Karakteristik Kimia Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia

kedua ikan asap ini diasapi dengan metode pengasapan panas. Kedua ikan ini diasapi dengan waktu lebih singkat dan suhu lebih tinggi dibandingkan ikan salai dan kayu. Ikan pe diasapi dengan waktu selama 30 menit sedangkan ikan fufu diasapi selama 4 jam, ikan salai 24 jam dan ikan kayu minimal 7 hari. Proses pengasapan ikan pe tentu saja akan menghasilkan produk ikan asap dengan kadar air yang masih tinggi jika dilihat dari waktu pengolahannya. Menurut Crapo 2000, waktu pengolahan ikan asap yang lebih pendek akan menghasilkan produk dengan kadar air yang masih tinggi. Ikan salai dan ikan kayu diasapi dengan metode pengasapan dingin. Kandungan air hasil proses pengasapan dinginsecara umum cukup rendah atau produk akhirnya cukup keras JICA 2008. Kadar air produk juga akan dipengaruhi oleh kadar air awal bahan bakunya dalam hal ini kadar air jenis ikan yang digunakan. Daging ikan pari Mardiah et al. 2008 secara umum memiliki kandungan air yang lebih tinggi 79,10 dibandingkan ikan cakalang 70,58 USDA 2009 dan ikan lele 78,1 Suprapti 2000 tergantung dari banyak faktor. Air pada ikan asap hilang karena adanya penguapan yang disebabkan oleh pengeringan di udara dan asap serta terjadinya drip. Kehilangan air akan tergantung pada sifat permukaan dan bagian ikan yang terkena panas, waktu dan suhu pemanasan, serta laju dan kelembaban udara dan asap Doe 1998. Pengaruh pengeringan juga berhubungan dengan difusi air dari dalam produk asap ke bagian luarnya Rusz Miller 1977. Ikan kayu memiliki kadar air yang sedikit lebih rendah dari ikan salai walaupun secara statistik tidak signifikan. Kadar air produk kering dipengaruhi oleh kadar air lingkungan karena permukaan sangat kering dan menjadi higroskopis sehingga kemungkinan produk ini dapat menyerap kembali air dari lingkungan sekitar selama proses preparasi atau penyimpanan sampel. Ikan kayu katsuobushi pada penelitian Giyatmi et al. 2000 juga menyerap kembali uap air yang berada di sekitarnya selama proses fermentasi. 4.2.2 Kadar abu Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan salai memiliki kadar abu sebesar 5,55, ikan kayu 3,55, ikan fufu 2,21 dan ikan pe 0,75. Hasil Anova Lampiran 4 menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu ikan asap. Hasil uji LSD Lampiran 4 menunjukkan bahwa seluruh jenis ikan asap memiliki kadar abu yang berbeda nyata. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik dan menggambarkan jumlah total mineral dalam bahan. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Mineral dapat berupa garam organik dan garam anorganik. Mineral kadang-kadang berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik dan sulit untuk ditentukan jumlahnya dalam bentuk murni Harbers Nielsen 2003; Sudarmadji et al. 1996; Winarno 2008. Kadar abu ikan asap dipengaruhi oleh adanya kandungan mineral-mineral dalam bahan baku ikan asap atau penambahan bahan aditif yang mengandung mineral tertentu selama pengolahan seperti pada saat proses penggaraman. Kadar abu dalam penelitian ini lebih dipengaruhi oleh kandungan mineral masing- masing bahan baku dibandingkan dengan tahap pengolahan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penambahan garam-garam mineral tertentu seperti melalui proses penggaraman atau penambahan bahan aditif tertentu pada seluruh tahap prosedur pengasapan sampel. Kandungan abu alami dalam ikan dipengaruhi oleh spesies, umur, fase pertumbuhan, musim, waktu tangkap, lingkungan dan faktor internal atau eksternal lainnya. Espe et al. 2002 menyatakan bahwa pada umumnya komposisi kimia berat basah dari filet asap yang ditelitinya akan mencerminkan nilai komposisi kimia bahan baku filet segarnya. Menurut Hassan 1988, selama proses pengasapan dingin dengan waktu 6 atau 12 jam, terjadi kehilangan kadar air yang besar dan kehilangan kandungan lemak yang rendah bersamaan dengan peningkatan jumlah protein dan abu yang rendah. Ikan-ikan yang diasapi menggunakan metode pengasapan dingin dalam penelitian ini memiliki kandungan abu lebih tinggi daripada ikan yang diasapi dengan metode pengasapan panas. 4.2.3 Kadar Lemak Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan salai memiliki kandungan lemak sebesar 5,87, ikan kayu 2,12, ikan pe 1,01 dan ikan fufu 0,86. Hasil Anova Lampiran 5 menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak ikan asap. Hasil uji LSD Lampiran 5, menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asap memiliki kadar lemak yang berbeda nyata. Kandungan lemak ikan salai yang tinggi dipengaruhi oleh metode pengolahan dan kandungan lemak alami dari bahan baku yang digunakan. Komposisi kimia lemak dalam ikan lebih beragam dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh daripada lemak dan minyak lain yang terkandung secara alami. Variasi jumlah kandungannya dipengaruhi oleh tempat hidup, musim, sumber makanan, aktivitas, fase pertumbuhan Bligh et al. 1988. Kandungan lemak ikan lele lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan cakalang menurut USDA 2009 yaitu 1,01 dan pari menurut Mardiah et al. 2008 yaitu 0,42. Kandungan lemak lele dumbo dapat mencapai 8,4 Suprapti 2000. Bahan baku segar yang digunakan dalam pengasapan secara signifikan akan mempengaruhi hilangnya komponen nutrisi, semakin tidak berlemak ikan maka kehilangan lemak akan lebih tinggi Espe et al. 2002. Ikan salai memiliki permukaan daging paling berminyak dan mengkilap dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Hal ini menandakan bahwa ikan salai memiliki kandungan lemak yang masih tinggi pada permukaan dagingnya. Perbedaan lemak yang terdapat pada beberapa bagian tubuh ikan juga akan mempengaruhi kadar