Kerangka Pemikiran Direction of policy for sustainable human settlement area development in the Fringe of the DKI Metropolitan (Case Study Settlement area at Cisauk – Banten Province)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilaksanakan dengan batasan-batasan sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian kawasan permukiman di Cisauk provinsi Banten yang merupakan kawasan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta. 2. Fokus analisis adalah kebijakan pengembangan permukiman yang bertumpu pada tiga pilar keberlanjutan yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. 3. Analisis dilakukan terhadap variabel-variabel kunci pengembangan kawasan permukiman seperti dinamika kependudukan, sebaran permukiman, infrastruktur, lahan. Analisis juga dilakukan terhadap variabel-variabel Sub DAS Cisadane seperti tata air, guna lahan dan manajemen. 4. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa soft system methodology seperti Multidimensional Scaling MDS, Analisis Prospektif, dan Analytical Hierarchy Process AHP. 5. Metropolitan DKI Jakarta adalah kawasan perkotaan dimana beberapa kota atau kabupaten saling terkait satu sama lain yang membentuk kawasan metropolitan dengan Jakarta sebagai kota inti dikelilingi beberapa kota satelit yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kawasan metropolitan ini juga dikenal sebagai kawasan Jabodetabek yang merupakan singkatan nama kota inti dan kota-kota satelitnya Ditjen Penataan Ruang, 2006. 6. Sub DAS Cisadane adalah bagian dari wilayah sungai Ciliwung-Cisadane mencakup 6 kabkota, seluas 4,496 m2 terdiri dari 4 aliran sungai DAS Ciliwung, Sub DAS Cisadane, DAS Kali Buaran dan DAS kali Bekasi. Terdiri dari kawasan lindung 22.45, budidaya pertanian terbatas 26.96, budidaya pertanian intensif 50.58. 7. Permukiman diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada di dalam permukiman Kuswartojo et al., 2005. 8. Arahan kebijakan adalah arahan peraturan yang dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat Sanim, 2005. II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkotaan dan Lingkungan

Richardson 1978 menyatakan kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah, kepadatan penduduknya tinggi, sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi, merupakan kegiatan perekonomian non–pertanian. Budihardjo dan Hardjohubodjo 1993 menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek. Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida et al. 2003 melakukan penelitian mengenai permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”. Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen melekat dalam sistem transformasi tata guna lahan atau eksogen di luar sistem. Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindungkonservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan. Djayadiningrat 2001 mengungkapkan bahwa pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, yang dapat dilihat mulai dari aras level. Sebagai contoh, buruknya fasilitas transportasi, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya.