Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia

(1)

RUSKY INTAN PRATAMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Rusky Intan Pratama NRP C351080071


(3)

ABSTRACT

RUSKY INTAN PRATAMA. Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia. Under direction of JOKO SANTOSO and WINARTI ZAHIRUDIN

Ikan pe, ikan fufu, ikan salai and ikan kayu are Indonesian traditional smoked fish delicacies. The differences in raw materials, type of woods, smoking conditions and methods that were applied in Indonesian smoked fish processing gives the products its special characteristics. All of these varieties will affect its chemical and flavor characteristics. The aims of this research were to inventory Indonesian traditional smoked fish processes and also to identify flavor compounds, chemical and sensory characteristics of each product. This research was carried out in two stages. The first one was interviewing the smoked fish processing owner, observing on smoked fish process and collecting samples and in second stage, samples were analyzed on its composition of proximate, phenolic, salt, free amino acids and Gas Chromatography-Mass Spectrometry was used to identify polycyclic aromatic hydrocarbon content and volatile compounds in smoked fish. Quantitative Descriptive Analysis with Principal Component Analysis were used to evaluate samples sensory characteristics based on attributes that were given by 10 trained panelists was also performed. The results showed that samples differences gave a significant effect on moisture, ash, fat, protein, total phenol and salt contents. Ikan pe had the highest water content (76.44%), total phenol (59.34 ppm) and salt content (0.29%) compared to other samples. Ikan kayu had the highest protein (69.12%) and carbohydrate (7.98%) content and ikan salai had the highest ash (5.55%) and fat (5.87%) content. The free amino acids analysis result were varied depends on the type of samples and none of any 18 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon compounds (at detection limit 660 ppb) were detected in any of these samples. Most volatile compounds detected came from hydrocarbons, aldehydes, ketones, alcohols, furans, phenolic, ethers and esters groups. The Quantitative Descriptive Analysis and Principal Component Analysis results showed that each sample had a certain distinctive characteristics on aroma and taste sensory attributes and can be characterized based on those certain sensory attributes.


(4)

RINGKASAN

RUSKY INTAN PRATAMA. Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Ikan Asap di Indonesia. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI ZAHIRUDIN.

Pengasapan memberikan harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk perikanan yang diolah dengan penggaraman atau pengeringan. Pengasapan ikan pada saat ini dilakukan terutama untuk tujuan memberikan penampakan dan flavor yang khas dibandingkan untuk mengawetkan. Ikan pe, ikan fufu, ikan salai dan ikan kayu merupakan produk ikan asap tradisional khas Indonesia. Jenis bahan baku (ikan), jenis kayu, metode dan kondisi pengasapan yang dilakukan di berbagai daerah memiliki ciri yang khas. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi karakteristik kimia dan flavor ikan asap. Flavor merupakan salah satu karakteristik penting yang menentukan kualitas dan penerimaan produk di pasaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi proses pembuatan beberapa ikan asap tradisional Indonesia serta mengidentifikasi komponen flavor, karakteristik kimia dan organoleptik. Empat jenis ikan yang dijadikan sampel tersebut ialah ikan fufu yang diperoleh dari pengolah ikan asap Kelompok Langsa 2 (Bitung, Sulawesi Utara), ikan salai dari CV DA Pabata (Padang, Sumatera Barat), ikan kayu dari CV Omereso (Kendari, Sulawesi Tenggara) dan ikan pe dari Kelompok Sukoharjo (Rembang, Jawa Tengah). Tahap kedua ialah analisis laboratorium terhadap keempat jenis sampel tersebut. Analisis yang dilakukan meliputi komposisi proksimat, total fenol, garam, asam amino bebas, Polycyclic Aromatic Hidrocarbon (PAH), komposisi flavor menggunakan Gas Chromatography/Mass Spectrometry (GC/MS) dan uji organoleptik deskripsi metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®), selanjutnya dilakukan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) untuk melihat hubungan komponen utama berdasarkan atribut-atribut yang diberikan 10 orang panelis terlatih.

Komposisi kimia meliputi kadar air (76,44%), kadar total fenol (59,34 ppm) dan kadar garam (0,29%) terukur tertinggi pada ikan pe. Kadar protein (69,12%) dan kadar karbohidrat (7,98%) terukur paling tinggi pada ikan kayu. Kadar abu (5,55%) dan kadar lemak (5,87%) tertinggi terukur pada ikan salai. Jumlah kandungan asam amino bebas tertinggi yang terdapat pada ikan kayu ialah serin (220,35 mg/kg), histidin (21755,72 mg/kg), treonin (1353,34 mg/kg), alanin (2817,76 mg/kg), tirosin (272,06 mg/kg) dan fenilalanin (247,78 mg/kg). Ikan fufu memiliki kandungan asam aspartat (425,69 mg/kg), asam glutamat (1075,10 mg/kg), metionin (306,13 mg/kg), valin (448,85 mg/kg), isoleusin (324,07 mg/kg), leusin (761,32 mg/kg) dan lisin (468,46 mg/kg) yang lebih tinggi. Glisin (1211,45 mg/kg) dan arginin (541,80 mg/kg) merupakan asam amino bebas yang tertinggi jumlahnya pada ikan salai. Perbedaan komposisi kimia yang terukur pada masing-masing ikan asap tersebut dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan parameter proses pengasapan yang dilakukan seperti tahap-tahap pengolahan, suhu dan waktu pengasapan.

Pengujian kandungan 18 jenis senyawa golongan PAH pada keempat sampel dengan menggunakan GC/MS (limit deteksi 660 ppb) menunjukkan


(5)

bahwa seluruh jenis ikan asap tidak mengandung senyawa PAH yang berbahaya bagi kesehatan. Hasil analisis senyawa volatil menunjukkan bahwa sebagian besar golongan senyawa yang terdeteksi berasal dari golongan hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, furan, fenol, eter, dan ester. Senyawa volatil yang terdeteksi pada ikan fufu ialah sebanyak 75 senyawa, ikan salai 82 senyawa, ikan kayu 122 senyawa dan ikan pe sebanyak 131 senyawa. Golongan senyawa yang terdeteksi paling banyak jenisnya ialah dari golongan hidrokarbon (alifatik dan aromatik) dan diikuti oleh fenol. Adanya perbedaan-perbedaan kandungan dan komposisi kimia dan senyawa volatil dari sampel ikan asap antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan metode dan kondisi pengasapan masing-masing sampel, seperti preparasi, jumlah ketersediaan oksigen, densitas asap, suhu dan waktu pengasapan, jenis dan ukuran bahan baku, jenis dan kadar air kayu serta reaksi-reaksi kimia yang terjadi seperti oksidasi lemak, degradasi asam amino, degradasi komponen kayu dan perlakuan pengolahan selain pengasapan seperti pengeringan awal dan perebusan juga turut mempengaruhi.

Atribut sensoris aroma yang diuji pada pengujian organoleptik deskriptif metode QDA® ialah fishy, burnt, sweet, smoky, fatty, woody dan atribut sensoris rasa meliputi manis, asin, asam, gurih, dan pahit. Hasil penilaian oleh 10 orang panelis terlatih menunjukkan bahwa masing-masing sampel ikan asap memiliki intensitas atribut sensoris tertentu yang memberikan ciri khas. Aroma ikan kayu memiliki intensitas aroma fishy dan woody lebih tinggi dari ikan asap jenis lainnya. Kesan aroma fishy dapat ditimbulkan oleh senyawa trimetilamin yang terdapat pada bahan baku ikan kayu sedangkan senyawa-senyawa seperti fenol, guaiakol dan siringol diketahui dapat menimbulkan kesan aroma woody. Ikan pe memiliki intensitas aroma burnt dan smoky yang lebih tinggi. Senyawa-senyawa dari golongan fenol yang terdeteksi pada ikan pe memberikan peran yang besar terhadap aroma burnt dan smoky. Aroma dengan kesan burnt dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa alkil siringol sedangkan aroma dengan kesan smoky dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti 2-methoxyphenol, 2-methylphenol, 4-methylguaiacol, 4-ethylguaiacol, guaiacol dan 2,6-dimethoxyphenol dan homolognya, selain itu jarak sumber asap yang lebih dekat pada ikan pe mempengaruhi terdeteksinya atribut burnt dan smoky ini. Ikan salai memiliki intensitas aroma fatty dan sweet yang lebih tinggi. Kesan aroma fatty dapat ditimbulkan oleh beberapa senyawa dari golongan aldehid termasuk hexanal yang terdeteksi dan hasil proses oksidasi pada ikan salai sedangkan kesan aroma sweet dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti furanmethanol, decanal, dimethylphenol, 4-methylguaiacol, guaiacol, o-cresol, 1-(4-methylphenyl)- ethanone dan rempah-rempah yang ditambahkan. Hasil penilaian terhadap atribut rasa menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki intensitas rasa gurih yang lebih tinggi daripada ikan lainnya. Kesan rasa gurih dapat ditimbulkan oleh asam glutamat maupun garamnya dan nukleotida seperti inosin monofosfat. Ikan fufu memiliki intensitas rasa pahit, asin dan asam lebih tinggi. Kesan rasa asam kemungkinan ditimbulkan oleh senyawa alkil ester pentafluoropropionic acid, 4-methoxy-benzoic acid dan trichloroacetic acid yang terdeteksi. Kesan rasa asin dapat ditimbulkan oleh kandungan garam anorganik alami pada ikan dan hasil hidrolisis protein yang dapat menghasilkan asam amino taste-active dan peptida. Kesan rasa pahit pada ikan fufu dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti seperti fenol, 3-metilfenol, 4-metil fenol, guaiakol, 4-metilguaiakol, 2-metilfenol,


(6)

4-etilguiakol, asam amino bebas arginin, metionin dan valin. Ikan salai memiliki intensitas rasa manis yang lebih tinggi. Kesan rasa manis dapat ditimbulkan oleh kandungan gula bebas yang terdapat dalam ikan, asam amino bebas seperti glisin, alanin, serin, treonin dan prolin, penambahan rempah-rempah yang dapat memberikan kesan rasa manis dan beberapa senyawa golongan fenol seperti dimetilfenol, 4-metilguiakol, guaiakol dan orto kresol.