lemak yang terukur BBRP2B 1984. Kadar lemak yang cukup tinggi juga terukur pada penelitian Huda et al. 2010 terhadap ikan baung Macrones nemurus dan lais Cryptopterus micronema asap dimana kandungan lemak yang sangat tinggi yaitu 32,06 bb terukur pada ikan baung dan 8,02 bb untuk ikan lais. Tingginya lemak ikan salai juga dapat dipengaruhi oleh komposisi pakan yang diberikan karena ikan salai berasal dari lele dumbo yang dibudidaya sedangkan ketiga jenis ikan asap lainnya menggunakan bahan baku hasil tangkapan alami. Birkeland et al. 2007 meneliti mengenai filet salmon asap dan menyatakan bahwa komposisi filet ikan salmon sangat dipengaruhi oleh komposisi pakan yang diberikan dan terdapat korelasi positif antara kandungan lemak dari makanan dengan jumlah lemak yang tersimpan dalam filet. Pengukuran kandungan lemak juga akan dipengaruhi oleh kandungan air yang terukur dan hal ini dipengaruhi oleh sumber makanan yang diperoleh ikan yang berlemak Doe 1998. Lemak dan air akan keluar dari ikan selama proses pengasapan sehingga terjadi susut fisik physical loss lemak termasuk asam lemak essensial dan nutrisi mikro lainnya Kabahenda et al. 2009. Lama pengasapan dapat mempengaruhi komposisi nutrisi ikan terutama kadar lemaknya. Suhu yang tinggi selama proses pengasapan ikan dapat menurunkan kadar asam lemak omega-3 ikan BI 2009. Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi pada ikan juga mengakibatkan ikan rentan terhadap proses oksidasi selama proses pengeringan dan pengasapan sehingga manfaat nutrisi yang berasal dari asam lemak ini menjadi berkurang Doe 1998. Kadar lemak ikan pe dan ikan fufu yang diasapi dengan metode pengasapan panas terukur lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya kandungan air yang terdapat dalam kedua jenis ikan tersebut sehingga lemak yang terukur nilainya lebih rendah dibandingkan dengan ikan salai atau kayu yang diasapi dengan waktu yang lebih lama pengasapan dingin. Kandungan lemak lebih dipengaruhi oleh metode pengolahan yang dilakukan dibandingkan karakteristik awal bahan bakunya Birkeland et al. 2007. Berkel 2004 menyatakan bahwa pengasapan panas menghasilkan produk dengan kandungan lemak yang rendah karena lemak akan meleleh keluar. Kehilangan kadar lemak dan air yang besar juga dapat terjadi karena denaturasi protein pada jaringan dalam tingkatan yang dapat menyebabkan penurunan daya ikat air dan sifat emulsifikasi protein Hassan 1988. Proses pengeringan ikan salai yang dilakukan sebelum pengasapan lebih lama selama 3 jam 45 menit dibandingkan ikan kayu 15 menit, sedangkan ikan fufu dan ikan pe tidak melalui tahap pengeringan pendahuluan. Pengeringan dapat membentuk suatu lapisan mengkilat seperti kulit yang akan terbentuk pada permukaan ikan. Lapisan ini melapisi permukaan dan menahan atau mencegah kehilangan cairan alami selama pengasapan dan membuat penampakan produk akhir menjadi lebih baik Snyder 1996; Crapo 2000. 4.2.4 Kadar protein Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kadar protein sebesar 69,12, ikan salai 68,25, ikan fufu 35,45 dan ikan pe 20,37. Hasil Anova Lampiran 6 menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein ikan asap. Hasil uji LSD Lampiran 6 menunjukkan bahwa ikan fufu dan ikan pe memiliki kadar protein yang berbeda nyata sedangkan ikan salai dan ikan kayu memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata. Kadar protein ikan salai dan ikan kayu tersebut berbeda nyata dengan ikan fufu dan ikan pe pada taraf 5. Kadar protein dari keempat sampel ikan asap bervariasi menurut jenisnya. Protein merupakan nutrisi penting yang terdapat pada ikan dalam jumlah yang tinggi. Molekul protein tersusun dari berbagai jenis asam amino. Kandungan protein akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor internal seperti jenis ikan, fase pertumbuhan, jenis kelamin dan lain sebagainya. Menurut Chung et al. 2002 adanya perbedaan dalam nilai proksimat dapat disebabkan oleh adanya perbedaan spesies. Faktor eksternal seperti lingkungan tempat ikan hidup, musim, cara tangkap, penyimpanan, pemanasan, cara pengolahan juga berpengaruh terhadap kadar protein. Penelitian Hultmann et al. 2004 terhadap daging asap menunjukkan bahwa jumlah protein larut garam ternyata akan berkurang sebagai akibat dari pengasapan. Protein daging yang terlarut berperan penting bagi terbentuknya ikatan silang tiga dimensi dan gelasi yang terjadi selama pemanasan campuran daging. Sifat gelasi juga menentukan tingkat retensi air dan lemak selama pemasakan dan sebagai akibatnya akan mempengaruhi produk yang dihasilkan Sebranek 2009. Pengasapan panas pada suhu tertentu akan mengakibatkan denaturasi dan degradasi protein serta menurunkan fungsi dari asam amino esensial. Hal ini bergantung pada jenis ikan dan protein yang terkandung di dalamnya Opstvedt 1988; Hassan 1988; Kabahenda et al. 2009. Tinggi atau rendahnya nilai protein yang terukur dapat dipengaruhi oleh besarnya kandungan air yang hilang dehidrasi dari bahan. Kadar protein yang terukur pada ikan kayu lebih tinggi daripada ikan salai, ikan fufu dan ikan pe. Perbedaan nilai yang terjadi tidak hanya tergantung pada kadar protein awal bahan baku, tetapi juga pada metode pengasapan yang digunakan. Ikan kayu diasapi dengan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Nilai protein yang terukur akan semakin besar jika jumlah air yang hilang semakin besar. Kandungan protein yang terukur tergantung pada jumlah bahan- bahan yang ditambahkan dan sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan air Sebranek 2009. Persentase protein total, lemak dan abu pada ikan nila yang diasapi tanpa digarami meningkat karena hilangnya air selama pengasapan Yanar et al. 2006. Kadar protein ikan pe yang rendah dapat juga disebabkan oleh senyawa fenolik yang banyak terkandung di dalamnya. Senyawa fenolik dapat mempengaruhi kadar protein karena dapat bereaksi dengan asam amino yang mengandung sulfur Rusz dan Miller 1977. Senyawa fenol cenderung bereaksi dengan kelompok sulfhidril protein. Reaksi tersebut dapat mengakibatkan protein terdenaturasi dan menyebabkan turunnya nilai protein, agregasi protein dan pembentukan ikatan baru Dwiari et al. 2008; Opstvedt 1988. Protein dan asam amino dalam makanan bereaksi dengan berbagai komponen asap yang berbeda. Karbonil pada asap bereaksi dengan asam amino sehingga menyebabkan terjadinya pencoklatan. Penurunan pada kandungan gugus amino dan asam amino lisin disebabkan oleh reaksi dari fenol dan komponen karbonil Opstvedt 1988; Doe 1998. 