinasikan dengan sistem sanitary landfill. Penggunaan teknologi incinerator

memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem sanitary landfill atau composting, namun sistem ini memiliki keuntungan dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan.

Sistem pengomposan sesungguhnya bisa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kedua teknologi tersebut, namun sistem ini memiliki kendala dalam prosesnya, karena memerlukan waktu yang relatif lama (lebih kurang 41 hari). Selain itu masalah lainnya adalah sulitnya pemasaran kompos, sebagai akibat rendahnya demand pasar terhadap pupuk kompos. Hal tersebut akhirnya menurunkan minat dunia usaha untuk melakukan investasi skala besar, mengingat produksi kompos dipandang kurang menguntungkan dari skala ekonomi.

Pada dasarnya ketiga sistem pengolahan tersebut tidak ada yang unggul secara mutlak, karena masing-masing memiliki keunggulan (benefit) dan kelemahan (cost). Kondisi ini memaksa kita untuk mencari pengolahan sampah skala kota misalnya dengan melakukan kombinasi (integrasi) dari berbagai teknologi. Dalam rangka menemukan kombinasi yang optimal untuk diaplikasikan dan menguntungkan baik dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial, maka perlu melakukan penelitian model optimasi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pada model optimasi ini dilakukan integrasi pengolahan sampah melalui berbagai teknologi pengolahan sampah, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pengolahan sampah di DKI. Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

1. Identifikasi faktor-faktor utama yang menentukan dalam pengolahan sampah dengan berbagai kombinasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.

2. Merumuskan sistem pengolahan sampah, dengan berbagai variabel yang terkait dan berbagai batasan yang harus dipenuhi, dalam konteks lingkungan, sosial dan ekonomi. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan sampah perkotaan.


(33)

Penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan :

1. Bagaimanakah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang paling menguntungkan untuk skala perkotaan?

2. Bagaimanakah sistem pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? 3. Bagaimanakah kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan?

Secara ringkas perumusan masalah ini dapat digambarkan dalam bagan alir pola pikir penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 3.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian perumusan model optimasi pengolahan sampah perkotaan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka melakukan pengolahan sampah perkotaan yang akan diterapkan untuk suatu kota, serta dapat memberikan sumbangan pada:

1. Ilmu pengetahuan

 Sebagai referensi dalam pengembangan manajemen pengelolaan sampah perkotaan.

 Sebagai referensi alternatif model pemanfaatan teknologi pengolahan sampah di perkotaan.

2. Pemerintah

 Sebagai acuan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menentukan pilihan teknologi pengolahan sampah yang paling tepat untuk dipergunakan di wilayahnya.

 Sebagai acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemilihan teknologi dalam pengolahan sampah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. 3. Pemangku kepentingan (stakeholders)

 Sebagai acuan yang dapat dipergunakan dalam menilai ketepatan kebijakan dalam penentuan sistem teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan di wilayah perkotaan.

 Pemahaman permasalahan dalam pengolahan sampah perkotaan.

 Membantu sektor swasta dalam memahami kelayakan investasi pengolahan sampah perkotaan.


(1)

177

Lampiran 9. Lanjutan NPV Biaya Proyek - WTE + SLF residu (Integrasi Teknologi Sampah Blm Terpilah)

project data :

Sampah masuk 1.500 Site data:

Incenerator Cap. 1.500 Ton/Day Land Aquisition : 49.390 m2

Power production 28,1 Mw (Cal = 2146 ) Site distance:

Cost data : Akses road to WTE : 3.500 m

Inflation rate 7% Average distance to WTE facility: 10 km

Land cost WTE : 93.841.000 Rp (x 000) Distance to SLF facility 25 km

Const. WTE.Plant : 1.206.859.500 Rp (x 000) Residual data :

Land cost Akses road : 161.700.000 Rp (x 000) Ash rate

8,44%

Const. Akses road : 40.425.000 Rp (x 000) Residu quantity 126,6 Ton/Day

O/M cost : 185.000 Rp/ton SLF residu (sewa) 158.784 Rp/ton

O/H cost : 21.000 Rp/ton Transportation cost residu ( sewa) : 3.000 Rp/ton/km

Extra-income (Power Electricity) : 300 Rp/kwh Construction Stage : 1 Stage

Transportation cost sampah (sewa): 6.000 Rp/ton/km

(Rpx000)