Hasil analisis PCA menggambarkan hubungan antara variabel-variabel atribut sensoris (fishy, burnt, sweet, smoky, fatty, woody, manis, asin, asam, gurih, dan pahit) dan sampel ikan asap secara keseluruhan. Hasil analisis PCA (PC1 47%; PC2 37%) mengelompokkan sampel ikan kayu ke dalam kuadran pertama, ikan fufu pada kuadran kedua, ikan pe pada kuadran ketiga dan ikan salai pada kuadran keempat. Atribut-atribut sensoris yang menjadi karakteristik masing-masing sampel ikan asap juga terdapat pada masing-masing-masing-masing kuadran sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian sensoris dengan baik. Terdeteksinya aroma dan rasa tertentu pada masing-masing sampel antara lain disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa kimia yang terbentuk sebagai sumber aroma dan rasa tersebut serta sebagian besar hasil yang diperoleh dengan metode ini mendukung hasil pengujian QDA®.


(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

KARAKTERISTIK FLAVOR BEBERAPA JENIS

PRODUK IKAN ASAP DI INDONESIA

RUSKY INTAN PRATAMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(9)

(10)

Judul Tesis : Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia

Nama : Rusky Intan Pratama

NIM : C351080071

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Ir. Winarti Zahirudin, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat dan izin-Nya, maka karya ilmiah tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini berjudul “Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia”. Tesis ini merupakan bagian dari penelitian Program Insentif Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan judul penelitian “Pengembangan Teknologi Pengasapan Ikan yang Efisien, Menggunakan Bahan Baku Lokal dan Berorientasi Pasar dengan UKM sebagai Sentra Pengembangan” yang diajukan oleh Bapak Ir. Heru Sumaryanto, M.Si., (peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor dan staf pengajar Sekolah Pascasarjana, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor) selaku peneliti utama dan penyandang dana dari penelitian tesis ini.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si., selaku ketua komisi pembimbing, yang telah

membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini serta telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian Program Insentif Kemenristek mengenai teknologi pengasapan ikan.

2. Ir. Winarti Zahiruddin, M.S., selaku anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc., sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si., selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan atas dukungan dan kemudahan yang diberikan selama studi. 5. Ibu Dr. Ir. Nurjanah, M.S., selaku Sekretaris Program Studi Teknologi Hasil


(12)

iv

6. Ir. Heru Sumaryanto, M.Si., selaku peneliti utama pada Program Insentif Kemenristek yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian pengembangan teknologi pengasapan ikan, memberikan motivasi, arahan, bimbingan dan juga selaku penyandang dana penelitian tesis ini.

7. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa bagi penulis.

8. Bapak Andi Bachri, Ibu Epi Pabata, Kelompok Sukoharjo-Rembang, Kelompok Langsa 2-Bitung, selaku pemilik UKM tempat pengambilan sampel ikan asap atas kesempatan yang telah diberikan.

9. Ir. Bram Kusbiantoro, M.S., selaku Kepala Laboratorium Flavor, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPTP), Sukamandi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menguji flavor dan organoleptik ikan asap dan memberikan arahan serta bimbingannya.

10.Desi Arofah (Laboratorium Flavor BBPTP, Sukamandi), Mas Khatib (Laboratorium Terpadu, IPB), dan Endang Rusmalia (Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, IPB) selaku teknisi laboratorium analisis yang telah melaksanakan, membantu dalam pengujian sampel ikan asap serta memberikan masukan kepada penulis.

11.Dr. Ir. Eddy Afrianto, M.Si. dan Ir. Evi Liviawaty M.Si., selaku Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Universitas Padjadajaran, Bandung yang telah memberikan masukan serta arahan kepada penulis.

12.Tim panelis organoleptik terlatih BBPTP, Sukamandi (Mb Elsera, Bapak Rasam, Ibu Nani Yunani, Bapak Kamijo, Bapak Husen, Bapak Encep Rianto, Mb Diah Arismiati, Mb Desi Arofah, Bapak Ahmad Yajid dan Bapak Edi Suryadi) atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

13.Seluruh dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan banyak ilmu dan pendidikan kepada penulis selama menjalani studi.

14.Ayah (Prof. Dr. Ir. Masyamsir, M.S.) dan Ibu (Tatan Suryani, SE.), kakak (Sheila Intan Safitri, S.Si; Marisa Intan Dwifitri, S.P., M.Sc., M.T.) atas segala dukungan dan do’a yang senantiasa diberikan selama penulis menjalani studi.


(13)

v

15.Teman-teman satu angkatan THP 2008 (Iis Rostini, S. Ridha Kasim, Hafiludin, Nikmawati, Silvana, Erika, Vivi, Sholi Nasution, Lilis) atas dukungan, kerjasama dan kebersamaannya selama ini.

16.Indryana Dathiarmaulida, drg. beserta keluarga atas segala dukungan, do’a dan bantuannya kepada penulis selama ini.

17.Seluruh pihak yang belum penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu lancarnya penyusunan tesis ini.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan hasil perikanan. Untuk segala kekurangan, kesalahpahaman dan kata-kata yang kurang tepat, penulis ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2011


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 September 1980 dari ayah H. Prof. Dr. Ir. Masyamsir, M.S. dan ibu Hj. Tatan Suryani, SE. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bandung dan pada tahun yang sama lulus masuk Universitas Padjadjaran melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis diterima pada Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian dan lulus sebagai sarjana pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai staf pengajar pada tahun 2006 pada instansi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dengan bidang pengajaran Teknologi Industri Hasil Perikanan. Penulis mendaftar beasiswa untuk melanjutkan sekolah pada jenjang magister pada tahun 2008 dan diterima di Sekolah Pascasarjana, Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi panitia pada Seminar Nasional 2010 Keamanan dan Mutu Produk Agroindustri yang diadakan oleh P2SDM-LPPM IPB di Bogor serta Seminar dan Pameran Nasional MPHPI 2010 di Jatinangor. Penulis juga menjadi asisten peneliti pada penelitian Program Insentif Kementerian Riset dan Teknologi tahun 2010 dengan judul “Pengembangan Teknologi Pengasapan Ikan yang Efisien, Menggunakan Bahan Baku Lokal dan Berorientasi Pasar dengan UKM sebagai Sentra Pengembangan” serta menulis artikel “Manfaat Mengkonsumsi Ikan” untuk majalah Men’s Fitness Edisi Mei 2011.


(15)

Halaman

DAFTAR TABEL ………... x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

1 PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang ………..………... 1.2 Perumusan Masalah ……… 1.3 Kerangka Pemikiran ………... 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 1.5 Hipotesis………..……… 1 3 3 6 6 2 TINJAUAN PUSTAKA ……… 7

2.1 Pengolahan Tradisional ……….. 2.2 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional……….….………... 2.3 Bahan Baku Ikan Asap ………..………... 2.3.1 Cakalang (Katsuwonus pelamis) ……….. 2.3.2 Pari (Daystatis kuhlii) ………... 2.3.3 Lele (Clarias gariepinus) ………. 2.4 Pengasapan ………. 2.4.1 Senyawa penyusun asap ………... 2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan ………... 2.4.3 Jenis sumber asap ………. 2.5 Metode Pengasapan ……… 2.5.1 Metode pengasapan panas ……… 2.5.2 Metode pengasapan dingin ………... 2.5.3 Metode pengasapan cair ………... 2.6 Tahap-tahap Pengasapan ……….... 2.6.1 Pemilihan bahan baku….………..

2.6.2 Thawing ………

2.6.3 Pemotongan ……….. 2.6.4 Penyiangan ………... 2.6.5 Penggaraman ……….... 2.6.6 Pengeringan ……….. 2.6.7 Pengasapan ………... 2.6.8 Penyimpanan ……….... 2.7 Jenis Alat Pengasap ……… 2.7.1 Oven sederhana ……….... 2.7.2 Oven pengasapan tipe drum ………. 2.7.3 Oven chorkor ……… 2.7.4 Ruang pengasapan ……… 2.8 Komponen dalam Ikan Asap………...

7 7 9 10 11 12 13 14 15 16 18 18 18 20 20 21 22 22 22 22 23 23 24 24 25 25 25 25 26


(16)

viii

2.8.1 Senyawa fenolik……….... 2.8.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) ………... 2.8.3 Asam Amino Bebas ………..………... 2.9 Flavor ………... 2.10 Metode Ekstraksi Solid Phase Microextraction (SPME) …….. 2.11 Standar Mutu Produk Ikan Asap ………...……… 2.12 Pengujian Organoleptik ………...

26 27 28 29 31 31 32

3 BAHAN DAN METODE ………. 35

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……….... 3.2 Bahan dan Alat ………... 3.3 Tahapan Penelitian ………... 3.3.1 Penelitian lapangan……...………... 3.3.2 Analisis……….………. 3.4 Prosedur Analisis ……… 3.4. 1 Analisis kadar air metode oven ………... 3.4. 2 Analisis kadar abu ………... 3.4. 3 Analisis kadar protein……….... 3.4. 4 Analisis kadar lemak ……….….……….. 3.4. 5 Analisis kadar karbohidrat ……… 3.4. 6 Analisis kadar klorida metode merkuri nitrat………… 3.4. 7 Analisis fenol metode ekstraksi kloroform………... 3.4. 8 Analisis kandungan asam amino bebas ……….... 3.4. 9 Metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®)…. 3.4.10 Analisis flavor menggunakan GC/MS ………. 3.4.11 Analisis Polycyclic Aromatic Hydrocarbon …………. 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ………...

35 35 36 36 37 37 37 37 38 38 39 39 39 40 42 48 50 52

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 55

4.1 Proses Pengasapan Ikan di Berbagai Daerah ………. 4.1.1 Ikan fufu…………...………... 4.1.2 Ikan salai ………….……… 4.1.3 Ikan kayu ……… 4.1.4 Ikan pe ……… 4.2 Karakteristik Kimia………. 4.2.1 Kadar air ………..………... 4.2.2 Kadar abu ………... 4.2.3 Kadar lemak ………... 4.2.4 Kadar protein ……….. 4.2.5 Kada karbohidrat ………. ……….. 4.2.6 Kadar total fenol ………..…………... 4.2.7 Kadar garam ………... 4.2.8 Komposisi asam amino bebas ……..……….. 4.2.9 Komposisi Polycyclic Aromatic Hydrocarbon

(PAH).……….. 4.3 Karakteristik Flavor Volatil ……… 4.3.1 Ikan fufu ……….. 4.3.2 Ikan salai ………..

55 55 58 59 63 65 65 66 67 70 71 72 75 76 82 85 86 86


(17)

ix

asap..……...………... 4.4 Karakteristik Organoleptik ………... 4.4.1 Pengujian menggunakan metode Quantitave

Descriptive Analysis (QDA®)……..………... 4.4.2 Pengolahan data menggunakan Principle Component Analysis (PCA) ………..