4.2.5 Kadar karbohidrat Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kandungan karbohidrat sebesar 7,98, ikan salai 2,99, ikan fufu 2,26 dan ikan pe 1,43. Hasil Anova Lampiran 7 menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar karbohidratnya. Hasil uji LSD Lampiran 7 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kadar karbohidrat yang berbeda nyata, sementara ketiga jenis ikan asap lainnya tidak berbeda nyata. Kadar karbohidrat yang terukur pada sampel ikan asap dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat alami bahan baku yang digunakan dan proses pengasapan yang dilakukan. Doe 1998 meneliti kandungan nutrisi proksimat ikan asap tradisional India dan menemukan bahwa hasilnya sangat beragam tergantung dari spesies. Karbohidrat pada umumnya merupakan kandungan nutrisi yang terdapat dalam jumlah kecil 0,5-1,5 pada ikan segar Hadiwiyoto 1993. Hal ini seringkali membuat kadar karbohidrat diabaikan, walaupun begitu karbohidrat memiliki konsekuensi penting terhadap mutu ikan selama pengolahan. Karbohidrat dalam otot ikan sebagian besar adalah glikogen yang merupakan polimer glukosa. Kandungannya bervariasi menurut musim dan menurun drastis setelah ikan mati Irianto Giyatmi 2009. Penelitian lain mengenai ikan kayu jarang menghitung atau mengukur kandungan karbohidrat. Penelitian tentang arabushi yang dilakukan oleh Giyatmi 1998 dan Sunahwati 2000 jika dihitung kadar karbohidratnya by difference maka kandungan karbohidratnya bervariasi yaitu sebesar 5,5 dan 12,24. Penelitian Huda et al. 2010 terhadap ikan baung Macrones nemurus dan lais Cryptopterus micronema asap menunjukkan kandungan karbohidrat yang sangat tinggi yaitu 14,92 bb untuk ikan baung dan 26,53 bb untuk ikan lais. Kandungan karbohidrat pada produk perikanan akan dipengaruhi oleh proses pengolahan disamping kandungan awalnya dalam ikan. Karbohidrat dapat terurai menjadi bentuk-bentuk senyawa yang lebih sederhana. Produk dekomposisinya antara lain ialah glukosa, gula fosfat, asam piruvat dan asam laktat Irianto Giyatmi 2009. Pengurangan kandungan air yang terjadi dapat berpengaruh terhadap hasil pengukuran nilai karbohidrat sama seperti nilai kadar proksimat lainnya. 4.2.6 Kadar total fenol Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan pe memiliki kadar total fenol sebesar 59,34 ppm, ikan salai 42,35 ppm, ikan fufu 34,64 ppm dan ikan kayu 31,34 ppm. Hasil Anova Lampiran 8 menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar fenolnya. Hasil uji LSD Lampiran 8 menunjukkan bahwa keempat jenis ikan asap memiliki kandungan fenol yang berbeda nyata pada taraf 5. Senyawa fenol dan turunannya banyak terkandung di dalam asap yang berasal dari kayu. Jumlah kadar fenol akan dipengaruhi oleh proses pengolahan seperti lamanya waktu pengasapan, komposisi asap, jarak sumber asap dengan bahan baku, ketebalan asap, jenis kayu dan kondisi pengasapan lainnya Toth Potthast 1984; Rusz Miller 1977. Kandungan fenol ikan pe yang tinggi dapat disebabkan oleh jarak antara bahan baku dan sumber asap yang lebih dekat dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Toth dan Potthast 1984 dalam penelitiannya terhadap daging asap melaporkan jumlah fenol yang berbeda dengan kisaran mulai dari sangat rendah 0,06 mgkg hingga sangat tinggi 5000 mgkg. Penelitian lain menyatakan kisaran total fenol pada 15 sampel flavor asap komersial mulai dari 0,001 hingga 1,06 mgml Maga 1987. Kandungan air ikan pe masih sangat tinggi dan penampakan fisik permukaan daging ikan pe masih tampak basah. Fenol pada asap lebih mudah terserap ketika permukaan ikan agak basah. Asap yang lembab akan membentuk lapisan kelembaban pada permukaan produk yang menyebabkan partikel asap menyerap lebih cepat Berkel 2004. Jumlah senyawa penyusun asap yang dapat diserap oleh ikan tergantung dari derajat kebasahan permukaan dan konsentrasi senyawa penyusun asap yang ada dalam asap Whittle Howgate 2000. Hal senada juga dinyatakan oleh Toth dan Potthast 1984 dan Hassan 1988 dalam penelitiannya. Permukaan ikan yang kering perlahan menunjukkan pengendapan asap yang lebih lambat selama pengasapan dibandingkan dengan permukaan yang basah. Permukaan ikan kayu yang sangat kering kemungkinan menyebabkan penyerapan fenol menjadi tidak maksimal sehingga kandungannya tidak banyak bertambah setelah pengasapan selesai. Permukaan luar ikan yang terlalu kering menyebabkan mengerasnya bagian luar sehingga asap sulit diserap Codex Allimentarius 1979. Kandungan fenol produk dengan permukaan yang basah selama periode waktu yang sama ialah 20 kali lebih besar daripada produk yang kering. Komponen volatil lebih mudah diserap oleh asap dalam kelembaban yang lebih tinggi. Bahan kulit yang berbeda dapat membantu penyerapan asap yang cepat atau lambat. Kebasahan kulit yang semakin tinggiakan menyebabkan semakin besarnya jumlah asap yang terserap Toth Potthast 1984; Rusz Miller 