Lahan Const Lahan Const

0 2008 93.841.000 1.206.859.500 161.700.000 40.425.000 1.502.825.500 0 0 1.502.825.500 1.502.825.500 0 0 1.502.825.500

1 2009 0 97.125.000 11.025.000 108.150.000 108.150.000 63.377.047 44.772.953 31.500.000 3.323.250 7.035.722 10.358.972 86.631.926

2 2010 0 103.923.750 11.796.750 115.720.500 115.720.500 67.813.440 47.907.060 33.705.000 3.555.878 7.528.223 11.084.100 92.696.160

3 2011 0 111.198.413 12.622.523 123.820.935 123.820.935 72.560.381 51.260.554 36.064.350 3.804.789 8.055.198 11.859.987 99.184.892

4 2012 0 118.982.301 13.506.099 132.488.400 132.488.400 77.639.607 54.848.793 38.588.855 4.071.124 8.619.062 12.690.186 106.127.834

5 2013 0 127.311.062 14.451.526 141.762.588 141.762.588 83.074.380 58.688.209 41.290.074 4.356.103 9.222.397 13.578.499 113.556.782

6 2014 0 136.222.837 15.463.133 151.685.970 151.685.970 88.889.586 62.796.383 44.180.380 4.661.030 9.867.964 14.528.994 121.505.757

7 2015 0 145.758.435 16.545.552 162.303.988 162.303.988 95.111.857 67.192.130 47.273.006 4.987.302 10.558.722 15.546.024 130.011.160

8 2016 0 155.961.526 17.703.741 173.665.267 173.665.267 101.769.687 71.895.579 50.582.117 5.336.413 11.297.832 16.634.246 139.111.941

9 2017 0 166.878.833 18.943.003 185.821.835 185.821.835 108.893.565 76.928.270 54.122.865 5.709.962 12.088.681 17.798.643 148.849.777

10 2018 155.313.338 7.431.971 162.745.309 178.560.351 20.269.013 198.829.364 361.574.673 116.516.115 245.058.558 57.911.465 6.109.660 12.934.888 19.044.548 322.014.571

11 2019 0 191.059.576 21.687.844 212.747.419 212.747.419 124.672.243 88.075.176 61.965.268 6.537.336 13.840.330 20.377.666 170.418.110

12 2020 0 204.433.746 23.205.993 227.639.739 227.639.739 133.399.300 94.240.439 66.302.836 6.994.949 14.809.154 21.804.103 182.347.378

13 2021 0 218.744.108 24.830.412 243.574.520 243.574.520 142.737.251 100.837.269 70.944.035 7.484.596 15.845.794 23.330.390 195.111.694

14 2022 0 234.056.196 26.568.541 260.624.737 260.624.737 152.728.859 107.895.878 75.910.118 8.008.517 16.955.000 24.963.517 208.769.513

15 2023 0 250.440.129 28.428.339 278.868.468 278.868.468 163.419.879 115.448.590 81.223.826 8.569.114 18.141.850 26.710.963 223.383.379

16 2024 0 267.970.938 30.418.323 298.389.261 298.389.261 174.859.270 123.529.991 86.909.494 9.168.952 19.411.779 28.580.731 239.020.215

17 2025 0 286.728.904 32.547.605 319.276.509 319.276.509 187.099.419 132.177.090 92.993.158 9.810.778 20.770.604 30.581.382 255.751.630

18 2026 0 306.799.927 34.825.938 341.625.865 341.625.865 200.196.379 141.429.487 99.502.679 10.497.533 22.224.546 32.722.079 273.654.245

19 2027 0 328.275.922 37.263.753 365.539.676 365.539.676 214.210.125 151.329.551 106.467.867 11.232.360 23.780.264 35.012.624 292.810.042

20 2028 305.524.843 14.619.813 320.144.655 351.255.237 39.872.216 391.127.453 711.272.108 229.204.834 482.067.275 113.920.617 12.018.625 25.444.883 37.463.508 633.451.400

21 2029 0 375.843.103 42.663.271 418.506.375 418.506.375 245.249.172 173.257.202 121.895.061 12.859.929 27.226.025 40.085.954 335.238.217

22 2030 0 402.152.121 45.649.700 447.801.821 447.801.821 262.416.614 185.385.207 130.427.715 13.760.124 29.131.846 42.891.970 358.704.892

23 2031 0 430.302.769 48.845.179 479.147.948 479.147.948 280.785.777 198.362.171 139.557.655 14.723.333 31.171.076 45.894.408 383.814.234