88 100 100 107

5 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 111

5.1 Kesimpulan ………... 5.2 Saran ………...

111 113

DAFTAR PUSTAKA ………... 115


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang ………..………... 11

2 Komposisi kimia ikan pari ……… 12

3 Komposisi kimia ikan lele ……… 13

4 Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin ……….. 19

5 Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku ………. 23

6 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap………... 32

7 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga rasa………..…... 43

8 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga aroma……… 43

9 Konsentrasi larutan standar untuk uji ranking ………... 44

10 Senyawa standar aroma yang digunakan ………... 45

11 Flavor standar yang digunakan pada uji konsistensi aroma……….. 45

12 Larutan standar yang digunakan pada uji konsistensi rasa……… 46

13 Persamaan penentuan konsentrasi standar aroma ………. 47

14 Persamaan penentuan konsentrasi standar rasa ……… 47

15 Atribut, definisi, referensi standar dan intensitas pengujian ………. 49

16 Kondisi GC/MS untuk analisis senyawa volatil ikan asap ………... 50

17 Kondisi GC/MS untuk analisis PAH ………….………... 51

18 Hasil inventarisasi proses pengasapan empat jenis ikan asap ………….. 56

19 Hasil analisis proksimat, total fenol dan garam empat jenis ikan asap … 65 20 Hasil analisis asam amino bebas ikan asap………..……….. 76

21 Hasil analisis 18 PAH empat sampel ikan asap ……… 83


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerangka pemikiran ……….. 5

2 Proses produksi ikan asap secara umum ……….. 21

3 Diagram alir tahapan penelitian ………... 36

4 Diagram alir proses pengasapan ikan fufu ….……….. 57

5 Diagram alir proses pengasapan ikan salai. ………. 60

6 Diagram alir proses pengasapan ikan kayu ……….………. 61

7 Diagram alir proses pengasapan ikan pe….……….. 64

8 Grafik reaksi kimia berdasarkan aktivitas air ………... 79

9 Diagram spider web aroma dan rasa dari keempat jenis ikan asap .………. 101


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penelitian ………... 129

2 Hasil pengujian proksimat ikan asap (% berat basah) .……….. 134

3 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar air …..………..……….. 135

4 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar abu ….……….………... 136

5 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar lemak………..………… 137

6 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar protein…..……….. 138

7 Hasil pengujian analisis ragam karbohidrat (by difference) ……..……… 139

8 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar total fenol …..….………... 140

9 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar garam …..…….………. 141

10 Prosedur preparasi analisis klorida dan fenol ………. 142

11 Komposisi senyawa volatil ikan fufu ………. 144

12 Komposisi senyawa volatil ikan salai ……… 146

13 Komposisi senyawa volatil ikan kayu………. 148

14 Komposisi senyawa volatil ikan pe………. 151

15 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan fufu dan ulangannya…………. 155

16 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan salai dan ulangannya…………. 156

17 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan kayu dan ulangannya………… 157

18 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan pe dan ulangannya……… 158

19 Daftar nama panelis terlatih di lingkungan BBPTP Sukamandi…………. 159

20 Kuisioner tahap uji screening hingga uji konsistensi ………. 160

21 Hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan intensitas menggunakan persamaan Moskowitz………. 166

22 Kuisioner uji QDA®……….... 170

23 Nilai rata-rata hasil perhitungan analisis QDA keempat ikan asap menggunakan 10 panelis ……… 177

24 Hasil PCA empat sampel ikan asap……… 178

25 Dokumentasi penelitian: alat pengasapan………... 179

26 Dokumentasi penelitian: denah ruang pengasapan ikan kayu………. 180


(21)

xiii

28 Dokumentasi penelitian: pengangkutan sampel ………. 183 29 Dokumentasi penelitian: pengujian organoleptik QDA®……… 184


(22)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki volume produksi perikanan yang cukup besar dan semakin meningkat tiap tahunnya. Volume produksi perikanan tangkap (perikanan laut dan perairan umum) dan budidaya (air laut, tambak, kolam, karamba, jaring apung, sawah) pada tahun 2006 ialah sebesar 7.488.708 ton, sedangkan pada tahun 2010 telah meningkat menjadi 10.826.502 ton (KKP 2011). Hasil perikanan tersebut pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, diekspor dan diolah baik secara modern maupun tradisional. Produk hasil olahan tradisional dapat berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, dan produk-produk fermentasi. Jumlah produksi ikan asap di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 66.970 ton, masih jauh dibawah produksi ikan asin yaitu 473.679 ton (JICA 2009). Hal ini cukup disayangkan karena menurut SCERT (2006), pengasapan memberikan nilai harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk perikanan yang diolah dengan penggaraman atau pengeringan saja, selain itu warna dan flavor yang menarik dari produk hasil pengasapan dapat meningkatkan permintaannya di pasaran.

Pengasapan ikan merupakan penggabungan dari proses penggaraman, pengeringan, dan pemberian asap untuk mencegah kerusakan ikan. Menurut Adebowale et al. (2008) dan Lyhs (2002), pengasapan memiliki beberapa keuntungan yaitu memberikan efek pengawetan, mempengaruhi citarasa, memanfaatkan hasil tangkap yang berlebih ketika tangkapan berlimpah, memungkinkan ikan untuk disimpan ketika musim paceklik, meningkatkan ketersediaan protein bagi masyarakat sepanjang tahun, membuat ikan lebih mudah dikemas, diangkut dan dipasarkan, biaya cukup murah dan peralatannya sederhana.

Ikan asap menjadi awet karena adanya pengurangan kadar air akibat dari proses pemanasan dan adanya senyawa-senyawa kimia di dalam asap seperti golongan fenol yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan berperan sebagai antioksidan, walaupun begitu pengasapan ikan pada saat ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan warna, tekstur dan flavor yang khas (Bligh et al. 1988; Martinez et al. 2007). Flavor ikan asap juga dipengaruhi oleh


(23)

kandungan senyawa lain selain fenol, seperti asam amino bebas (hasil penguraian protein selama pengolahan) dan garam yang berasal dari penggaraman. Asap juga mengandung senyawa hasil pembakaran lain yang perlu diwaspadai seperti Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang ditengarai bersifat karsinogen.

Produk ikan asap tradisional dari suatu daerah pada umumnya sulit untuk ditemukan di daerah lain sehingga dikenal sebagai exotic indigeneous food. Beberapa contoh produk ikan asap khas Indonesia diantaranya ikan salai dari Sumatera Barat dengan bahan baku yang digunakan biasanya ikan lele yang berasal dari perairan lokal (limbe, saluang), ikan fufu dari Sulawesi Utara dengan bahan baku ikan cakalang, ikan pe dari Jawa Tengah dengan bahan baku ikan pari dan ikan kayu dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara yang biasanya menggunakan bahan baku ikan cakalang. Jenis bahan baku, jenis kayu, metode pengasapan maupun faktor-faktor proses lainnya yang dilakukan di daerah-daerah tersebut memiliki ciri yang khas. Bahan baku dan proses pengasapan yang berbeda tentu saja akan mempengaruhi karakteristik kimia dan flavor dari produk yang dihasilkan.

Para peneliti Jepang telah melakukan identifikasi flavor dari ikan asap sejak tahun 1960-an. Hal ini diketahui dari ditemukannya jurnal mengenai analisis komponen flavor katsuobushi yang dilakukan oleh Kokichi Nishibori pada tahun 1965 (Nishibori 1965). Penelitian negara lain terutama mengkaji mengenai pengaruh proses pengasapan terhadap kualitas dan beberapa karakteristik ikan asap (Birkeland et al. 2004; Oyelese 2006; Martinez et al. 2007) serta komponen volatil ikan asap (Sakakibara et al. 1990a; Sakakibara et al. 1990b; Guillen & Errecalde 2002; Guillen et al. 2006; Varlett et al. 2007; Jonsdottir et al. 2008). Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi dan metode pengasapan lokal di negara tersebut. Jenis ikan yang sering digunakan ialah ikan yang hidup dalam perairan dingin seperti Atlantic salmon dan herring serta metode pengasapan yang dilakukan pada umumnya ialah pengasapan dingin dengan suhu antara 20-30 oC. Beberapa penelitian mengenai ikan asap juga telah dilakukan di Indonesia terutama mengenai pengaruh proses pengasapan dan penyimpanan terhadap berbagai karakteristik mutu, dan fisiko-kimia ikan asap. Beberapa penelitian tersebut yaitu penelitian dari Rieuwpassa (1991) mengenai daya awet ikan tongkol


(24)

3

asap, Zakaria (1996) meneliti tentang mutu ikan bilih asap, Giyatmi (2000) meneliti tentang kapang pada ikan kayu dan Aqliyanto (2005) meneliti tentang mutu ikan lele asap. Penelitian mengenai inventarisasi proses dan identifikasi senyawa-senyawa kimia, komposisi flavor dan profil sensori produk-produk ikan asap khas Indonesia hingga saat ini belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, inventarisasi langkah-langkah proses pembuatan ikan asap dari beberapa provinsi di Indonesia dan pengkajian yang mendalam mengenai pengaruh spesifik dariproses pengasapan terhadap karakteristik kimia, komposisi penyusun flavor dan profil sensori flavor dari empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia dilakukan dalam penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

Pengasapan menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki karakteristik flavor yang khas. Flavor merupakan salah satu karakteristik penting yang menentukan kualitas dan penerimaan produk tersebut di pasaran. Informasi ilmiah yang tersedia mengenai karakteristik kimia dan flavor ikan asap khas Indonesia pada saat ini masih terbatas. Salah satu penyebabnya ialah hasil penelitian mengenai ikan asap bersifat spesifik untuk masing-masing produk ikan asap. Hasil proses pengasapan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan baku, metode pengasapan, bahan bakar, alat pengasap yang digunakan serta faktor-faktor proses lainnya. Ciri khas proses pengasapan dari masing-masing daerah tersebut akan mempengaruhi karakteristik ikan asap yang dihasilkan. Hasil penelitian untuk suatu jenis produk ikan asap atau metode pengasapan tertentu belum tentu sesuai untuk diterapkan pada jenis ikan dan metode pengasapan lain yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan berbagai jenis bahan baku dan parameter pengolahan sehingga hanya pengujian langsung pada produk sesungguhnya yang dapat memberikan informasi yang dapat diandalkan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai proses pengasapan serta identifikasi senyawa-senyawa kimia yang terkandung dan mempengaruhi flavor ikan asap tersebut penting untuk dilakukan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Indonesia memiliki beragam jenis produk ikan asap tradisional dan menjadi komoditas unggulan dari daerah asalnya (exotic indogenous food).