1977. Flavor dan aroma yang baik dapat terakumulasi dalam jaringan selama 6 jam pertama pengasapan ketika jaringan permukaan masih basah Hassan 1988. Waktu tahap penganginan dan pengasapan pada ruang pengasapan tingkat kedua yang cukup lama menyebabkan waktu pengolahan ikan kayu menjadi lebih lama daripada ikan asap jenis lainnya. Hal ini akan mempengaruhi jumlah fenol yang terkandung dalam ikan kayu. Kandungan fenol dipengaruhi oleh waktu penyimpanan karena fenol sangat sensitif terhadap cahaya, oksigen dan membentuk kompleks dengan logam. Pyrocatechol, resorcinol dan pyrogallol, serta fenol yang memiliki beberapa gugus hidroksi adalah senyawa fenol yang paling sensitif Sakakibara et al. 1990a; Toth Potthast 1984. Maga 1987 juga menyatakan hal yang sama, bahwa selama penyimpanan, jumlah fenol bebas secara individu dapat menurun secara dramatis bahkan pada suhu -4 o C sekalipun. Fenol banyak terdapat di bagian permukaan ikan dibandingkan bagian dalam daging ikan yang diasapi. Komponen asap biasanya menempel pada permukaan ikan asap dan terakumulasi tidak lebih dalam dari 1 mm di bawah kulit selama penyimpanan Lyhs 2002. Penelitian lain menyatakan bahwa sebagian besar fenol pada bologna asap berada pada lapisan luar sedalam 1-2 mm. Sebanyak 75 fenol yang berada dalam ham diisolasi dari lapisan luarnya. Senyawa penyusun asap lainnya seperti karbonil dan asam kemungkinan dapat berpenetrasi melewati seluruh produk utuh Maga 1987; Toth Potthast 1984. Cara pemotongan ikan yang dilakukan akan mempengaruhi penyerapan asap karena perbedaan ukuran bahan. Ikan salai diasapi secara utuh, ikan fufu diasapi dagingnya secara utuh setelah dipisahkan tulangnya, ikan kayu difilet dagingnya dalam potongan yang besar sedangkan ikan pari sebagai bahan baku ikan pe dipotong-potong terlebih dahulu agar lebih mudah menempatkan dalam alat pengasapnya. Ikan pe memiliki ukuran bahan baku yang lebih kecil daripada ikan-ikan lainnya dan sebagai akibatnya daerah permukaan yang terkena asap lebih besar daripada sampel lainnya. Ikan salai memiliki kandungan fenol yang cukup tinggi karena lebih kecilnya ukuran tubuh dan lebih tipisnya daging ikan lele dibandingkan dengan bahan baku ikan asap lainnya sehingga asap akan lebih banyak bersentuhan dengan permukaan daging ikan lele yang telah dipotong. Daerah permukaan ikan yang semakin besar akan menyebabkan semakin besarnya jumlah partikel asap yang dapat diserap selama pengasapan. Produk asap juga menjadi lebih kering dengan baik Berkel 2004. Pengasapan cara panas menggunakan suhu pengasapan lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan cara dingin. Ikan pe dan fufu diasapi dengan cara panas sedangkan ikan salai dan kayu dengan cara dingin. Kandungan fenol total filet meningkat dua kali lipat setelah menaikkan suhu pengasapan pada penelitian Birkeland et al. 2007 terhadap filet salmon asap. Suhu pada proses pengasapan ikan pe tampaknya mempengaruhi akumulasi total fenol pada ikan asap yang diteliti. Ikan pari yang menjadi bahan baku ikan pe memiliki kandungan lemak yang lebih rendah daripada bahan baku ikan asap lainnya. Kandungan lemak bahan baku juga ternyata mempengaruhi kemampuan ikan dalam menyerap asap. Rata-rata kandungan fenol total pada ikan dengan kategori lemak tinggi ialah lebih rendah daripada kandungan fenol pada ikan kategori lemak rendah Maga 1987; Birkeland et al. 2007. 4.2.7 Kadar garam Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwaikan fufu memiliki kandungan garam 0,11; ikan salai 0,27; ikan kayu 0,23 dan ikan pe sebesar 0,29. Hasil Anova Lampiran 9 menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar garam masing-masing ikan asap. Hasil uji LSD Lampiran 9 menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asap memiliki kadar garam yang berbeda nyata pada taraf 5. Proses penggaraman tidak dilakukan pada proses pengolahan keempat jenis ikan asap ini sehingga kandungan garam ikan asap tidak terlalu tinggi. Hal serupa terjadi pada bagian barat Afrika dimana proses pengasapan panas disana tidak menggunakan garam Doe 1998. Ion Cl - dari garam akan berinteraksi dengan protein daging pada konsentrasi yang rendah 0,5-1, untuk meningkatkan sifat pengikatan air dalam campuran daging. Peningkatan retensi air struktur protein dalam kondisi terdapat ion klorida memiliki pengaruh besar pada hasil pemasakan, juiciness, keempukan dan mouthfeel ketika produk dikonsumsi. Ion klorida lebih penting dibandingkan ion natrium dalam mencapai peningkatan pengikatan air oleh protein daging. Ion natrium bertanggung jawab bagi flavor yang berasal dari garam. Fungsi yang penting bagi persepsi flavor bukan saja rasa asin yang diberikan natrium tapi juga peningkatan intensitas dari flavor lain yang dihasilkan dengan adanya natrium, dengan demikian garam tidak hanya penting bagi pemberian flavor tapi juga bertindak sebagai peningkat citarasa bagi komponen flavor lainnya dalam makanan Sebranek 2009. Perbedaan kandungan garam yang terjadi diantara masing-masing jenis ikan asap disebabkan oleh adanya perbedaan pada parameter-parameter proses pengolahan ikan asap tersebut dan variasi kandungan alami garam yang dimiliki masing-masing bahan baku ikan. Garam dapat menyebabkan sedikit penurunan pada kemampuan retaknya jaringan ikat ikan yang diasapi dengan cara panas karena tingkat kehilangan kelembaban ikan menjadi turun Doe 1998. Menurut Bligh et al. 1988, garam pada jumlah tertentu dapat memperkokoh daging ikan, mempengaruhi oksidasi lemak dan mempertegas flavor produk. 