24 2032 0 460.423.963 52.264.342 512.688.305 512.688.305 300.440.782 212.247.523 149.326.691 15.753.966 33.353.051 49.107.017 410.681.231

25 2033 -509.315.706 -509.315.706 492.653.640 55.922.846 548.576.486 39.260.780 321.471.636 -282.210.857 159.779.559 16.856.743 35.687.765 52.544.508 -69.886.790 (Rpx000)

2% 1.511.115.556 4.894.715.770 6.405.831.326 2.925.722.438 3.537.475.995 1.425.645.370 468.832.403 5.431.953.769

7% 1.471.446.192 2.361.559.962 3.833.006.153 1.480.772.115 2.449.106.981 687.832.999 226.198.187 3.363.138.166

12% 1.391.476.661 1.314.680.025 2.706.156.686 862.866.404 1.935.740.255 382.916.512 125.924.492 2.444.581.259

(Rpx000/ton)

2% 115 373 488 223 270 109 36 414

7% 112 180 292 113 187 52 17 256

12% 106 100 206 66 147 29 10 186

SLF cost Total residual cost

Biaya Residu

Ton/hari

No Tahun

CAPEX OPEX

TOTAL Capex-Opex

Total Opex Extra Income

TOTAL Cost WTE

Transport. Cost to WTE

Biaya

Total

WTE. Plant ACSESS ROAD

Total Capex O/M Over head Transport cost

to SLF

TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF


(2)

178

Lampiran 9. Lanjutan NPV Biaya Proyek - WTE + SLF residu (Integrasi Teknologi Sampah Blm Terpilah)

project data :

Sampah masuk 2.250 Site data:

Incenerator Cap. 2.250 Ton/Day Land Aquisition : 61.091 m2

Power production 42,1 Mw (Cal = 2146 ) Site distance:

Cost data : Akses road to WTE : 3.500 m

Inflation rate 7% Average distance to WTE facility: 10 km

Land cost WTE : 116.073.375 Rp (x 000) Distance to SLF facility 25 km

Const. WTE.Plant : 1.681.395.375 Rp (x 000) Residual data :

Land cost Akses road : 192.500.000 Rp (x 000) Ash rate

8,44%

Const. Akses road : 48.125.000 Rp (x 000) Residu quantity 189,9 Ton/Day

O/M cost : 185.000 Rp/ton SLF residu (sewa) 158.784 Rp/ton

O/H cost : 18.000 Rp/ton Transportation cost residu ( sewa) : 3.000 Rp/ton/km

Extra-income (Power Electricity) : 300 Rp/kwh Construction Stage : 1 Stage

Transportation cost sampah (sewa): 6.000 Rp/ton/km

(Rpx000)

Lahan Const Lahan Const

0 2008 116.073.375 1.681.395.375 192.500.000 48.125.000 2.038.093.750 0 0 2.038.093.750 2.038.093.750 0 0 2.038.093.750

1 2009 0 145.687.500 14.175.000 159.862.500 159.862.500 95.065.570 64.796.930 47.250.000 4.984.875 10.553.583 15.538.458 127.585.388

2 2010 0 155.885.625 15.167.250 171.052.875 171.052.875 101.720.160 69.332.715 50.557.500 5.333.816 11.292.334 16.626.150 136.516.366

3 2011 0 166.797.619 16.228.958 183.026.576 183.026.576 108.840.571 74.186.005 54.096.525 5.707.183 12.082.797 17.789.981 146.072.511

4 2012 0 178.473.452 17.364.985 195.838.437 195.838.437 116.459.411 79.379.026 57.883.282 6.106.686 12.928.593 19.035.280 156.297.587

5 2013 0 190.966.594 18.580.533 209.547.127 209.547.127 124.611.570 84.935.558 61.935.111 6.534.154 13.833.595 20.367.749 167.238.418

6 2014 0 204.334.255 19.881.171 224.215.426 224.215.426 133.334.379 90.881.047 66.270.569 6.991.545 14.801.946 21.793.492 178.945.107

7 2015 0 218.637.653 21.272.853 239.910.506 239.910.506 142.667.786 97.242.720 70.909.509 7.480.953 15.838.083 23.319.036 191.471.265

8 2016 0 233.942.289 22.761.952 256.704.241 256.704.241 152.654.531 104.049.710 75.873.175 8.004.620 16.946.748 24.951.368 204.874.253