(25)

Beberapa jenis ikan asap khas Indonesia diantaranya adalah ikan salai dari Sumatera Barat; ikan fufu dari Sulawesi Utara; ikan pe dari Jawa Tengah; dan ikan kayu dari Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis ikan asap tersebut memiliki karakteristik yang khas sesuai daerahnya masing-masing. Keragaman yang terdapat pada metode pengasapan, bahan baku, bahan bakar, alat pengasap dan spesifikasi tahap proses pengasapan yang dilakukan pengolah dari masing-masing daerah turut berperan dalam menciptakan ciri khas dari produk ini. Menurut Whittle dan Howgate (2000), spesifikasi proses pengasapan dapat menggambarkan langkah-langkah proses penting yang berpengaruh terhadap kualitas produk akhir dan akan berguna ketika menghadapi kesulitan dalam menentukan, mengendalikan dan mengukur atribut kualitas yang diperlukan pada produk akhir.

Komponen asap mengandung berbagai senyawa kimia penting yang akan menentukan sifat organoleptik dan keawetan produk. Berbagai macam senyawa akan terbentuk dalam asap selama proses pirolisis yaitu senyawa golongan fenol, karbonil (terutama keton dan aldehida), asam, furan, alkohol, ester, lakton, hidrokarbon alifatik dan hidrokarbon polisiklik aromatis (Yudono et al. 2007). Fenol adalah komponen aromatik yang terkandung dalam asap yang berperan untuk mengurangi kerusakan produk akibat aktivitas bakteri, bersifat antioksidan dan berfungsi sebagai pemberi citarasa khas produk asap (Venugopal 2006; Whittle & Howgate 2000). Asap juga mengandung sejumlah senyawa PAH seperti benzo[a]pyrene dan dibenzo[a,h]anthracene yang ditengarai merupakan senyawa yang bersifat karsinogen untuk manusia (Whittle & Howgate 2000).

Pengasapan bukan hanya merupakan metode pengawetan tetapi juga menghasilkan flavor asapyang menjadi atribut khas yang seringkali dicari oleh konsumen. Flavor merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi penerimaan suatu produk olahan perikanan. Flavor pada ikan asap tidak hanya dipengaruhi oleh senyawa fenol tetapi komponen-komponen ekstraktif seperti asam amino bebas yang terkandung dalam produk perikanan juga akan berperan dalam pemberian citarasa produk (Yamaguchi & Watanabe 1988). Pengukuran kandungan senyawa-senyawa tersebut di dalam produk asap dapat memberikan informasi mengenai jenis asam amino yang berpengaruh pada pembentukan flavor


(26)

5

ikan asap, selain itu proses penggaraman juga dapat mempengaruhi citarasa produk akhir tergantung dari waktu dan konsentrasi garam yang digunakan (Regenstein & Regenstein 1991). Skema alur berpikir pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran.

Teknologi analisis menggunakan instrumen pada saat ini sangat berkembang kemajuannya tetapi sensasi flavor yang diterima oleh manusia hanya dapat diukur secara organoleptik. Pengaruh dari berbagai flavor yang berbeda terhadap pemilihan konsumen hanya dapat dinilai dengan uji sensori yang bersifat subyektif (Noble 2006). Berdasarkan hal itu, uji sensori deskriptif yang dapat diandalkan yaitu metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®) perlu digunakan untuk menganalisis karakteristik flavor ikan asap sebagai salah satu jenis exotic indigenous food Indonesia.

Karakteristik kimia

Ikan Salai (Padang) Ikan Kayu

(Kendari) Ikan Pe

(Rembang) Ikan Fufu

(Bitung)

Karakteristik khas produk

Identifikasi

Inventarisasi Spesifikasi proses

pengasapan: Metode pengasapan, bahan baku, jenis kayu

alat pengasapan, dll.


(27)

Pembentukan flavor khas dan karakteristik kimia ikan asap tradisional pada penelitian ini dipelajari dan ditinjau dari beberapa spesifikasi proses yang akan mempengaruhi hasil pengasapan sehingga perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaruh faktor-faktor proses terhadap pembentukan atribut flavor, identifikasi komposisi penyusun flavor dan pengukuran intensitas flavor yang menjadi karakteristik ikan asap. Kajian mengenai karakteristik kimia (misal proksimat) juga penting untuk dilakukan karena dapat memberikan informasi mengenai nilai gizi dari produk ikan asap tradisional Indonesia.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menginventarisasi proses pembuatan empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia yaitu ikan fufu, ikan pe, ikan kayu dan ikan salai.

2) Mengidentifikasi komponen flavor, karakteristik kimia dan organoleptik dari empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia tersebut.

Manfaat yang diharapkan ialah agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar mengenai keunggulan dan ciri khas masing-masing produk ikan asap tradisional Indonesia sehingga berbagai karakteristik khas ikan asap tersebut dapat dipelajari, dipetakan, didokumentasikan dengan baik yang pada akhirnya akan dapat melindungi produk-produk dalam negeri dari klaim negara lain. Informasi yang diperoleh mengenai bahan baku, metode pengasapan dan komponen-komponen lain yang teridentifikasi pada penelitian ini dapat bermanfaat sebagai data dasar untuk mengembangkan produk flavor asap sintetis dan untuk memodifikasi proses pengasapan yang bertujuan mendapatkan kualitas produk akhir yang lebih baik.

1.5 Hipotesis

Jenis bahan baku dan metode pengasapan yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia akan mempengaruhi karakteristik flavor, kandungan kimia dan karakteristik organoleptik produk akhir ikan asap.


(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengolahan Tradisional

Pengolahan secara tradisional memiliki beberapa kelemahan antara lain kemampuan pengetahuan pengolah rendah dengan keterampilan atau teknologi yang diperoleh secara turun-menurun, tingkat sanitasi dan higien terendah, umumnya tidak memiliki sarana air bersih, menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang rendah, keamanan pangan tidak terjamin, permodalan sangat lemah, perusahaan dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan manajemen kurang memadai, peralatan yang digunakan sangat sederhana dan pemasaran produk hanya terbatas pada pasaran lokal (Anisah & Susilowati 2007; Irianto & Soesilo 2007). Ikan olahan tradisional, atau "traditional cured" menurut terminologi FAO adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga. Jenis olahan yang termasuk produk olahan tradisional ini adalah ikan kering atau ikan asin kering, ikan pindang, ikan asap, serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi, dan sejenisnya (Anisah & Susilowati 2007).

2.2 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional

Jenis ikan yang biasa diasapi diantaranya ialah ikan bandeng, tembang, lemuru, kembung, selar, tongkol, dan cakalang (Margono et al. 2000). Setiap jenis ikan secara teori dapat diasapi tetapi ikan yang berlemak lebih banyak dipilih karena dapat mencegah terbentuknya tekstur daging yang kering dan tidak diinginkan dan dapat menyerap lebih banyak citarasa asap (Ingham & Hilderbrand 1999; Adebona 1978). Produk ikan asap tradisional cenderung lebih asin dan terlalu kering serta memiliki citarasa asap yang kuat jika akan dijual ke pasaran. Penggunaan garam dan asap pada produk pengasapan modern hanya ditujukan terutama untuk memberi citarasa produk dan biasanya pengasapannya dilakukan dengan intensitas asap rendah dan sedang (mild and light smoking) (Whittle & Howgate 2000).

Beberapa daerah di Indonesia memiliki komoditas ikan asap yang khas karena adanya perbedaan bahan baku, jenis bahan bakar, jenis alat dan kondisi pengasapan maupun metode pengasapan yang digunakan, tetapi kadang-kadang


(29)

ada juga produk ikan asap yang sama dikenal dengan nama berbeda di daerah lain. Beberapa produk ikan asap khas Indonesia ialah ikan salai di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan; ikan asar di Maluku dan ikan fufu di Sulawesi Utara dan Gorontalo; ikan pe atau iwak panggang di Jawa Tengah dan Jawa Timur; serta ikan kayu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Papua Barat (Giyatmi et al. 2000; DKP Papua 2006; Missae 2009; Heriyanto 2009b).

Ikan fufu biasanya dibuat dari bahan baku ikan cakalang dengan menggunakan alat pengolah yang sederhana. Prosedur pembuatannya ialah pertama-tama ikan disiangi, ikan berukuran besar dipotong dengan irisan membujur untuk memudahkan pengasapan. Proses pengasapannya dimulai dengan membakar sabut kelapa, menyusun ikan pada rak-rak, lalu ikan dibiarkanterasapi selama 4 jam. Proses pengolahan ikan fufu ini memiliki persamaan dengan proses pengolahan ikan asar, hanya saja pada beberapa daerah terdapat perbedaan pada jenis kayu yang digunakan, proses preparasi, suhu dan waktu pengasapan (DKP Papua 2006).

Ikan pe adalah sebutan untuk ikan yang diproses dengan cara diasap di Jawa Timur dimana ikan dimatangkan dengan dibakar di atas api sehingga ikan tersebut matang bukan karena panas api tetapi lebih karena panasnya asap. Biasanya ikan yang digunakan untuk ikan pe adalah ikan pari tetapi saat ini hampir semua jenis ikan dapat dibuat menjadi ikan pe. Potongan-potongan ikan ditusuk dengan batangan bambu pada proses pembuatannya untuk memudahkan proses pengasapan dan kemudian dipanggang di atas bara tempurung kelapa. Tempurung kelapa ketika dibakar akan mengeluarkan minyak yang akan memberikan aroma asap yang khas (Missae 2009).

Produk ikan salai lele merupakan salah satu bentuk hasil olahan ikan lele yang diasapi dan banyak ditemukan di daerah Sumatera Barat, Sumatera Utara hingga Sumatera Selatan. Proses pengolahan ikan salai ini cukup praktis, mudah dan hemat biaya. Pengolahannya dapat menggunakan peralatan yang sederhana dan mudah dibuat. Pembuatan ikan salai lele pada prinsipnya merupakan suatu cara pengolahan ikan melalui proses penarikan air dari jaringan tubuh ikan dibarengi dengan pelapisan senyawa kimia yang berasal dari asap hasil


(30)

9

pembakaran kayu. Mutu ikan salai dapat dilihat dari penampakan dan warna produk yang cokelat keemasan, bersih dan mengkilat. Tekstur daging salai ikan lele adalah padat, kering, liat, berkeping halus dan agak lembab. Pengasapan ikan salai lele ini dapat dilakukan dengan pengasapan dingin dan panas. Tahap-tahap pengolahannya meliputi pemberokan, preparasi bahan bakar dan alat pengasapan, pembelahan dan penyiangan ikan, pemanggangan, pengasapan (4-16 jam) dan pengepakan (Djarijah 2004).