4.2.8 Komposisi asam amino bebas Jumlah asam amino yang digunakan sebagai standar untuk analisis ialah sebanyak 15 jenis dan seluruhnya terdeteksi pada seluruh sampel ikan asap dalam jumlah dan komposisi yang bervariasi. Asam aspartat, asam glutamat, metionin, valin, isoleusin, leusin dan lisin merupakan asam amino bebas yang terdapat pada ikan fufudalam konsentrasi tinggi dibandingkan ikan asap lainnnya. Asam amino bebas lain yang tekandung lebih tinggi ialah glisin dan arginin pada ikan salai, sedangkan asam amino serin, histidin, alanin, tirosin, treonin dan fenilalanin terkandung lebih tinggi pada ikan kayu. Jenis serta konsentrasi asam amino bebas yang terdeteksi pada ikan asap beserta persentasenya di dalam masing-masing ikan asap disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis asam amino bebas ikan asap Asam Amino Hasil Ikan Fufu Ikan Salai Ikan Pe Ikan Kayu mgkg mgkg mgkg mgkg Asam aspartat Asam glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lisin 425,69 1075,10 83,43 54,74 388,36 213,08 433,49 1460,36 175,46 306,13 448,85 200,28 324,07 761,32 468,46 6,24 15,77 1,22 0,80 5,70 3,12 6,36 21,42 2,57 4,49 6,58 2,94 4,75 11,16 6,87 32,33 169,96 181,91 32,71 1211,45 102,69 541,80 977,03 37,30 32,21 70,08 41,19 15,54 45,23 168,35 0,88 4,64 4,97 0,89 33,10 2,81 14,80 26,70 1,02 0,88 1,91 1,13 0,42 1,24 4,60 5,61 26,69 10,02 9,72 10,27 5,22 4,45 518,37 8,08 4,98 123,54 48,37 72,37 52,38 75,42 0,58 2,74 1,03 1,00 1,05 0,54 0,46 53,14 0,83 0,51 12,66 4,96 7,42 5,37 7,73 182,09 336,33 220,35 21755,72 1095,77 1353,34 229,83 2817,76 272,06 179,42 296,19 247,78 244,08 444,13 405,88 0,61 1,12 0,73 72,32 3,64 4,50 0,76 9,37 0,90 0,60 0,98 0,82 0,81 1,48 1,35 Menurut Doe 1998 komponen aktif rasa taste-active pada ikan diantaranya ialah asam amino bebas, peptida, asam-asam organik, basa amonium kuartener dan mineral. Komponen-komponen ini juga sebagian besar berperan pada pembentukan rasa produk kering. Asam amino bebas merupakan senyawa ekstraktif berberat molekul rendah yang larut air dan merupakan penyumbang flavor utama pada produk perikanan. Terbentuknya asam amino bebas ini dipengaruhi oleh parameter pengasapan, penyimpanan, spesies ikan, kesegaran bahan baku sebelum pengeringan dan metode pengeringan yang digunakan. Kandungan nitrogen ekstraktif dari ikan berdaging merah seperti keluarga tuna lebih tinggi daripada spesies ikan berdaging putih Okada 1990. Ikan fufu dan ikan kayu pada penelitian ini menggunakan bahan baku ikan cakalang yang masih merupakan keluarga ikan tuna dan hal ini menjelaskan terdeteksinya sebagian besar asam amino bebas dengan kandungan tertinggi pada kedua jenis ikan asap ini 7 jenis pada ikan fufu dan 6 jenis pada ikan kayu dibandingkan ikan salai dan ikan pe. Proses pengasapan meningkatkan pembentukan produk-produk degradasi. Suatu penelitian terhadap denaturasi protein ikan salmon yang diasapi menyatakan bahwa terdapat peningkatan kandungan asam amino bebas pada ikan setelah ikan tersebut diasapi Hultmann et al. 2004; Motohiro 1988. Penelitian lain menyatakan bahwa asam amino bebas pada telur mullet meningkat selama pemasakan Doe 1998. Menurut Toth dan Potthast 1984 dan Liu et al 2009, reaksi proteolisis dipercaya bertanggung jawab pada taraf tertentu bagi pembentukan flavor. Suatu penelitian mengenai perubahan kimia ikan herring menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi proses autolisis atau reaksi lainnya pada daging ikan yang menyebabkan terurainya komponen-komponen yang mengandung nitrogen untuk menghasilkan asam amino bebas dan hal tersebut menyebabkan pembentukan rasa pada ikan asap Motohiro 1988. Jenis ikan cakalang sebagai bahan baku dan pengasapan panas selama 4 jam pada pengolahan ikan fufu kemungkinan mempengaruhi tingginya asam glutamat 15,77, alanin 21,42 dan leusin 11,16 yang terukur. Alanin memang terukur lebih tinggi pada ikan kayu 2817,76 mgkg tetapi persentasenya lebih rendah 9,37, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal ikan cakalang yang digunakan sebagai bahan baku yaitu tempat hidup, lokasi tangkap, konsumsi pakan dan proses pengolahan sebelum pengasapan yang dilakukan pada ikan kayu tetapi tidak pada ikan fufu perebusan dan pemanasan pendahuluan pada oven. Pengasapan dan pengeringan menyebabkan reaksi pencoklatan yang disebabkan oleh reaksi Maillard dan oksidasi lemak. Intensitas pencoklatan dipengaruhi oleh asam amino bebas, gula pereduksi, enzim proteolitik dan tahapan oksidasi lemak. Semakin banyak asam amino bebas maka pencoklatan yang terjadi akan semakin luas. Reaksi ini cukup penting pada produk perikanan yang dikeringkan. Asam amino yang memiliki tingkat pencoklatan tinggi ialah lisin, glisin, histidin dan asam glutamat. Penyebab utama dari hilangnya protein pada produk perikanan kering antara lain disebabkan olehreaksi Maillard serta pencoklatan karena reaksi antara protein atau asam amino dan lemak karbonil hasil oksidasi lemak. Senyawa-senyawa karbonil ini dapat bereaksi dengan lisin dan mempengaruhi kandungannya Doe 1998. Kandungan lisin pada seluruh produk ikan asap terutama ikan salai 168,35 mgkg dan ikan pe 75,42 mgkg kemungkinan dapat berkurang melalui tahap pencoklatan yang terjadi ini. Reaksi antara gugus epsilon amin lisin dengan senyawa pereduksi non protein melalui kondensasi karbonil amin dapat dijelaskan dengan baik jika senyawa non proteinnya ialah gula pereduksi tetapi kandungan gula ini jumlahnya terlalu rendah dalam ikan. Senyawa karbonil yang terdapat dalam asap dan yang berasal dari oksidasi lemak dapat bereaksi dengan lisin dalam mekanisme yang hampir sama dengan gula pereduksi Opstvedt 1988. Reaksi pencoklatan Maillard mendominasi ketika aktivitas air produk tinggi dan pencoklatan protein-lemak merupakan mekanisme reaksi pencoklatan utama ketika aktivitas air produk rendah. Kedua reaksi ini saling interaktif karena reaksi Maillard menjadi semakin