9 2017 0 250.318.249 24.355.289 274.673.538 274.673.538 163.340.348 111.333.190 81.184.297 8.564.943 18.133.021 26.697.964 219.215.451

10 2018 216.382.377 8.847.585 225.229.962 267.840.527 26.060.159 293.900.686 519.130.648 174.774.173 344.356.475 86.867.198 9.164.489 19.402.332 28.566.822 459.790.495

11 2019 0 286.589.363 27.884.370 314.473.734 314.473.734 187.008.365 127.465.369 92.947.902 9.806.004 20.760.496 30.566.499 250.979.770

12 2020 0 306.650.619 29.836.276 336.486.895 336.486.895 200.098.950 136.387.945 99.454.255 10.492.424 22.213.730 32.706.154 268.548.354

13 2021 0 328.116.162 31.924.816 360.040.978 360.040.978 214.105.877 145.935.101 106.416.053 11.226.894 23.768.691 34.995.585 287.346.739

14 2022 0 351.084.293 34.159.553 385.243.846 385.243.846 229.093.288 156.150.558 113.865.176 12.012.776 25.432.500 37.445.276 307.461.011

15 2023 0 375.660.194 36.550.722 412.210.916 412.210.916 245.129.818 167.081.097 121.835.739 12.853.670 27.212.775 40.066.445 328.983.281

16 2024 0 401.956.408 39.109.272 441.065.680 441.065.680 262.288.905 178.776.774 130.364.240 13.753.427 29.117.669 42.871.096 352.012.111

17 2025 0 430.093.356 41.846.921 471.940.277 471.940.277 280.649.129 191.291.148 139.489.737 14.716.167 31.155.906 45.872.073 376.652.959

18 2026 0 460.199.891 44.776.206 504.976.097 504.976.097 300.294.568 204.681.529 149.254.019 15.746.299 33.336.819 49.083.118 403.018.666

19 2027 0 492.413.883 47.910.540 540.324.423 540.324.423 321.315.188 219.009.236 159.701.800 16.848.540 35.670.397 52.518.937 431.229.972

20 2028 425.656.887 17.404.539 443.061.426 526.882.855 51.264.278 578.147.133 1.021.208.559 343.807.251 677.401.308 170.880.926 18.027.938 38.167.324 56.195.262 904.477.496

21 2029 0 563.764.655 54.852.777 618.617.432 618.617.432 367.873.758 250.743.674 182.842.591 19.289.893 40.839.037 60.128.930 493.715.195

22 2030 0 603.228.181 58.692.472 661.920.653 661.920.653 393.624.921 268.295.731 195.641.572 20.640.186 43.697.770 64.337.956 528.275.259

23 2031 0 645.454.154 62.800.945 708.255.098 708.255.098 421.178.666 287.076.433 209.336.482 22.084.999 46.756.614 68.841.612 565.254.527

24 2032 0 690.635.944 67.197.011 757.832.955 757.832.955 450.661.172 307.171.783 223.990.036 23.630.949 50.029.577 73.660.525 604.822.344

25 2033 -629.980.424 -629.980.424 738.980.461 71.900.802 810.881.262 180.900.838 482.207.455 -301.306.617 239.669.339 25.285.115 53.531.647 78.816.762 17.179.484

(Rpx000)

2% 2.095.133.224 7.235.150.253 9.330.283.477 4.388.583.656 5.027.750.480 2.138.468.055 703.248.605 7.869.467.140

7% 2.010.290.989 3.490.752.467 5.501.043.457 2.221.158.172 3.425.194.698 1.031.749.498 339.297.280 4.796.241.476

12% 1.892.397.306 1.943.301.299 3.835.698.605 1.294.299.605 2.680.073.958 574.374.768 188.886.738 3.443.335.464

(Rpx000/ton)

2% 106 367 474 223 255 109 36 400

7% 102 177 279 113 174 52 17 244

12% 96 99 195 66 136 29 10 175

No Tahun WTE. Plant ACSESS ROAD TOTAL COST

Total Capex O/M Over head

Transport. Cost

to WTE SLF cost

Ton/hari

Total residual cost

Biaya Residu

TOTAL Cost WTE

NPV Tot-COST at DF UNIT COST :

CAPEX OPEX

TOTAL Capex-Opex Total Opex

NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF

Transport cost to SLF

TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF


(3)