Ikan kayu diproduksi secara komersial untuk diekspor. Ikan kayu yang dihasilkan berupa arabushi, yaitu ikan yang sudah diasapi dan dikeringkan tanpa dilakukan proses fermentasi sesuai dengan permintaan negara pengimpor. Biasanya fermentasi produk dilakukan sendiri di negara pengimpor dengan cara khusus untuk mengontrol pertumbuhan kapang. Ekspor dalam bentuk arabushi ini menyebabkan nilai tambah menjadi lebih kecil dibandingkan nilai tambah yang diperoleh dari katsuobushi. Mutu katsuobushi sebagai bahan penyedap masakan sangat ditentukan oleh citarasa spesifik yang dimilikinya. Citarasa ini ditentukan oleh perubahan senyawa volatil dan nonvolatil selama proses fermentasi. Proses fermentasi ditentukan oleh jenis kapang yang digunakan dan lama fermentasi (Giyatmi et al. 2000). Menurut penelitian Giyatmi (1998), ikan kayu arabushi memiliki kandungan air 13,22%, kadar protein 74,57%, kadar lemak 3,51% dan kadar abu 3,20%, sementara menurut Sunahwati (2000), arabushi memiliki kandungan air 14,57%, kadar protein 67,54%, kadar lemak 1,57% dan kadar abu 4,08%.

2.3 Bahan Baku Ikan Asap

Bahan baku ikan asap yang digunakan sebaiknya masih dalam keadaan segar agar ikan asap yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi. Seluruh jenis ikan yang biasa dikonsumsi pada umumnya dapat diolah dengan proses pengasapan baik terhadap ikan air laut maupun ikan air tawar. Ikan salmon, haddock, herring dan mackerel merupakan ikan yang umum diasapi di negara Jepang, sementara di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan seperti cakalang, lele dan pari yang biasa diolah dengan pengasapan.


(31)

2.3.1 Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan ini dikenal juga dengan nama skipjack tuna (Inggris), bonito (Afrika Selatan, Spanyol), sehewa (Kenya), mandara, katsuo (Jepang). Taksonomi ikan ini menurut ITIS (2009a) ialah:

Dunia : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Superkelas : Osteichthyes Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Superordo : Acanthopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidei Famili : Scombridae Subfamili : Scrombrinae Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis

Cakalang memiliki ciri-ciri fisik seperti bentuk tubuh yang fusiform (lebar ditengah dan meruncing pada ujung-ujungnya), memanjang dan bulat; gigi kecil, berbentuk kerucut; memiliki dua sirip dorsal, sirip pektoral pendek; tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian tertentudan garis lateral; warna ikan biasanya biru keunguan gelap, bagian bawah agak keperakan. Distribusinya tersebar pada perairan tropis dan beriklim hangat pada kedalaman 260 meter hingga permukaan. Ikan ini berproduksi sepanjang tahun pada perairan khatulistiwa, fekunditasnya meningkat bersamaan dengan semakin besarnya ukuran tapi hal ini sangat bervariasi. Makanan kegemaran ikan cakalang pada umumnya ialah ikan, crustacea, moluska dan dapat juga bersifat kanibalisme. Ikan ini memiliki kecenderungan untuk bergerak dalam kelompok pada permukaan air. Ukuran ikan dapat mencapai 108 cm dengan berat 32,5-34,5 kg (Collete & Nauen 1983). Komposisi kimia dalam 100 gram daging ikan cakalang tersaji pada Tabel 1.


(32)

11

Tabel 1 Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang

Kandungan Satuan Jumlah

Air Protein Lemak Abu Kalsium Besi Vitamin C Vitamin A Asam lemak EPA Asam lemak DHA

g g g g mg mg mg IU g g 70,580 22,000 1,010 1,300 29,000 1,250 1,000 52,000 0,071 0,185

Sumber: USDA (2009) 2.3.2 Pari (Daystatis kuhlii)

Ikan pari (rays) termasuk dalam subgrup elasmobranchii, yaitu ikan yang bertulang rawan. Spesies pari Dasyatis kuhlii atau Blue-spotted stingray di Indonesia khususnya Laut Jawa termasuk salah satu hasil tangkapan terbesar dibanding spesies pari lain yaitu sebesar 23,05% (Rahardjo & Chodriyah 2006). Taksonomi lengkap ikan ini (Genus Dasyatis) menurut ITIS (2009b) ialah sebagai berikut:

Dunia : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Chondrichthyes Superordo : Euselachii Ordo : Myliobatiformes Famili : Dasyatidae Genus : Dasyatis Spesies : Dasyatis kuhlii

Ikan pari juga terkenal sebagai ikan yang hampir keseluruhan tubuhnya bisa dimanfaatkan seperti daging, sirip, tulang dan kulit. Ikan ini mempunyai bentuk tubuh gepeng melebar dimana sepasang sirip dadanya melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan kepalanya sehingga tampak atas atau tampak bawahnya terlihat bundar atau oval. Ikan pari umumnya mempunyai ekor yang sangat berkembang (memanjang) menyerupai cemeti. Ekor ikan pari pada beberapa spesies dilengkapi duri penyengat sehingga disebut sting-rays, mata ikan pari umumnya terletak di kepala bagian samping. Posisi dan bentuk mulutnya adalah terminal dan umumnya bersifat predator. Ikan ini bernafas melalui celah


(33)

insang yang berjumlah 5-6 pasang. Posisi celah insang adalah dekat mulut di bagian bawah (ventral). Ikan pari jantan dilengkapi sepasang alat kelamin yang disebut clasper letaknya di pangkal ekor. Ikan pari betina umumnya berbiak secara melahirkan anak (vivipar) dengan jumlah anak antara 5-6 ekor (Mukhtar 2008). Komposisi kimia ikan pari tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia ikan pari

Kandungan Jumlah

Air Protein Lemak Abu

79,10% 16,86% 0,42% 0,83%

Sumber: Mardiah et al. (2008) 2.3.3 Lele (Clarias gariepinus)

Salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang terus dikembangkan dan produksinya meningkat secara signifikan setiap tahunnya adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan lele yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah Clarias batrachus (ikan lele lokal) dan Clarias gariepinus (ikan lele dumbo). Taksonomi dari ikan lele dumbo menurut ITIS (2009c) ialah:

Dunia : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Superkelas : Osteichtthyes Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Infrakelas : Teleostei Superordo : Ostariophysi Ordo : Siluriformes Famili : Clariidae Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus

Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang dan memipih pada bagian pangkal ekor, kepala agak pipih dan dilengkapi dengan empat pasang sungut di sekitar mulut. Ikan ini memiliki alat bantu pernafasan yang disebut selaput labirynth. Ikan lele memiliki sirip perut dan sirip dubur yang terpisah. Sirip dadanya memiliki taji yang runcing dan bergerigi. Taji atau patil ini berfungsi sebagai alat pertahanan dan alat bantu untuk merayap di atas permukaan lumpur.


(34)

13

Ikan lele memiliki kulit yang licin dan tidak bersisik. Permukaan kepala dan punggung berwarna gelap dan permukaan perut berwarna lebih terang. Ikan lele memiliki lambung relatif besar dan panjang sementara ususnya relatif pendek jika dibandingkan dengan panjang badannya. Ikan lele memiliki sepasang hati dan gelembung renang (Djarijah 2004). Komposisi kimia ikan lele dumbo dapat dilihat pada pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia ikan lele

Kandungan Jumlah (%)

Air Protein Lemak Abu

79,73 17,71 0,95 1,47

Sumber: Nurilmala et al. (2009) 2.4 Pengasapan

Pengasapan ikan ialah proses pengaplikasian asap dari kayu untuk memberikan citarasa asap pada ikan atau bagian dari ikan seperti fillet, selain itu juga untuk mengeringkan ikan secara parsial. Pengasapan dilakukan untuk menghasilkan produk ikan asap dan memperpanjang masa simpan produk. Pengaruh pengawetan dari asap kemungkinan besar disebabkan oleh adanya sejumlah komponen fenolik, nitrit dan formaldehida. Prinsip utama pengawetan dengan pengasapan ialah mengurangi aktivitas air sebagai akibat dari adanya garam dan tingkat pengeringan. Terdapat tiga tahap utama proses pengasapan yaitu penggaraman, pengasapan dan pengeringan (Whittle & Howgate 2000).

Penggunaan bahan tambahan pangan pada produk pengasapan harus memperhatikan aturan tertentu. Konsentrasi dan waktu kontak bahan tambahan harus diawasi dengan ketat menurut saran ahli atau lembaga resmi yang berwenang. Hanya bahan pengawet yang diperbolehkan yang dapat ditambahkan pada larutan perendam atau digunakan setelah perendaman (Codex Alimentarius 1979). Pewarna makanan kuning oranye dan coklat juga dapat ditambahkan ke dalam larutan perendam yang mengandung garam yang digunakan pada pengolahan ikan asap (Whittle & Howgate 2002).


(35)

2.4.1 Senyawa penyusun asap

Asap dari kayu keras mengandung banyak senyawa kimia yang pada awalnya merupakan bagian dari proses metabolisme pohon hidup. Ikan yang diasapi akan menyerap senyawa-senyawa kimia ini. Proses pengeluaran ini disebut distilasi destruktif yaitu ketika kayu berubah menjadi arang. Senyawa-senyawa kimia alami dalam asap dari kayu keras bermanfaat baik dalam membunuh maupun menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri. Senyawa-senyawa kimia ini merupakan dasar utama akan kuatnya proses pengawetan yang terjadi selama pengasapan (Spira 2007). Komposisi dan karakteristik asap tergantung dari jenis kayu, kandungan air kayu, suhu dan cara pemanasan (untuk menimbulkan asap). Pengaruh pengawetan yang berasal dari asap kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan sejumlah komponen fenolik, formaldehida dan asam (Whittle & Howgate 2000).

Senyawa penyusun asap terdiri dari gas, distilat cair dan distilat tar. Bagian gasnya mengandung oksigen, hidrogen, nitrogen, karbondioksida dan karbonmonoksida. Distilat cairnya mengandung alkohol, keton, aldehida, asam format, asam asetat dan asam propionat, sedangkan distilat tar-nya mengandung guiakol, kresol, katekol dan fenol. Asap juga mengandung polinukleo aromatik hidrokarbon 3,4-benzopyrene yang merupakan senyawa bersifat karsinogen (SCERT 2006). Anion-anion format diketahui dapat mencegah proses peroksidasi yang merupakan penangkap radikal yang ditemukan pada citarasa asap (Bower et al. 2009). Komponen asap seperti formaldehida memiliki pengaruh dalam mengeraskan protein otot. Komponen yang tersimpan dalam asap seperti fenol, formaldehida dan nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada produk (Njai 2000; Whittle & Howgate 2000). Menurut Dwiari et al. (2008), fungsi-fungsi komponen asap tersebut adalah sebagai berikut:

1) fenol berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan membentuk citarasa, 2) alkohol memiliki fungsi utama membentuk citarasa, selain itu sebagai

antimikroba,

3) asam-asam organik berfungsi sebagai antimikroba,


(36)

15

5) senyawa hidrokarbon tertentu memiliki fungsi negatif karena bersifat karsinogen.

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan

Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengasapan harus diperhatikan. Menurut Burt (1988); Pan (1988); Afrianto dan Liviawaty (1989); Regenstein dan Regenstein (1991); Moeljanto (1992); Adawyah (2007) dan Irianto dan Giyatmi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi:

1) Bahan bakar

Jenis bahan bakar yang digunakan sebaiknya memenuhi tiga syarat, yaitu: keras, tidak mudah terbakar, tidak mengandung resin, dapat menghasilkan asap dalam jumlah besar dalam waktu lama. Jenis bahan bakar yang banyak digunakan di Indonesia ialah kayu turi, jati, bakau, serbuk gergaji, merang, ampas tebu, tempurung dan sabut kelapa.

2) Mutu dan volume asap

Mutu dan volume asap tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan unsur fenol dan asam organik yang cukup tinggi dan lambat terbakar. Volume asap yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan asap yang bersifat bakterisidal dan asap yang dihasilkan harus bersih dari kotoran-kotoran. 3) Suhu ruang pengasapan

Suhu ruang pengasapan yang rendah akan menghasilkan asap yang ringan sehingga volume asap yang melekat pada ikan menjadi lebih banyak dan merata. Jika suhu ruang pengasapan tinggi, maka permukaan terluar tubuh ikan akan menjadi cepat kering dan mengeras, sehingga penguapan air terhalang dan proses pembusukan masih mungkin terjadi pada bagian dalam daging ikan.

4) Kelembaban udara ruang pengasapan

Kelembaban dalam ruang tertutup akan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pengasapan. Kelembaban udara ruang pengasapan yang


(37)

rendah akan menyebabkan cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap, proses pengasapan lebih cepat sehingga aktivitas bakteri penyebab kebusukan dan ketengikan dapat segera dihambat. Kelembaban awal sebesar 90% akan memaksimalkan penyerapan asap, tetapi kelembaban akhir 70% banyak digunakan karena pada kondisi tersebut terjadi penyerapan asap yang maksimal dengan kejadian case harderning yang paling minimal.

5) Sirkulasi udara

Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan kontinyu sehingga partikel asap yang menempel menjadi lebih banyak dan merata.

6) Lama pengasapan

Lama pengasapan dapat mempengaruhi nilai gizi ikan dan umur simpannya. Proses pengasapan dan pengeringan dapat mengurangi kandungan beberapa vitamin dalam ikan seperti A, D, B dan juga mempengaruhi turunnya nilai ketersediaan asam amino. Ikan asap yang diasapi dengan metode pengasapan dingin menggunakan suhu 30 oC dan waktu pengasapan minimal 24 jam dapat disimpan selama dua minggu. Daya bakterisidal juga tergantung dari lama pengasapan yang dilakukan.

2.4.3 Jenis sumber asap

Pemilihan jenis kayu yang digunakan harus benar-benar memperhatikan bentuk dan asalnya, misalnya apakah serbuk kayu yang digunakan berasal dari jenis kayu keras atau kayu lunak. Kadar air yang tinggi dalam kayu akan menurunkan kadar fenol dan meningkatkan senyawa karbonil serta flavor produk menjadi lebih asam. Ukuran partikel kayu juga harus diperhatikan, jika terlalu besar akan mengurangi luas permukaan kontak kayu dengan panas sehingga proses pirolisis kurang sempurna (Yudono et al. 2007). Penggunaan serbuk gergaji untuk mengasapi akan menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas tinggi. Api pada serbuk gergaji tidak mudah terkena udara sehingga serbuk gergaji akan membara dan tidak terbakar. Hal ini akan menyebabkan ikan yang diasapi berwarna coklat keemasan dan tidak gosong. Penggunaan kayu menyebabkan api


(38)

17

yang dihasilkan menjadi lebih panas dengan asap yang lebih sedikit sehingga terdapat kemungkinan ikan akan gosong bukan terasapi (Njai 2000).

Kayu keras (hard wood) banyak mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa, contohnya tempurung kelapa, kayu turi, kayu mahoni, jati dan bengkirai. Jenis kayu tersebut sebagian memang cukup mahal dan banyak digunakan untuk pembuatan industri mebel, tetapi dalam pengolahan ikan asap dapat digunakan limbah dari jenis kayu tersebut sehingga harga dapat ditekan. Jenis kayu yang banyak mengandung selulosa adalah yang terbaik karena menghasilkan mutu asap yang baik dan akan mempengaruhi mutu produknya juga (BI 2009).

Bahan-bahan berbagai jenis limbah kayu dapat digunakan sebagai bahan pengasap. Kayu yang mengandung resin atau damar yang tinggi memberi rasa tidak enak pada ikan yang diasap, oleh karena itu limbah kayu dari pohon yang memiliki daun lebar yang lebih sering digunakan. Kayu dari pepohonan konifer, kayu lunak, lumut dan daun dapat meninggalkan rasa yang tidak dikehendaki pada ikan dan tidak disarankan untuk menggunakan kayu dari pohon fir, spruce, cemara atau cedar (Snyder 1996; JICA 2008).

Jenis kayu yang apabila dibakar menghasilkan asap yang banyak namun sisa pembakarannya sedikit, cocok digunakan sebagai bahan pengasap. Jenis-jenis kayu yang dipilih untuk bahan pengasap pada kenyataannya berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, kayu pohon cherry, oak, kayu pohon maple, beech, white birch, chestnut banyak digunakan di Jepang, namun di negara lain kayu-kayu dari pohon walnut, birch, poplar, elm, light oak, alder, hickorybanyak digunakan. Kombinasi jenis kayu yang berbeda dapat digunakan untuk menciptakan aroma asap tertentu. Kayu buah seperti apel, cherry dan pir akan menghasilkan asap dengan aroma manis. Banyak pengusaha pengasapan lebih memilih mencampur kayu keras dan kayu buah (JICA 2008; Sullivan 2009; Snyder 1996).

Kayu yang digunakan untuk menghasilkan asap harus kering dan bebas dari tanah, debu, bahan-bahan berbahaya seperti pengawet kayu dan cat. Serbuk kayu yang basah atau berjamur tidak boleh digunakan, walaupun begitu tergantung dari jenis kayu dan tujuan pengasapan, kemungkinan serbuk kayu yang


(39)

lembab lebih dikehendaki (Codex Alimentarius 1979). Lontar, inti palem, bongkol jagung dan sabut kelapa dapat digunakan sebagai bahan bakar jika kayu menjadi langka (Berkel et al. 2004).

2.5 Metode Pengasapan

Metode pengasapan termasuk salah satu metode pengawetan produk perikanan yang paling tua. Cara melakukan pengasapan banyak mengalami perkembangan mulai dari metode tradisional hingga modern. Pemilihan metode pengasapan yang dilakukan akan bergantung pada tujuan produk akhir yang dikehendaki dan sumber daya yang ada di lingkungan tempat pengasapan. Beberapa metode pengasapan yang umum dilakukan di Indonesia antara lain ialah metode pengasapan panas, dingin dan cair.

2.5.1 Metode pengasapan panas

Pengasapan panas adalah proses dimana ikan diasapi dengan suhu paling tidak 70 oC sehingga daging menjadi matang selain terkena asap. Lapisan protein larut garam yang disebut pellicle akan terbentukpada permukaan daging selama proses. Lapisan ini menyerap sebagian besar antioksidan dan komponen bakteriostatik dari asap. Penghalang terhadap invasi bakteri terbentuk pada tahap berikutnya setelah pengerasan (Lyhs 2002). Kebanyakan ikan asap yang dijual di pasaran saat ini ialah ikan yang diasapi dengan cara panas (Spira 2007). Ikan akan menjadi matang selama proses dan produk dapat dimakan tanpa pemasakan lebih lanjut (Whittle & Howgate 2000).

Suhu asap pada beberapa produk tertentu dapat ditingkatkan secara bertahap menjadi 95 oC. Pengasapan ini seringkali dikombinasikan dengan penggaraman dan pengeringan yang lebih lama (Whittle & Howgate 2000). Suhu internal produk pada pengasapan panas mencapai 71,12 oC atau lebih tinggi. Tergantung dari produk yang diinginkan maka proses pengasapan umumnya berlangsung selama 6-15 jam. Waktu pemasakan yang lebih singkat akan menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi (Crapo 2000).

2.5.2 Metode pengasapan dingin

Ikan yang melalui proses pengasapan dingin didefinisikan sebagai ikan asap yang dihasilkan dengan perlakuan asap pada suhu dimana produk mengalami


(40)

19

koagulasi protein yang tidak sempurna (Oyelese 2006). Proses pembentukan pellicle sebagai hasil denaturasi protein selama penggaraman, sama pentingnya dengan pengasapan panas (Lyhs 2002). Pengasapan dingin di Kanada pada umumnya dilakukan pada suhu 21,11-37,79 oC. Perhatian yang khusus perlu dilakukan untuk menjamin agar bakteri tidak dapat tumbuh pada makanan yang diasap mengingat suhu pada pengasapan dingin yang sangat rendah (Traeger 2008). Perbedaan mendasar antara metode pengasapan panas dan dingin tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin

Metode Pengasapan Karakteristik Produk

Pengasapan dingin Suhu tidak pernah meningkat hingga tahap yang dapat memodifikasi kandungan protein atau mematangkan daging (maksimum 30 oC)

Pengasapan dapat berlangsung selama 4-6 minggu Metode ini biasanya digunakan untuk jenis ikan yang hidup pada iklim sedang karena suhu yang tinggi akan dengan mudah mendenaturasi proteinnya. Hal ini tidak termasuk bagi jenis ikan yang hidup di daerah tropis Pengasapan panas Pengasapan dengan suhu sedang dilakukan pada suhu

30-50 oC, pengasapan dengan suhu tinggi dilakukan pada suhu hingga 80 oC

Pengasapan dapat berlangsung selama 3-8 jam Pengaturan suhu di ruang pengasapan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk menghindari produk menjadi terbakar dan hangus

Pada negara berkembang, faktor curing yang lebih sering digunakan ialah karena panas bukan asapnya Pengasapan panas menghasilkan daging yang lebih kokoh dan mudah mengelupas dibandingkan pengasapan dingin, tetapi lebih lembab dari daging hasil pemanggangan

Biasanya ikan yang diasapi panas dipotong menjadi bentuk kubus, potongan, atau serpihan tebal daripada dalam bentuk irisan, yang dapat hancur jika dipotong terlalu tipis

Sumber: Patterson (2004)

Suhu ikan pada metode pengasapan dingin tidak boleh melebihi tahap dimana koagulasi protein terjadi. Pengasapan dingin berarti mengasapi ikan pada suhu dimana produk tidak menunjukkan tanda-tanda koagulasi protein akibat panas. Ada kemungkinan selama pengasapan dingin suhu daging ikan melebihi 29 oC selama lebih dari beberapa menit sehingga protein akan terkoagulasi dan sebagian dari ikan akan matang (Codex Alimentarius 1979).


(41)

Sumber lain menyatakan bahwa pada pengasapan dingin suhu pengasapan tidak boleh melebihi 30 oC dan ikan belum matang benar. Ikan dari perairan beriklim sedang membutuhkan suhu melebihi 30 oC agar proses bisa mulai mematangkan ikan terutama jika terdapat kandungan garam. Pengasapan dingin dengan waktu yang lebih lama menyebabkan ikan menjadi keras, terutama sebagai akibat dari pengeringan yang dikenal sebagai hard smoking atau hard cure (Venugopal 2006; Whittle & Howgate 2000). Pengasapan dingin dapat berlangsung antara 16 jam hingga7 hari bahkan ada yang mencapai 3 minggu tergantung dari produk akhir yang diinginkan (Crapo 2000; JICA 2008).

2.5.3 Metode pengasapan cair

Aroma asap dalam metode ini dihasilkan tanpa melalui proses pengasapan, melainkan dengan penambahan cairan bahan pengasap (smoking agent) ke dalam produk. Bahan baku ikan direndam dalam cuka kayu (wood acid) yang didapat dari hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang ditambahi pewangi kayu yang hampir sama dengan aroma asap, setelah itu ikan dipanaskan dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan pengasap ke dalam ikan dapat dilakukan melalui penuangan langsung, pengolesan atau penyemprotan. Keuntungan proses ini ialah tidak memerlukan ruang tempat pengasapan atau alat pengasap, namun aroma produk yang dihasilkan lebih rendah dari aroma produk yang diasapi dengan proses pengasapan sesungguhnya (JICA 2008).

2.6 Tahap-tahap Pengasapan

Lima tahap dasar yang terdapat dalam proses pengasapan ikan secara umum yaitu pembersihan, curing, pengeringan, pengasapan dan penyimpanan (Snyder 1996). Metode yang digunakan akan memiliki beberapa persamaan, contohnya yaitu ikan pada umumnya diasapi dalam ruang tertutup dengan waktu dan suhu pengasapan beragam (Sullivan 2009). Bentuk produknya bervariasi, yaitu pengasapan ikan dalam bentuk utuh, tanpa kepala dan jeroan, telah dibelah punggungnya, telah difilet dan lain sebagainya (JICA 2008). Ikan kemudian diasapi dalam ruang asap dengan waktu dan suhu pengasapan yang beragam. Ikan dapat diasapi dengan cara panas atau dingin bergantung pada suhu dan waktu


(42)

21

yang digunakan (Sullivan 2009). Tahap-tahap pengasapan secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Proses produksi ikan asap secara umum. (JICA 2008)

2.6.1 Pemilihan bahan baku

Ikan asap atau produk perikanan harus memiliki kualitas yang baik, dipersiapkan dengan baik dan dikemas sehingga tetap menarik dan aman untuk dikonsumsi. Bahan baku yang akan diolah menjadi ikan asap ialah ikan segar atau ikan beku yang layak jual. Bahan baku dengan kualitas yang buruk akan menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas yang buruk juga (Codex Alimentarius 1979).

Bahan mentah beku

Thawing

Pemotongan

Penyiangan

Pencucian

Penggaraman

Pencucian

Pengeringan

Pengasapan


(43)

2.6.2 Thawing

Ikan dicairkan terlebih dahulu dengan air mengalir atau dalam suatu wadah berisi air bila mengunakan bahan baku yang dibekukan. Hal penting dalam proses pencairan ini ialah ikan tetap dijaga dalam keadaan setengah beku untuk keperluan proses selanjutnya (JICA 2008).

2.6.3 Pemotongan

Ikan dapat diasapi secara utuh, dipotong atau difillet. Semakin luas daerah permukaan ikan maka akan semakin banyak jumlah partikel asap yang dapat diserap selama pengasapan dan produk dapat kering dengan lebih baik (Berkel et al. 2004).

2.6.4 Penyiangan

Proses ini sama dengan proses penyiangan yang dilakukan terhadap produk ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Bagian dalam ikan harus dikeluarkan dengan hati-hati agar tidak merusak penampilan fisik produk (JICA 2008). Ikan dibersihkan sesegera mungkin setelah ditangkap. Sisik ikan dipisahkan dan dibuang isi perutnya termasuk ginjal dan tulang rangka jangan dibuang agar bentuk tetap terjaga kecuali akan dibuat fillet (Snyder 1996).

2.6.5 Penggaraman

Garam dapat ditambahkan dengan cara injeksi, penggaraman kering atau perendaman. Dua cara penggaramanyang disebutkan terakhir merupakan cara yang paling banyak diadopsi oleh industri (Salan et al. 2006). Proses ini pada dasarnya sama dengan produk ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Produk yang mengandung tingkat keasinan tinggi cenderung tidak disukai khususnya untuk masyarakat Jepang sehingga tingkat keasinan produk akhir perlu dibatasi dalam rentang 2,0-2,5% (JICA 2008).

Proses penggaraman memegang peranan penting pada produk ikan asap. Garam dapat menyebabkan denaturasi permukaan protein dan bersama pengeringan, protein yang terdenaturasi membentuk lapisan seperti kulit pada permukaan produk yang disebut pellicle. Lapisan ini melindungi bagian dalam ikan dan menjaga agar aroma asap tetap berada di dalam ikan (Lyhs 2002). Kelebihan air garam setelah penggaraman harus dipisahkan dengan cara


(44)

23

mencucinya dengan air bersih karena garam dapat membentuk lapisan keras yang tidak dapat ditembus selama pengasapan (Berkel et al. 2004). Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku

Ukuran Ikan Segar

(jam)

Suhu dingin (jam)

Thawing (jam)

Fillet atau ikan dibelah dengan ketebalan 1,27 cm hingga 2,54 cm

18-24 16 12-14

Ikan besar utuh dengan berat 4,5 kg atau lebih

48-72 36-60 24-48

Sumber: Medeiros(2009). 2.6.6 Pengeringan

Pengeringan tidak diperlukan pada beberapa proses pengasapan tertentu tetapi jika permukaan ikan masih mengandung kadar air yang tinggi maka hal ini dapat mengakibatkan produk akhir menjadi tidak menghasilkan warna khas ikan asap yaitu warna kuning kecoklatan (amber) (JICA 2008). Ikan biasanya dipanaskan terlebih dahulu selama 30 menit sebelum dilakukan pengasapan. Sirkulasi udara dan kelembaban akan mempengaruhi waktu proses dan penggunaan kipas akan mempercepat proses pengeringan (Snyder 1996). Ikan yang diasapi dengan cara panas sebelum diasapi sebaiknya dilakukan proses pengeringan tambahan terlebih dahulu. Pengeringan dilakukan dengan cara meningkatkan suhu secara perlahan untuk memperkuat kulit kepala dan tubuh dengan mengeringkan dan mengeraskan sehingga dapat menyangga berat dari tubuh ikan yang digantung selama pengasapan cara panas (Codex Alimentarius 1979).

2.6.7 Pengasapan

Tahap berikutnya ialah melakukan pengasapan sesuai dengan tujuan pembuatan produk asap yaitu pengasapan dingin (cold smoking) atau pengasapan panas (hot smoking). Ikan diletakkan di dalam ruang atau alat pengasapan. Tumpukan kecil bara ditumpuk di atas plat pemanas untuk menimbulkan api kecil. Api dijaga agar tidak menyala terlalu besar. Lapisan bara ditutup dengan serpihan kayu keras yang kering. Serpihan ditambahkan sesuai kebutuhan untuk


(45)

menjaga asap agar tetap padat selama proses. Aliran udara dikendalikan dengan cara mengatur ventilasi atau dengan menambah dan mengurangi tutup pinggiran ruang pengasapan. Ikan dikeluarkan dari tempat pengasapansetelah pengasapan selesai dan dibiarkan sampai dingin (Snyder 1996). Selama pengasapan produk yang digantung tidak boleh saling bersentuhan karena asap tidak akan mencapai seluruh bagian dan produk tidak akan mengering dengan merata (Berkel et al. 2004).

2.6.8 Penyimpanan

Ikan harus didinginkan dengan cepat dan meratasetelah proses pengasapan selesai dan sebelum dikemas, jika tidak maka ikan asap akan menjadi lembek, lembab dan asam atau berjamur (Codex Alimentarius 1979). Ikan asap sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu lebih rendah dari 2,22 oC dan dikonsumsi dalam waktu 14 hari setelah pengasapan. Ikan harus dibekukan sesegera mungkin setelah pengasapan agar dapat disimpan lebih lama. Ikan asap disimpan dalam freezer tidak lebih dari dua bulan. Ikan yang telah diasapi dapat dikonsumsi ketika masih panas tidak lama setelah pengasapan dilakukan namun kebanyakan orang setuju bahwa citarasa ikan asap akan meningkat ketika ikan telah dingin. Citarasa ikan asap berkembang pada hari pertama atau kedua setelah pengasapan karena asap lebih menyerap ke dalam daging ikan (Snyder 1996). Pembungkus plastik atau alumunium foil dapat digunakan untuk menyimpan ikan asap (Crapo 2000).