cepat dengan adanya oksidasi lemak. Enzim- enzim endogen juga dapat berperan sebagai penghasil produk-produk hidrolisis protein dan karbohidrat yang nantinya akan membentuk asam amino bebas dan gula pereduksi sebagai prekursor reaksi Maillard Doe 1998. Aktivitas air juga dapat menunjukkan jenis reaksi apa saja yang mungkin terjadi dalam bahan pangan. Hubungan antara perubahan kimia dan enzimatis dalam bahan pangan sebagai fungsi dari aktivitas air ditunjukkan pada Gambar 8. Nilai aktivitas air bahan pangan tertentu dapat menyebabkan tingkat reaksi oksidasi lemak dan pencoklatan non enzimatis yang rendah juga. Semakin tinggi aktivitas air bergeser ke arah kanan maka kemungkinan bahan pangan untuk rusak semakin meningkat Canovas et al. 2003. Olley et al. 1988 menyatakan bahwa pencoklatan non enzimatis pada produk perikanan yang tidak digarami disebabkan oleh oksidasi lemak. Gambar 8 Grafik reaksi kimia berdasarkan aktivitas air Pembentukan warna dan flavor juga efek pencoklatan didasarkan pada reaksi protein dengan senyawa karbonil dari asap. Reaksi ini menyebabkan kehilangan pada kelompok amino. Protein dengan gugus amino bebas mengalami perubahan dengan sangat mudah. Kehilangan lisin yang merupakan asam amino essensial, dapat terjadi dan akan semakin tinggi bersamaan dengan tingginya endapan asap pada makanan Toth Potthast 1984. Opstvedt 1988 menyatakan bahwa pengasapan dan kandungan aldehida dalam asap akan mempengaruhi kandungan lisin yang reaktif. Pemanasan yang berlebihan akan mengurangi ketersediaan metionin dan lisin. Karbonil dan fenol dalam asap dapat bereaksi dengan lisin, arginin dan metionin Doe 1998; Irianto Giyatmi 2009. Filet ikan atlantic mackerel yang diasapi dengan cara panas mengalami kehilangan lisin maksimal 8,8 dan hanya terjadi pada bagian ikan yang paling luar Doe 1998. Penelitian mengenai pengasapan ikan nila yang tidak digarami menyimpulkan persentase kehilangan lisin yaitu sebesar 25 pada pengasapan dengan suhu 98 o C selama 65 jam, 7, 8, 9 pada pengasapan dengan suhu 50, 70, 100 o C selama 38 jam begitu pula penyimpanan ikan asap selama 3 bulan tidak mempengaruhi kandungan lisin yang terukur secara signifikan. Lisin ialah asam amino yang reaktif tetapi pada suatu penelitan mengenai ikan sardin yang dipanaskan dengan suhu 50 o C selama 240 menit dan suhu 100 o C selama 15 menit, kandungan lisin diketahui dapat meningkat Opstvedt 1988. Penelitian mengenai kandungan asam amino bebas pada ikan sand yang dikeringkan dan digarami menyimpulkan bahwa terdapat beberapa asam amino bebas dalam kandungan yang tinggi yaitu asam glutamat, alanin, leusin dan lisin Motohiro 1988. Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai dehidrasi ikan shad dan haddock diketahui bahwa pengeringan secara signifikan mempengaruhi penurunan kandungan asam amino valin, fenilalanin dan triptofan tetapi tidak asam amino lain. Jumlah asam amino tersebut tidak berbeda secara signifikan kandungannnya dengan ikan segar Opstvedt 1988. Waktu pengolahan yang lebih lama akan menyebabkan lebih lamanya proses pengeringan ikan. Persentase valin dan fenilalanin ikan kayu sebagai ikan yang mengalami waktu pengolahan lebih lama pada penelitian ini lebih rendah daripada ketiga jenis ikan asap lainnya 0,98 dan 0,82 sementara valin dan fenilalanin ikan pe sebagai ikan yang mengalami waktu pengolahan lebih singkat lebih tinggi daripada ikan yang lainnya yaitu sebesar 12,66 dan 4,96. Produk asap ikan kayu dan ikan fufu memiliki daging yang masih cukup tebal dibandingkan ikan lele dan pari dan lisin kemungkinan belum banyak terurai. Jumlah lisin yang terukur pada kedua ikan asap ini lebih tinggi daripada ikan salai dan ikan pe ikan fufu 468,46 mgkg dan ikan kayu 405,88 mgkg, walaupun begitu lisin pada ikan kayu sebenarnya memiliki persentase asam amino bebas dalam produk yang sama yang rendah jika dibandingkan ikan asap lainnya yaitu 1,35 dan lisin pada ikan pari persentasenya paling tinggi yaitu 7,73, hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pemanasan ikan pe yang singkat 30 menit. Ikan cakalang yang telah diolah dengan pemanasan kering dapat mengandung lisin hingga 25.900 mgkg USDA 2010. Ikan asap dapat menjadi sumber asam amino esensial yang penting karena kandungan lisin dan jumlah asam amino esensial pada produk ikan asap lebih tinggi secara signifikan dibandingkan produk ikan yang diasinkan atau diacar marinate Huda et al. 2010. Kandungan asam amino bebas juga akan tergantung pada spesies ikan. Histidin bebaspada ikan jenis mackerel dan herring adalah prekursor bagi histamin Mackie 1997. Ikan pari yang menjadi bahan baku ikan pe pada penelitian ini memiliki kandungan histidin yang rendah dibandingkan dengan ikan pelagis seperti cakalang sebagai bahan baku ikan kayu dan ikan fufu. Sakakibara et al. 1990a melaporkan bahwa komponen nonvolatil utama pada katsuobushi ialah histidin, anserin, karnosin dan taurin. Histidin terdiri dari sekitar 43-47 dari total asam amino bebas. Rasa dari histidin sangat lemah dan diperkirakan bahwa asam amino ini tidak memberikan peran langsung pada karakteristik rasa dari katsuobushi. Hal ini senada dengan hasil penelitian dimana ikan kayu memiliki jumlah asam amino bebas histidinyang lebih besar daripada ikan asap jenis lainnya. Suatu penelitian mengenai perubahan asam amino bebas dalam pembuatan katsuobushi menyimpulkan bahwa sekitar 80 asam amino bebas yang terkandung adalah histidin, kandungan lisin dan alanin produk tinggi, sejumlah asam amino berkurang jumlahnya selama tahap perebusan dan pengasapan dapat meningkatkan jumlah asam amino bebas yang terbentuk Sikorski 1988. Ikan cakalang segar memiliki kandungan histidin yang termasuk tinggi dibanding tuna