179

Lampiran 10. Analisis Sensitivitas ( Harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF Residu 45 km)

Data sampah :

Sampah masuk Plant : Ton/Day 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 500 1000 2000 3000 500 1000 2000 3000 Kondisi sampah:

Project Investment data :

Plant Capacity Ton/Day 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 250 500 1.000 1.500 475 950 1900 2850 500 1000 2000 3000

Land cost : Rp. Milyar 129,01 215,01 344,02 483,77 45,51 89,11 141,82 190,24 77,52 153,14 269,00 389,82 53 103 201 279 55 107 208 288 Const. cost : Rp. Milyar 249,83 403,42 625,73 873,06 576,60 1.152,70 2.192,77 3.055,99 205,87 411,23 782,10 1.143,03 374 748 1.441 2.044 402 804 1.546 2.190 Land cost jalan Akses : Rp. Milyar 105,60 138,60 184,80 264,00 105,60 138,60 184,80 264,00 105,60 138,60 184,80 264,00 141 277 277 277 141 277 277 277 Const. Cost Jalan Akses : Rp. Milyar 44,00 69,30 100,10 165,00 26,40 34,65 46,20 66,00 26,40 34,65 46,20 66,00 35 69 69 69 35 69 69 69 O/M cost : Rp/ton 92.000 85.000 85.000 85.000 215.000 190.000 185.000 185.000 145.000 135.000 130.000 130.000 152.500 135.000 132.500 132.500 152.500 135.000 132.500 132.500

Project Site data :

Land Aquisition : Ha 64,5 107,5 172,0 241,9 2,4 4,7 7,5 10,0 4,1 8,1 14,2 20,5 2,8 5,4 10,6 14,7 2,9 5,6 11,0 15,2

Akses road Req to Plant : m 5.000 6.000 7.000 10.000 3.000 3.000 4.000 4.000 3.000 3.000 4.000 4.000 2.000 3.000 3.000 3.000 2.000 3.000 3.000 3.000

Av distance to Plant km 45 45 45 45 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Av distance to SLF km 0 0 0 0 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45

Extra Revenue :

Extra-product Electricity: Extra product Fertilizer : Price (extra product.) :

Sumber ke Plant : Rp/ton/km Transportation residu ke WTE : Rp/ton/km Transportation residu ke SLF : Rp/ton/km

Residual data :

type residu :

Residu rate %

Residu quantity Ke SLF Ton/Day 25 50 100 150 250 500 1000 1500 46,1 92,2 184,4 276,6 25 50 100 150

SLF Residu (tipping fee) Rp/ton

Land Aquisition (SLF residu) : Ha 0 0 0 0 3,2 5,4 8,6 12,1 32,3 53,8 86,0 120,9 5,9 9,9 15,9 22,3 0,2 0,4 0,7 0,9

TOTAL LAND REQUIREMENT Ha 65 108 172 242 5,6 10,1 16,1 22,1 36,3 61,8 100,2 141,5 8,7 15,3 26,4 37,0 3,1 6,1 11,7 16,1

269 439 685 983 754 1.415 2.566 3.576 415 738 1.282 1.863 603 1.198 1.988 2.669 633 1.257 2.101 2.824

PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7%

o PENGOLAHAN : 802 1.389 2.461 3.591 627 918 1.500 1.906 586 1.119 2.121 3.164 752 1.534 2.785 3.964 1.069 1.991 3.524 4.974

o TRANSPORTASI : 1.032 2.063 4.127 6.190 229 459 917 1.376 229 459 917 1.376 229 459 917 1.376 241 481 963 1.444

o RESIDU : 0 0 0 0 95 190 379 0 613 1.226 2.452 3.677 81 162 325 487 33 65 130 196

TOTAL SYSTEM: 1.834 3.453 6.588 9.781 951 1.566 2.796 3.850 1.428 2.803 5.490 8.217 1.063 2.155 4.027 5.827 1.342 2.538 4.617 6.614 PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% :

o PENGOLAHAN : 183,37 158,78 140,63 136,78 143,41 104,91 85,69 72,61 133,88 127,87 121,19 120,53 171,91 175,30 159,14 151,03 231,62 216,09 191,34 180,36

o TRANSPORTASI : 235,83 235,83 235,83 235,83 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41

o RESIDU : 0,00 0,00 0,00 0,00 21,66 21,66 21,66 21,66 140,09 140,09 140,09 140,09 18,55 18,55 18,55 18,55 6,81 6,81 6,81 6,81

TOTAL SYSTEM :

419,20

394,61

376,46

372,61

217,48

178,97

159,76

146,67

326,38

320,37

313,69

313,03

242,87

246,25

230,09

221,98

290,83

275,31 250,55 239,57

Cap. SLF WTE BIO FERT COMB 1 COMB 2 Cap. SLF WTE BIO FERT COMB 1 COMB 2 500 T/Day Rp183.374 Rp143.412 Rp133.880 Rp171.910 Rp231.620 500 T/Day Rp419.203 Rp217.476 Rp326.379 Rp242.866 Rp290.834 1000 T/Day Rp158.784 Rp104.907 Rp127.872 Rp175.298 Rp216.095 1000 T/Day Rp394.613 Rp178.970 Rp320.371 Rp246.254 Rp275.309 2000 T/Day Rp140.631 Rp85.692 Rp121.190 Rp159.139 Rp191.337 2000 T/Day Rp376.460 Rp159.756 Rp313.689 Rp230.094 Rp250.552 3000 T/Day Rp136.784 Rp72.609 Rp120.528 Rp151.025 Rp180.358 3000 T/Day Rp372.613 Rp146.673 Rp313.027 Rp221.981 Rp239.572

TANPA PEMILAHAN DI SUMBER

COMPOSTING 1.

DENGAN PEMILAHAN DI SUMBER

3.600

Yes No

No

6.000

COMB.1

COMPOST & WTE

WTE 1

Tidak terpilah

No

3.000

6.000 3.300

0 0

Rp 400 /kg

Tidak terpilah

0

Seluruh Sampah kota Rejected material

Yes

50%

6.000

Idem

0

Yes Yes

0

SLF

158.784

(Rp. Milyar)

Sudah terpilah

No

(Rp. Milyar)

Tidak terpilah

Ash & Rejected material

158.784

INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:

(Rp. Milyar)

(Rpx 000/ton) (Rp. Milyar)

(Rp. Milyar)

(Rp. Milyar) (Rp. Milyar)

SLF

100% no need

Transportation data : (sewa)

(Rpx 000/ton) (Rpx 000/ton)

Rp 700/kwh

5% Ash

COMB.2

COMPOST & WTE Sudah terpilah

Yes Yes Idem

Tidak terpilah Terpilah Tidak terpilah Terpilah

(Rp. Milyar)

2.400

Ash 5,0% 158.784

(Rp. Milyar)

(Rpx 000/ton) (Rp. Milyar)

(Rpx 000/ton)

6.000 6.000

158.784 9,2%


(4)

180

Lampiran 10. Lanjutan Analisis Sensitivitas ( harga listrik Rp 700,-/kwh, dan jarak SLF residu WTE 45 km)

Rp0 Rp50.000 Rp100.000 Rp150.000 Rp200.000 Rp250.000

500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day

SLF

WTE

BIO FERT

COMB 1

COMB 2

UNIT COST PENGOLAHAN SAMPAH

.

U

N

IT

Co

st

(R

p/

TO

N

)

KAPASITAS

PENGOLAHAN

(Ton /Day)

Rp100.000 Rp120.000 Rp140.000 Rp160.000 Rp180.000 Rp200.000 Rp220.000 Rp240.000 Rp260.000 Rp280.000 Rp300.000 Rp320.000 Rp340.000 Rp360.000 Rp380.000 Rp400.000 Rp420.000 Rp440.000

500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day

WTE SLF BIO FERT COMB 1 COMB 2

Un

it

Co

st

si

st

em

pe

ng

ol

ah

an

sa

mp

ah

(Rp

/T

on

)

KAPASITAS PENGOLAHAN( Ton/ Day)


(5)

181

Lampiran 11. Analisis Sensitivitas harga listrik Rp 300,-/kwh dan Jarak SLF residu WTE 45 km

Data sampah :

Sampah masuk Plant : Ton/Day 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000

Kondisi sampah:

Project Investment data :

Plant Capacity Ton/Day 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 250 500 1.000

Land cost : Rp. Milyar 129,01 215,01 344,02 483,77 45,51 89,11 141,82 190,24 77,52 153,14 269,00

Const. cost : Rp. Milyar 249,83 403,42 625,73 873,06 576,60 1.152,70 2.192,77 3.055,99 205,87 411,23 782,10

Land cost jalan Akses : Rp. Milyar 105,60 138,60 184,80 264,00 105,60 138,60 184,80 264,00 105,60 138,60 184,80

Const. Cost Jalan Akses : Rp. Milyar 44,00 69,30 100,10 165,00 26,40 34,65 46,20 66,00 26,40 34,65 46,20

O/M cost : Rp/ton 92.000 85.000 85.000 85.000 215.000 190.000 185.000 185.000 145.000 135.000 130.000

Project Site data :

Land Aquisition : Ha 64,5 107,5 172,0 241,9 2,4 4,7 7,5 10,0 4,1 8,1 14,2

Akses road Req to Plant : m 5.000 6.000 7.000 10.000 3.000 3.000 4.000 4.000 3.000 3.000 4.000

Av distance to Plant km 45 45 45 45 10 10 10 10 10 10 10

Av distance to SLF km 0 0 0 0 45 45 45 45 45 45 45

Extra Revenue :

Extra-product Electricity: Extra product Fertilizer : Price (extra product.) :

Sumber ke Plant : Rp/ton/km

Transportation residu ke WTE : Rp/ton/km Transportation residu ke SLF : Rp/ton/km

Residual data :

type residu :

Residu rate %

Residu quantity Ke SLF Ton/Day 25 50 100 150 250 500 1000

SLF Residu (tipping fee) Rp/ton

Land Aquisition (SLF residu) : Ha 0 0 0 0 3,2 5,4 8,6 12,1 32,3 53,8 86,0

TOTAL LAND REQUIREMENT

Ha 65 108 172 242 5,6 10,1 16,1 22,1 36,3 61,8 100,2

269 439 685 983 754 1.415 2.566 3.576 415 738 1.282

PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7%

o PENGOLAHAN : 802 1.389 2.461 3.591 1.242 2.148 3.960 5.596 586 1.119 2.121

o TRANSPORTASI : 1.032 2.063 4.127 6.190 229 459 917 1.376 229 459 917

o RESIDU : 0 0 0 0 95 190 379 0 613 1.226 2.452

TOTAL SYSTEM:

1.834

3.453

6.588

9.781

1.567

2.796

5.256

7.541

1.428

2.803

5.490

PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% :

o PENGOLAHAN : 183,37 158,78 140,63 136,78 284,00 245,49 226,28 213,20 133,88 127,87 121,19

o TRANSPORTASI : 235,83 235,83 235,83 235,83 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41

o RESIDU : 0,00 0,00 0,00 0,00 21,66 21,66 21,66 21,66 140,09 140,09 140,09

TOTAL SYSTEM :

419,20

394,61

376,46

372,61

358,06

319,56

300,34

287,26

326,38

320,37

313,69

SLF

100% no need

Transportation data :

(sewa)

(Rpx 000/ton) (Rpx 000/ton)

Rp 300/kwh

5% Ash

158.784

INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:

(Rp. Milyar)

(Rpx 000/ton) (Rp. Milyar)

(Rp. Milyar)

(Rp. Milyar) (Rp. Milyar)

SLF

158.784

(Rp. Milyar)

No Tidak terpilah

Seluruh Sampah kota Rejected material

50%

6.000 0

Yes

0 0

Rp 400 /kg

Tidak terpilah

0

WTE 1

Tidak terpilah

No

3.000 6.000

TANPA PEMILAHAN DI SUMBER

COMPOSTING 1.

3.600

Yes No

No


(6)

182

Lampiran 11. Lanjutan analisis sensitivitas harga listrik Rp 300,-/kwh dan jarak SLF residu WTE 45 km

Rp0 Rp50.000 Rp100.000 Rp150.000 Rp200.000 Rp250.000 Rp300.000

500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day

SLF WTE BIO FERT COMB 1 COMB 2

GRAFIK

: UNIT COST PENGOLAHAN SAMPAH

.

U

N

IT

Co

st

(

R

p

/T

O

N

)

KAPASITASPENGOLAHAN(Ton /Day)

Rp200.000 Rp220.000 Rp240.000 Rp260.000 Rp280.000 Rp300.000 Rp320.000 Rp340.000 Rp360.000 Rp380.000 Rp400.000 Rp420.000 Rp440.000

500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day

WTE SLF BIO FERT COMB 1 COMB 2

GRAFIK: UNIT COST SYSTEM PERSAMPAHAN

Un

it Co

st

(R

p/

To

n)