2.7 Jenis Alat Pengasap

Terdapat dua jenis alat pengasap atau kiln yaitu kiln tradisional dan kiln mekanis. Pergerakan asap dan udara hangat pada kiln tradisional tergantung seluruhnya dari aliran udara dan perpindahan panas alami. Udara biasanya dialirkan melalui cerobong yang dirancang khusus untuk pengasapan dingin atau panas. Asap bergerak akibat konveksi udara melalui ikan yang digantung diatas sumber asap, sementara ituasap pada kiln mekanis bergerak disekeliling ikan secara vertikal maupun horizontal karena adanya kipas dan dilengkapi dengan pengatur suhu (Whittle & Howgate 2000). Beberapa jenis oven pengasap menurut Berkel et al. (2004) ialah:


(46)

25

2.7.1 Oven sederhana

Oven ini menggunakan kisi terbuka dan ikan ditempatkan di atasnya dengan bara api di bawahnya. Kapasitasnya kecil dan selama proses akan banyak terjadi kehilangan asap. Perkembangan dari tipe ini ialah oven yang dibuat dari lapisan lumpur kering atau tanah liat atau drum yang dilengkapi dengan kisi-kisi di bagian atasnya.

2.7.2 Oven pengasapan tipe drum

Oven ini terdiri dari beberapa drum-oil yang ditempatkan di atas drum-oil lainnya (menumpuk). Pinggiran lingkarannya harus cocok ukurannya satu sama lain. Kantung yang basah ditempatkan diatas pinggiran lingkaran pada drum yang paling atas. Sistem ini digunakan agar proses pengasapan berlangsung secara efisien. Urutan drum atau ikan di dalam drum harus diubah secara berkala karena drum bagian bawah akan mendapatkan asap yang paling panas. Kekurangannya ialah suhu sulit dikendalikan dan produk akhir tidak terasapi secara merata. Kelebihannya ialah bahan untuk membuat oven berasal dari bahan yang berbiaya rendah.

2.7.3 Oven chorkor

Oven pengasap yang besar dan persegi empat ini cocok untuk mengasapi ikan yang lebih kecil ukurannya. Alat ini terdiri dari sebuak kotak tempat api berbentuk persegi empat yang diatasnya terdapat beberapa nampan kawat kasa yang diberi bingkai kayu dan ditumpuk. Ikan diletakkan di atas nampan dan kayu dibakar pada kotak api. Lapisan paling atas dapat ditutupi dengan triplek atau seng. Selama pengasapan berlangsung, nampan-nampan tersebut dapat ditukar posisinya.

2.7.4 Ruang pengasapan

Ruang pengasapan ini sebaiknya memiliki luas paling tidak 2 x 2 m2. Sebuah drum-oil ditempatkan pada lantai tanah atau batu. Tempat berdirinya drum ini diupayakan agar kedap api. Dasar drum dihilangkan dan sedikit di atas dasarnya dibuat rangka kisi sebagai tempatmenyalakan api. Pintu dibuat di dalam drum untuk mengatur aliran udara dan lubang asap di atasnya dipotong. Ruang pengasapan di bagian atasnya diletakkan rak-rak untuk menyusun ikan. Dinding


(47)

memiliki penahan untuk menyandarkan tiang-tiang yang dapat dipindahkan. Ikan dapat digantung pada tiang-tiang ini. Dinding dan atap harus ditutup sehingga asap tidak dapat keluar. Katup ventilasi atau tutup tingkap pada atap ruang pengasapan perlu dibuat untuk mengatur sirkulasi asap.

2.8 Komponen dalam Ikan Asap

Metode pengasapan yang dilakukan akan berpengaruh pada komponen yang terbentuk dalam ikan asap. Komponen-komponen ini kemungkinan berasal dari hasil pirolisis komponen kayu yang menempel dan berpenetrasi pada daging ikan, komponen alami yang terkandung dalam ikan itu sendiri dan hasil interaksi antara keduanya. Menurut Guillen et al. (2006), komponen asap akan diserap oleh permukaan ikan dan selanjutnya dapat bereaksi atau berinteraksi dengan komponen ikan selama proses pengasapan. Hal yang sama dinyatakan oleh Rusz dan Miller (1977) bahwa proses penyerapan asap akan disertai proses kimia, yaitu interaksi antara senyawa asap dengan unsur-unsur pokok penyusun makanan. Senyawa fenolik, Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) dan asam amino bebas merupakan komponen utama yang penting untuk dikaji diantara sekian banyak komponen yang terdapat dalam ikan asap.

2.8.1 Senyawa fenolik

Senyawa fenol merupakan komponen aromatik yang terdapat pada asap kayu dan berperan dalam mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh bakteri (Whittle & Howgate 2000). Senyawa ini memiliki aktivitas antimikroba dan juga bersifat sebagai antioksidan (Sikorski & Sun Pan 1994). Kayu keras cenderung mengandung selusosa, hemiselulosa dan lignin yang tinggi. Fenol dalam asap ialah salah satu hasil degradasi panas dari lignin dalam kayu. Lignin merupakan polimer fenolik penting yang menyebabkan karakteristik kayu berwarna coklat, memberikan densitas dan massa (Armstrong 2007). Kandungan fenol dalam ikan asap yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin lamanya masa simpan. Penampakan yang mengkilap dan rasa yang spesifik juga dipengaruhi oleh kandungan fenol dalam produk yang diasap. Fenol dapat digunakan sebagai indeks kualitas dari hasil pengasapan ikan. Kandungan fenol yang terlalu tinggi akan cenderung untuk menghasilkan PAH yang bersifat karsinogen. Batas kandungan fenol pada makanan asap ialah 317 mg/kg (Swastawati et al. 2007).


(1)

Lampiran 12 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil viskositas biodiesel campuran minyak biji karet dan minyak biji jarak pagar

Sumber Keragaman

derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung

Ftabel (α = 0.05) Perlakuan 5 2,41194 0,482388 3859,11 4,39

Galat 6 0,00075 0,000125

Total 11 2,41269

Fhitung > Ftabel : ada perbedaan antar perlakuan

Uji Beda Nyata Terkecil : BNT = 0,0273

Jika |YI – YI’| > BNT maka ada perbedaan nyata antar perlakuan

Perlakuan MK0MJ100 MK10MJ90 MK20MJ80 MK30MJ70 MK30MJ70

MK0MJ100 - - - - -

MK10MJ90 0,13* - - - -

MK20MJ80 0,24* 0,11* - - -

MK30MJ70 0,47* 0,34* 0,23* - -

MK40MJ60 0,85* 0,72* 0,61* 0,38* -

MK10MJ0 1,29* 1,16* 1,05* 0,82* 0,44*


(2)

Lampiran 13 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil viskositas biodiesel campuran biodiesel biji karet dan biodiesel jarak pagar

Sumber Keragaman

derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung

Ftabel (α = 0.05)

Perlakuan 5 3,3557 0,671133 936,47 4,39

Galat 6 0,0043 0,000717

Total 11 3,36

Fhitung > Ftabel : ada perbedaan antar perlakuan

Uji Beda Nyata Terkecil : BNT = 0,0655

Jika |YI – YI’| > BNT maka ada perbedaan nyata antar perlakuan

Perlakuan MK0MJ100 MK10MJ90 MK20MJ80 MK30MJ70 MK30MJ70

MK0MJ100 - - - - -

MK10MJ90 0,13* - - - -

MK20MJ80 0,41* 0,28* - - -

MK30MJ70 1,10* 0,97* 0,69* - -

MK40MJ60 1,21* 1,08* 0,80* 0,11* -

MK10MJ0 1,29* 1,16* 0,88* 0,19* 0,08*


(3)

Lampiran 14 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil bilangan setana biodiesel campuran minyak biji karet dan minyak biji jarak pagar

Sumber Keragaman

derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung

Ftabel (α = 0.05)

Perlakuan 5 66,92 13,38 51,15 4,39

Galat 6 1,57 0,26

Total 11 68,49

Fhitung > Ftabel : ada perbedaan antar perlakuan

Uji Beda Nyata Terkecil : BNT = 1,25

Jika |YI – YI’| > BNT maka ada perbedaan nyata antar perlakuan

Perlakuan MK0MJ100 MK10MJ90 MK20MJ80 MK30MJ70 MK30MJ70 MK0MJ100

MK10MJ90 0,90 - - - -

MK20MJ80 1,70* 0,80 - - -

MK30MJ70 2,80* 1,90* 1,10 - -

MK40MJ60 3,25* 2,35* 1,55* 0,45 -

MK10MJ0 7,35* 6,45* 5,65* 4,55* 4,10*


(4)

Lampiran 15 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil bilangan setana biodiesel campuran biodiesel biji karet dan biodiesel jarak pagar

Sumber Keragaman

derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung

Ftabel (α = 0.05)

Perlakuan 5 71,76 14,35 77,93 4,39

Galat 6 1,10 0,18

Total 11 72,87

Fhitung > Ftabel : ada perbedaan antar perlakuan

Uji Beda Nyata Terkecil : BNT = 1,05

Jika |YI – YI’| > BNT maka ada perbedaan nyata antar perlakuan

Perlakuan BK0BJ100 BK10BJ90 BK20BJ80 BK30BJ70 BK30BJ70

BK0BJ100 - - - - -

BK10BJ90 0,30 - - - -

BK20BJ80 1,90* 1,60* - - -

BK30BJ70 3,00* 2,70* 1,10* - -

BK40BJ60 3,40* 3,10* 1,50* 0,40 -

BK100BJ0 7,35* 7,05* 5,45* 4,35* 3,95*


(5)

Lampiran 16 Stoikiometri transesterifikasi minyak biji karet

Diketahui :

Massa minyak : 525,8 gram Massa metanol : 78,87 gram Massa metil ester : 373 gram %-metil ester : 99,81% %-Gliserol total : 0,096%

Ditanya : Massa gliserol yang terbentuk = ?


(6)

Lampiran 17 Stoikiometri transesterifikasi minyak biji jarak pagar

Diketahui :

Massa minyak : 1000,6 gram Massa metanol : 150,09 gram Massa metil ester : 822,4 gram %-metil ester : 99,65% %-Gliserol total : 0,116%

Ditanya : Massa gliserol yang terbentuk = ?