yellowfin, marlin, mackerel, dan salmon yaitu mencapai 6.480 mgkg USDA 2009 hingga 23.000 mgkg 1 . Faktor pemanasan dapat berpengaruh pada kandungan histidin yang terukur pada ikan kayu dan ikan fufu karena reaksi proteolisis saat pemanasan dapat meningkatkan kandungan asam amino bebas Liu et al. 2009. Kedua jenis ikan ini memiliki bahan baku yang sama tetapi waktu pengasapan yang jauh berbeda 4 jam dan 14 hari sehingga jumlah asam amino bebas total lebih tinggi pada ikan kayu daripada ketiga jenis ikan asap lainnya dan hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pengolahan ikan kayu yang jauh lebih lama dari ketiga ikan asap lainnya. Histidin dapat berkurang kandungannya karena oksidasi lemak Bligh et al. 1988 sedangkan asap memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi 1 http:wholefoodcatalog.infonutrienthistidinefoodshigh Doe 1998. Histidin pada ikan kayu kandungannya terukur lebih tinggi kemungkinan karena oksidasi lemak lebih terhambat karena adanya asap yang terus menerus menempel pada ikan karena waktu pengasapan yang sangat lama 14 hari. Asam amino bebas pada ikan kayu juga kemungkinan dapat hilang selama perebusan yang dilakukan. Glisin, alanin, leusin, asam glutamat, valin dan serin ditemukan dalam air untuk memasak ikan dan kekerangan dan diketahui bahwa perebusan dapat mengurangi kandungan asam amino sebesar 40 Opstvedt 1988. Asam glutamat pada ikan kayu terukur lebih rendah daripada ikan fufu, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlarutnya sebagian asam glutamat pada saat proses perebusan. Asam glutamat biasanya terkandung tinggi pada ikan kayu jenis katsuobushi dimana protein atau peptida-peptida telah terurai menjadi asam amino setelah proses fermentasi. Ikan cakalang yang telah diolah dengan cara pemanasan kering dapat mengandung asam glutamat hingga 42.100 mgkg USDA 2010. 4.2.9 Komposisi Polycyclic Aromatic Hydrocarbon PAH Produksi asap merupakan proses yang rumit, sangat sulit dikendalikan dan menghasilkan produk lain disamping penyusun yang diinginkan. Produk yang tidak diinginkan ini salah satunya ialah PAH. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh jenis ikan asap tidak mengandung 18 standar PAH yang dianalisis dalam limit deteksi metode EPA 8270c USEPA 1996 yaitu 660 ppb. PAH anthracene, fluorene dan phenanthrene adalah senyawa aromatik tricyclic yang dapat ditafsirkan sebagai senyawa induk dari kelompok PAH. Benzo[a]pyrene bersama dibenzo[a,h]anthracene yang terdapat pada produk perikanan merupakan senyawa karsinogenik yang paling kuat bagi manusia Whittle Howgate 2000. Acenaphthtylene, fluorene, phenanthrene, anthracene dan tetrahydrocrysene atau isomer dari komponen tersebut diketahui telah terdeteksi pada ikan bream asap Guillen Errecalde 2002. Tabel 21 menunjukkan hasil analisis terhadap 18 standar PAH pada keempat jenis ikan asap. Tabel 21 Hasil analisis 18 PAH empat sampel ikan asap Parameter Hasil ppb Ikan Fufu Ikan Salai Ikan Pe Ikan Kayu Naphthalene nd nd nd nd 2-Methylnaphthalene nd nd nd nd 2-Chloronaphthalene nd nd nd nd Acenaphthene nd nd nd nd Fluorene nd nd nd nd Phenanthrene nd nd nd nd Anthracene nd nd nd nd Fluoranthene nd nd nd nd Pyrene nd nd nd nd Chrysene nd nd nd nd Benz a anthracene nd nd nd nd Perylene nd nd nd nd Benzo b fluoranthene nd nd nd nd Benzo k fluoranthene nd nd nd nd Indeno 1,2,3-cd pyrene nd nd nd nd Dibenz ah anthracene nd nd nd nd Dibenzo ghl perylene nd nd nd nd Benzo a pyrene nd nd nd nd Keterangan: nd = not detected limit deteksi 660 ppb PAH merupakan hidrokarbon dengan berat molekul tinggi dan tidak larut air hasil pembakaran kayu lignin dan selulosa yang tidak sempurna. Fraksi PAH ialah yang paling tidak diinginkan dalam asap dan peparasi asap karena beberapa PAH telah menunjukkan sifat mutagen atau karsinogen pada eksperimen menggunakan hewan. PAH diketahui tidak mempengaruhi flavor produk asap Toth Potthast 1984; Heruwati 2002; Guillen et al. 2006 dan bagian PAH yang paling besar dalam asap ialah dalam tar-nya Rozum 2009. PAH produk asap biasanya berasal dari asap hasil pembakaran kayu penguraian lignin dan selulosa karena ikan vertebrata pada umumnya tidak mengandung PAH karena PAH dapat dimetabolisme dan dieksresikan menjadi turunan senyawa lain. Kandungan PAH dipengaruhi oleh proses pengolahan seperti suhu pembakaran kayu, waktu pengasapan, ketebalan asap, aliran udara, bahan baku dan kondisi pengasapan lainnya. Kandungan PAH akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu Toth Potthast 1984; Rozum 2009; Rusz Miller 1977; Sikorski 1988; Whittle Howgate 2000. Terdapat kira-kira 200 jenis PAH yang berada dalam asap, beberapa bersifat mutagen atau karsinogen Toth Potthast 1984; Whittle Howgate 2000. Tidak tertutup kemungkinan dalam ikan asap yang diuji terdapat juga PAH jenis lainnya yang tidak berada dalam standar. Bagian utama dari massa total komponen asap berakumulasi pada bagian terluar ikan, tidak lebih dalam dari 1 mm di bawah kulit. Bagian luar ikan yang terkena asap, terutama kulit dapat mengandung PAH lima kali lebih banyak daripada bagian utama tubuh dari produk Doe 1998; Heruwati 2002. PAH lebih banyak terkandung pada lapisan paling luar ikan asap. Umumnya bagian dalam daging ikan asap lebih banyak dikonsumsi dan aroma asap yang dikehendaki tetap diperoleh. Ikan kayu diasapi lebih lama dari jenis ikan asap lainnya yaitu bisa mencapai lebih dari 14 hari dan sebelum diolah lebih lanjut daging ikan kayu biasanya disikat permukaannya untuk menghilangkan lapisan kulit yang menghitam, hal ini kemungkinan berpengaruh pada kandungan PAH yang terukur pada penelitian ini. Menurut Doe 1998, PAH lebih banyak terkandung pada berbagai produk makanan lain selain produk ikan asap. Jumlah PAH yang terbentuk selama pengolahan juga tergantung pada kandungan lemak, waktu dan suhu pengolahan. Pembentukan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna, perubahan beberapa komponen makanan seperti trigliserida dan kolesterol. Lemak yang meleleh dan jatuh pada bahan bakar yang panas akan menyebabkan terjadinya pirolisis lemak yang dapat menghasilkan PAH yang kemudian menguap dan tersimpan pada permukaan makanan Menichini Bocca 2003. Menurut Toth dan Potthast 1984 dalam penelitian mengenai daging asap, diketahui tidak terdeteksi kontaminasi tinggi benzo[a]pyrene atau PAH lainnya pada produk daging jika dilakukan proses pengasapan dengan suhu lebih rendah dari 700 o C suhu api selama 2 hari. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa suhu ruang pengasapan tidak terlalu mempengaruhi kandungan benzo[a]pyrene dalam daging asap. Kemungkinan besar pada pengolahan ikan asap ini suhu pembentukan asap tidak mencapaisuhu api 700 o C sehingga kandungan PAH tidak terdeteksi atau terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit trace tetapi hal ini memerlukan pembuktian lebih lanjut. Untuk mencegah pembentukan benzo[a]pyrene, suhu dekomposisi kayu harus di bawah 400 o C dan suhu oksidasi senyawa volatil hasil dekomposisi tersebut tidak lebih dari 200 o C Heruwati 2002; Doe 1998; Toth Potthast 1984. Menurut Doe 1998, kandungan benzo[a]pyrene pada ikan asap menurun secara signifikan selama penyimpanan produk pada 18 o C dari 0,58 µgg menjadi 0,22 µgg dalam waktu 2 hari. Benzo[a]pyrene dianggap sebagai indikator senyawa yang bersifat karsinogen pada makanan asap. Kandungan benzo[a]pyrene dari ikan asap yang diolah dengan pengasapan panas berkisar antara 0,5-3,5 µgg, tergantung pada ukuran, preparasi dan kondisi pengasapan Doe 1998. Maksimum kandungan benzo[a]pyrene dalam produk daging asap telah dibatasi oleh peraturan hingga 1 ppb di Jerman Toth Potthast 1984 dan menurut survey yang dilakukan di Jerman sebanyak 30 produk ikan asap mengandung 40 µgg benzo[a]pyrene Doe 1998. Uni Eropa telah membatasi jumlah benzoapyrene dalam asap sebesar 5 ppb pada bahan yang diasapi secara tradisional Rozum 2009. PAH sendiri secara langsung tidak karsinogen dan memerlukan aktivitas metabolik yang dapat mendorong senyawa tersebut menjadi karsinogen. Kandungan PAH ikan asap secara umum masih jauh dari konsentrasi yang diperlukan untuk dapat menimbulkan kanker. Suatu penelitian terhadap tikus menghasilkan kesimpulan bahwa kanker kulit baru terjadi jika benzo[a]pyrene dalam konsentrasi 50 ppm dioleskan secara langsung, sedangkan jika digunakan secara oral memerlukan waktu yang lebih lama. Beberapa jenis PAH lainnya seperti benzaantrasen, benzojfluoranten, dibenza,hantrasen memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menimbulkan kanker Hadiwiyoto 1997. Kandungan benzo[a]pyrene pada produk makanan lain seperti daging asap, roti panggang, biskuit, kopi roasted, minyak kedelai dan iga bakar diketahui lebih tinggi dibandingkan jenis ikan asap tertentu. Vitamin A dan antioksidan diketahui dapat mengurangi sifat karsinogen yang ditimbulkan PAH. Ikan berlemak kaya akan vitamin A dan asap mengandung banyak fenol sebagai antioksidan sehingga efek merugikan PAH bagi kesehatan manusia tidak terlalu tinggi Sikorski 1988.

4.3 Karakteristik Flavor Volatil

Senyawa yang lebih bersifat volatil berperan pada pembentukan flavor. Jenis khas flavor produk yang diasapi tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh senyawa penyusun endapan asap pada permukaan. Senyawa flavor asap sebagian besar tersusun dari gugus yang mudah bereaksi dengan penyusun makanan. Komposisi asap dan sifat flavornya dapat dipengaruhi oleh berbagai perlakuan Toth Potthast 1984, oleh karena itu masing-masing sampel ikan asap memiliki perbedaan komposisi dan jumlah senyawa volatil yang terdeteksi. 4.3.1 Ikan Fufu Analisis GCMS dari ikan fufu berhasil mendeteksi 75 jenis senyawa yang berasal dari berbagai golongan: 32 senyawa berasal dari golongan hidrokarbon dengan pentadekana sebagai senyawa yang memiliki proporsi tertinggi 18,109; 10 senyawa dari golongan aldehida dengan benzaldehida yang memiliki proporsi tertinggi 3,480; 5 senyawa dari golongan keton dengan 2-undekanon yang memiliki proporsi tertinggi 1,170; 4 senyawa berasal dari golongan furan dengan 2-pentilfuran yang memiliki proporsi tertinggi 0,824; 19 senyawa berasal dari golongan fenol dan turunannya dengan senyawa fenol yang memiliki proporsi tertinggi 16,043; 1 senyawadari golongan eter 2,6-dimetoksitoluen; 3 senyawa dari golongan ester dengan asam pentafluoropropionic undecyl ester yang memiliki proporsi tertinggi serta 1 senyawa dari golongan senyawa lainnya 4-methoxybenzhydrazide. Hasil analisis senyawa volatil ikan fufu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11 dan kromatogramnya pada Lampiran 15. 4.3.2 Ikan salai Analisis GCMS dari ikan salai berhasil mendeteksi 82 jenis senyawa yang berasal dari berbagai golongan: 34 senyawa berasal dari golongan hidrokarbon dengan dodekana yang memiliki proporsi tertinggi 10,153; 2 senyawa dari golongan aldehida dengan heksanal yang memiliki proporsi tertinggi 1,885; 4 senyawa dari golongan keton dengan 3-metil-2-siklopenten-1-on yang memiliki proporsi tertinggi 1,676; 1 senyawa dari golongan alkohol 1-heksadekanol; 5 senyawa dari golongan furan dengan 2-furanmetanol yang memiliki proporsi tertinggi 2,262; 20 senyawa dari golongan fenol dengan fenol yang memiliki proporsi tertinggi 5,546; 6 senyawa dari golongan eter dengan 2,4-dimetoksitoluen yang memiliki proporsi tertinggi 0,952; 1 senyawa dari golongan ester Pentafluoropropionic acid, tetradecyl ester dan 9 senyawa